6. Kecewa

Day 1

Sebuah pisau daging besar mengayun ke arah Leanna setelah sebelumnya muncul petir. Beruntunglah tangan Will berhasil menggapai Leanna dan menariknya menjauh. Pisau daging yang cukup besar itu akhirnya menancap ke sofa, merobeknya menjadi dua.

Angella dan Mika sama-sama menghindar ke arah lain. Mereka berempat terkejut, jika saja tidak tepat waktu, Leanna lah yang akan terbelah menjadi dua seperti sofa itu.

Keempatnya mulai mundur menjauh dari orang misterius yang berdiri di kegelapan itu. Saat petir kembali menyambar, mereka bisa melihat jelas sosok itu dalam sekilas.

Seorang laki-laki dengan pakaian yang sangat tertutup, mengenakan sepasang sepatu boots hitam dan semacam pakaian serba hitam. Tidak ada yang bisa melihat wajah sosok itu, karena tertutup sebuah topeng berwarna putih. Rantai besi nampak menggantung di celana laki-laki itu, dan beberapa senjata besar terlihat dibawanya di beberapa tempat.

Ketika, sosok itu berhasil mencabut kembali pisau dagingnya, semua sontak saling tatap.

"Berpencar!" ucap Angella. Setelah itu, mereka semua berlari dari sana, berusaha membuat bingung sosok yang mengincar mereka. Keempatnya sama-sama kabur pergi keluar.

Sosok itu mengejar ke arah Angella tanpa berlari sedikitpun. Angella sendiri panik, di depan sana banyak sekali pepohonan yang tertutupi kabut dan air hujan. Ia tidak ingin pergi ke sana, tapi pergi ke sana adalah sebuah keberuntungan karena Angella bisa hilang dari pandangan sosok itu.

Dengan keyakinan penuh, Ia mulai berlari ke arah hutan, hilang dalam kabut dan derasnya badai. Sang pembunuh itu berjalan dengan santai sembari menyeret sebuah gergaji.

Leanna berlari ke arah hutan, air hujan mulai membasahinya. Gadis itu terpisah dari Angella, Mika, dan Will. Namun beruntung Leanna tidak terlalu mempentingkan itu, Ia adalah seorang pendaki, tersesat satu dua kali juga sudah biasa baginya.

Ya, meski kali ini cukup ekstrim karena seorang pembunuh mengejar mereka.

Di sisi lain, Mika berlari seraya menjaga lukanya. Perban yang Ia kenakan mulai basah terkena air hujan dan Ia mulai merasakan perih dan sakit lagi di lengannya. Ia bahkan tidak tahu Ia berlari kemana, kabut di depannya menghalangi pandangan. Pepohonan, hanya itu yang bisa Ia tatap.

Mika ingin berteriak memanggil teman-temannya, tapi Ia takut apabila sosok pembunuh itu mendengar suaranya dan sedari tadi mengejarnya. Apapun yang ada di hutan ini, jika muncul secara tiba-tiba dari arah kabut pasti akan menyeramkan.

Petir mulai menyambar terus menerus bersamaan dengan hawa hutan yang semakin mencekam. Kedua kaki Mika gemetar, namun semangatnya kali ini membara. "Aku tidak boleh menyerah!" ucapnya serius. "Aku harus bertemu lagi dengan mereka!"

Di sisi lain, Will berlari jauh ke dalam hutan juga, sama seperti yang lain, kabut malam itu mengganggu pemandangan. Sebenarnya, kabut-kabut ini entah datang dari mana dan sejak kapan. Saat itulah, Ia menemukan sebuah rumah kecil dari bambu dengan ukuran tidak lebih dari 2,5 m x 3,5 m.

Ia menghampiri rumah kecil itu dan membuka pintunya perlahan. Di dalam tidak ada pencahayaan sama sekali. Yang Ia lihat hanyalah beberapa karung berisi beras, entah milik siapa. Karena hari sudah mulai malam dan di luar masih turun hujan, Will memutuskan berteduh di dalam sana.

.

.

.

Hujan sudah turun hampir setengah jam lamanya, tapi tidak ada tanda-tanda Ia akan mereda. Baik Taiki, Ara, dan Calvino, mereka bertiga sama-sama mulai bosan berdiam di sana. Karena sudah malam, semuanya memilih diam dan tidak membicarakan apa-apa. Saking bosannya, Ara mulai tertidur diam-diam.

"Haah, aku bosan, kalau begini caranya, bagaimana kita bisa kembali ke sana?" protes Calvino seraya berjalan bolak-balik seperti setrikaan. Setiap 3 menitnya, Ia akan terdiam dan melihat ke arah luar lewat jendela. Taiki yang bosan itu diam-diam menghitung sudah berapa kali Calvino berjalan bolak-balik, totalnya sudah lebih dari 20 kali.

"Sejujurnya aku lebih khawatir dengan mereka yang di villa," ucap Taiki. Ia ikut berdiri setelah menyelimuti Ara dengan sehelai kain yang Ia temukan di tempat itu, lalu Ia berdiri di sebelah Calvi.

Angella adalah sosok pemimpin yang bahkan menguasai teknik bela diri, tapi melihat bagaimana dia bisa terpicu juga saat Leanna mencurigai mereka, Taiki mulai khawatir terhadap mereka. Terlebih, Leanna mungkin masih curiga meski sudah meminta maaf, itu sudah sifat alaminya. Sedangkan Mika sedang terluka, Ia pasti sedang menahan rasa sakitnya, tidak mau membiarkan yang lain khawatir. Dan Will tidak terlihat seperti sosok yang bisa diandalkan, tapi Taiki tidak terlalu dekat dengannya, salah pula jika Ia curiga seperti itu.

Calvino dan Taiki, keduanya sama-sama memperhatikan daerah hutan di luar yang tertutupi deras hujan dan kabut. Dalam keheningan itu, Calvino mulai berbicara. "Sebenarnya, aku sedikit takut."

Suara hujan yang deras pun tak bisa mengalahkan suara Calvino. Suaranya sedikit bergetar, benar-benar bukanlah Calvino yang seperti biasanya, yang selalu bersemangat di setiap pembicaraan apapun itu.

"Apa maksud-"

"Ahaha! Aku takut tidak sempat beli makanan untuk Betty dan Zoe! Mereka sapi-sapi kesayanganku, ditinggalkan tiga hari saja pasti mereka sedih," potong Calvino, Ia dengan wajah senangnya kembali berjalan bolak-balik di ruangan itu.

Taiki hanya menghela nafas, saat Calvino mulai berjalan kembali ke arahnya, Taiki menjitak pelan pemuda itu. "Ouch! Hei, kenapa kamu menjitakku?" tanya Calvi, Ia mengelus kepalanya pelan.

Taiki kembali menatap ke arah luar. "Jangan berbohong, kalau kamu takut karena kejadian-kejadian tadi, begitupula dengan aku," ucap pemuda itu tenang. "Tidak, lebih tepatnya, siapa sih yang tidak akan takut kalau ada teror dan kejadian aneh seperti ini?" Taiki meregangkan otot-otot tangannya, kemudian menguap pelan.

Ia berjalan kembali ke tempat awalnya, lalu duduk di sebelah Ara yang tidur lelap. "Masih ada sekitar setengah jam lagi untuk memastikan polisi itu benar-benar datang, kamu tidak akan tidur?"

Calvino menggeleng pelan. Ia kembali menatap keluar lewat jendela, membiarkan kedua temannya tidur terlebih dahulu.

.

.

.

Angella berhenti sejenak. Ia mengambil nafas untuk beberapa saat. Berlari dalam keadaan hujan, sendirian, malam hari, bahkan tidak memakai baju hangat, itu cukup melelahkan. Seluruh tubuhnya sudah basah terkena air hujan, semakin menambah berat tubuhnya dan akan menyulitkannya dalam berlari.

Ingin bersandar di pohon pun Ia tak bisa, salah-salah, Ia akan tersambar petir. Angella juga sebenarnya mengantuk dan mulai bersin sedari tadi. Ia takut apabila nantinya akan terkena sakit dan tidak sempat menghindar dari serangan pembunuh tadi.

Tapi kini, Ia bahkan tak tahu dimana pembunuh itu.

Saat Ia hendak berlari lagi, angin kencang berhasil menggoyahkannya dan membuatnya terjatuh ke sisi kanannya. Dalam kondisi seperti itu, Angella sudah tidak mampu lagi berdiri. Ia memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak meskipun Ia tahu itu jalan yang salah.

"Aku seharusnya..., tidak boleh...."

Bersamaan dengan Angella yang memejamkan matanya, suara langkah seseorang mendekatinya.

Di sisi lain, Leanna menemukan semacam gudang yang sudah tak terpakai. Saat Ia memasuki gudang besar itu, di dalamnya terdapat beberapa kayu yang sudah tergeletak tak rapi di sudut ruangan, beberapa peralatan yang sudah rusak, dan juga sebuah mobil rusak. Atap gudang itu juga sudah rusak, dan pintunya bahkan tak bisa dikunci. Tapi beruntung, di sana ada sebuah lemari, jika saja pembunuh itu menemukan tempat ini, Leanna bisa bersembunyi di lemari itu.

Untuk berjaga-jaga, Leanna menahan pintu gudang terbengkalai itu dengan sesuatu. Setelah Ia rasa semuanya aman, Ia mulai mengelilingi ruangan luas itu.

"Haah... Apa aman berdiam di sini? Aku bahkan tidak bisa melihat keluar, bagaimana kalau pembunuh itu datang tiba-tiba dan aku tidak sempat sembunyi?" gumam Leanna dengan perasaan takutnya.

"Tidak, bagaimana kalau dia sudah bersembunyi di sini sejak tadi?"

Leanna menggelengkan kepalanya, berusaha meyakinkan diri bahwa hal itu tidak akan mungkin terjadi. Ia kini mulai khawatir dengan teman-temannya. Ia takut jika mereka yang terpisah dengannya tidak menemukan tempat berteduh.

Dan mengingat soal tempat berteduh, Leanna mulai ingat bahwa setiap tubuhnya basah terkena air hujan. Ia pun akhirnya memutuskan untuk mengeringkan rambut dan pakaiannya di gudang itu. Meskipun Ia mengantuk, Ia sudah lupa dengan kata tidur.

.
.
.

Mika bernafas dengan tak teratur, Ia mulai memegangi kedua lututnya yang sakit. Petir sudah tidak menyambar, tapi air hujan dan angin masih tetap menyerangnya dari setiap sisi. Ia lelah, takut, mengantuk, juga kesakitan, tapi Ia tak memikirkan waktu untuk beristirahat dan sebagainya. Yang kini Ia fokuskan adalah mencari sebuah tempat untuk berteduh.

Tak lama, Tuhan mengabulkan permintaannya, Ia mendapati sebuah rumah kecil dari bambu. Dengan hati-hati, Ia membuka pintu itu secara perlahan.

Cahaya rembulan yang redup mulai masuk ke arah rumah kecil itu. Dalam sekejap, Mika tahu bahwa di dalam sana ada hawa keberadaan manusia.

"Mika?"

Mika terkejut, Ia membuka pintu itu lebar dengan ekspresi lega. "Will?! S-syukurlah...," tanpa aba-aba, Mika kehilangan keseimbangannya dan mulai terjatuh.

"Hei!"

Will menangkap gadis itu sebelum sempat menyentuh lantai bambu yang dingin. Tapi Mika tak merespon, Ia kehilangan kesadarannya dan mulai terlelap, atau mungkin Ia pingsan. Will menatap ke arah luka di lengan Mika, perbannya basah total dan sepertinya luka itu terbuka lagi.

Ia membawa Mika masuk dan membaringkannya, kemudian Ia menutup pintu.

Dalam diam, Ia sungguh berharap pagi cepat tiba, sehingga mereka bisa lari dari semua keputusasaan ini.

.
.
.

"Calvi! Bangun, Calvino!"

Suara seseorang membangunkan Calvino dari tidur yang tidak nyenyaknya. Ia menatap seseorang yang sedari tadi menggoyang-goyangkan tubuhnya tidak sabaran dengan wajah sedikit kesal. "Taiki? Kenapa?"

Ara yang berdiri di sebelah Taiki menjawab pertanyaan itu. "Ini sudah pagi, tidak ada yang menjemput kita," ucap Ara datar, Ia mengucek matanya kemudian membersihkan kacamatanya.

Calvino membelalakan matanya. "Apa? Maksudmu tidak ada polisi yang datang?" tanya pemuda itu tidak percaya, padahal semalam Ia jelas mendengar polisi akan datang pada mereka sekiranya dalam kurun waktu satu jam.

Jadi mereka ditipu oleh para polisi itu.

Apa mereka tidak percaya pada cerita ketiganya?

Hening seketika.

Tak bisa dipungkiri bahwa ketiganya sangatlah marah dan menyayangkan kinerja polisi di daerah ini. Mereka diberi harapan, lalu dijatuhkan ke dalam keputusasaan. Hanya saja, marah bukanlah waktu yang tepat untuk mereka lakukan sekarang.

Taiki berdiri dari tempatnya, Ia mengeluarkan peta dan menatap ke arah dimana matahari bersinar terik.

"Ayo kita kembali ke villa!" ajak Taiki, secara diam, Ia menggenggam peta itu dengan geram.

Baik Calvino ataupun Ara, keduanya mengangguk mantap.

Mereka pun kembali dengan perasaan bercampur aduk.

.
.
.

3 Days

By Macarin

Next chapter

"Matahari naik, bersamaan dengan langkah baru yang mereka semua ambil."

Judul chapter kali ini

Meongmuu Tehashin AisakiRoRa melloncchi potumcream sirupmerah

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top