5. Pukul 9 Malam, Keputusan yang Salah?

Day 1

Taiki mengarahkan senternya ke villa di bagian belakang yang terletak agak jauh dari halaman dimana mereka tengah berkumpul tadi. Keduanya menemukan MCB di rumah itu. Tanpa basa-basi keduanya mulai bekerja mengutak-ngatik listrik di sana.

Mereka menyalakan MCB kembali, namun MCB kembali off seperti tadi. Keduanya sama-sama bingung, padahal mereka tidak menyalakan alat elektronik dengan banyak.

"Apa mungkin listriknya dipadamkan dari pusat?" tanya Taiki. Will menggeleng tanda tidak tahu. Ia masuk ke dalam rumah, mengecek setiap stop kontak yang ada di dalam.

"Entah, kemungkinan ada pemadaman, tapi mungkin juga ada yang rusak," jawab William. Keduanya bingung, Will mulai curiga terhadap rumah ini dan daerah ini. Setelah tadi menemukan sekumpulan sweater rajutan yang sudah rusak dan sekarang semua kejadian aneh ini.

"Kyaa!!"

Keduanya menatap ke sumber suara. Mereka tidak salah dengar, mereka mendengar suara jeritan perempuan dari arah toilet. "Ayo kita cek!" ajak Taiki seraya berlari terlebih dulu diikuti Will.

Tanpa mereka sadari, seseorang tengah memperhatikan mereka sedari tadi.

.
.
.

"Kyaa!!!"

Suara jeritan itu membuyarkan lamunan Leanna. Ia terkejut saat menyadari itu suara Mika. Ia segera beralih dari jendela, kemudian berlari ke toilet. "Mika!"

Di tatapnya ambang pintu toilet yang terbuka, nampak sesosok gadis terjatuh di sana. Terdengar semacam rintihan kesakitan. "L-leaa...."

Leanna berlari mendekati Mika, ditatapnya gadis itu. "Mika! Sudah kubilang jangan lari, kesandung ka-"

Ucapan Leanna berhenti sesaat setelah Ia berdiri ke depan Mika. Ditatapnya gadis itu memegang tangan kirinya kesakitan. Tetesan darah berjatuhan dari sana. Sebuah anak panah dart menancap di bagian lengan atas tangan kirinya.

"Mika!"

"Apa yang-"

Suara Leanna terhenti setelah Ia mendengar langkah kaki orang. Ia bersiap dengan kuda-kuda asal. Meski begitu, sebenarnya Ia sedikit ketakutan. Ia tidak tahu langkah kaki siapa itu dan sekarang Mika sedang menahan sakit akibat anak panah yang tertancap itu.

Saat langkah kaki itu mendekat, tanpa ampun Leanna mengayunkan sebuah tendangan ke depannya dengan kaki kanan. "Siapa itu?!" tanya Leanna, atau lebih tepatnya interogasinya. Namun orang yang dimaksud itu berhasil menghindar.

"I-ini kami, Leanna," ucap Taiki yang tadi berhasil menghindari tendangan gadis itu. Lalu di sampingnya muncul Will.

Leanna menghela nafas lega. "Aku pikir siapa," raut wajah Leanna berubah seketika. Ia kembali pada Mika. "Tolong! Mika... Err, aku tidak tahu kenapa, tapi tangannya terkena anak panah dart," lanjut Leanna.

Mika menatap ke arah tiga-tiganya. "T-tidak apa! Ini hanya luka biasa!" ucap Mika berusaha agar tak terlihat kesakitan. Namun ekspresinya tak bisa mengelabui ketiganya.

"Will, panggil yang lain! Leanna, kita bawa Mika ke ruang tengah!" pinta Taiki. Yang diminta mengangguk kemudian melaksanakan perintah tersebut.

Taiki dan Leanna membawa Mika ke ruang tengah, mendudukannya di sofa secara perlahan. "Siapkan air dan peralatan P3K!" pinta Taiki.

"Aku segera kembali!" ucap Leanna, Ia pergi mencari kotak P3K.

Will menatap ke arah tiga temannya yang sedang bercengkrama dan melahap marshmallow. Semuanya nampak kebingungan melihat Will tiba di sana sendirian.

"Eh? Listriknya tidak bisa menyala?" tanya Calvino. Angella ikut menatap heran.

"Ini bukan saatnya untuk itu, lebih baik kita semua batalkan acara malam ini, ada yang terjadi pada Mika," pinta Will yang jelas membuat ketiganya saling tatap keheranan.

Di sisi lain, Taiki dan Leanna sedang berusaha mencabut anak panah itu dari lengan Mika. Taiki yang dengan berani berusaha mencabut senjata itu dengan hati-hati agar Mika tidak kesakitan, sedangkan Leanna membantu menenangkan Mika, meski sebenarnya Ia pun agak sedikit ngilu melihatnya.

"Tahan! Ini akan sakit," ucap Taiki. Dengan bersusah payah Ia mencabut anak panah itu. Mika meringis, setidaknya Ia tidak ingin mengkhawatirkan teman-temannya itu.

Rombongan Will dan yang lain tiba di ruang tengah. Ketiganya jelas terkejut melihat Mika, yang awalnya mereka pikir ucapan Will itu hanya bohongan saja.

"Mika, kamu...," ucapan Angella terhenti. Kini Taiki tengah mengurus luka itu dengan telaten.

Mika menghela nafasnya, keringat dingin sebenarnya mulai jatuh dari pelipisnya sedari tadi. "M-maaf, aku tidak berhati-hati...," ucapnya lesu, tidak seperti Mika yang biasanya. Hal itu jelas membuat satu ruangan menjadi hening.

"Apa salah satu dari antara kalian sempat masuk kamar mandi itu?" tanya Leanna.

Mendengar itu, Mika terkejut. "Tunggu, Leanna! Kamu mencurigai mereka?" tanya Mika tidak terima. Leanna tercekat, tidak bisa dipungkiri kalau Ia curiga pelakunya adalah salah satu dari mereka.

"Bisa jadi kan? Mungkin ada yang menaruh dendam dengan kita sampai sengaja menyiapkan acara seperti ini?" jawab Leanna.

Angella tidak terima mendengar itu, meski sedikit tenang, Ia mulai berbicara dengan nada sedikit emosi. "Kamu mencurigaiku, Leanna?" tanyanya, kalau dipikir lagi, pantas Angella tersinggung, Ia yang merencanakan semua acara ini.

"Tidak! Tapi bisa dibilang iya, aku melihat bayangan seseorang di luar jendela, itu bisa saja kamu bukan? Atau bahkan Ara? Atau Calvi!" ucap Leanna tajam. "Aku mencurigai kalian bertiga!"

"Apa itu saja cukup jadi bukti? Tidak, Lea," balas Angella setenang mungkin. Mika dan Calvino sama-sama diam dengan wajah pucat pasi, sedangkan Ara dan Will berusaha untuk tidak mendengar perdebatan mereka. Di satu sisi, Taiki selesai memberi pertolongan pertama pada luka Mika.

Taiki berdiri dan terbatuk pelan. Mika sedikit lega karena setidaknya suasana akan jadi cair lagi. "Kalian, apa ini waktu yang pas untuk berdebat? Tidak," ucap Taiki yang telak membuat keduanya terdiam menunduk.

"Yang harus kita lakukan pertama adalah menelpon polisi," ucap Taiki. Will ikut berbicara di belakang, "siapapun itu, yang jelas Ia sudah mengancam kita, harus kita laporkan ke polisi."

Leanna dan Angella saling tatap, keduanya sedikit malu karena menyadari tingkah laku mereka tadi tidak ada bedanya seperti anak kecil. "Maaf," ucap keduanya bersamaan. Senyum kembali terhias di wajah mereka, entah kenapa meski baru saja beberapa saat tadi mereka bertengkar, kini mereka telah berbaikan lagi.

"Maaf sudah mencurigaimu," ucap Leanna seraya menggaruk tengkuknya. Angella menggeleng. "Tidak apa, maaf juga sudah membentakmu," balasnya. Leanna menyodorkan tangan kanannya yang mengepal, setelah itu, keduanya saling beradu tinju, sebuah salam khas rahasia dari keduanya. Melihat tingkah keduanya membuat mereka kembali lega.

Setelah lilin dinyalakan, semua terduduk di sofa. Beberapa diantaranya mengantuk dan beberapa lagi sedang mencari cara menelpon polisi. Telepon rumah mati sedangkan sinyal di handphone mereka sudah lenyap sedari mereka datang kemari. Bahkan, untuk menelpon Pak James yang mereka temui tadi pun tidak bisa.

"Bagaimana ini? Apa kita turun saja sekarang?" tanya Calvino, Ia menyandarkan punggungnya pada sofa yang nyaman itu.

Taiki menggeleng, "ini sudah terlalu malam, ada baiknya lebih baik besok pagi saja, tapi harus ada yang berjaga berganti-ganti," ucapnya seraya menghela nafas.

Di satu sisi, Ara menatap ke arah jendela. Dari sana, Ia bisa melihat sesuatu yang mengalihkan perhatiannya. "Hei, ada sesuatu yang menyala di sana," ucap Ara.

Benar yang diucapkan gadis itu, di antara pepohonan dan sebagainya ada sesuatu yang bercahaya, entah itu rumah atau pondok. Mungkin hanya itu satu-satunya kesempatan mereka.

"Bagaimana kalau ada diantara kita yang ke sana?" tawar Taiki.

"Boleh," ucap Angella diikuti anggukan. Yang lain pun ikut menyetujui, setelah itu, mereka mengutak-ngatik barang di gudang dan di tempat mereka masing-masing.

"Pada akhirnya peralatan mendakiku benar-benar mau dipakai, ya walau hanya untuk menyerang penjahat sih," ucap Leanna miris. Sebenarnya itu lelucon yang bagus, namun keadaan yang sedang tidak bagus itu tidak membangkitkan rasa ingin tertawa dalam diri mereka.

"Jadi, aku, Calvi, dan Ara yang akan pergi bukan?" tanya Taiki. Semua mengangguk. Calvi nampaknya senang dengan perjalanan ini, meski sebenarnya mereka dalam bahaya. Sedangkan Ara diseret oleh Taiki agar ikut, sejujurnya Ia lelah melihat sikap gadis itu yang sedari datang tadi selalu cuek, meski sifatnya begitu sih.

Keempatnya melihat temannya yang sudah bersiap dengan senjata masing-masing. Taiki yang entah darimana mendapatkan softgun, sudah bersiap, begitupula dengan Ara yang menyembunyikan pisaunya dan Calvi yang bersiap membawa peralatan tongkat mendaki milik Leanna.

"Hati-hati, jangan terlalu lama di luar!" ucap Angella pada ketiga temannya itu. Ketiganya mengangguk lalu segera pergi dari sana.

Setelah kepergian ketiganya, ruang tengah terasa kosong. Mereka semua diam karena bingung ingin membahas apa. Mika masih sedikit takut dengan kejadian tadi, Leanna dan Angel masih sedikit canggung meskipun sudah berbaikan, sedangkan Will merasa perannya di sana hanya sebagai penjaga.

Angin dari luar sana mulai terdengar berhembus kencang. Mika menatap khawatir keluar sana.

.
.
.

Tidak seperti yang mereka bayangkan, ternyata cahaya itu cukup jauh. Mereka berjalan berbaris, Taiki di depan, Ara di tengah, dan Calvino di belakang. Mereka saling menjaga satu sama lain.

"Menurut kalian, cahaya itu apa?" tanya Calvino membuka percakapan sekaligus penasaran.

"Entah," jawab Ara singkat. Ia menatap sekelilingnya. Hutan lebat nan gelap itu sebenarnya agak menakutkan, belum lagi angin mulai berhembus kencang. Ketiganya agak khawatir jika saja turun hujan nanti.

Calvino menatap langit, bintang tidak terlihat dari sana. Ia yakin pasti bintang itu tertutupi awan tebal. Mungkin Taiki dan Ara sama sadarnya. Tapi kali ini mereka harus fokus untuk mencari cahaya tadi.

Setelah perjalanan memakan waktu cukup lama, mereka tiba di tujuan. Beruntung sekali itu seperti menara komunikasi. Tapi anehnya tempat itu terlihat sangat sepi, bahkan tak terasa hawa keberadaan manusia di sana. Sebenarnya mereka ragu, tapi mau bagaimanapun mereka harus masuk.

Taiki masuk terlebih dahulu. Setelah memastikan keadaan aman, mereka mulai mencari keberadaan alat komunikasi apapun. "Calvi, kamu yang hubungi! Kami akan memeriksa sekitar," pinta Taiki. Calvino mengacungkan jempolnya lalu mulai meminta komunikasi dengan polisi.

Setelah beberapa lama berlangsung, akhirnya polisi menyetujui untuk datang, meski sebenarnya para polisi tadi tak percaya dengan cerita Calvino. "Mereka bilang akan datang dalam beberapa jam!" ucapnya senang. Taiki tersenyum, mereka lantas duduk sejenak.

"Syukurlah," ucap ketiganya tenang. Mungkin polisi memang sudah akan datang, tapi Taiki sekarang khawatir dengan orang-orang di villa.

"Ayo, kita harus kembali ke villa secepat mungkin!" ajak Taiki, Ia mengulur tangan pada keduanya. Calvi mengangguk dan meraih tangan Taiki, sedangkan Ara dengan cueknya berdiri sendiri.

Saat ketiganya sudah kembali bersiap, bahkan Taiki sudah menginjakan kaki 3 langkah keluar ruangan, tetesan air mulai turun dari atas. Pertama mengenai sepatu, lalu semakin banyak mengenai rambutnya dan pakaiannya.

"Hujan!"

Ketiganya mundur, ternyata apa yang mereka takutkan terjadi. Tidak aneh lagi jika tadi langit begitu mendung. Tapi siapa sangka bahwa hanya beberapa menit saja hujan sudah berubah menjadi sangat deras. Ketiganya menghangatkan diri di dalam dan mengunci pintu rapat, suara angin terdengar di luar begitu hebat, ya, ini bukan hujan biasa.

Ini adalah badai.

.
.
.

Sedangkan itu, keempat orang di villa kini sedang asyik meminum kopinya masing-masing. Leanna tadi sempat membuat beberapa cangkir kopi untuk menghangatkan tubuh. Mereka terkejut saat hujan turun tiba-tiba.

"Aku jadi khawatir dengan mereka bertiga," ucap Mika. Ia masih mengistirahatkan tangannya yang sakit itu. Sebenarnya Ia sangat kesal karena teman-temannya jadi terjebak hujan di luar pun karena Ia diserang oleh anak panah entah milik siapa.

"Kalau saja aku lebih berhati-hati...."

"Kalau mereka berhasil menelpon polisi untuk datang kemari, kita bisa mencari mereka dengan mudah," ucap Leanna. "Tapi entahlah, aku juga sebenarnya khawatir...."

Angella menghela nafasnya. "Tidak apa, mereka bertiga kuat, aku yakin itu, apapun yang terjadi di luar sana, ku harap mereka baik-baik saja," jelas gadis itu, Ia meniup kopinya yang masih panas lalu menyeruput sedikit.

Leanna dan Mika mengangguk setuju, keadaan yang kembali hening membuat mereka canggung lagi.

Tiba-tiba saja, terdengar suara rak di dapur terbuka. Semuanya terkejut. "Huh, pasti angin...," ucap Leanna, mengingat di dekat sana ada jendela, pasti angin masuk lewat jendela dan menghempas pintu rak tersebut.

Ekspresi mereka semua tak baik, Leanna bahkan tak yakin dengan ucapannya. "Kalian tahu? Sebenarnya aku sudah menutup pintu rak itu dengan rapat, juga, tidak mungkin kan angin kencang meniup pintu rak sepelan itu?" ucap Leanna, keadaan menjadi horor seketika. Angella dan Mika merasakan sedikit merinding di tengkuknya. Sedangkan Will, tidak bisa dipungkiri kalau Ia juga merasa aneh.

"Tidak mungkin kan?"

William menatap ke arah Leanna, iris sapphirenya membulat saat Ia melihat seseorang berdiri di belakang Leanna, memegang sebuah pisau daging yang memantulkan cahaya saat kilat menyambar.

"Leanna, awas!"

Leanna menatap tangan Will yang mengarah padanya dengan tak percaya.

Dan saat pisau daging itu terayun...,

Zrashh!

.
.
.

3 Days

By Macarin

Eh! Eh! Eh! Maaf banget baru up jam segini. Jadi tadi ada kegiatan di sekul, terus kan wifi sekul gakbisa dipake jadi aku gak sempet up cerita ini. Eh pas nyampe rumah tepar, terus bangun-bangun malah asyik baca cerita di wattpad kan :)))))

/lah malah curhat/

Kemaren Mika, sekarang Leanna kenapa ya?

/aku dihajar owner Mika sama Lea/

Btw di chapter ini entah kenapa aku enjoy banget loh nulis bagian Leanna sama Angella debat. Sebenernya kalau suasanya lagi gak tegang, leh ugha ya kalau ada yang ngomong kayak gini di tengah debat mereka.

"Ya, teruskan berantemnya, saya suka pertikaian!"

^oke sepertinya aku terbayang yang bakal ngomong gini tuh kalau gak Mika ya Calvi

/aku dihajar lagi/

Btw mau tebak-tebakan ah wkwkwk, menurut kalian siapa sih karakter yang kira-kira gak bakal mati? Kalau ada yang bener nanti aku kasih hadiah di akhir chapter hahahah /g

Next Chapter :

"Satu persatu mulai terpisah, dalam keputusasaan"

Meongmuu Tehashin AisakiRoRa melloncchi potumcream sirupmerah

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top