14. Penyesalan di Masa Lalu
Day 2
Taiki berjalan bersama Ara, setelah perjalanan yang tak terlalu jauh, keduanya kini tiba di tempat yang mereka tuju, gudang. Gudang itu besar, beberapa bagian dinding catnya sudah luntur, ada yang retak dan atap gudang itu pun terlihat rusak.
Keduanya membuka pintu perlahan, mereka mendapati gudang berisi kayu-kayu yang telah ditebang dan barang-barang milik para penebang. Juga sebuah mobil tua yang terlihat tak bisa berjalan lagi.
Tidak ada tanda-tanda manusia di sini, tapi mereka melihat sebuah jejak kaki di sana. "Ada yang datang ke sini tadi malam," ucap Taiki seraya menyentuh jejak kaki tersebut.
"Ada beberapa kemungkinan, boleh jadi ini tempat persembunyian orang yang meneror kita, tapi kemungkinan juga ada diantara mereka berempat yang sempat singgah kemari," ucap Taiki.
Seperti pemikirannya, memang benar bahwa salah satu dari mereka, Leanna, sempat datang ke sini. Namun soal ini tempat sembunyi si peneror, tidak ada yang tahu, bukan?
Baik Taiki dan Ara sama-sama mengecek apa yang ada di gudang. Mereka menemukan barang-barang seperti kapak dan hal-hal lainnya. Ada juga barang yang terlihat sudah diambil seseorang.
Setelah berkeliling 10 menit tanpa hasil apapun, keduanya menyerah dan memilih untuk pergi ke tempat tujuan berikutnya, sungai.
"Firasatku buruk," ucap Ara.
Taiki yang mendengarnya menghela nafas. "Firasatku mungkin lebih buruk darimu," ucapnya seraya menyeka keringat di dahi. Matahari sudah menunjukan hampir pukul 3 sore, namun sinar dari bintang raksasa itu tetap menyengat seperti pada pukul 12 siang.
"Ayo, kita bisa beristirahat sebentar di dekat sungai!" ajak Ara dengan datar, Ia memimpin perjalanan tersebut.
.
.
.
Angella melirik pintu gudang villa yang ditutup secara perlahan oleh Si Peneror. Setelah mengajaknya berbincang-bincang untuk waktu yang cukup lama, pria itu tiba-tiba saja terdiam dan langsung beranjak pergi tanpa berkata apapun. Yang Angella ingat, pria itu berkata,
"Kalau kamu mencoba kabur, sesuatu akan terjadi pada dua temanmu."
Ia tak habis pikir siapa dua teman yang dimaksud Si Peneror. Namun Angella bisa mengerti bahwa ada diantara teman-temannya yang ditangkap oleh Si Peneror. Tapi Ia juga berpikir mungkin dua orang itu belum ditangkap, melainkan tengah diawasi.
Hal itulah yang membuat Angella berpikir bagaimana kalau sebenarnya orang ini punya mata-mata tertentu. Atau bahkan Ia menaruh cctv tersembunyi di hutan tersebut.
Angella mencoba menggerakan tangannya, tali yang mengikat kedua tangannya cukup kuat. Ia sudah mencoba mengerahkan kemampuannya sekuat tenaga, namun kondisinya yang sedang sakit demam dan kedua kakinya yang terkena tembakan membuatnya kesulitan.
Di saat seperti itu, Angella memejamkan matanya. Entah kenapa Ia jadi teringat pada masa lalu. Saat ketujuhnya masih berada di bangku SMA. Saat itu,entah kenapa mereka semua pun ditakdirkan ada dalam lingkaran kejadian yang sama.
.
.
.
"Pagi, Angella!"
"Um, pagi!"
Angella tersenyum mendengar sapaan teman-temannya. Hari itu hari sabtu pagi, bukan hari yang tepat untuk sekolah sebenarnya. Kelas sepi, hanya terisi oleh 6 orang yang kini duduk di tengah kelas, membentuk meja menjadi kotak seperti meja rapat. Dan kini tambah dengan Angella, pas menjadi 7.
"Maaf aku telat karena urusan OSIS," ucap Angella seraya duduk di tempatnya. Ia menatap ketujuhnya dengan seksama.
Leanna, Cavino, dan Mika, seperti biasa menatap antusias. Sedangkan ketiga lainnya, Taiki, Will, dan Ara, mereka menatap datar, seperti mengatakan 'kenapa aku ada di sini?!' pada Angella. Dan sebenarnya apa tujuan asli mereka di sini?
"Baiklah, ayo kita mulai rapat panitia drama ini," ucap Angella. Ia membuka lembar-lembar kertas yang Ia bawa. Isinya seperti ide-ide dan naskah cerita yang terbilang seru dan terlihat menarik.
7 orang yang menjadi panitia ini memiliki sikap yang berbeda. Sehingga cukup sulit untuk memutuskan tema pentas drama nanti. Yang satu bilang ingin cerita drama, yang satu ingin cerita rakyat, yang satu ingin cerita horor, bahkan ada yang hanya mendengar seksama. Namun Angella sudah kebal dengan hal-hal tersebut.
Hingga akhirnya mereka malah memutuskan membuat cerita drama yang memang drama.
Entah kenapa, Angella yang terkadang sering berada dalam zona nyamannya, merasa senang berada di dekat mereka. Menjadi panitia pentas drama bersama orang-orang yang tak terlalu dekat dengannya ternyata menyenangkan. Angella bisa mengetahui karakteristik mereka masing-masing seperti apa.
"Kalau nanti tuan putri gagal ditangkap pangeran, ceritanya berubah tidak ya? Apa nanti tuan putri koma?" Seperti Ara yang tiba-tiba berceletuk random tentang naskah cerita.
"Ehehe... Jangan lupa tambah cerita tentang kelinci yang dikejar serigala ya!" Calvino yang selalu ingat tentang hewan ternaknya dimanapun dan kapanpun.
"Aku ambil pekerjaan yang paling gampang," William yang tidak terlalu mempedulikan hal-hal semacam ini.
"Hari ini juga kita harus semangat!" seperti biasa, Mika akan menjadi tim penyemangat sekaligus orang yang paling banyak memberi ide di tempat ini.
"Ada yang perlu dibantu? Aku agak senggang," Taiki sendiri meskipun tak pernah tertarik menjadi panitia, Ia senang membantu orang lain.
"Aku ada beberapa tali di rumah, mungkin kita bisa buat properti dari itu," dan Leanna yang selalu bersemangat, Ia juga yang sebenarnya pernah menyarankan memakai tema petualangan.
Entah kenapa, mereka dipertemukan dalam kejadian seperti ini. Saat mereka harus saling tolong menolong. Sama seperti saat itu.
Tanpa sadar, Angella merasakan berat di pelupuk matanya. Ia ingin sekali tertidur.
.
.
.
Sesosok pria berdiri di antara pepohonan lebat di hutan. Dengan celana loreng-loreng seperti tentara dan jaket hitam legam, Ia berjalan kokoh menyusuri setiap inci hutan. Di tangannya terdapat sebuah pistol, sedangkan di celananya tergantung sebuah borgol.
"Anthony, kita sudah berjalan cukup jauh, aneh bukan kalau kita masih belum menemukan apapun," ucap seorang wanita di belakangnya.
Wanita itu memakai pakaian yang sama seperti Anthony, rambut coklatnya diikat ponytail. Ia juga membawa barang yang sama seperti Anthony, juga beberapa peralatan p3k.
Dari belakangnya, muncul sosok pria tinggi besar dengan topi menghiasi kepalanya. Ia menjadi satu-satunya yang membawa senapan laras panjang. Pria itu tertawa mendengar wanita cantik di depannya mengeluh. "Hei-hei! Masa segitu saja tidak kuat?"
"Bukan tidak kuat! Aku hanya ingin segera menemukan orang-orang itu," ucap wanita itu.
Anthony yang sedari tadi memimpin di depan menghela nafas, Ia mulai membuka suara. "Tenang saja Gabriel, kita pasti akan menemukan anak-anak itu dan menangkap pelakunya"
Ia mengambil sebatang rokok dari kantongnya lalu mulai membakar ujungnya. Dalam keadaan yang sebenarnya genting itu pun, Anthony masih sempat untuk merokok. Asap berkepul di antara mereka, Gabriel terbatuk-batuk.
"Anthony! Jangan merokok di hutan!" ucap Gabriel kesal. Yang disebut malah tidak mendengarkan. Ia asyik dengan dunianya sendiri.
"Hah, jangan cerewet, Gabriel!" ucap si pria besar, namanya Hundred. Agak aneh memang, tapi nama Hundred benar-benar mewakili tubuhnya.
Gabrel diam, Ia juga malas lama-lama berdebat. Anthony sudah mulai berjalan lagi, menyusuri setiap jejak yang ada. "Terkadang, yang kita rasakan ini namanya kurang beruntung," ucap pria tersebut. Ia menghembuskan asap rokoknya ke udara bebas.
"Aku prihatin dengan tempat ini," ucap Anthony setelah keheningan beberapa saat sebelumnya. Baik Gabriel dan Hundred, keduanya masih tetap mengikuti di belakang.
"Dulu tempat ini begitu ramai, para penebang kayu pun hidup dengan rasa damai," potongnya seraya menghisap rokok terlebih dahulu. "Ini adalah kesalahanku karena gagal menangkap orang itu, kini tempat ini telah dilupakan, entah bagaimana cara anak-anak itu bisa menemukan tempat ini."
Meskipun Anthony nampak membelakangi keduanya, namun Gabriel bisa merasakan rasa sedih di lubuk hati pria itu. Anthony mungkin memiliki penyesalan yang besar dalam hidupnya dan dia tidak ingin mengulangi hal yang sama lagi.
"Tentang pembunuhan anak pirang itu? Aku turut kasihan dengannya, orangtuanya membenci anak itu dan dia kini meninggalkan kakek dan kakak perempuannya bukan?" tanya Hundred memastikan.
"Ya," ucap Anthony. "Namanya Blue, dia bocah yang sangat atraktif, aku tidak sadar kalau dia bahkan punya masalah keluarga serumit itu."
Gabriel yang mendengar penjelasan itu kini gemetar. Tentu saja, Ia tidak bisa memaafkan siapapun yang jadi dalang pembunuhan tersebut.
Tangan Gabriel mencengkram pundak Anthony lembut. "Tenang saja, Anthony," ucap Gabriel. Ia tersenyum percaya diri. "Mari kita pecahkan misteri ini bersama-sama dan kita tangkap pelakunya!"
.
.
.
3 Days
By Macarin
Hai hai hai, aku kembali lagi dan ini chapter bener2 bikin aku stuck banget loh www
Aku pengen cepet-cepet namatin cerita ini sih sebenernya, soalnya aku sadar cerita ini bobrok sekali dan aku jadi sedih. Dan aku yakin mungkin bakal banyak plot hole :"""D
Next Chapter :
"Mereka bertiga tidak dalam kondisi yang baik?"
Tehashin AisakiRoRa melloncchi potumcream sirupmerah
Btw akunnya meongmuu kemana ya? Kok ilang? 😂 di aku jadi "-" gitu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top