5. Sibella dan Jembatan Gantung (2)
Jam terus berdetak, berulang-ulang memasuki telingaku. Lampu kelas sudah menyala, tetapi Samuel belum juga menyelesaikan tugas hari ini. Dia masih di sana, terus menguap sambil memandangi kertas yang tidak tercoret sedikit pun.
Aku mengembuskan napas berat. "Kapan kamu mau mengerjakannya?"
"Besok," dia membalas dengan cepat, "atau mungkin besoknya lagi."
Itu jadi jawaban kesepuluh yang sama keluar dari mulutnya sepanjang sore ini. Padahal kemarin dia baru saja menghadapi keganasan Bu Dina, tetapi malah tak terlihat pengaruhnya sama sekali.
"Ini sudah jam 5 lewat, apa kamu mau lebih lama ada di sekolah?"
"Bukannya kita?" Dia mengoreksi.
Aku menghela napas lagi, fakta tak terbantahkan itu baru saja melesat dari mulut Samuel dan langsung menancap kuat di telingaku. Dia tetap menyebalkan, sampai-sampai aku hanya bisa pasrah ketika mendengar celotehannya.
"Paling tidak, kerjakan soalmu sebelum benar-benar larut." Ucapku lalu kembali fokus pada buku pelajaran milikku sendiri, karena tidak ada hal baik terjadi kalau aku berseteru dengannya lebih jauh.
Waktu terus berjalan, tidak peduli kalau kami diam. Seolah-olah menegaskan meski beristirahat, semuanya tetap bergerak.
Langit makin gelap, terpantul jelas dari jendela kaca. Lampu neon di atas kepala kami semakin terang. Perbandingan nan sangat kontras.
"Hei, Sibella."
"Hm?" aku merespon ketika namaku baru saja dipanggil suara tak bersemangat tersebut.
"Ayo pulang." Samuel menampilkan muka mengantuknya yang masih menempel di atas meja.
"Tapi kamu belum menyelesaikan soal kamu, 'kan?"
Kertas itu masih bersih, sangat bersih malah. Tanpa ada tintah sedikit pun yang mengotori. Aku menatap lagi wajah Samuel, menautkan alis sambil manatapnya intens 'kamu belum mengerjakannya sedikit pun?'.
"Kasih kelonggaranlah, buat hari ini," pintanya sambil memain-mainkan bolpoin.
Lagi dan lagi, entah berapa kali aku membuang napas. Lelah. Meski Bu Dina memang menyuruh agar memberikan Samuel sedikit kelogonggaran, tetapi aku tidak menduga secepat ini dirinya meminta. Benar-benar mengecewakan.
"Cuma kali ini," aku menyerah, "tapi besok kamu harus kerjakan soal dua kali lipat."
"Mana bisa gitu," protesnya lesu. Mata sayu itu hampir tertutup seutuhnya ketika dagunya kembali menempel di meja.
"Kalau begitu kerjakan soal ini sekarang, hari ini juga!" kutegaskan tiga kata terakhir.
Selanjutnya dia terus berguman, sambil mulai bergerak mengerjakan soal di kertas kosong tadi. Aku hampir tertawa, melihat tingkahnya yang begitu unik.
Samuel memang tidak suka mengerjakannya, tetapi juga tidak mau besok mengerjakannya dua kali lebih banyak. Muka setengah hatinya terpampang jelas, mirip bocah yang dipaksa makan sayur meski membencinya.
Tepat pukul 17.50, Samuel menyelesaikan soal yang diberikan hari ini. Aku tidak langsung memeriksanya dan memasukan kertas itu ke dalam tas. Sudah makin larut, pasti orang tuaku sudah khawatir.
"Kalau begitu ayo kita pulang."
"Aku lupa bawa payung," sahutnya dengan topik yang entah datang dari mana. Tanpa sadar aku bersuara dan memperlihatkan kebingungan padanya.
Selang beberapa detik, suara tak asing terdengar dari balik tingkap kaca dan juga genteng. Jutaan tetes air yang besar juga tergambar jelas, menghalangi suasana di luar sekolah. Udara dingin yang sejak tadi menusuk, semakin tajam.
Samuel kembali menelungupkan wajahnya di atas meja, sama sekali tidak memedulikan hujan lebat yang terjadi di luar. Apa dia sudah menduga ini, makanya tadi dia bilang lupa membawa payung?
"Kenapa kamu sepertinya tahu kalau tadi akan hujan?"
Aku diliputi rasa penasaran dan ingin tahu. Sehingga tak sengaja kembali duduk berhadapan dengannya.
"Kamu ini punya hp, tapi enggak pernah liat prediksi cuaca, ya?" Samuel menatapku dengan sorot tak percaya.
Seola-olah memperhatikan prediksi cuaca adalah hal lumrah yang dilakukan oleh orang-orang masa kini. Tentu saja aku sedikit kesal dan membalas tatapannya dengan sinis. Lagi-lagi aku terjebak dengannya? Begitu, 'kah?
Lima menit, kami hanya mendengarkan suara hujan yang terdengar cukup deras. Sisi lain kaca basah seutuhnya. Udara yang menyelimuti kami kian turun suhunya saat pemandangan di luar sana sudah benar-benar gelap.
Aku memeluk diriku sendiri, mengusir rasa dingin yang terus menggigit. Sudah sepuluh menit berlalu semenjak hujan turun, dan belum ada tanda-tanda reda. Malah bisa dibilang kian lebat tiap detiknya.
"Ambil ini."
Jaket coklat yang agak berantakan itu disodorkan padaku oleh Samuel. Aku menatapnya dengan heran, tidak maksudku, tadi dia mengambilnya dari mana? Dalam tas? Tidak terlipat?
"Ini bersih, kok. Baru dicuci," dia mengangkat kepalnya dengan tangannya yang masih menyodorkan jaket tersebut padaku, "tapi kalau enggak mau ya sudah."
Angin sekali lagi menerpa tubuhku, memberikan sensasi menggigil yang makin terasa. Sebelum Samuel ingin menarik tangannya, aku buru-buru mengambil jaket itu dan membungkus badan ke dalamnya.
Wangi, ini benar-benar baru dicuci. Berbeda dengan tampilannya yang berantakan, jaket ini bersih dan nyaman.
"Terima kasih," bisikku sedikit menunduk. Tentu saja itu tidak sampai ke telinga Samuel yang sudah kembali tak acuh dengan sekitar.
"Kalau dari prediksi cuaca, 10 menit lagi hujannya bakalan berhenti." Samuel menengok ke arah jendela yang masih menampilkan hujan di luar sana.
Keheningan tadi membuatku teringat lagi kejadian dulu. Kejadian saat dia menyelamatkanku ketika hampir tertabrak. Sampai sekarang aku belum juga berterima kasih dengan benar kepadanya.
Ini karena setiap kali aku mengingatnya, aku masih bisa merasakan tangan hangat yang menggenggam tangan kecilku. Tatapan khawatir darinya yang tak pernah aku lihat sebelumnya juga terus terbayang-bayang kala aku mengingatnya.
Dadaku juga ikut terasa sesak karenanya. Pun, ada sensasi aneh setiap kali mata kami bertemu secara tak sengaja sehingga aku lebih sering menghindar sebelumnya.
Aku benar-benar bingung, apa yang sebenarnya terjadi pada diriku?
Ketika sibuk dalam pikiranku sendiri, dentuman keras terdengar. Disusul oleh ruangan yang tiba-tiba disiram kegelapan–hal yang paling menyeramkan–membuatku tanpa sadar berteriak histeris.
***
Akhir pekan kali ini sedikit berbeda. Apa yang berbeda? Tentu saja karena malam ini Ana dan Cia menginap di rumahku. Waktu kami berkumpul sangat langka, dan sekarang adalah salah satunya.
Mereka sudah datang sejak sore tadi, dan sekarang kami berada di kamarku. Tentu saja malam ini kami akan berbagi kisah menyenangkan seperti biasanya. Obrolan cewek normal ketika sedang berkumpul.
Cia baru saja keluar dari kamar mandi dan kini sudah mengenakan piama ungunya, rambutnya yang panjang masih belum benar-benar kering. Sementara Ana sejak tadi sudah mengemil snack pemberian Mama.
"Terus, katanya aku bakalan bisa ikut lomba tingkat provinsi kalau rekorku enggak turun." Ana melanjutkan pembicaraan kami yang sebelumnya sempat terhenti.
"Begitu, ya? Tapi Havana selalu bisa mertahanin rekor, 'kan? Malah biasanya mecahin rekor mulu." Cia langsung menanggapi sambil mengusap rambutnya dengan handuk yang daritadi tergantung di leher.
"Cia benar, kamu selalu bisa pecahin rekor kamu sendiri soalnya." Aku menambahkan.
Ana tertawa canggung sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. Dengan nada malu-malu, dirinya menyahut, "Eh, masa? Hehe."
Kami menghabiskan pembicaran tentang kegiatan masing-masing setelahnya. Aku dengan pelajaran Matematika yang menurut kebanyakan orang membosankan, tetapi mereka tetap mendengarkannya dengan antusias.
Sedangkan Ana selalu mengatakan hal-hal menyenangkan di kelasnya. Selain itu juga tentang klub lari yang ia ikuti. Dan Cia, selalu mengeluh karena cowok-cowok yang sering melanggar peraturan dan terpaksa ikut bakti sosial di akhir pekan.
"Ngomong-ngomong bentar lagi kita bakalan UTS, habis itu UAS. Terus, bakalan naik ke kelas 3, deh," Ana tersenyum jahil, sebuah pertanda yang biasa muncul di benakku. Pasti pertanyaan itu akan datang, "gimana, apa kalian udah mulai suka sama seseorang?"
Ini adalah pertanyaan yang selalu Ana utarakan ketika kami berkumpul. Ia terus mengingat janji itu–aku juga sama. Sementara Cia sudah kehilangan minat dengan topik tersebut sejak lama, raut wajahnya sudah jelas–datar sekali.
"Enggak ada, lagian cowok-cowok di sekolah kita itu nyebelin semua. Apalagi ada satu cowok yang benar-benar bikin aku kesal," keluh Cia merengut.
Aku dan Ana saling menatap sebentar, sepertinya pemikiran kami sama. Siapa lagi cowok yang bisa membuat seseorang kesal sampai dibawa keobrolan seperti ini? Hanya satu orang, si pemalas yang mulutnya kasar.
"Yang kamu maksud, pasti Samuel, ya?" Ana menutup mulutnya dengan telapak tangan ketika tertawa.
Cia mendengkus, tidak perlu menyahut lagi kami sudah mencapai pemahaman tersebut.
"Bikin kesal, kenapa bisa ada manusia yang kayak dia? Udah enggak bertanggung jawab, kerjanya males-malesan. Ah, aku paling benci sama orang kayak dia!"
"Hati-hati, katanya benci itu bisa-bisa jadi cinta, lho," peringat Ana sontak membuatku sedikit tersentak.
Kejadian hari itu masih jelas, di mana Samuel menyelamatkanku. Juga ditimpa oleh situasi lain saat kami hanya berada di sekolah saat hujan deras dan semuanya tiba-tiba gelap.
Detak jantungku yang sangat cepat kala itu masih bisa dirasakan. Meski menolak untuk mengakuinya, aku merasa tenang ketika dia menggenggam tanganku.
"Mana mungkin aku bakalan suka sama orang yang kayak gitu!" Cia langsung membantah, matanya sedikit melotot.
Di tengah-tengah perdebatan mereka, aku bersuara, "Sepertinya aku ... menyukai seseorang?"
Seketika mereka terdiam, tampak memberikan tatapan kaget saat melirik ke arahku. Namun, Ana langsung bereaksi dengan antusias serta memegang kedua bahuku kuat-kuat,hal itu mengejutkanku.
"Eh, seriusan? Kamu suka sama seseorang? Cowok yang kayak gimana? Siapa?"
Pertanyaan bertubi-tubi itu datang dari mulut Ana, seperti kereta yang memiliki banyak gerbong. Bahkan Cia juga tampak menajamkan telinganya. Ekspresi penasaran terlukis di parasnya, kukira dia sudah tak tertarik, haha.
Yang perlu kukatakan hanyalah nama cowok itu. Cowok yang membuat jantungku berdebar-debar, membuat dadaku sesak, dan perasaan aneh lainnya yang sama sekali tidak pernah kurasakan.
Orang yang menyebalkan, tetapi dalam beberapa kesempatan juga memiliki sisi baik. Entah sejak kapan perasaan ini tumbuh, dan malah semakin mekar karena setiap sore selama 5 hari dalam seminggu aku selalu bersamanya.
"Orang yang aku sukai itu," keraguan muncul ketika aku mau menyebutkan namanya, tapi aku mengingat janji itu–janji yang mengikat kami–sehingga aku pun melanjutkannya, "Samuel ...."
"APAAAA!!!???"
----------
Trivia: Efek jembatan gantung merupakan sebuah fenomena psikologi yang terjadi ketika seseorang melintasi jembatan gantung kemudian bertemu dengan lawan jenis. Perasaan takut seseorang saat melintasi jembatan gantung membuat jantungnya berdegup kencang yang kemudian akan berubah menjadi ketertarikan atau gairah ketika bertemu dengan lawan jenis. Hal itulah yang membuat seseorang salah mengartikan perasaan tersebut sebagai rasa cinta (anonim)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top