A;A78-Terungkapnya pelaku

Malam Jumat kita update :(( Baru bisa sekarang wkwk.

Siap buat part ini ya :"

Vote dan komennya harus banyak wkwkwk terkhusus part ini harusnya sih bisa :))

TERLALU banyak permasalahan. Terlalu banyak yang harus diselesaikan, dan tentu Arven tidak tahu caranya memperbaiki itu satu-satu. Otaknya sudah penuh, seakan ingin meledak lalu menghancurkan dirinya pelan-pelan.

Pembicaraannya bersama sang kakek yang paling mendominasi di pikirannya. Tak perlu ditanya bagaimana menganggunya itu. Apalagi ditambah penampakkan pada video di layar laptop. Membuat kepalan di tangannya terlalu kuat dan kembali menciptakan luka.

"Ternyata tebakkan lo bener," Regha bersuara usai menegak kaleng sodanya. "Dia yang neror."

"Gimana bisa lo dapet rekaman ini?"

Rekaman CCTV yang Regha dapatkan sungguh jelas. Termasuk wajah orang yang meletakkan laba-laba dan tulisan terror itu. Arven berdecih melihat orang itu yang kemudian menutupi kepala dengan tudung hoodie-nya.

"Gue baru tau kalo deket loker itu ada CCTV. Bener-bener deket loker yang jadi gampangnya kita tau dia siapa," jelas Regha, yang kemudian geleng-geleng kepala tak percaya. "Gue gak nyangka dia tersangkanya. Dia sahabat Avisha kan, kenapa selicik itu?"

Senyum sinis itu terangkat di wajah Arven. Membuat rautnya berkali-kali lebih menyeramkan. "Terlalu banyak orang bermuka dua dunia ini kan? Lo pinter-pinter aja buat gak jadi korban."

"Gimana kalo Avisha tau?" Itu yang Arven takutkan. Sebenarnya mudah saja Arven untuk membongkarnya, tapi dia masih memikirkan kondisi lemah cewek itu sekarang. "Pasti dia ngerasa dikhianatin."

"Bangkai kalo disimpen lama juga bakal kecium baunya, Avisha pasti bakal tau nanti," lalu dia menegak kaleng sodanya. "Tapi buat sekarang, gue bakal yang ngatasin itu."

"Gue dukung lo," Regha menepuk-nepuk bahunya. Ketika Arven menatap lelaki berlesung pipi itu, dia tersenyum. "Gue yakin Avisha bakal balik ke tangan lo."

Ingin sekali Arven tertawa karena kalimat itu. Kembali ke tangannya? "Gue ragu soal itu," Penjelasan kakeknya masih terngiang di kepala. "Kayaknya, Avisha gak akan pernah bisa jadi milik gue. Sampai kapan pun."

•••

Alunan gesekkan biola terdengar antara keheningan. Begitu merdu. Dan seperti biasa menenggelamkan siapapun yang mendengar. Termasuk yang membawanya, ikut terjerumus alunan yang dia mainkan sendiri. Saat gesekkan terakhir, dan dia membuka matanya, tepuk tangan dari Bu Feni, guru lesnya langsung menggema di telinga.

Avisha tersenyum karena itu.

"Ibu yakin kamu akan juara besok."

Dan senyumnya makin lebar mendengar pujian.

"Hm, Visha takut sebenarnya, Bu." Memori di kepalanya masih terlalu membekas. Bagaimana lampu yang mendadak padam. Aroma bius yang menyengat. Gudang kosong, berdebu dengan banyak laba-laba yang dia takuti. Avisha masih takut akan itu semua. "Tapi, kalo gak dilawan, Visha akan takut terus kan?"

Senyum guru lesnya menenangkan. Apalagi saat dia mengusap kepalanya lembut. "Ibu selalu bangga sama kamu. Visha emang anak yang terbaik."

"Bu Feni ..." Ada yang ingin dia bicarakan dan ketahui, tapi ragu dan takut untuk menanyakannya. "Visha boleh nanya?"

"Kenapa? Kamu bisa tanyakan apapun pada ibu."

"Ibu inget gak saat kak Arven datang ke sini setelah kata ibu cukup lama gak ke sini?" Bu Feni mengernyit yang kemudian, mengiyakan. "Itu ... itu kak Arven ngapain ke sini?"

"Bukannya ibu pernah mengatakannya?" Avisha jadi mengernyit lalu menggeleng.

"Mungkin, atau Visha yang lupa."

Feni jadi tertawa kecil. "Ibu jelaskan ya, Arven datang untuk mengambil rekaman permainan biola adiknya." Ah! Apa Avisha pernah mendengarnya. Dia ragu. "Adiknya yang menciptakan nada musikal itu sendiri. Rekamannya sudah Arven ambil dan videonya ... masih ada di ibu. Kamu mau lihat?"

Tanpa pikir panjang, Avisha mengiyakan. Dia langsung duduk di kursi, dengan Ibu Feni yang membuka filenya di laptop. Saat layar sudah menayangkan video lama itu. Avisha tanpa sadar speechlees sendiri.

Melodi biolanya juga menghanyutkan, ditambah bagaimana wajah kecil itu yang memejam seolah mengingatkan Avisha pada saat dirinya bercermin. Tidak sepenuhnya mirip, tapi Avisha merasa aura perempuan itu ada juga padanya.

"Kalian sangat mirip. Bukan seperti kembar seiras," Bu Feni ikut membungkuk menonton video yang mulai agak rusak itu karena sudah terlalu lama. "Tapi, ibu merasa seperti ada ikatan antara kalian."

•••

Avisha pulang tidak terlalu sore, karena juga untuk mempersiapkan dirinya besok. Mengingat besok, astaga sejak pagi sebenarnya dia tak dapat menghalau rasa gugupnya. Ditambah ingatan-ingatan lekang yang menusuk. Menjadikan daftar kegugupannya bertambah lebih banyak.

Lalu juga pada video tadi ... ah tidak-tidak! Kalau mengingatnya, Avisha jadi teringat Arven yang cuma mengganggap dirinya sebagai pengganti adik tersayangnya itu.

Belum juga mobilnya memasuki gerbang, dari kejauhan Avisha mengernyit melihat Andien yang tampak menunggu sesuatu. Meski samar, dia sangat tahu kalau itu kakak perempuan sahabatnya, dan jangan lupakan dia adalah mantanArven.

Avisha terpaksa turun di luar pintu gerbang dan menghampiri cewek berpakaian mini itu. Cantik. Tentu saja Andien selalu cantik.

"Kak Didi ngapain di sini?" Dia jadi terpaksa mendongak, mengingat Andien yang cukup tinggi.

"Gue mau ngobrol-ngobrol aja ama lo," cewek itu tersenyum, beda dengan Avisha yang bingung. "Boleh kan?"

"Mm ... boleh." Walau ragu, Avisha mengajak Andien ke teras belakang. Dia menyuruh Mbak Tia membawakan minuman dan beberapa camilan.

Di kursi kayu dengan pemandangan taman belakang rumahnya, Avisha menunggu yang ingin Andien obrolkan. Beberapa kelinci yang dia lepaskan saat sore, banyak melompat mendekati Avisha.

"Kabar lo gimana?"

Haruskah Andien menanyakan itu.

"Baik kok, kak." Kelinci yang di kakinya, Avisha angkat dan gendong di rangkulan tangannya. "Kak Andien?"

"Gue gak baik," jawab cewek itu terlalu jujur. "Sejak ... ya lo putus sama Arven?"

"Kenapa emangnya?" Avisha mencoba biasa dengan mengelus bulu-bulu kelincinya. Walau dia jelas kebingungan. "Bukannya harusnya kak Didi seneng?"

"Seneng yang gimana dulu maksud lo," Andien harus menghentikan omongan saat pembantunya mengantarkan minuman dan camilan. "Keliatannya gue emang jahat sih karena datang tiba-tiba di kehidupan Arven lagi setelah semuanya yang terjadi dulu. Tapi, gue jujur gue seneng ..." Dia menoleh. "Lo sama Arven."

"..."

"Yang buat gue gak seneng," Andien mengambil cangkir minumnya. "Gue gak pernah dapet perhatian Arven disaat Arven bisa ngasih perhatian ke lo."

Entah apa yang harus Avisha katakan. Kalimat Andien jadi mengingatkan Avisha pada perkataan Askar kalau Andien tak sepenuhnya dianggap pacar oleh Arven.

"Lo tau kan dari Askar, kalo gue sama Arven pacaran terpaksa," cerita cewek itu sangat santai. "Arven sama sekali gak punya perasaan ke gue, sementara gue ... udah jelas kalo beneran sayang dia."

Ada jeda, Andien tampak menegak isi cangkirnya.

"Orang-orang bilang kita pasangan sempurna, tapi sekali aja, sekali ... mereka harusnya tau perasaan gue. Gue keliatan ngenes banget dulu, gimana gue yang selalu berusaha biar kita keliatan kayak orang pacaran beneran. Kita jalan aja bisa dihitung kok, kita nonton, kita movie time bareng. Pokoknya waktu kita selalu bareng itu cuma di sekolah dan jam istirahat."

Avisha terdiam, bagaimana perlahan wajah santai Andien terlihat keruh di matanya.

"Gue gak suka liat perhatian Arven ke adiknya," gumam Andien tampak menerawang. "Tapi gue lebih gak suka sama diri gue sendiri. Kenapa gue mau jadi pacar Arven, padahal gue tau itu cuma bohongan."

Kelinci di tangannya melompat dari pangkuan, yang Avisha biarkan. "Buat apa kak Didi ceritain ini ke Visha?"

"Kayak lo, Sha, gue cemburu awalnya," Andien menoleh kali ini. "Menurut gue kasih sayang Arven ke adiknya berlebihan, bahkan dia rela jadian sama gue cuma karena ngehindarin adeknya. Tapi, seiring waktu, gue sadar, Sha kenapa Arven sesayang itu sama adiknya." Avisha memilih menatap sekitar, menghindari apapun yang ingin Andien katakan.

Karena, jauh di lubuk hatinya, Avisha tahu alasannya.

"Dia cuma punya Ashilla. Keluarganya cuma dia," Avisha tak mau mendengar apapun. "Arven pasti udah cerita kan? Gimana dia yang diasingin keluarga sendiri, gimana dia yang harus kerja keras supaya keluar dari sangkar mengerikan kakeknya, gimana dia yang tersiksa setiap hari karena tekanan kakeknya dan juga hinaan dari orang-orang."

Andien terpaksa menghentikan perkataan saat Avisha berdiri.

"Kalo emang itu yang mau kak Didi omongin, kayaknya obrolannya sampai sini aja kak." Kemudian, dia berdiri dan berbalik badan hendak pergi, jika saja Andien tak kembali berbicara yang menahan kakinya di pijakan.

"Dia sayang lo, Sha. Dia bener-bener sayang lo, gue males bilang ini, tapi jujur, Arven gak pernah kayak gitu sama cewek mana pun," Dengan begitu kerasnya, Avisha menahan emosi yang meledak dengan menggenggam erat rok putihnya. "Lo bukan siapa-siapanya, tapi sebegitu perhatiannya dia sama lo. Segitu pedulinya dia sama lo. Semua yang dia lakuin, karena emang lo beda buat dia."

Satu tetes air mata jatuh dan Avisha sangat membenci itu.

"Bahkan, kayaknya Arven gak segitunya sama adiknya." Lalu terdengar nada memohon Andien. Nada yang melemahkan jiwa dan hatinya begitu saja. "Tolong, Sha. Gue minta sama lo. Buat Arven sekali aja bahagia, sekali aja. Walaupun gue gak suka ini, tapi gue tau, cuma lo yang bisa lakuin itu."

•••

"Iya, ini saya baru mau ke kontes biola Avisha, Om bisa langsung dateng ke alamat yang saya kirim kemarin. Iya, moga sukes, Om."

"Jadi ini kerjaan lo ya."

Orang yang berdiri di depannya dengan masih menggenggam ponsel di telinga begitu terkejut mendengar suaranya. Tubuh itu membeku dengan perlahan menurunkan tangan gemetaran.

"Permainan lo kurang pinter," ucap Arven pada orang yang bersembunyi di hoodienya itu. "Harusnya lo rusakkin dulu CCTVnya dan juga sistemnya. Permainan lo gak bakal kebongkar."

"Mau apa lo?!"

Mendengar nada suara yang diubah sedemikian rupa membuat Arven tertawa setengah hati. "Mending lo balik badan, supaya gue bisa liat lo."

"Gue ulang sekali lagi, mau lo apa?!"

"Suara lo aneh kalo digituin," sindir Arven dingin. "Lagian harusnya lo gak perlu sembunyi lagi karena gue udah tau lo siapa!"

Beruntung, waktu pulang sekolah cukup sepi di arena belakang taman. Cuma ada pepohonan, angin yang cukup kencang, kursi kosong dan ... ah tentu saja mereka berdua. Setidaknya usaha Arven datang cepat-cepat ke sekolah dengan motor—yang sudah lama dia tak gunakan—tak sia-sia karena semudah itu menemukan orang incarannya.

Orang berhoodie sejenak diam seperti berpikir lalu berbalik pelan dengan kepala menunduk. Arven cuma menunggu dengan tangan tenggelam di saku. Lalu saat dia mulai membuka tudung hoodie beserta mendongak dengan mata menusuk, sudut bibir Arven refleks terangkat sinis.

"Hai ..." Ada jeda lama. "Ilona."

"Bagus deh kalo kak Arven sekarang udah tau," Perempuan itu bahkan tak menyembunyikan wajah busuknya sekarang. Tersenyum licik. "Seenggaknya, gue gak perlu sembunyi-sembunyi lagi kan buat neror cewek lo ... ah iya, bukan. Tapi, mantan lo."

"Gue masih tenang," ucap Arven biasa. Datar dan tak terbaca. "Jadi, mending lo kasih tau gue kenapa lo lakuin ini ke sahabat lo sendiri?"

"Sahabat?" Ilona tertawa sinis. "Itu bukan urusan lo, kak!"

"Gue masih tenang," ucap Arven lagi, maju selangkah mengintimidasi. Ilona sontak mundur, yang langsung Arven cengkal tangannya. Cukup kuat untuk meninggalkan bekas di tangan putih cewek itu. "Jadi kasih tau gue sekarang atau lo bakal gue buat ngemis-ngemis darah supaya minta gue berhenti ngasih lo penderitaan?!"

"Lepas, kak!" Ilona berusaha melepaskan tangannya, yang justru pegangan itu menguat dan makin menyakitinya. "Avisha bahkan gak butuh bantuan lo!"

"Avisha pacar gue, dan selamanya bakal gitu kan," Di sini Arven memang harus berbohong pada siapapun. "Jadi, apapun urusan Avisha itu urusan gue. Ngerti lo?!"

Ilona kembali tertawa. Kali ini lebih keras. "Apa yang sebenernya lo pikirin sih kak? Kenapa otak pinter lo gak berguna buat suka sama orang?" Lebih dari menyakiti, perkataan itu membuat Arven memikirkan bagaimana perasaan Avisha mendengar kata jahat itu dari sahabatnya sendiri. "Dia itu perusak kak! Wajah polosnya itu bikin jijik, dia masang muka itu cuma buat narik perhatian orang. Termasuk lo ..."

"LO!" Tangan Arven langsung bergerak ke leher Ilona. Jika saja dia tidak berhadapan dengan perempuan, tangannya sudah akan mematahkan tulang lehernya itu. "Mulut lo ternyata gak secantik wajah lo ya?"

"Gue gak bakal kayak gini kalo aja Avisha gak ngambil lo, kak."

Seperti hantaman besar, Arven tak dapat menahan rasa terkejutnya.

"Avisha sahabat gue, iya. Gue akuin iya! Tapi itu saat SMP, dan gak buat sekarang!" Cengkraman Arven di lehernya, mengendur, refleks Ilona menjauh selangkah. "Lo tau, alasan gue sekolah di sini? LO TAU? ITU KARENA LO, KAK!" Dia membungkuk dengan tawa kerasnya. "Lo inget gadis yang lo tolongin saat mau nabrakkin diri ke jalan?"

Arven mengernyit, antara tak percaya dan berusaha mengingat. Dan butuh waktu tak lama untuk dia mengingatnya. Meski, samar dia jelas mengingatnya.

"Itu gue, gue yang udah capek jadi bahan perbandingan. Gue capek dibandingin sama Kak Andien yang cantik, yang jadi sorotan, yang dipuja-puja," Air mata itu menetes di wajah Ilona. "Sedangkan gue apa, gue bukan siapa-siapa. Lo nolongin gue kak saat gue udah mau bunuh diri! Dan karena lo gue mikir kalo di dunia yang kejam ini masih ada yang peduli sama gue!"

"Ilona ..."

"Itu pertemuan pertama yang buat gue langsung suka sama lo," Ada jeda di sana, bersama Ilona yang makin meneteskan air matanya. "Tapi kenyataan mukul gue, lo ternyata pacarnya kak Andien. Lo pacar orang yang paling gue benci! Gue pikir setelah lo putus dan gue milih sekolah yang sama kayak lo, lo bakal inget gue dan gue bisa deketin lo kak. Tapi ... lagi dan lagi," Dia mendengkus. Menertawai dirinya. "Lo malah jadian sama sahabat gue! Menyedihkan bukan?"

Pada semua fakta yang dia dengar, otaknya butuh memproses. Tapi Arven bisa menyimpulkan satu hal, "Obsesi buat lo gila, Na. Mending lo lupain itu dan hidup damai. Bukannya hidup lo udah cukup dengan sahabat yang sayang sama lo?"

Senyum sinis di wajah Ilona adalah hal yang sangat tidak cocok. Lebih lagi selama ini, Arven cukup mengenalnya bagaimana sikap dia bersama Avisha. Oke dengan sangat malas Arven akui aktingnya memang luar biasa menipu siapapun.

"Gue bakal lupain asal lo jadi milik gue. Gimana?"

"Lo gak mikir gimana perasaan-perasaan sahabat lo kalo tau soal ini?" Arven maju selangkah. "Apalagi Avisha?"

Sepertinya cewek itu masih punya otak dengan terdiam alih-alih makin gila dengan terus melawan. Saat itulah, Arven pergunakan untuk mengambil ponsel di tangannya. Sontak dia terkejut dan memasang muka waspada.

"Jadi, siapa yang nelpon lo?"

"Urusan lo cuma sampe situ!" Dengan tingginya yang cukup, Ilona menjangkau ponselnya, yang sengaja Arven simpan di saku celana. "Siniin hp gue, kak!"

"Siapa?"

"Kenapa gak lo tebak sendiri?" tanya Ilona dengan menantang. "Orang yang paling benci sama lo, harusnya ketebak kan?"

Terkadang Arven benci dengan otaknya yang begitu cepat menyimpulkan. Karena pada hal itu, dia jadi tersesat sendiri dan hatinya menolak percaya.

"Urusan kita belom selesai," Ponsel di saku celananya, Arven lempar ke tanah rerumputan sebelum menginjaknya di bawah tatapan terkejut Ilona. "Mungkin kita bakal ketemu lagi ... di kantor polisi."

Setelahnya dengan langkah panjangnya Arven meninggalkan area taman. Tanpa peduli lagi pada Ilona di sana, dia mengambil ponselnya. Roomchat semalam bahkan masih terpampang di layar sama sekali belum dia keluarkan.

Cuma itu dan sepanjang malam, Arven tak dapat menghalau rasa senangnya. Bodoh! Nyatanya memang dia sudah sejatuh ini.

Sepertinya memang Regha cukup tanggap jika Arven akan menelponnya. Sahabatnya itu sudah lebih dulu mengirimkan pesan.

Ah shit!

Arven langsung bergegas ke area parkir. Mengambil motornya. Memakai helm. Lalu langsung mengegas keluar lingkungan sekolah. Rasa kalut yang menggerayang lebih kuat untuk mengendalikan dirinya. Hingga dia sama sekali tak bisa berpikir jernih. Motornya bergerak di atas kecepatan rata-rata.

Apalagi pikiran buruk di kepala itu tak membantunya sedikit pun.

Sampai Arven melirik spion dan merasa diikuti mobil belakangnya. Dia sengaja menaikkan kecepatan motornya, dan cukup untuk menjauh dari mobil itu. Tapi, harusnya otaknya sedikit berguna saat ini. Tidak mungkin orang ingin menjebak bertindak bodoh dengan mengandalkan satu mobil.

Ketika melihat mobil depan berhenti tepat tidak jauh darinya. Arven terpaksa mengerem mendadak. Motornya tentu hilang keseimbangan. Bergesekan miring di jalan dengan Arven yang berada di atasnya ikut terseret.

Kemudian dia terlempar tidak jauh dengan luka di lengannya karena gesekkan barusan. Apalagi helmnya terlepas. Dia tergeletak di tengah jalan bersama jaket dan celana kotor yang sobek lalu beberapa banyak luka di kening serta tubuhnya.

Dia meringis kesakitan memegang lengannya saat samar-samar seorang berjas rapi keluar mobil bersama beberapa orang. Pandangan Arven menyipit karena sinar matahari sebelum syok sendiri saat menyadari siapa orang itu.

"Hai, nak!" Pria itu dengan beberapa penjaganya mengerubungi Arven dengan pakaian serba hitam. Dan pada mobilnya, Arven merasa de javu karena teringat kecelakaan yang menimpa pada orang tuanya.

"Harusnya gue tau seberapa busuknya lo!"

Pria itu dengan sengaja menginjak perutnya. Arven makin merintih di sana. "Kamu memang tidak bisa hormat ke om-mu sendiri ya Arven?"

Yang setelahnya, Arven dengan sangat jelas melihat senyum liciknya.

•••

Ketauan kan akhirnya skrang :(((

Ilona pelakunya, ada yg mau disampein mungkin? Ke siapa aja Ilona Ama pamannya Arven juga boleh :(((

Ilona kamu cantik tapi kenapa :(((

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top