A;A77-Fakta Menyakitkan
Seperti biasa vote Ama komennya dulu kawan2 :)))
Yang banyaaak yess kayak part sebelum2nya wkwk :(( biar Mangat gitu
Siap Ama part ini ya, ada kejutan menanti :((
•
KEMARIN ketika bangun, Avisha sangat berharap akan terbangun di pelukan terakhir yg dia dapatkan sebelum kehilangan sadar. Kemudian, kesadaran menamparnya telak saat menyadari kalau dirinya berada di ruang serba putih dan tercium aroma obat bercampur antiseptik yang begitu menyengat.
Bukan itu saja, Avisha juga menemukan keberadaan orang tua dan juga para sahabat di sisinya. Rasa hampa itu makin jelas menusuknya karena lelaki yang dia harapkan ternyata tidak berada di sini.
Papa-mamanya tampak begitu khawatir. Termasuk Darlan yang langsung mengomelinya, yang dibungkam langsung oleh Devin dengan menyuruhnya diam.
Dokter datang memeriksa. Mengatakan sesuatu pada keluarganya. Sementara kedua sahabatnya mendekat lalu menanyakan keadaannya. Ilona berulang kali meminta maaf, Avisha menggeleng, mengatakan kalau sebenarnya memang tidak ada pihak yang salah, ini cuma ketidaksengajaan saja.
Dan juga kecerobohannya, harusnya Avisha lebih hati2 untuk urusan seperti ini.
Ketika ruangan kosong dan menyisakan dirinya bersama sang papa, Avisha merasa sangat bersalah melihat langsung kekhawatiran yang tampak jelas di wajah papanya.
"Anak nakal," Devin mencubit pelan pipi bulatnya. "Kenapa kamu seceroboh ini. Kamu tau, alergi kamu itu bisa berakibat fatal."
Avisha cuma menunduk. Persis menjadi kebiasaannya jika diomeli. "Maaf, Pa. Visha gak tau."
"Kamu tau kan seberapa takutnya Papa kehilangan kamu," Avisha jadi terpaksa mendongak bukan karena usapan lembut pada rambut dan juga pipinya, tapi karena untuk kesekian kalinya, dia mendengar kata2 itu.
Dulu, Avisha hampir kehilangan nyawanya karena kecerobohannya juga, dia ingin seperti anak lain yang bisa merasakan bagaimana rasa stoberi itu, hingga dia memaksakan diri untuk memakan semangkuk buah merah itu—tanpa peduli pada alerginya.
Bahkan, sudah keseringan Avisha membuat daftar kekhawatiran papanya.
Mulai dari penculikan. Lalu Avisha yang mengikuti seorang badut dan hampir hilang. Terluka saat belajar sepeda, berkali-kali. Lalu juga yang akhir2 ini terjadi, saat kecelakaan yang berakibat pada kakinya dan ini ... masalah es krim.
"Putri Papa cuma Visha, jadi Papa mohon sama Visha buat gak keseringan bikin papa khawatir kayak gini," Devin tersenyum, masih mengelus rambutnya. "Ya nak?"
Kemarin malam Avisha cuma bisa menganggukan kepala. Dia juga sangat berharap jika ini adalah kejadian terakhir yang membuat papanya khawatir.
Saat Devin pergi Velin yang menemaninya sepanjang hari. "Visha jadi keseringan sakit akhir-akhir ini." Velin memberikan apel yang sudah dia kupaskan ke padanya. "Ada yang mau Visha ceritain ke mama mungkin?"
"Gak ada," Avisha memilih berbohong sambil memakan apel di tangannya. "Mungkin karena cuacanya juga, Visha jadi keseringan sakit."
"Kalo Arven?" Cuma itu dan tubuh Avisha jadi kaku karenanya. "Visha jarang cerita-cerita tentang Arven sekarang. Kenapa?"
"Lagi gak ada yang mau diceritain aja," jawabnya mencoba biasa.
"Tadi ya, Arven keliatan takut banget liat kamu kayak gini."
"Apa?"
Velin tertawa pelan dengan kembali menyerahkan potongan apel. "Kamu tau kalo Arven yang bawa kamu ke sini kan?" Jujur saja, jauh di lubuk hati Avisha langsung ingin meneriakkan 'Iya!', tapi pikirannya langsung menepis itu, mungkin saja Arven cuma menggendongnya sampai mobil Ilona.
"Dia yang bawa kamu ke sini, khawatir banget," Avisha sangat berharap melihat langsung bagaimana wajah lelaki itu. "Dia juga yang nungguin kamu saat papa dan mama ngurus administrasi."
Karena ucapan semalam sang mama, Avisha sangat berharap di sisa waktunya di rumah sakit Arven datang untuk menjenguknya. Tidak apa-apa jika cowok itu tak mau berlama-lama, Avisha juga cuma ingin melihat wajahnya sebentar.
Namun, harapannya pupus begitu saja saat membuka mata di pagi hari. Impian dalam tidurnya lenyap kala menyadari bukan Arven yang ada di sisi kursi samping bankar tidurnya, melainkan Nata yang tampak terkejut sesaat melihatnya yang membuka mata.
"Hai," sapa cowok sipit itu kaku. Melambaikan tangan dua kali di depan wajahnya.
Avisha sontak ingin beringsut bangun, yang sigapnya langsung Nata bantu.
"Butuh sesuatu?" tawarnya.
"Nata ... udah lama di sini?" suara khas bangun tidur itu terdengar di antara keheningan ruangan. Bukan menjawab tawaran Nata, Avisha justru mempertanyakan keberadaan cowok itu. Sejak mengungkapkan isi hatinya, sepertinya ada jarak kasat mata yang terbangun antara mereka.
"Baru sih," Dia tersenyum sambil mengusap tengkuknya. Tampak canggung. "Lo gak masalah kan?"
"Masalah kenapa?"
"Jangan anggep gue asing ya," Avisha tak perlu berpikir lama untuk mengerti maksud itu. "Gue tetep sahabat lo. Dan selamanya bakal tetap kayak gitu."
Avisha tanpa sadar jadi menunduk dan memainkan kuku. Sama halnya seperti Nata, Avisha tak bisa berbohong kalau merasa sedikit aneh berada di dekatnya setelah kalimat pengakuan bodoh itu. Mungkin egois kedengarannya kalau Avisha sengaja menjauh dan membuang muka seakan lupa.
Beruntungnya, rasa sayang sebagai sahabat itu melebihi apapun. Avisha tak bisa semudah itu tak menganggap Nata dan menjauhinya atau melupakannya. Kalau Avisha sudah mengikrarkan kata 'sahabat' selamanya Avisha akan menganggapnya begitu.
"Nata tetep temen Visha kok." Dia kembali mendongak dengan senyuman, menunjukkan gigi kelincinya.
Nata juga ikut tersenyum membuat matanya jadi segaris. "Aneh tau, gue kayak canggung gini sama lo." Kemudian dia tertawa kecil. "Biasanya kan selalu rusuh."
"Mata Nata makin sipit." Avisha malah tidak nyambung dengan menunjuk mata itu dengan telunjuknya.
"Masa sih?"
Avisha mengangguk lalu dengan wajah polosnya dia mengatakan ini, "Kan Nata pernah bilang, mata Nata tuh bakal mengecil kalo jauh-jauh dari Visha."
Sekejap itu, suasana di antara mereka pecah dan Nata bisa tertawa lepas kali ini. "Terus juga hidung lo bakal makin mancung ke dalem kalo gak mimpiin gue tiap malem."
Avisha ikut tertawa di sana. "Visha sampe lupa sama itu." Yang setelahnya memegang hidungnya sendiri. "Tapi, gak sih, hidung Visha mancungan kok. Udah gak malu-malu lagi."
Karena gemas, Nata jadi menarik pipi Avisha pelan. Yang sama sekali tidak menganggu Avisha. Dia justru makin tertawa. Begitu tampak senang.
Pemandangan itu yang membuat seorang yang hendak mendorong pintunya, jadi kembali menutupnya.
"Lah kenapa gak jadi masuk?" Cowok berambut acak-acakkan yang berdiri di belakangnya jadi mengangkat kedua alis heran.
"Nanti ajalah, gue mau makan dulu."
"Cemen amat lo!" Cowok yang memakai kaos biru itu bahkan tak menciut saat mendapati tatapan tajam dari lawan bicaranya. "Masuklah. Laki kan lo. Lagian ya, sejak kapan seorang Arvendino Gazkel jadi lembek kayak tahu gitu?"
"Yon ..."
"Jelasin!" Zion yang tampak santai dengan melipat kedua tangan di dadanya. "Jelasin semuanya."
Arven tampak makin kaku dengan gaya memasukkan kedua tangan di saku jaket jeansnya. "Bisa banyak omong ya lo sekarang."
"Plis, lo harus dengerin dari orang yang berpengalaman soal cinta kayak gue."
"Oh iya?" Nada Arven terdengar meledek. "Lo mau ajarin gue gimana lo nangis-nangis pas Lian jadian sama Linzy?"
"Gue gak nangis!" Zion memelotot tak terima.
"Lo nangis dan alkohol jadi pelarian lo!"
"Lo mau?" tawar Zion dengan ide gilanya. "Gue temenin sampai lo drunk abis."
"Stress lo!" Setelahnya, dia berjalan santai meninggalkan Zion yang jadi melongo.
"Woy mau kemana?!"
"Cari makan."
"Tungguinlah, nying!"
•••
"Visha perlu sesuatu?"
Avisha menggeleng pada tawaran mamanya. Di atas kursi roda, dia menunggu sang mama yang tampak membeli sesuatu di kantin rumah sakit.
"Mau roti?"
Lagi dan lagi, dia menggeleng. "Visha cuma mau cepet pulang."
Velin tersenyum dan mengusap kepalanya. "Bentar ya sayang."
Avisha menghela napas lelah. Sedikit membosankan melihat lalu lalang orang-orang di depannya. Apalagi pikirannya yang tak berhenti memikirkan Arven. Cowok itu benar-benar tak datang menjenguknya.
Menyebalkan sekali!
Sebentar, ini yang dia mau kan. Harusnya dia senang dan berhenti untuk memikirkan. Iya! Harusnya begitu!
"Ayo!" Mamanya datang dengan paperbag di tangannya lalu mendorong kursi rodanya keluar kantin menuju mobilnya terparkir. Di samping mobilnya, sudah ada sang papa yang selesai memasukan barang-barang yang dibawanya ke dalam bagasi mobil.
"Gak ada yang ketinggalan kan?"
"Gak ada, sayang." Velin yang menjawab setelah menaruh paperbag di kursi belakang.
"Ya udah ayo!" Saat Devin hendak membopongnya masuk ke dalam mobil, ada suara yang menghentikan. Suara yang membekukkan Avisha sepenuhnya.
"Saya aja, Om."
Avisha menoleh dengan wajah kaku dan pendengarannya sama sekali tak salah menebak jika itu adalah Arven yang datang. Berpakaian santai dengan kaos abu-abu dan celana army selututnya.
"Kamu telat lima belas menit." Itu suara dingin Devin setelah melirik jam di pergelangan tangannya.
"Seenggaknya saya datang, Om," balas Arven lebih dingin. Lalu bergerak mendekati Avisha. Dari gerakannya, Avisha tahu cowok itu hendak mengangkatnya, yang refleks dia menahannya.
"Visha bisa sendiri kok."
Perkataan itu membuat kedua orang tuanya menatap keheranan.
"Tapi, gue gak bisa biarin lo sendiri." Arven memang cukup keras kepala dengan sengaja langsung mengangkatnya dan tak menghiraukan penolakannya sama sekali. Avisha terkejut, yang tentu saja tak dapat menghalau jantungnya yang langsung antusias cuma dengan kedekatan dan aroma familiar ini.
Mobil langsung melesat meninggalkan rumah sakit usai Arven berhasil menaruhnya di kursi belakang bersama cowok itu juga. Sementara Papa dan mamanya duduk di kursi depan.
"Senang bukan kamu Visha?" Avisha langsung melirik pada kaca depan. Sang Papa tak meliriknya dan cuma fokus pada kemudi. "Papa yang sengaja nyuruh Arven ke sini."
Ah! Dia sudah sangat menebaknya.
"Harusnya Papa gak usah ngerepotin kak Arven lagi." Avisha membuang muka, menatap luar jendela. Jalanan yang cukup padat tampak lebih menarik buatnya. "Kaki Visha udah sembuh total, kak Arven udah gak ada urusan apa-apa."
"Kalo kamu memang tidak memerlukan Arven lagi," Devin tampak meliriknya dari kaca depan. "Papa bisa menurunkan dia di sini."
"Enggak!" serunya langsung dan menoleh. Mendapati Arven yang menaikkan alis di wajah datar itu seakan menantang. Sementara kedua orang tuanya tertawa. Terutama sang papa yang tampak senang.
"Kalo itu mau Visha, Papa gak bisa berbuat apa-apa," nada suara papanya seakan meledeknya. "Itu sama aja Visha ngakuin butuh Arven kan?"
Avisha mendengkus. Merasa dirinya tengah dipermainkan. Dia langsung membuang muka kesal. Apa-apaan itu! Yang menyebalkannya adalah kalau hatinya memang membenarkan.
Sial!
"Kabar Diana bagaimana Arven?"
Topik ini ... Avisha jadi sedikit melirik Arven yang tampak tenang menjawab, "Baik, Tante kayaknya."
"Kenapa kamu ragu?"
"Saya jarang ketemu Tante Diana."
"Saya ketemu kakek kamu kemarin," Devin ikut menimbrung setelah menghentikan mobilnya di lampu merah. "Kakek kamu minta maaf untuk masa lalu yang mengerikan itu dan saya juga minta maaf karena telah menuduh Kakek kamu."
"Menuduh?" Avisha jadi refleks bertanya.
"Menuduh menjadi dalang penculikan Avisha sepuluh tahun lalu ..."
"Arven." Velin telat jika ingin menghentikan pembicaraan ini. Karena Avisha sudah lebih dulu menegang dan memori sepuluh tahun itu langsung tersetel otomatis di kepalanya.
"Saya awalnya juga mikir begitu karena Om pernah ngehancurin bisnis kakek saya."
"Iya, dan sungguh ironis kalau memang benar kakekmu melakukan hal licik seperti itu."
"Kalian bisa berhenti!" Velin sudah sangat khawatir melihat Avisha yang pucat dengan pandangan kosong.
"Jujur, saya juga membenci kakek saya," Kemudian Avisha bisa merasakan sentuhan hangat di tangannya sebelum digenggam dengan erat. Dia jadi menoleh dan mendapati, Arven yang menatapnya dalam. "Tapi, saat penculikan Avisha, kakek ada di kontes biola adik saya. Jadi, itu tidak mungkin kan kalo kakek saya dalangnya."
"Kamu cukup pintar, nak," Devin menoleh dengan senyum sebelum kembali melajukan mobilnya di jalanan. "Ve, sudah seharusnya Avisha tahu soal itu." Velin begitu tegang dan takut, walau sedikit tenang saat Devin mengusap bahunya. "Lagi pula, aku sangat tahu kalo Visha sangat kuat soal itu."
Meski takut dan merasa terhempas ke waktu itu, Avisha merasa sekelilingnya membawa aura menguatkan. Belum lagi, genggaman dan tatapan yang begitu tampak memujanya.
Ah tidak! Avisha langsung ingin menarik tangannya, walau sia-sia karena kekuatan Arven yang begitu besar menggenggamnya.
"Kamu tau Arven, apa kata-kata terakhir kakek kamu sebelum meninggalkan ruangan saya kemarin," Avisha cuma ingin tahu apa yang cowok itu pikirkan di balik wajah datarnya. "Dia bilang, 'tolong jangan benci cucu saya karena saya, karena dia sudah cukup menderita'."
Dan pada genggaman yang makin menguat, Avisha tahu jika wajah datar itu cuma untuk menutupi keadaannya yang tak baik-baik saja.
•••
Sama sekali Avisha tak berpikir jika dia akan terjebak dalam keadaan canggung tak mengenakan seperti ini. Tak masalah kalau dia tidak sendirian yang merasakan, tapi ini yang menyebalkan adalah Arven tampak begitu santai menikmati brownis buatan mamanya.
Hebat!
Bagaimana mungkin cowok itu bisa biasa saja di samping mantan pacarnya!
Avisha berdeham membuat cowok itu jadi meliriknya. "Lo gak makan?"
"Kak Arven gak pulang?" sindirnya.
Arven kembali mengambil potongan browniesnya santai. "Nanti aja. Gue belom kenyang."
"Ya, kalo gitu bawa aja browniesnya." Avisha mendorong piring itu ke arah Arven. "Kak Arven bisa pulang sekarang!"
"Gue belom kenyang ngeliatin lo."
Cuma Arven yang berkata datar tapi berhasil membuat pipinya merasa panas.
"Visha serius!" Dia memelotot.
"Gue tau lo serius, liat aja pipi lo jadi merah."
Sontak saja buat menutupinya, Avisha tertawa garing, kemudian membuang muka malu sendiri. Suasana itu tak lama pecah oleh suara getar ponsel Arven di meja. Avisha refleks melirik Arven yang langsung mengangkatnya.
Karena jarak yang cukup dekat, Avisha cukup melongokkan kepala untuk melihat pesannya. Walau samar, dia bisa membaca kalau pesan itu dari Andien.
"Kalo pengen tau bilang aja, gue bakal nunjukkin."
Avisha langsung membeku di tempatnya. Apalagi saat Arven menoleh dengan senyum kecilnya. Jangan tanya bagaimana wajahnya yang memerah total.
Menyebalkan!
•••
Jam bermerek Victorinox Swiss Army di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Dan yang seharusnya Arven lakukan adalah mengendarakan mobilnya dengan cepat, mengingat jamuan makan malam kakeknya sudah dimulai sejak setengah jam lalu.
Tapi, dengan sengaja Arven melambatkan lajunya. Begitu santai dengan mendengarkan lagu musikal dari tape mobil.
Sampai akhirnya dia tak tahan untuk tidak menarik napas panjang saat akhirnya mobilnya harus melewati gerbang mewah itu lalu memarkirkannya di bagasi bersama mobil-mobil yang terparkir di sana.
Dia menaiki tangga menuju pintu utama. Masuk ke dalam dan disambut pemandangan yang sudah sangat familiar di matanya. Tiba di ruang makan, dia dapat melihat kakeknya yang langsung berdiri seakan menyambutnya. Diana yang tersenyum. Askar yang meliriknya malas. Dan jangan lupakan, mata Dafa yang menyorotnya penuh kebencian.
Kalau bukan ingin memperbaiki keadaan dan masa lalu, Arven mungkin tidak akan segan menolak perintah kakeknya untuk datang lewat telepon beberapa jam lalu.
"Jadi, Papa masih mengharapkan cucu yang emosian ini?"
Cih! Belum juga duduk, perkataan Dafa sudah sangat memancing amarahnya.
"Kayaknya bukan Arven yang emosian, tapi Om sendiri." Arven bahkan tak ingin terlalu santun di sini.
"Lihat, Pa, anak ini memang kurang didikan sejak awal." Diana tampak menyuruh suaminya diam, tapi Dafa sudah seperti sangat jijik melihatnya. "Bukan harusnya kamu meminta maaf ke Askar, ke anak saya? Setelah menonjoknya hingga babak belur seperti maling!"
Arven justru santainya mendekat dan menarik kursinya yang berada di sebelah Askar. "Buat apa Arven minta maaf?" tanyanya menoleh pada cowok berambut ikal itu yang juga mendongak membalas tatapannya. "Askar masih baik-baik aja, kalo pun dia cacat, Arven justru seneng karena itu."
"LO!" Askar sontak berdiri membalas tatapannya penuh emosi. "Gue berniat baik ya hari ini! Gue mau minta maaf sama lo!"
"Maaf? Maaf yang mana?" Pada ucapan itu Arven ingin sekali tertawa. "Apa maaf lo bakal balikkin semua? Apa bisa maaf lo bikin adek gue balik lagi?" Dan cuma ucapan itu, Askar terbungkam sepenuhnya.
"Atau ... maaf lo bisa bikin kehidupan gue yang gak dibenci, yang dipercaya, yang gak dijauhin balik lagi?!" Dia akhirnya tak tahan untuk tidak tertawa. "Bodoh! Karena semua orang lebih percaya sama omongan lo ... Termasuk Avisha!" Tak ada yang lebih menyedihkan dibanding itu. "Lo bisa ketawain kehancuran gue sekarang!"
"Ven ..."
"Berhenti," Itu suara dingin Raihan membelah keributan yang membuat suasana ini jadi tak mengenakan. "Ada berita penting yang ingin kakek sampaikan. Tolong hentikan keributan bodoh ini!"
Sontak Arven membuang muka malas dari tatapan Askar. Lalu menatap kakeknya. "Arven gak bisa lama-lama, Kek."
"Kamu duduk dulu, Arven." Diana tersenyum tertahan.
"Gak perlu," jawabnya. "Langsung aja kakek mau ngomong soal apa?"
"Kakek akan berbicara setelah kamu duduk."
Arven mendengkus, dengan sangat terpaksa menuruti.
"Kakek tahu dari gurumu kalau kamu akan melanjutkan pendidikan keluar negeri dengan beasiswa. Tanpa pikir panjang, Kakek sangat setuju itu. Semua keperluan kamu akan kakek urus."
"Benarkah itu?" Diana tampak begitu senang. "Keponakan Tante memang hebat bukan?"
"Intinya apa?" Arven sungguh tidak suka yang berbelik-belit. "Kakek mau memaksakan kehendak kakek untuk pendidikan Arven lagi?"
"Tidak," Raihan menggeleng. "Semuanya ada di tangan kamu. Kakek cuma mengharapkan kamu akan menjadi penerus yang baik nanti." Arven seperti salah mendengar perkataan kakeknya. "Ini yang Kakek ingin bicarakan, umur kakek juga sudah tua, dan cucu-cucu kakek sudah sangat besar kan?"
"Papa jangan ngomong seperti itu," Diana mengusap punggung tangan Raihan. "Kita semua sangat mengharapkan Papa panjang umur."
Raihan mengangguk mengerti. "Karena itu, Papa sudah membicarakan ini pada Evan," Sekretaris kakeknya. "Pembagian anak cabang perusahaan masih sama seperti sejal awal Haydan ada, untuk perusahaan atas nama Diana, akan diteruskan Askar nanti. Dan untuk perusahaan besar yang pernah ditanganin Haydan dan atas namanya itu, Arven yang akan meneruskan ..."
"PA!" Dafa berdiri seakan tak menerima keputusan itu. "Perusahaan atas nama Diana itu cuma anak perusahaan, Pa, dan belum cukup berkembang pesat dibanding perusahaan Haydan."
"Papa tau? Lalu?"
Arven seperti kehilangan arah otaknya sendiri. Pembicaraan ini cukup mendadak dan belum dia persiapkan sama sekali.
"Dan Papa tau, semua perusahaan Haydan, aku yang mengurusnya selama ini!"
"Ya," Raihan mengangguk. "Tapi itu hak Arven. Arven yang berhak atas itu semua karena itu milik orang tuanya!"
Dafa tampak kehabisan kata. Dari sudut matanya, Arven sangat tahu seberapa besar kebencian pamannya itu lewat tatapan tajamnya. Arven mendongak, membalas tatapan itu dingin, dengan kemudian mengangkat sudut bibirnya seakan menang.
Acara makan itu seperti berubah jadi arena perang. Setelah segala yang Dafa katakan, dan Raihan yang juga tetap pada pendirian, pamannya langsung pergi meninggalkan meja makan, yang terpaksa Diana harus menyusulnya. Kemudian Askar yang ikut tak lama.
"Ada yang ingin kakek bicarakan lagi. Cuma ke kamu."
Arven terpaksa mengikuti sang kakek ke ruangan kerjanya. Belum ikut masuk ke ruangan, ponselnya berdering, terpaksa dia harus mengangkatnya sebentar.
"Lo dimana sekarang?" Regha terlalu terburu-buru sepertinya. Bahkan sekadar untuk menyapa.
"Kenapa?"
"Ada hal penting yang harus lo tau."
"Soal apa?"
"Lo mending pulang sekarang, gue bakal ke apart lo."
Arven tidak suka berbasa-basi. "Emang tentang apa?"
"Tentang Avisha."
Tentu saja, tidak ada hal yang menurut Arven penting dibanding itu. Dan tampaknya Regha juga tidak ingin membuang waktu.
"Tentang peneror Avisha," jelasnya lebih lengkap.
Gerakan Arven begitu cepat saat mendorong pintu ruangan kerja kakeknya. "Arven harus pergi sekarang!"
"Kenapa terburu-buru?" Raihan yang duduk di belakang meja kerjanya mengernyit heran. "Sebentar, harus ada yang kakek sampaikan."
Untuk urusan itu, Arven tak bisa disuruh menunggu. "Arven harus cepet, ini tentang peneror Avisha."
"Peneror Avisha?" Kakeknya menaikkan alis lebih heran. "Kamu sudah tahu?"
"Kakek tahu?" Dari gelagat kakeknya, Arven pikir mungkin memang itu yang hendak kakeknya bicarakan. "Jadi, yang ingin kakek sampaikan ..."
"Tidak," Raihan seperti membaca isi kepalanya. "Bukan itu yang ingin kakek sampaikan. Ini lebih penting dibanding apapun."
Sungguh, kenapa hari ini Arven seperti dibuat bingung dan bertanya-tanya. "Apa maksud kakek?"
Raihan tampak menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Dan itu membuat daftar kebingungan Arven bertambah. "Ini tentang Avisha dan ... Ashilla."
Ini bukan teka-teki yang harus Arven pecah kan. "Buat apa Kakek membicarakan mereka?"
"Apa menurutmu tidak mengherankan Avisha yang begitu mirip Ashilla?"
Arven tidak bodoh untuk tidak mengerti pertanyaan kakeknya. Dan pada kesimpulan yang mulai menyerbu tak mengenakan, dia sangat berharap dia salah kali ini.
"Sebenernya apa yang mau kakek sampein?"
"Ada kemungkinan," Ada jeda di sana, kakeknya meremas kedua tangannya gelisah. "Avisha dan Ashilla ... saudara kandung."
Lebih sangat cukup perkataan Raihan mematikan otaknya . Arven sangat mengerti dengan kesimpulan di kepala, tapi dia tahu kakeknya pasti tengah mengerjainya!
"Kakek bercanda!" Arven tergelak pahit. "Gak mungkin! Avisha gak mungkin adikArven!"
•••
Jeng ... Jeng :(((
Lngsung dua2nya nih siap kebongkar :(((
Ayo-ayo komen part ini gimana (?)
Avisha adik Arven :(( becanda kakeknya apa beneran tuh :'
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top