A;A73-Selesai Di sini
Ini nih siapa yg nungguin?
Pertama-tama tolong votenya ya, trus habis itu jangan lupa komen, nyepam sampe sebanyak-banyaknya wkwkwkw
•
BANYAK tugas yang menunggu untuk diselesaikan. Namun, bukannya fokus pada itu, Andien justru masih memikirkan jalan-jalan sorenya tadi bersama Arven. Ini sudah malam, dan mengigiti pulpen sambil membayang di meja belajar sungguh adalah hal yang tak patut diteruskan.
Ya, mau bagaimana, kalau dibuat fokus, otaknya sendiri yang kembali memutar mengingatnya.
Andien membenarkan posisi duduknya di kursi. Termasuk bantal kupu-kupu di dekapannya.
Perjalanan mereka itu dimulai dari pulang sekolah. Cowok itu memboncengnya di atas motor. Berhenti di taman. Makan es krim bersama dan menikmati angin sore. Arven yang membelikannya permen kapas. Lalu berlanjut menaiki satu sepeda berdua.
Kejadian yang paling tak bisa dia lupakan adalah saat sepeda mereka hilang keseimbangan. Lutut Andien terluka. Dan sikap dingin cowok itu sangat kebalikkan dari tindakannya. Setelah membeli plester di warung yang tidak jauh dari taman, dia menempelkan di lututnya dengan hati-hati.
"Kaki gue sakit." Andien tidak bohong saat itu.
Arven menaikkan alis. Wajah datarnya jadi terlihat makin menggemaskan di matanya. "Lo bisa jalan sendiri."
"Tega banget sih!" Andien cemberut. Lalu matanya tertarik pada sesuatu. "Tuh, tuh!" Dia menunjuk ke arah sana. Pada anak kecil yang digendong di punggung oleh ayahnya. "Lo bisa gendong gue kayak gitu!"
"Gue gak mau ribet!" Saat Arven tampak ingin pergi, Andien sontak menahannya.
"Ayolah, jahat banget sih lo ama temen!" ucapnya sengaja memprovokasi. "Kalo, adek lo aja ..." Perkataannya berhenti begitu saja, kala dilihatnya cowok itu berjongkok membelakangi. Senyumnya tentu jadi mengembang lebar.
Momen itu tak akan Andien lupakan begitu saja. Saat melingkarkan tangan di leher Arven, dan cowok itu sepenuhnya berdiri dengannya yang berada di punggung. Apalagi satu kata dingin dari lelaki itu yang malah membuatnya tertawa.
"Nyusahin!"
Mengingatnya saja, pipi Andien merasa panas tanpa alasan. Belum lagi, jantungnya yang tak berhenti berdegup kencang sejak beberapa jam lalu.
"Heran gue," gumamnya, tersenyum sendiri. "Muka lo gak ada manis-manisnya, Ven. Tapi, kenapa jantung gue sampe segininya."
Setelahnya, dia memekik sendiri, melempar pulpen di tangan. Bersamaan dengan pintunya kamarnya yang tahu-tahu terbuka.
Andien secara refleks mengatur ekspresinya. "Kenapa, Na?"
Adiknya, yang ternyata membuka pintu. "Sori, kak. Ada kak Shilla di bawah!"
Mendengar itu, dahinya lantas mengerut bingung. Untuk apa, cewek itu ke sini malam-malam.
"Iya, bilang aja gue bakal ke bawah."
Ilona mengangguk, menutup pintunya kembali.
Setelah membereskan bukunya, Andien tentu langsung menyusul ke bawah. Ilona bilang Ashilla menunggu di luar, tidak mau masuk. Alasan itulah yang membuat dahinya makin mengerut dalam.
Benar ternyata.
Ashilla menunggu di luar pintu dengan rok abu-abu dan kaos pink.
"Kenapa, Shill?" Andien menutup pintu di belakangnya, dengan Ashilla yang berbalik menatap. "Lo gak mau masuk?"
"Aku gak lama kok."
"Tapi, tetep aja, anginnya kenceng banget di luar." Andien sedikit menciptakan ruang pada pintunya. "Masuk aja yuk."
Andien harus berhenti membujuk saat melihat gelengan kepala cewek itu.
"Emang ada apa? Lo ke sini malem-malem gini?"
"Andien jangan marah ya."
Marah buat apa? Ingin dia bertanya itu, tapi yang keluar malah, "Kenapa? Lo ada masalah?"
"Gak ada, aku cuma minta satu hal sama Andien," ucapnya tampak sedikit ragu.
"Minta apa? Kalo emang bisa, gue ..."
"Andien harus bisa," potong Ashilla cepat. "Karena ini buat kebaikkan bersama."
"Sebenarnya apa sih?"
Itu cuma satu kalimat, tapi seperti kiamat di telinganya.
"Andien gak boleh suka sama Arven."
•••
Bisa dibilang nekat, Avisha menerebos hujan besar setelah menghentikan taksinya sebelum tempat tujuan. Pada tangisan langit yang perlahan mulai membasahi seluruh pakaiannya, Avisha berjalan diam dengan pikiran berlarian tanpa arah.
Perkataan Askar tentu masih terngiang di kepala.
Begitu jelas.
Begitu tak bisa dipercaya.
Dan ... begitu menyakitinya.
"Arven jatuh cinta ama adik kandungnya sendiri!"
"Lo cuma pelampiasan, Sha!"
Gak!
Suara kendaraan yang lalu lalang kalah dibanding suara otaknya yang mulai meraung.
"Lo percaya sama gue?"
Arven selalu menanyakan itu. Nadanya tegas tapi tidak pada sorot matanya yang takut. Seolah memang dibanding semua permintaannya. Arven cuma ingin mendapatkan hal itu.
Dan, Avisha jujur jika dia sangat memercayainya.
"Gak ada yang percaya sama gue, Sha."
"Gue cuma punya dia, keluarga gue cuma dia, jadi apapun nanti, misalkan lo denger hal-hal yang enggak-enggak, tolong pikirin baik-baik dulu, jangan asal nyimpulin."
Apa yang Arven maksud ini?
Apa perkara ini yang membuat cowok itu memberitahu lebih awal?
"Jadi, jangan ninggalin gue, Jangan pernah biarin gue sendiri."
Sisi lain memang perkataan Askar menganggunya. Tapi, Avisha sudah bilang jika dia sangat memercayai cowok itu. Setiap tindakan, setiap perkataan, Arven tidak mungkin bermain-main. Cowok itu selalu serius pada apapun yang telah dia katakan.
Avisha tahu itu. Sangat tahu. Makanya, dia memutuskan untuk ke apartemen Arven. Mendengarkan penjelasan.
"Kalo lo gak percaya, mungkin lo kepo sama gudang di apartemennya."
Atau ... perkataan Askar yang membawanya sampai sini.
Di lobbi, dia menghentikan langkah. Suhu ruangan seolah mencambuknya berkali-kali lipat dengan kedinginan. Belum lagi, beberapa orang yang menatapnya bingung dengan pakaian basah. Namun, bukan itu yang dia pedulikan.
Tujuannya ke sini lebih penting dibanding apapun.
Pintu apartemen depannya seolah membagi menjadi dua. Dia bingung dan tersesat di pikiran sendiri. Bahkan, hendak pergi jika pintu itu tak lebih dulu membuka.
Avisha membeku sepenuhnya. Melihat cowok yang menganggu pikirannya tampak terkejut, berpakaian rapi dengan jaket dan kaos abu-abunya. Dia belum mengatakan apapun saat Arven sudah lebih dulu menariknya ke dalam. Mendudukannya di sofa. Menaikkan suhu ruangan. Mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya yang basah.
Tindakan yang membuatnya jadi makin bertanya. Benarkah Arven menganggapnya pelampiasan?
"Kenapa baju lo basah? Lo gak pake payung? Lo sengaja ujan-ujanan?"
Atau kepedulian Arven semata karena dirinya yang mirip dengan adik yang dicintainya.
Dan tentu saja kesimpulan itu menyakitinya lebih dalam.
"Ka-kak Arven ..."
"Jawab pertanyaan gue, lo bisa sakit kalo ujan-ujanan gini." Arven menyentuh pipinya, yang secara refleks Avisha menjauh.
Cowok itu berdiri kebingungan di depannya.
"Gue baru mau ke rumah lo."
"Visha ..." Avisha menunduk. Sepatu yang Arven pakai seolah lebih menarik dibanding wajah Arven sekarang. "Visha cuma sebentar ke sini. Visha mau tanya soal ..." Seluruh katanya hilang saat Arven setengah bersimpuh di bawah sofa. Memegang tangannya yang berkerut dan pucat.
"Kalo lo mau ngomong, lo harus natap lawan bicara lo."
Meski bukan itu yang dia ingin, Avisha perlahan mengangkat kepala. Menatap lurus Arven yang membalas datar.
"Kak Arven sayang ... Visha?" tanyanya lirih.
Alis yang cowok tentu terangkat heran. Mata hijaunya seolah menelanjangi isi kepalanya. "Tindakan gue selama ini kurang ngebuktiin ya?"
"Kalo gitu, Visha boleh liat ... hm," Avisha menatap tangannya yang dingin diremas Arven pelan. Dia ragu. "Mm ... isi kamar kosong itu?"
Bukan lagi bingung, Arven pasti sudah sangat tak mengerti oleh keanehannya.
"Lo aneh banget, Sha. Ada yang ganggu lo lagi?"
Avisha menggeleng. "Gak kok," dia berdiri, yang sontak Arven jadi mendongak. "Visha cuma mau tau isi kamar itu apa." Dia bergerak menaiki tangga. Depan kamar yang selalu membuatnya menyimpan banyak pertanyaan itu, dia sejenak diam.
Lagi-lagi ragu. Haruskah dia melakukan ini?
Baru juga, hendak mendorong pintunya, tangannya sudah tertarik. Dan terkejut saat Arven mendorongnya ke tembok dan menahan kedua tangannya di sana.
"Lo kenapa?" Mata biru kehijauannya itu tentu sudah lebih dingin dibanding tadi. "Jelasin ke gue, lo kenapa?"
"Visha cuma mau tau isi kamar itu apa!" balas Avisha berani membuat Arven setengah terkejut dan sedikit tak percaya mendengarnya.
"Sha, kamar itu cuma ..."
"Kalo gak ada hal yang penting di sana, harusnya kak Arven gak perlu kayak gini kan?" Entah sekarang Avisha harus bangga dengan kemampuannya yang bisa mematikan lawan. Atau lebih peduli pada fakta jika Arven tidak pernah kehabisan kata-kata di depannya.
"Kak Arven takut?"
"Takut?" Pertahanan Arven seolah lemah di sini. Pegangannya pada kedua tangannya jadi mengendur. "Sha, sebenarnya lo kenapa? Gue butuh penjelasan dulu kan, sebelum gue turutin permintaan lo?"
"Kalo gitu," Avisha berhasil lepas dari pertahanan Arven. "Visha simpulin, perkataan kak Askar bener."
Pembicaraan bersama Askar sejam lalu memang sudah merenggut seluruh pola pikirnya. Begitu berani, Avisha menyentuh gagang pintu. Sekali lagi, saat ingin mendorong, Arven sudah mencekal lengannya kuat.
Menariknya untuk menghadap cowok itu yang menatapnya marah kali ini.
"Jadi karena Askar?" tanya cowok itu dengan semakin kuat mencengkal lengannya. "Lo kayak gini karena Askar?" Arven mendesis. Askar memang selalu menjadi pemicu apinya kan. "Dia bilang apa ke lo? Jawab gue!" Avisha diam, dan merasa takut sendiri karena merasa disudutkan. "Jawab gue, Avisha Pratista!"
Avisha speechlees. Mendengar bagaimana nada dingin cowok itu menyebut namanya. Apalagi nama lengkapnya. Tapi, sudah dia bilang bukan, kalau pikirannya tak berpengaruh apa-apa pada keberaniannya sekarang.
"Kak Arven pasti juga udah nebak apa yang kak Askar bilang kan?" tebaknya yang tampaknya tepat sasaran. Melihat bagaimana ekspresi Arven, Avisha berharap dia salah kali ini. "Ini soal adiknya kak Arven."
Cekalan Arven pada lengannya melonggar yang perlahan jadi terlepas. "Sha ..."
"Kak Arven jatuh cinta sama kak Ashilla kan?" Avisha melemparkan bomnya tanpa perhitungan. Dan, Arven, cowok itu tampak terkejut sepenuhnya. Ekspresi yang sama sekali tidak Avisha harapkan. "Kak Arven jatuh cinta ama adik kandung kak Arven sendiri!"
Sejenak, Avisha merasa menyesal melihat bagaimana wajah Arven yang tampak kehilangan seluruh kendali dirinya. Wajah dingin itu tidak melekat di sana, kecuali bingung dan kosong.
Cowok itu menggeleng yang lantas menggenggam tangannya. "Lo harus dengerin gue dulu ..."
Avisha menepis tangan itu menjauh. Kesabarannya seolah habis bersama sesak yang makin tak terasa enak di dada. Geraknya cepat saat mendorong pintu kamar itu dan masuk ke dalam begitu saja.
Dan ...
Tampaknya dia salah memutuskan hal ini.
Seluruh kata-katanya hilang entah kemana.
"Ini ..."
Melihat bingkai-bingkai foto yang terpasang di seluruh dinding. Boneka-boneka yang tersusun di pojok lemari. Apalagi saat dia makin masuk, foto polaroid yang disusun membentuk untaian hias di dinding depannya tampak jelas di mata.
"Ini apa?" Avisha bingung bagaimana lagi harus menyusun kata-kata di kepalanya. "Apa maksudnya ini?" Dia memutar balik badan menghadap Arven yang berdiri terpaku. "Ini foto kak Ashilla kan? Kak Arven bilang fotonya udah dibakar?"
"Sha ..." Cowok itu mendekat.
"KAK ARVEN BILANG FOTO KAK ASHILLA ITU UDAH GAK ADA!" seluruh emosi Avisha tumpah di sana. Dia menggeleng, menahan sesaknya yang makin menghimpit. Yang diperparah oleh gelapnya ruang. Avisha merasa tak bisa lagi bernapas. "Kak Arven bilang, Kakek Raihan nyuruh buat ngebakar semuanya!"
Tatapan Arven tampak putus asa. "Tolong, dengerin gue ..."
"Dengerin apa?" tanya Avisha dengan air mata yang mulai membasahi pipinya. "DENGERIN KALO YANG SEMUA KAK ASKAR BILANG ITU KENYATAAN?!"
Arven sekali mendekat, yang membuat Avisha mengangkat tangannya, menyuruh berhenti.
"Tolong jelasin ke Visha. Kalo yang kak Askar bilang itu bohong!" Bagaimana Avisha bisa membuang seluruh sesaknya ini. Rasanya sungguh menyakitkan. "Semuanya bohong kan?! Ini semuanya ... semua foto ini cuma kak Arven simpen karena kak Arven sayang banget sama kak Ashilla. Iya kan?"
"Sha ..."
"Kak Arven sayang kak Ashilla cuma sebagai adik."
Arven mengacak rambutnya frustasi. "Tolong, lo harus ..."
"BILANG KE VISHA KALO INI BOHONG!"
"Sha ..." Arven sudah tampak bingung di depannya. Raut yang jelas seorang Arvendino Gazkel jarang tunjukkan. Lelaki itu selalu pintar bermain kata. Pintar mengendalikan diri. Pintar mengatur ekspresi. Lalu ini ...
"Gue mau cerita ini sejak lama ke lo, Sha," Ucapan Arven sungguh menjadi alasan daftar kesimpulan di kepalanya semakin kuat. "Gue ... gue emang sempet mikir gitu. Sempet mikir kalo gue emang jatuh cinta sama adik kandung gue sendiri."
Sepertinya ini sudah cukup kan? Avisha harusnya langsung pergi. Jawaban yang ingin didengarnya sudah terlalu jelas menusuk telinga dan semakin menyakitinya.
"Jadi, kak Arven mau jelasin kalo Visha bener pelampiasan kak Arven?" Arven langsung menggeleng, mendekat, yang membuat Avisha melangkah mundur.
"Padahal ..." Dia menatap Arven dengan air mata yang terus meluncur deras di pipi. "Padahal Visha berharap kak Arven ngelak. Kak Arven bohong."
"Itu awal, Sha ..." Arven hendak menggapainya kalau saja Avisha tidak menepisnya kasar. "Gue gak bener-bener tau yang gue rasain saat itu! Gue cuma punya Ashilla! Gue takut kehilangan dia! Gue cuma ..."
"Tapi, tetep aja, itu kenyataannya kan."
"Sha, lo percaya sama gue." Suara Arven nyaris tak punya harapan apapun. "Iya kan?"
Avisha sudah bingung untuk berkata apa lagi. Otaknya sudah mati total buat berpikir.
"Hubungan itu harus ada kepercayaan kan?" Dia selalu ingat itu. Dan selalu ingin berpedoman pada itu. "Dan ... Visha gak bisa percaya lagi sama kak Arven."
Arven menggeleng seolah bisa menyimpulkan apa yang ingin cewek itu katakan.
"Lo gak bisa ..."
"Kita putus aja."
Avisha nyaris tidak percaya dengan yang diucapkan bibirnya sendiri. Apalagi saat melihat Arven yang makin pucat. Kalimat itu jelas kiamat di telinganya.
"Sha ..." lelaki itu menggeleng putus asa. "Lo gak bisa asal ngambil ..."
"Visha mau putus!" tekannya sekali lagi. Dia ingin pergi dari rasa menyesakan ini. Dan sepertinya menahan lama di sini, malah menghancurkan dirinya pelan-pelan. Dia melangkah hendak meninggalkan ruangan, jika tidak sebuah tangan yang menahan.
"Lo yakin?"
Jujur, perkataan itu sedikit menggoyahkannya. Tapi, Avisha telah mengatakannya. Dan, apapun yang telah dia katakan. Itu keputusannya.
"Visha yakin."
"Gimana kalo gue gak mau putus?"
"Itu urusan kak Arven, bukan Visha."
Avisha sama sekali tak menatap Arven. Itu cara yang tepat agar dia tidak ingin menarik ucapannya kembali cuma karena wajah lelaki itu.
Keduanya jadi sama-sama diam dalam beberapa menit. Avisha-lah yang tak tahan oleh keheningan ini.
"Visha mau balik."
"Gue anter pulang," balas cowok itu tak sedikit pun melepaskan tangannya. Menariknya keluar kamar. Keluar apartemen, bahkan sampai di basement parking.
Arven masih saja menggenggam tangannya.
•••
Sepanjang jalan, cowok itu kembali menyelipkan jemarinya di tangan Avisha. Menyetir sambil menggenggam kuat tangannya dan fokus pada jalanan. Avisha pun tak berusaha untuk berbicara. Menciptakan hening yang jelas-jelas tak bisa dibantah sangat menganggunya.
Sampai mobil Arven berhenti di luar gerbang rumahnya. Inginnya dia cepat turun dan menyelesaikan hari melelahkan ini sampai sini. Tapi, lelaki di sebelahnya masih diam dengan raut yang tak bisa Avisha baca artinya.
"Sha," Avisha tahu Arven menoleh menatapnya yang justru memandang lurus pada kaca. "Makasih buat semuanya." Perlahan namun pasti, Arven menarik lepas tangannya. "Gue seneng lo yang jadi bagian cerita gue buat pertama kali."
Genggaman itu terlepas, pun janji-janji mereka selama ini. Tanda jika hubungan ini memang sudah berakhir.
Di sini, pada malam yang jelas menumpahkan air matanya deras di luar mobil. Membasahi jalanan. Arven berbicara untuk terakhir kali.
"Lo pasti tau gue selalu jujur dan gak pernah bohong soal perasaan. Gue bener-bener sayang sama lo, Sha."
•••
🙃🙃🙃
Siapa yg dri kmren kangen Visha wkwkwk, udh nongol dia, tpi jdi berani gitu ya hmmm :(((
Sampe sini dululah ya, updatenya mau lama aja biar brasa digntung wkwkwkw
Canda🤣
Tengkyuuu yang udah stay tune❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top