A;A61-Tak Bersisa
Cuma mau nanya yang udah follow wp aku boleh acungin kaki? :))
vote dan komen pliss, biar smngat cayaang
•
BEGITU saja bisik-bisik orang terdengar jelas di telinga. Dari ratusan orang, kenapa cuma Arven yang disapa. Itulah yang menjadi tanda tanya. Apalagi raut kaku Arven yang terlihat jelas seakan tak suka oleh kehadirannya.
Ilona dan Yania yang berada di pinggir lapangan. Menatap kejadian itu dengan jelas. Jika Ilona memasang wajah kaku. Berbeda dengan Yania yang kebingungan.
"Na, kenapa ..." Ilona sudah keburu pergi saat Yania ingin bertanya. Sontak dia ikut menyusul temannya itu yang meninggalkan lapangan.
Belum lagi, Avisha yang menyuarakan isi kepalanya saat mendengar nama panjang perempuan itu.
"Kak Didi?"
Model itu. Perempuan cantik itu menoleh pada Avisha. Memberikan senyum kecilnya. "Hai, Sha."
Avisha membalas senyum ragu. Meski, pertanyaan seperti yang lainnya menyelinap masuk tak mengenakan. Andien, atau biasanya Avisha memanggilnya Kak Didi itu menyapa Arven seolah teman lama yang sudah tak pernah berjumpa.
"Kayaknya cukup buat nyapanya," Dia berbicara di depan mic, sedangkan mata lurus menatap Arven. Andien yang pertama memutuskan kontak mata antara mereka. Berjalan untuk kembali ke atas panggung. Memberikan sambutan, yang disambut riuh tepuk tangan.
Saat acaranya dimulai, saat para model melangkah anggun di atas panggung lebar itu, kejadian tadi seolah terlupakan begitu saja. Semua orang terfokus ke sana.
Arven bahkan sudah duduk kembali di kursi setelah mengambil minuman. Lelaki itu tak lagi bersuara, cuma memutar-mutar gelas plastiknya yang sudah kosong. Avisha juga memilih diam, takut salah bicara.
Namun, tampaknya Zion yang tak tahan oleh keheningan ini. Seperti Avisha, Zion juga butuh penjelasan.
"Apa cuma gue, yang jadi makin bego di sini!" Arven mendongak, menatap Zion yang memasang muka datar. Zion jarang serius. Kalau wajahnya sudah seperti itu bukankah ini adalah hal penting yang perlu dibahas.
"Lo gak mau jelasin dia siapa?" tanya Zion. "Bahkan Avisha kenal dia. Dan bukannya jelasin, lo malah buat gue makin tolol di sini? Gue sahabat lo kan?!"
"Kenapa lo bisa kenal dia?" Arven malah bertanya pada Avisha. Membuat Zion tertawa kering. Sudah biasa Arven bersikap seperti itu.
"Ven ..."
"Gue tanya, Sha. Lo kenal dia dimana?"
"Visha kayaknya udah pernah ngasih tau soal Kak Didi," Jujur saja, bukankah sekarang yang harusnya menjelaskan adalah Arven. Dari mana lelaki itu mengenal Andien. "Dia kakaknya Lona."
Dan buat jawaban itu, Arven tak merespon apapun. Padahal Avisha berharap Arven juga menjelaskan sepertinya.
"Lo masih mau diem kayak gini ..."
"Kenapa suasananya tegang banget sih?" Tahu-tahu Linzy bersama Retta datang ke meja mereka. Itu Linzy yang bertanya. Sementara Retta dan Regha saling pandang tak mengatakan apapun.
"Kok pada diem?" Linzy bingung. "Salah ya gue ama Retta gabung?" Lalu Linzy mendekati Zion dan memegang bahu cowoknya yang tampak kaku. Matanya menatap tajam pada Arven. "Yon, kenapa sih?"
"Harusnya gak perlu gue jelasin dia siapa kan?" Arven menjawab dingin. Tentu ini buat pertanyaan Zion tadi. "Dari nama, dari nama lengkapnya, harus lo tau dia siapa. Kenapa dia kenal gue!"
Zion terdiam, meski detik berikutnya wajahnya berubah pias. "Jangan bilang dia ..."
"Boleh gabung?"
Percakapan itu seperti dipaksa terhenti. Semua menoleh serentak, cuma buat menemukan perempuan yang menjadi topik obrolan berdiri di sana. Andien tersenyum ramah. Sebelum mata indah itu menyipit menatap Retta.
"Retta?"
Retta mengangkat ujung bibirnya sedikit lalu menyapanya. "Hai, Din!" Membuat perempuan itu lebih lebar tersenyum sambil mendekati Retta riang.
"Ya ampun ini serius lo?!"
Retta mengangguk kaku. Avisha tak berharap akan melihat penampakkan itu, karena dari situ, pertanyaan di kepalanya makin menyerbu tanpa ampun.
Avisha jadi makin terlihat bodoh berada di sini.
"Kok lo di sini sih?" Andien bingung. Sebelum matanya melirik Retta dan Regha bergantian. Tampak tak percaya. "Jangan bilang ... kalian balikkan?"
Retta menjawabnya sambil mengambil tangan Regha dan tertawa. Membuat Andien berseru takjub.
"Wah, gue gak nyangka loh!" Andien ikut terlihat bahagia. "Ternyata cinta pertama gak langgeng itu gak berlaku buat kalian ya."
"Sha," Suara Arven terdengar, menghentikan obrolan mengerikan itu. "Kita ke kantin aja. Lo mau makan soto?"
Avisha sangat berterima kasih pada Arven. Setidaknya, cowok itu mengerti jika dia merasa tak nyaman. Dia mengangguk, membiarkan saja tangan Arven mengambil alih untuk melangkah pergi. Itu niat awalnya, kalau bukan karena sebuah tangan menahan lengan Arven yang satunya.
"Kok lo mau pergi sih?" Andien tampak tak senang, meski begitu ahli menutupi. "Kita perlu ngobrol kan? Udah lama kita gak ketemu."
Begitu tenang sekaligus tegas, Arven menarik tangannya terlepas dari genggaman Andien. Yang membuatnya terdiam beberapa detik. Sementara Avisha perlu lari dari situasi tak mengenakan ini.
"Zi, kita pergi aja." Zion menarik Linzy menjauh. Padahal Avisha sangat tahu, kakak kelas ceweknya itu ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
"Lo gak kangen sama gue?" Andien berupaya tak menampakkan wajah kecewanya.
"Ayo, Sha!" Arven kembali menarik lengannya. Yang kali ini Avisha tahan. Membuat cowok itu menatapnya datar.
"Sebentar," Avisha menoleh pada Andien lalu tersenyum. "Kak Didi mungkin mau gabung?"
"Lo apa-apaan ..."
"Gak," Andien menggeleng. Menatap Arven yang memasukkan tangan di saku celana, tampak membuang muka. "Gak perlu."
"Hm, yaudah kalo gitu, Visha duluan ya kak."
Avisha melambaikan tangan, yang secepat itu ditarik Arven meninggalkan lapangan.
•••
Kantin siang ini sepi. Tentu saja. Hampir seluruh siswa berkumpul di lapangan. Menikmati acara yang diselenggarakan. Pada kesepian ini harusnya Avisha bisa sedikit tenang. Sedikit meringankan kepalanya yang terasa penuh.
Namun, apa daya objek yang menjadi alasan otaknya yang hampir ingin meledak, malah terlihat santai menikmati jus jeruknya. Avisha tahu, salah jika dia memaksa Arven untuk bercerita. Salah jika Avisha ingin mendengarkan penjelasan dari apapun yang menganggunya.
"Kenapa gak dimakan?"
Tapi, tidak sepeka itukah Arven kenapa dia menjadi diam sejak cowok itu mengajaknya ke kantin.
"Sha ..."
"Visha kenal kak Didi pas cewek itu nganterin Lona ke sekolah. Gak banyak kenangan sih di antara Visha sama dia. Kalo ketemu pun itu karena Lona. Kita deket karena Lona." Entah apa yang ingin Avisha sampaikan dengan penjelasan ini. "Tapi, Kak Didi baik banget sama Visha. Jadi, itu alasan kenapa Visha basa-basi nawarin kak Didi mau ikut apa enggak ke kantin."
"Kenapa lo jelasin itu?" Arven bertanya datar. Perkataan Avisha tentunya mengembalikan suasana ini menjadi tak mengenakan.
"Visha jelasin supaya kak Arven gak bingung kenapa Visha kayak gitu tadi," Avisha menunduk mengaduk sotonya tanpa minat. "Kak Arven juga gak mau gitu? Jelasin supaya Visha gak bingung. Visha tau kok, Visha lemot mikirnya, tapi seenggaknya Visha harus tau apa yang terjadi tadi."
"Udah berapa lama lo kenal Andien?"
Arven menahan gerakan Avisha pada sendok di mangkuknya. Yang membuatnya terpaksa mendongak atas tindakan itu sekaligus pertanyaannya.
" ... Dua tahun."
Arven mendorong mangkuknya menjauh. Melipat kedua tangannya di atas meja sambil menatapnya.
"Gue kenal Andien dari SD kelas enam. Adek gue yang ngenalin. Dulu, gue, Askar, Ashilla, Andien, selalu bareng kemana-mana. Oh, mungkin lebih tepatnya gue yang selalu dipaksa mereka buat ikut."
Avisha tak ingin menyela. Dia ingin mendengarkan semuanya.
"Pertemanan kita seru awalnya. Seenggaknya karena mereka, gue ngerasa gak 'kosong' lagi. Mereka yang ngasih warna ke hidup gue," Ada jeda lama kali ini, Arven seperti menimang buat berbicara lagi atau tidak. "Sampai ... pertemanan itu ngelibatin perasaan."
"Maksudnya ..."
"Andien mantan gue."
Dari banyaknya kemungkinan-kemungkinan yang terlintas di kepala. Tak sedikit pun Avisha memikirkan sampai sana. Berita ini sungguh mengejutkan buatnya.
Avisha refleks berdiri. "Kak ... Kak Didi ... mantan kak Arven?"
"Kenapa kaget?" Alis Arven terangkat. Bersikap tenang. "Bukannya lo emang mau tau siapa mantan gue. Dan, sekarang lo udah tau."
Tak masalah jika mantan Arven adah orang yang tidak dia kenal, tapi kenapa dari jutaan perempuan di dunia, harus Andien, kakak sahabatnya yang menjadi mantan Arven.
"Tapi, Visha kenal kak Didi!"
"Ya terus kenapa kalo dia yang jadi mantan gue?" Arven menarik lengan Avisha untuk duduk kembali. Yang Selanjutnya cowok itu menautkan jari-jarinya di ruas jari Avisha. "Dia cuma masa lalu kan? Masa depan gue lo. Yang penting lo sekarang."
"Visha ... Visha cuma ngerasa gak enak," Avisha memainkan kuku tangan yang tak digenggam. "Visha takut kak Didi mikir sesuatu yang jelek tentang Visha."
"Hidup lo itu tentang lo. Gak usah mikirin apa yang di pikiran orang." Arven mengambil tangannya yang satunya lagi. Menghentikannya bermain kuku. Menumpuknya menjadi satu.
"Kak Arven ..." Avisha sejenak melirik tangan mereka yang saling menyatu itu. Dia ingin percaya pada Arven, tapi tentu ada yang sangat menganggu kepalanya sekarang. "Kak Arven masih ..." dia ragu. "Masih punya, hmm, perasaan sama kak Didi?"
Arven terdiam. Dan keheningan yang terbentang ini sungguh menyiksa. Namun, yang terjadi selanjutnya membuatnya tak percaya. Arven justru tertawa.
"Masih punya perasaan sama Andien?" Apa Arven menganggap ini lelucon. Kenapa cowok itu receh sekali. "Lucu lo! Kalo gue masih sayang sama Andien, kenapa harus lo yang gue bawa ke kantin? Kenapa gak gue peluk aja Andien tadi?"
"Terus ... kenapa kak Arven kayaknya pengen cepet-cepet ngejauh dari dia? kak Arven takut perasaan kak Arven balik lagi kan?"
Arven terkekeh sambil geleng kepala. "Lo gak tau hubungan kayak apa dulu gue sama Andien, Sha. Yang ada di pikiran lo mungkin salah."
"Salah dari mana? Kak Arven nih suka banget bikin Visha bingung."
"Kenapa lo nanya gitu?" Arven beralih topik. "Lo cemburu?"
"Cemburu?" Avisha tertawa garing. "Mana pernah Visha cemburu, Visha kan udah bilang Visha orangnya gak cemburuan!"
"Kalo gitu harusnya gak usah dipikirin."
"Terus, kenapa kak Didi kenal kak Retta?"
"Kita satu SMP kan," jelas Arven yang membuat Avisha baru menyadari. "Terus ..."
"Terus?"
"Kita sering double date."
Avisha beroh panjang. Mendengkus sambil terkekeh garing.
"Mungkin lo kepo gimana gue pas pacaran sama Andien dulu?"
"Gak," Avisha mendelik. "Ngapain Visha kepo sama itu!"
"Ya kalo lo mau tau, dengan senang hati gue ceritain. Gimana gue sama Andien jadi pasangan paling populer di ..."
"Visha udah bilang gak!" Avisha refleks berdiri. Menatap Arven kesal. "Udah ah Visha mau ke kelas!"
Belum juga satu langkah, Arven sudah menahan lengannya. "Kalo gitu, gak usah tanya-tanya tentang dia lagi." Avisha terpaksa menoleh pada cowoknya. "Jujur, lebih dari apapun, Andien gak ada apa-apanya sama lo."
•••
"Hai, Arven! Apa kabar?"
"Lo gak lupa gue kan? Gue Andien. Andien Gracia."
Askar seperti ingin berteriak pada alam semesta. Setelah bertahun-tahun dia menyusun kepingan hancur itu menjadi satu. Lalu kenapa? Kenapa perempuan itu harus kembali ke sini?
Masih dengan rupa dan suara yang sama, Askar ingin memaki betapa dia merindukan semuanya sekaligus membencinya. Tak ada yang lebih mengerikan dari itu semua.
Bahkan bodohnya, rasa rindu itu lebih mendominasi dibanding apapun.
Dia meninggalkan lapangan dengan perasaan yang tak bisa dibilang baik-baik saja. Gudang samping taman menjadi tempat pelampiasannya.
Dia menonjok tembok membabi buta. Berteriak frustasi beberapa kali.
"Lo tau kan gue sayang sama lo?"
Perempuan di depannya malah diam. Menunduk tampak menahan tangis. "Maaf." Lalu cuma kata itu yang terucap. Bukan kalimat itu yang dibutuhkan sekarang. "Gue sayang sama Arven. Lo tau itu!"
"Tapi lo juga tau, Arven gak sayang sama lo. Dia gak sayang sama lo, Din!" Rasa frustasi ada di sana. "Gue sayang sama lo, tapi kenapa lo lebih milih orang yang gak pernah ngeliat lo!"
"KAR ..." Perempuan itu menangis di depannya.
"KENAPA HAH?! KENAPA SEMUA ORANG LEBIH MILIH ARVEN HAH?!"
"Gak gitu, Kar ..."
"Lo nyakitin gue, Din. LO SAMA AJA KAYAK MEREKA!"
Askar tak bisa menghentikan ingatan menyakitkan itu. Bahkan emosi yang dulu dia rasakan kembali dia lampiaskan sekarang. Bagaimana, perempuan itu yang datang membawa kebahagian sekaligus ... penderitaan.
Askar menyayanginya tulus yang dibalas dengan cara sadis.
Penderitaan yang dirasakannya bertahun-tahun seolah menyeruak lalu mencambuknya tanpa ampun. Membuatnya dia lupa cara menghentikan tonjokkan tangannya pada tembok.
"KAR, WOY BERHENTI!" Valdi tahu-tahu datang menariknya agar menghentikan aksinya. "TANGAN LO UDAH BERDARAH GILA!"
"PERGI LO!" Askar menepis tangan Valdi kasar.
"HEI BANGSAT!" Valdi jadi ikutin emosi. "Harus kayak gini cara ngelampiasin sakit lo! TOLOL LO KALO GITU!"
"Lo mau tau apa yang lebih tolol?" Bahkan cara itu belum sepenuhnya membuat emosi Askar hilang. "Gue gak bisa maki dia! Padahal itu yang harus gue lakuin setelah semua sakit yang gue rasain bertahun-tahun!"
"Kar lo ..."
Askar mengacak-acak rambutnya frustasi. "Dan yang lebih ngenesnya, gue masih benci sekaligus sayang sama dia!"
Valdi menarik napas panjang. Situasi ini pelik. Dan keadaan Askar yang seperti ini tentu tak bisa dibalas emosi jika tak mau terjadi hal yang tak diinginkan.
"Tangan lo harus diobatin!"
Mendengarkan pun tidak, Askar malah melangkah meninggalkan gudang belakang. Dia butuh pelarian, dia ingin menonjok habis apapun, dan keberadaan Valdi tentu merusak semuanya. Dia tak bisa melampiaskan semuanya pada sahabatnya itu.
Dia berjalan menuju perpustakaan saat kakinya justru berhenti di pijakan dengan sorot kaku.
Perempuan yang menjadi alasan perasaannya berkecamuk itu berdiri di sana dengan seseorang yang meminta tanda tangan. Seiring terdengar tawa dan nada ramahnya, tangannya tak tahan buat tak mengepal.
Apalagi saat kepalanya menoleh, mata indahnya terpaku menatap Askar.
Orang itu pergi, meninggalkan keduanya dengan hening yang menyesakkan.
Askar melangkah. Memotong sisa jarak antara mereka.
Andien menatapnya sejenak dan cuma bisa terdiam. Dia memalingkan wajah, menghindari kontak mata saat justru dia terkejut melihat tangan Askar yang terluka.
"Ta-tangan ... tangan lo kenapa?" Andien mendongak. Menanyakan itu, yang Askar benci adalah nada khawatir.
"Bukan urusan lo!" Askar berjalan menyenggol bahunya. Namun, Andien lebih peka untuk menahannya lebih dulu.
"Lo," Andien ragu. "Lo masih suka berantem?"
"Dan itu penting buat lo?"
"Kar, plis ..." Mata indah itu mulai berkaca. Hal yang membuatnya mati-matian menahan sesuatu yang bergejolak di dadanya. "Jangan kayak gitu ... cukup Arven—"
"Arven?" Askar berdecih. Tertawa miris sambil menarik tangannya kasar. "Lo ke sini karena Arven?"
"Gak, bu-bukan gitu ..."
"Lo balik ngancurin semuanya cuma karena Arven?!"
"Kar, lo gak ngerti ..."
Andien luar biasa terkejut saat Askar menariknya kasar dan memojokkannya sekaligus mengurungnya dengan kedua lengan di tembok.
"Bagian mana yang gak gue ngerti?"
Andien menahan dada Askar. Sedangkan matanya menatap Askar yang sudah berkilat emosi.
"Gue ngerti semuanya. Lo balik ke sini karena Arven kan?"
"KAR!" Andien menoleh kanan-kiri. Takut ada yang melihat.
"Kenapa?" Askar menunduk. Berbisik di telinganya. "Lo takut, semua orang di sini tau, lo mantan Arven?" Yang akhirnya Askar mencium bawah telinganya. Hal yang membuat Andien berhasil mendorongnya menjauh.
"Lo ..."
"Lo tau kan, itu sia-sia. Lo cuma bakal nangis akhirnya."
Setelah berhasil mematahkan dengan kalimat, Askar meninggalkan Andien yang hampir menangis di tempat.
•••
Maunya Arven balikkan sama Andien? biar Nata bisa sama Visha wkwkwkwk
Askar mulutmu nak :((
Andien baik kok serius dah, jngan dibenci ntar jdi sayang
Visha🙈
Andien😽
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top