A;A57-Perlahan Kembali

HEIIHOOOOO APA KABARNYA NIHHH

Maaf buat yang setia nunggu, serius sibuk banget harus wfh sekaligus kuliah online d rumah wkwkwk

Ini baru ada waktu di antara tugas-tugas yang numpuk

Semoga seneng ya buat part ini


MINGGU yang biasa bagi keluarga Kayden, saat Avisha turun dari kamarnya, ruang tamu tampak ramai oleh teman-teman papanya dan para istrinya.

"Hai para ibu sosialita," Avisha menyapa sambil tersenyum lebar, membuat obrolan para orangtua itu berhenti dan menoleh padanya.

"Hai cantik," Itu istri dari om Rafael, dokter keluarganya sekaligus sahabat sang papa. "Mau kemana kamu hari ini, cantik sekali," pujinya tanpa tanggung membuat senyum Avisha makin melebar.

"Iya nih, Visha udah mau jalan aja," ledek istri dari Om Farel, teman papanya. "Ayo dong sini, duduk sini dulu sama aunty, ngobrol-ngobrol cantik."

"Mau ketemu pacarnya ya?" kali ini yang meledek istri dari om Eza.

Yang membuat ruang tamu riuh oleh tawa, ya tentu berbeda pada sang papa yang justru memandangnya naik turun. Avisha mengikuti arah pandangnya, dan memerhatikan pakaiannya yang menurutnya tidak ada yang salah.

Hari ini dia memakai sweater rajut warna maroon dan rok selutut bewarna abu-abu.

"Hm ... Papa kenapa?"

Semua yang disana berhenti tertawa dan menoleh pada Devin. Avisha memandang penuh tanya, saat tahu-tahu dari arah belakang, mamanya, Velin datang diikuti para pembantunya yang membawa banyak cemilan lalu menceletuk.

"Itu karena Papa gak nyangka anak perempuannya bisa secantik ini." Velin duduk di sebelah sang suami. "Iya kan, mas?

Devin terdiam dan bukannya mengiyakan pernyataan sang istri, Devin malah mengatakan, "Apa kamu gak capek, senin sampai jumat harus sekolah sampai sore dan juga beberapa hari les biola, sabtu ikut ekskul yang kamu bilang itu. Dan sekarang minggu kamu masih mau jalan lagi?"

"Ada barang yang Visha mau beli," jelasnya ceria.

"Kamu bisa titip abang kamu."

Wajahnya langsung merosot. Avisha cemberut.

"Ayolah Dev, kayak gak pernah muda aja," itu Rafael yang membelanya, yang disetujui semua yang di sana.

"Iya nih Papa, Visha kan cuma keluar seben ..." ucapan Avisha lantas terhenti saat seseorang masuk dan memberi salam. Serentak semua menoleh dan melihat Arven tampak rapi dengan jeans dan kemeja navy-nya.

"Maaf," Arven tampak bingung menatap semua yang di sana. Berhenti di sebelahnya, cowok itu berbisik pelan. "Rumah lo rame." Avisha cuma merespon dengan senyum dan menoleh pada sang Papa yang memasang muka tak suka.

Mudah sebenarnya menebak isi kepala papanya, lelaki paruh baya itu cukup khawatir padanya. Setelah memutuskan tidak ingin menggunakan tongkat, dan berusaha bertumpu pada kakinya yang masih sakit, Avisha tidak peduli jika dia sedikit terpincang saat berjalan.

Om Rafael yang mengatakan jika Avisha harus terbiasa pada itu jika ingin kakinya kembali seperti sedia kala.

"Avisha pergi sama saya Om," Avisha kembali memusatkan perhatian pada cowoknya. "Jadi, Om gak perlu khawatir."

"Saya justru khawatir kalo anak saya pergi sama kamu." Devin menjawab dingin.

"Ayolah, Mas," Velin di sebelahnya tampak seperti membujuk. Devin tak mengatakan apa-apa lagi, selain meraih cangkir kopinya dan meneguk. Velin tersenyum pada mereka berdua. "Kalian bisa pergi. Tolong jaga diri aja."

Sebatas anggukan yang Arven berikan.

"Ayo," lalu dia tak segan meraih tangannya di bawah tatapan para orang tua yang senyam-senyum sendiri menatapnya. Dan kini biasanya Avisha yang kenal malu, merasa pipinya memanas tanpa alasan.

"Duh, jadi kangen masa muda," istri Om Farel memeluk sang suami menampakan wajah seolah iri.

Avisha cuma tertawa dan mengikuti langkah Arven ke depan gerbang dengan langkah tertatih.

•••

Di salah satu pusat mall di kawasan Jakarta Selatan, Arven memarkirkan mobilnya di area parkir. Melepaskan seatbelt dan melangkah turun diikuti Avisha di sebelahnya.

Atas kemauan Avisha, yang entah untuk apa, Arven memutuskan rencananya untuk belajar mempersiapkan ujian prakteknya. Bertumpu pada genggaman mereka, Avisha melangkah susah payah, yang terkadang itu sedikit membuat Arven resah.

"Kenapa kita harus ke sini?"

Avisha yang tengah menatap setiap toko di dalam pusat perbelanjaan itu terpaksa jadi menoleh. Dan bukannya menatapnya, cowok itu memandang ke bawah lebih tepatnya pada kakinya. Avisha ikut turun, menatap kakinya yang kini memakai flat shoes.

"Pertanyaan kak Arven lucu," Avisha tersenyum, meski bisa menebak apa yang Arven pikirkan. "Kan Visha udah jelasin lewat chat, ada yang mau Visha beli."

"Lo bisa nyuruh gw."

Avisha benci jika sudah begini.

"Kenapa Visha harus nyuruh kak Arven," Avisha memasang muka pura-pura tak mengerti. Padahal dia tahu maksudnya. Cowok itu sama seperti papanya. Mengkhawatirkan kondisinya. Mengkhawatirkan kakinya. "Visha bisa jalan, Visha gak lumpuh."

Dia enteng mengatakan kalimat terakhir, Arven yang justru sedikit tersentak mendengarnya. "Gue gak bilang lo lumpuh, Sha. Tapi ..."

"Tapi," Avisha memotong, melepaskan tangannya dari genggaman Arven yang untuk diletakan di kedua pipi cowoknya sambil mendongak. "Gak ada kata tapi kak Arven, Visha sehat, walaupun sakit pas jalan Visha gak pa-pa," Dia tersenyum. Senyum meyakinkan. "Visha mau bisa lari lagi, Visha mau ikut pelajaran olahraga lagi, Visha mau bisa main sepeda lagi. Visha mau bisa jalan normal kayak dulu."

Arven terdiam. Antara tak percaya dan juga bingung. Jika ada perempuan yang tampak lemah di luar tapi begitu kuat di dalamnya. Tubuh kecil Avisha cuma wujud yang sama sekali tidak bisa menutupi kekuatan yang ada pada jiwanya.

Cewek itu ... berbeda.

"Kak Arven harus percaya sama Visha."

Dia mengambil sebelah tangan kecil Avisha. Dilihat saja dari betapa rapuhnya tangan kecil itu, siapapun pasti bisa meremukannya. Arven cuma bisa menggegamnya kuat dan tak akan membiarkan siapapun menyakitinya.

"Keras kepala."

"Karena itu kak Arven suka kan?" Avisha tersenyum lebar.

Ujung bibir Arven sedikit terangkat. Begitu saja menarik sebelah tangan Avisha yang digenggamnya itu untuk melingkar di sebelah tangannya. "Cukup kayak gini, gak boleh kemana-mana."

Avisha melirik tangannya yang melingkar di lengan Arven dan tak dapat menahan senyumnya lebih lebar. Sambil mengencangkan pegangannya, Avisha mendongak dan mengangguk.

•••

Hampir seluruh toko yang ada, mereka berdua jelajahi. Dan toko terakhir yang mereka kunjungi, cuma sebatas Avisha masuk ke dalam dan keluar kembali. Karena tidak ada benda yang dapat mencuri perhatiannya.

Dan mereka kembali memasuki sebuah toko. Toko aksesoris perempuan.

"Lo mau beli apa?" Arven mulai kehilangan sabar. Kalau bukan karena alasan kaki Avisha, Arven tak akan peduli dibawa memutari pusat perbelanjaan sekarang. Walau itu memang sedikit menganggu jam belajarnya, setidaknya dia bisa menemani Avisha tanpa perlu khawatir cewek itu kenapa-napa.

Tapi, Arven tak membayangkan kaki yang sakit itu diajak berkeliling selama ini.

"Hmm ..." Avisha tampak berpikir sambil memerhatikan benda-benda lucu di sana. "Sebenarnya Visha gak tau mau beli apa. Menurut kak Arven Visha harus beli apa?"

Tahukah rasanya Arven ingin membenturkan diri saking gregetnya. "Sha ..."

"Sebentar kak Arven, ini bagus gak sih?" Avisha memotong sambil menunjukan salah satu aksesoris berbentuk lampu lucu. "Eh gak deh, ya buat apa beli lampu tidur."

Avisha mengurungkan niat untuk membeli yang itu dan memutuskan mencari yang lain.

"Lo beli buat siapa sih?" tanyanya kesal.

"Ini buat kakaknya Lona, dia pulang hari ini?"

Arven menaikkan alis. "Sepenting apa orangnya sampe lu harus capek-capek kayak gini?"

"Bukan gitu," Avisha menggeleng. "Visha cuma mau kasih hadiah ke dia. Tau gak sih kak Arven, dia udah lama tinggal di singapur, udah hampir tiga tahun kayaknya." Lalu senyum cewek itu melebar. "Visha kangen banget sama kak Didi."

"Didi?"

"Iya, Kak Didi, nama lengkapnya tuh ..."

Kalimat Avisha terputus karena dering ponsel Arven yang tiba-tiba terdengar. Dia terpaksa merogoh saku celana, menatap layar dan menemukan nama Veron terpampang di layar.

"Kenapa?" Arven yang tak suka basa-basi.

"Lusa ada acara fashion show gitu di sekolah. Bakal ada beberapa model yang dateng."

Arven merasa berita itu sama sekali tidak ada hubungannya dengannya. "Terus? Buat apa lo nelpon gue?"

"Ya gue cuma mau ngasih tau aja sih, soalnya ketos baru kita kan masih perlu bimbingan lo."

Dia menatap pada Avisha yang masih sibuk pada barang yang dicarinya. "Lo suruh dia buat laporan buat ditandangin kepala sekolah. Selesai."

"Kak Arven," Avisha menghampirinya dengan sebuah barang di tangan.

"Lo lagi sama Avisha?" Terdengar suara Veron di seberang.

"Itu doang kan yang lu butuhin?" Ini pertanyaan buat Veron. "Jadi selesai, lo kasih tau aja ke ketosnya. Oke?"

"Bentar, Ven, ada yang ..."

Sudah menjadi kebiasaan Arven yang mematikan panggilan sepihak seperti itu.

"Itu aja yang mau lo beli?"

Avisha mengangguk sambil senyum.

"Yaudah ayo ke kasir."

Dan begitu saja, pernyataan tadi menggantung tanpa jawaban.

•••

Sebuah mobil sedan bewarna merah terparkir mulus di area basemant. Seorang gadis dengan kaki jenjang, rambut curly bewarna kecoklatan jatuh menjuntai di antara bahunya yang terbuka. Kakinya yang terbalut jeans melangkah anggun di salah satu mall di Jakarta.

Setiap mata tak lepas memandang, memerhatikan dengan sorot memuja. Kacamata yang tergantung di hidung mancungnya, menutupi keindahan mata sekaligus kelentikkan bulu matanya.

Jejaknya berhenti di salah satu restoran Perancis. Dia melangkah masuk diikuti oleh berbagai tatapan. Sampai dia berhenti di salah satu meja. Duduk di depan seorang pria paruh baya yang memakai jas rapi.

"Senang melihat kamu kembali?" sapa si lelaki tua itu. Oh kalau bukan karena terbiasa melihat kumisnya yang tebal itu, mungkin lelaki itu tampak mengerikan. Tapi tidak, bagaimana bisa lelaki yang berstatus menjadi manajernya sendiri tampak mengerikan buat dirinya sendiri.

Dia membuka kacamatanya, menyilangkan kaki percaya diri. "Om apa kabar?"

"Selalu baik, seperti yang kamu lihat."

Gadis itu mengangguk, sedikit tersenyum.

"Bagaimana perjalanan ke sini?"

"Cuma ada keterlambatan penerbangan. Tapi, gak terlalu membuang waktu." Dia diam sejenak karena seorang pelayan datang membawa minuman. "Ya dan juga kemacetan Jakarta. Gak pernah berubah."

Orang tua itu tertawa singkat. "Memang tidak ada yang berubah di sini. Kecuali orang-orang yang rakus membangun gedung sana-sini."

Perempuan itu lama terdiam. Seperti ada yang dipikirkan.

"Bagaimana menjadi model salah satu brand di sana?" tanya si pria sambil meneguk minumannya di cangkir. "Memuaskan?"

Dia ikut meneguk minumannya.Tersenyum. Senyum yang tak dapat diartikan. "Sangat memuaskan."

"Bagus kalau seperti itu." Sang orang tua mengangguk. "Ada yang ingin Om beritahu. Kebetulan Om ingin kamu ikut serta dalam acara fashion show yang diadakan di salah satu sekolah."

Alisnya terangkat tak percaya. "Om bercanda? C'mon aku udah go international. So, itu buat apa?"

"Ini buat penggalangan dana untuk para korban tsunami kemarin. Kamu sudah mendengarnya kan?"

"Ya," Dia mengangguk. "Tapi maaf Om, aku belum bisa memutuskan sekarang."

"Gak masalah, kamu pikirkan saja dulu."

Dia sekali lagi meneguk minumannya. Lalu berdiri untuk berpamitan. "Oke, nanti aku bakal telpon Om kalo memang keputusanku sudah ada. Aku pergi dulu, Om."

•••

Sepertinya sudah cukup hari ini berkeliling mall berjam-jam. Setelah mengitari setiap toko, berhenti untuk makan siang dan berlanjut membeli beberapa makanan sekaligus bermain di timezone. Avisha dan Arven memutuskan untuk pulang.

Avisha menatap tangannya yang sedikitpun tak lepas dari lengan Arven. Bertumpu kuat di sana. Sepanjang hari, meski sikap ketus, muka dingin yang Arven tunjukkan, sama sekali tak menyurutkan perhatian yang cowok itu lakukan diam-diam.

Membelikan tisu saat dia kelelahan. Menyuruhnya duduk saja saat dia menginginkan es krim atau jajanan lain, karena Arven yang akan membelikannya. Sesekali membenarkan flat shoesnya yang hampir terlepas. Tak ada ucapan selain tindakan yang selalu cowok itu lakukan.

Avisha berhenti melangkah saat berada di basement. Dia menggigit lidahnya di dalam mulut, menahan rintihan yang hampir meluncur sebab kakinya yang terasa begitu sakit. Dia hampir kehilangan keseimbangan jika Arven tidak menahan tangannya kuat.

"Kenapa?"

Sepertinya seberusaha untuk tak tampak lemah, nyatanya kekuatan Avisha tak sebesar itu.

"Visha," dia mendongak, keringatnya mulai bercucuran. Nyeri di kakinya terasa berkali-kali lipat. "Gak, gak pa-pa."

"Yakin?" Di balik pertanyaan dingin itu, Avisha sangat tahu ada kekhawatiran di sana.

"I-iya," Dia mengangguk. Meyakinkan diri. "Visha ..."

"Lo tinggal bilang kalo capek," Arven memotong ketus. "Lo tinggal bilang kalo kaki lo sakit. Segampang itu, kenapa lo perlu ribet kayak sekarang?"

"Bukannya gitu ..." Penjelasan Avisha berganti menjadi pekikkan saat Arven tahu-tahu menggendongnya tanpa aba-aba. "Kak Arven!" Dia memeluk leher cowoknya kencang.

"Tinggal kayak gini. Gue tinggal gendong lo!" jelas Arven dingin, yang malah membuat pipi Avisha memanas sekaligus matanya.

"Visha ... Visha cuma gk mau buat kak Arven capek." Avisha menunduk saat tatapan Arven terasa menusuk. "Visha punya kaki buat jalan."

"Tapi kaki lo lagi sakit," Avisha menjadi mendongak kembali. Menatap mata Arven yang melembut. "Selama kaki lo sakit lo tanggung jawab gue, dan selamanya akan kayak gitu."

Keduanya terlalu fokus pada kedekatan itu. Tanpa menyadari ada sepasang mata yang memandangnya dari dalam mobil.

"Halo?" Perempuan itu menyapa.

"Kenapa?" Terdengar suara orang tua itu. "Cepat juga kamu menghubungi Om kembali. Bagaimana? Kamu setuju?"

Perempuan itu kembali memandang penampakkan di luar kaca mobilnya. "Di sekolah mana acara itu?"

"Kamu tau sekolah itu, adikmu ada di sana." Orang itu menjadi bersemangat. "SMA TARUNA JAYA!"

Perempuan itu terdiam. Senyum manisnya terlihat. Sayang, tak bermakna. "Oke, persiapkan semuanya."

•••

Jujur aja sih, sebenarnya aku dah gak mau lanjut cerita ini, tpi keinget kata-kata sendiri dulu yg sering diucapin

kalo udh berani memulai sesuatu berarti harus berani juga nyelesain

Bolehlah ya vote sama komen, walaupun gk tau masih ada yng baca atau gak wkwkkw


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top