A;A56-Baru Permulaan

Maaf karna udah buat kalian nunggu :(((

Hampir sebulan dong cerita ini gak diupdate2, insya allah setelah ini bakal dilancarin ya


PADA pijakannya Avisha merasa ditekan menuju dasar dan kehilangan arah. Seperti ada lubang hitam yang menariknya dan dia terlempar pada masa lalu saat dirinya terikat di gudang kosong. Banyak laba-laba. Bau kayu lapuk. Barang rongsokan berdebu.

Dia masih di sekolah bersama bising di sekitar. Tapi, di kepalanya terasa hening. Dan dia ... tak mampu mendengar apa-apa.

Laba-laba berdarah itu ...

Laba-laba mati ... siapa yang menaruhnya di sana?

Ini terror? Apa ini lagi-lagi terror?

Avisha menggeleng. Berusaha mengenyahkan ingatan mengerikan di kepalanya. Di detik entah ke berapa, dia berhasil menarik dirinya sadar. Mengambil tasnya yang tersampir meski tangannya gemetar tanpa alasan.

Dia mengeluarkan ponselnya dengan kesusahan. Kepalanya terasa berat dan dia berupaya mencari kontak Arven. Saat ketemu, dia lantas cepat-cepat menekan dial nomor. Menunggu teleponnya terangkat.

Yang detik berikutnya malah dia terkejut saat tiba-tiba ponselnya ditarik menjauh. Dia mendongak dan matanya makin melebar kala tahu-tahu di depannya ada keberadaan Jessy bersama kawan-kawannya, berdiri mengelilingi, membuat sedikit ruang dan dirinya jadi terpojok.

Avisha masih butuh waktu untuk mengerti yang terjadi sekarang. Apalagi saat Jessy menatap layar ponselnya dan terdengar jelas decihannya.

"Singanya Visha?" Dia tertawa remeh. Menoleh pada lima temannya yang ikut tertawa. "Jijik banget gak sih? Lebay lo!"

"Kak Jessy apa sih!" Avisha mendelik tidak suka. Ini lingkungan sekolah dan menerima tatapan penasaran dari seluruh murid di lorong adalah hal yang selalu Avisha harapkan tidak akan terjadi. Avisha benci drama seperti ini. "Balikkin hp Visha!"

Saat tangannya terulur menjangkau ponselnya, yang justru membuat Jessy mengangkatnya tinggi-tinggi. "Eitss! Bisa ambil? Ambil dong, kan lo tinggi!" Setelahnya terdengar tawa nyaring dari keenam kakak kelasnya itu. Termasuk tawa Jessy yang paling puas.

"Kasian banget sih lo, makanya pendek gak usah belagu. Cacat pula!" ledeknya tersenyum jijik. "Inget ya, Arven tuh gak cocok sama lo. Dia itu milik gue dan selamanya bakal jadi milik gue. Paham lo?!"

Avisha membenarkan posisi tongkatnya. "Kok Kak Jessy ngaku-ngaku sih! Kak Arven itu punya Visha!"

"Lo ngomong apa?" Jessy menempalkan tangan di telinga dan mendekat seolah tuli. "Punya Visha? HAHA MIMPI LO!"

"Visha gak mimpi kok!" Dia mendongak berani. "Itu emang kenyataan. Kak Arven punya Visha!"

"LO!" Tatapan Jessy langsung berubah seperti ingin menerkam.

"Apa?" Avisha tak lagi peduli pada kerumunan yang tercekat oleh keberaniannya. "Kak Jessy yang suka halu. Sukanya ngaku-ngaku!"

"Oh gitu?" Dari nada bicara Jessy, Avisha tidak bisa menebak apa yang akan cewek ular itu lakukan. Dia melangkah mendekatinya. Menipiskan jarak. "Jadi Arven itu milik lo ya?" Tatapannya menajam lalu yang selanjutnya, tak Avisha sangka sebelumnya saat Jessy tahu-tahu menendang tongkatnya begitu saja.

Avisha sontak kehilangan keseimbangan dan terjatuh terjerembab di lantai. Tawa dari sekeliling terdengar dalam sekejap. Termasuk tawa Jessy bersama kelima temannya. Tapi, ada beberapa yang menatapnya kasian.

Dia benci situasi ini.

Saat hendak menjangkau tongkatnya, Jessy lebih dulu membungkuk dan menjauhkannya.

"Itu akibat karena lo berani nantang gue."

"SINI TONGKAT VISHA!" teriaknya marah.

"Diri dong. Ambil sendiri sayang. Masa gak bisa?" Jessy menatapnya remeh.

"SHA! SHA!" Avisha langsung menoleh saat namanya terpanggil. Melihat Yania dan Ilona hendak mendekat, yang langsung dihadang oleh dua teman Jessy.

"APAAN NIH ANJIR BERANINYA KEROYOKAN!" Yania berteriak marah. "KALO MAU JAMBAK-JAMBAKKAN SINI RAME-RAME! JANGAN CUMA TEMEN GUE AJA!"

Berusaha sekuat mungkin Avisha mengangkat tubuh untuk berdiri walau akhirnya terjatuh lagi karena kaki kirinya belum sembuh total.

"Yah gak bisa diri ya? Kasian banget!"

"Tongkat Visha, Kak!" Lagi-lagi saat berusaha berdiri Avisha terjatuh lagi. Yania makin meradang. Apalagi Jessy bersama kawannya sangat puas menertawai. "Hp Visha juga sini. Kakak kenapa suka banget bikin drama sih. Kan ini sekolah, bukan tempat syuting."

"Ini emang bukan tempat syuting," Jessy membungkuk. Menangkup pipinya dan menekannya keras. Yang membuat Avisha memukulnya untuk melepaskan. "Kalo pun ini tempat syuting, peran yang cocok buat lo itu jadi upik abu!" Lalu ditepis pipinya menjauh. Dia memberikan tongkatnya pada seorang cowok yang ada di antara kerumunan. "Badan lo kan gede ya, rusakkin."

Avisha terbelalak. Pun seluruh murid. Termasuk cowok yang disuruh. "Apa kak?"

"Rusakkin tongkatnya!"

"Jangan, jangan itu kak Arven ..."

"Sekarang!" Tatapan tajam Jessy seperti magnet yang membuat siapapun patuh. Cowok itu sontak membelokkan besi tongkatnya dibantu teman sebelahnya. Walau pun tidak rusak sepenuhnya, Avisha merasa tenaganya luruh begitu saja.

Mendadak dia teringat kalimat Rafael.

"Nanti minggu besok kamu gak perlu lagi pake tongkat. Om tau kaki kamu belum sembuh, tapi seenggaknya itu untuk melatih saraf-saraf kaki kamu yang kaku."

Seminggu lagi. Masih seminggu lagi. Tapi, tongkatnya sudah rusak.

Avisha merasa semangatnya menguap dan hilang. Dia tak lagi berusaha berdiri. Membiarkan tubuhnya terkunci di lantai. Pun telinganya yang mendadak hening tak mendengar apa-apa. Termasuk Yania yang sudah mengeluarkan kalimat-kalimat kasar.

"Ini hp lo," Jessy mengangkat ponselnya di depan matanya yang kosong. "Udah gak berguna lagi kan?!" Lalu dia mengangkatnya tinggi-tinggi dan hendak melempar, disaat bersamaan ada sebuah tangan yang menghentikan gerakannya.

Layaknya seorang malaikat yang diturunkan Tuhan, seperti itulah yang Avisha rasakan saat melihat Arven. Keadaan seolah beku. Detik terdiam. Pun bibir sekitar.

"Udah selesai dramanya?"

Cuma Arven yang berkata pelan, tapi membuat lawannya ketakutan.

"Arven?"

"Mana kameranya? Gak sekalian lo bawa?"

"Ka-kamu ..."

"Gue benci drama. Dan lo suka drama. Harusnya lo paham, kenapa gue gak suka sama lo, Jess!" Santai tapi begitu menyakitkan. Jessy seketika terbungkam. Yang begitu mudahnya membuat Arven menarik ponsel milik Avisha. "Gue selalu masa bodoh sama tindakan lo yang kelewatan, tapi gak saat lo ngelibatin Avisha di sini. Paham lo?"

Jessy menatap Arven lurus, yang kemudian justru tertawa. Jenis tawa perih yang membuat Avisha mengernyit karena seorang Jeslyn, kakak kelas populernya kini tampak seperti perempuan, yang menyedihkan.

"Aku gak paham." Jessy menggeleng penuh ironi. "Karena yang aku paham. Kamu milik aku. Selamanya jadi milik aku. ITU YANG AKU PAHAM, VEN!" Diakhir kata dia berteriak kencang. Dari bawah saja, Avisha bisa melihat mata Jessy yang mulai berkaca. Yang begitu apik tertutup di wajah angkuhnya.

"Lo cantik Jess," Arven memuji datar. "Cantik banget. Tapi, sayang lu cuma kayak boneka plastik yang gak punya otak."

Harusnya Jessy sudah biasa. Harusnya Jessy tidak perlu tersakiti cuma dengan kalimat itu. Tapi, di situasi depan banyak orang. Apalagi dikalahkan seorang adik kelas. Jessy merasa harga dirinya jatuh hingga ke dasar.

"Inget Jess, lo gak punya hak apapun atas gue." Arven maju selangkah hingga Jessy terpaksa mundur takut. "Yang punya hak atas gue baru aja lo bully tanpa alasan." Dia melirik Avisha, membuat tatapan mereka bertemu. Sebelum kembali menatap Jessy.

"Gue selalu sayang apapun itu barang yang jadi milik gue. Sekalinya lo sentuh apalagi sampe lo hancurin. Lo tau konsekuensinya." Pada tatapan Arven yang datar, tapi seperti ada hawa mengerikan yang cowok itu bawa hingga Jessy sekarang termundur sekaligus tersudut di loker. "Beruntung, karena cuma tongkat yang lecet. Kalo sampe Avisha. Posisi lo dalam bahaya."

Setelahnya, Arven membungkuk dan Avisha tak menyangka sebelumnya jika Arven akan mengangkatnya di bawah tatapan seluruh murid yang menjadikan hal ini tontonan. Avisha sontak melingkarkan kedua tangan di leher cowok itu. Diam-diam memandang wajah datar itu dari samping.

"Oh iya, satu lagi," Saat hendak pergi, Arven berbalik kembali menghadap Jessy dengan dirinya yang berada dalam gendongan. "Thanks karena lo rusakkin tongkat Avisha. Seenggaknya, sekarang gue bisa gendong cewek gue."

Tanpa peduli lagi, wajah syok warga di sana. Arven sudah membawanya pergi menjauhi keramaian.

•••

Di taman belakang, Arven mendudukannya di salah satu kursi panjang bawah pohon besar. Bertekuk lutut di depannya yang kini terdiam.

"Lo gak pa-pa?" tanya Arven dengan nada rendah. Avisha menoleh perlahan, tak ada lagi binar di matanya. Cuma kekosongan yang menyentil Arven begitu dalam.

"Visha gak pa-pa," ucapnya lalu diam sejenak. "Cuma ... cuma tongkat Visha yang kenapa-napa."

"Gak masalah sama tongkatnya, itu bisa diganti." Arven menyentuh jemari kecilnya yang sedikit lembab. "Yang penting lo gak kenapa-napa."

Avisha menunduk menatap genggaman Arven yang terasa menguatkan. Tapi, di keadaan sekarang, justru terasa menyesakkan. Ada banyak perperangan yang terjadi di kepalanya, yang membuat kekuatannya seakan hilang.

"Kata Om El, seminggu lagi Visha gak perlu pake tongkat. Itu berarti kaki Visha mau sembuh kan?" tanyanya perih. Arven cuma diam sambil menatapnya lekat. "Itu juga berarti Visha bisa gak pake tongkat dari sekarang. Visha bisa jalan sendiri. Visha bisa bangun sendiri. Visha bisa berdiri tanpa tongkat."

Tanpa disadari, air matanya sudah meluruh di pipi akibat perasaannya yang bercampur aduk. Teror. Kebencian. Pembullyan. Ingatan mengerikan. Semuanya menyatu dalam pikiran.

"Tapi ... kak Arven liat, Visha cuma bisa diem, Visha gak bisa ngelawan, Visha gak bisa diri buat ngerebut tongkat Visha." Tangisnya makin menderas dan membuatnya tanpa sadar sesegukkan. "Visha gak pernah peduli diketawain, dikata-katain, tapi Visha benci kalo banyak yang ngeliat Visha kasian kayak tadi. Vi-Visha, jadi kayak lemah banget, Vi-visha jadi kayak orang cacat ..."

Tangisnya seketika teredam saat Arven berdiri dan memeluknya. Menenggelamkan kepalanya di bawah dada cowok itu. Dan hal ini yang Avisha butuhkan hingga dia membiarkan saja seluruh tangisannya dia luapkan pada pelukan Arven yang terasa menenangkan.

"Lo bakal sembuh, itu janji gue."

Avisha sedikit memundurkan kepala sambil mendongak, menatap Arven yang berwajah datar.

"Kalo Visha gak sembuh?"

Arven sedikit merendahkan tubuh dan menompangkan kedua lengannya di kursi. Hingga mengurung Avisha sepenuhnya.

"Berarti gue harus jadi tongkat lo. Yang kapan pun dan dimana pun selalu lo bawa." Arven mengusap air matanya dengan ibu jarinya perlahan. "Gue benci liat air mata, dan gak seharusnya seorang bidadari itu nangis. Dia harus terus senyum. Hm?"

Perlahan tapi pasti, kalimat itu seperti virus yang menggelitik bibirnya untuk terangkat.

"Bagus, tinggal air matanya aja yang harus dihapus," Saat Avisha menggerakan tangan untuk menghapus jejak basah di wajah, Arven menahannya. "Bukan gitu caranya."

Avisha menatap bingung. Walau detik berikutnya jadi memejamkan mata kala Arven mendekat dan mencium kelopak matanya bergantian. Lembut dan pelan.

Tidak berhenti di situ, Arven juga mencium pipi kanan-kirinya. Dan berlanjut mencium pucuk hidungnya pelan.

Avisha perlahan membuka mata saat dirasakan Arven menjauh, pipinya terasa panas. Apalagi saat menemukan Arven bersama senyum kecilnya, dia merasa jantungnya seperti berokestra di dalam. Perutnya melilit.

"Sekarang lebih bagus kan, gak ada air mata lagi, udah dihapus semua."

Avisha sontak memukul tubuh Arven pelan. Salah tingkah. "Itu nyari kesempatan namanya."

"Kalo gue nyuri kesempatan," Arven menunduk, Avisha kaget lebih saat Arven menyentuh bibirnya. "Ini juga gue bersihin tadi." Lalu tersenyum menggoda. Membuatnya makin merona.

"Kak Arven ih!" Avisha memukulnya lagi dan malah mengundang tawa cowok itu.

Setidaknya cukup seperti ini, Avisha merasa semangatnya yang sempat pudar perlahan kembali.

•••

Askar membiarkan ibu jarinya bergerak mengikuti lingkaran gelas kristal di atas meja bar. Tatapannya hampa tapi tidak isi kepalanya yang ribut oleh segala beban.

"Ini, Askar sepupu aku."

"Kenapa sih lo suka banget berantem apa faedahnya?"

"Kar, walaupun bokap lo gak dukung lo jadi anak band. Tenang aja, banyak yang dukung lo di luar sana, termasuk gue."

"Jangan cuma karena bokap lo, lo lampiasin kemarahan lo ke orang lain. Gue gak suka."

Terlalu banyak dampak dari ingatan usang itu, Askar bahkan butuh mencengkeram gelasnya erat. Dia ingin semuanya berhenti di titik ini. Di titik saat harapan baginya cuma hal yang bersifat semu. Pada sesuatu yang harusnya dia sadar sampai kapanpun tidak akan bisa dia gapai.

"Gue bosen liat lo langganan ruang BK, lo harusnya berubah."

"Nanti pas SMA, lo harus calonin diri jadi osis. Biar keliatan keren."

"Kar, kayaknya gue suka Arven."

"Kar, kar sadar woy, bisa pecah itu gelas lo pegang sampe kayak gitu!" Askar seolah ditarik ke bumi saat bahunya diguncang kencang. Dia menatap bayangan di depannya yang tampak samar sebelum tersadar jika itu adalah Valdi. Lantas saja ditepisnya tangan sahabatnya itu di bahunya.

"Apa sih lo ganggu banget!"

Valdi berdecak. "Untungnya lo ngelamun di club, kalo kuburan udah kesurupan mungkin lo." Sahabatnya itu geleng-geleng kepala. "Lagi bisa-bisaan lo ngelamun di tempat rame kayak gini. Ayo gabung noh sama anak-anak yang lain."

Askar memandang malas arah tempat yang ditunjuk Valdi. Lantai dance floor tampak ramai oleh kerumunan yang tengah meliuk-liukkan badan.

"Males gue, mau di sini aja."

Valdi menaikkan alis. "Kita ke sini buat seneng-seneng bro. Simulasi udah di depan mata. Ayolah, sebelum sibuk cari contekkan, kita harus seneng-seneng dulu."

Askar memilih meneguk cairan di gelasnya hingga tandas. "Gak, lo tau tujuan gue ke sini buat apa."

"Bokap lo udah balik emangnya?"

"Baru aja." Lalu Askar mengendikan dagunya ke arah ponselnya berada. Sudah hampir puluhan panggilan tak terangkat dari papanya terpampang di layar.

"Berarti lo udah harus siap pasang telinga lebar pas pulang." Valdi bergabung duduk di kursi tinggi sebelah Askar. "Atau siap pipi lo kena stempel merah lagi."

"Mending gitu, dibanding gue harus denger ceramahnya tentang jadi anak yang sempurna." Askar tertawa perih. "Jadi anak sempurna? Sayangnya gue bukan Arven, dan selamanya gue gak akan mau jadi Arven." Lalu dia mengulurkan gelasnya pada bartender. "Rol, tambah dong."

"Siap bos!"

"Jangan Rol, udah berapa gelas dia tadi?" Valdi protes.

"Gue bukan lo yang lemah," ucap Askar, yang membuat Valdi jadi menghela napas panjang. "Lo tau kejadian tadi siang di sekolah."

"Lo suka denger orang lagi ngegosip?" sindir Valdi.

"Gue gak denger, gue malah liat langsung."

"Lo liat?" Valdi mengernyit bertepatan dengan sang bartender membawakan minuman yang Askar pesan.

"Gak sengaja lewat, terus ngeliat." Askar kemudian tertawa remeh. "Drama abis. Gue heran kenapa semua cewek sampe segitunya sama Arven. Andai semua orang tau, dibalik sikapnya yang sok sempurna, dia cuma cucu pembawa sial."

"Ngomongin soal itu," Valdi memberi jeda lama. Agak ragu. "Lo udah denger?"

Askar menoleh dengan alis terangkat. Meneguk cairan di minumannya perlahan. "Denger apa?"

Valdi malah diam membuatnya menaikkan alis makin tinggi.

"Dia ... mau balik."

Cuma itu, tapi dampaknya luar biasa. Askar seperti terhantam batu besar mengenai dada.

•••

"SUMPAH-SUMPAH PENGEN BANGET RASANYA TUH GUE JAMBAK RAMBUTNYA NENEK LAMPIR!" Yania gregetan sambil menekan keras bantal di pelukannya. Seakan membayangkan jika itu adalah Jessy dan antek-anteknya. "BELOM PERNAH KENA JURUS TENDANGAN MAUT GUE KAYAKNYA!"

"Udah Ya, udah!" Ilona di sebelahnya sejak tadi berusaha menenangkan. Walau Yania malah makin menjadi seperti orang kesetanan.

"Gue gak bisa diem aja, Na pas sahabat gue digituin. Minimal nih ya gue udah narik sehelai rambutnya atau ngehancurin muka sok cantiknya itu. Najis! Sok iye banget! Dia siapa sih anak presiden! Anak menteri! Anak pejabat. Kayaknya anak presiden juga gak gitu-gitu amat."

"Dia anak donatur paling mahal, Ya!"

"Ya terus? Kenapa? Cuma karena dia anak donatur dia bisa seenaknya. Jangan lupa ya Na, Om Devin juga salah satu donatur sekolah. Tapi, Visha gak gitu. Gak belagak sok."

Ilona menghela napas panjang. Kalah berdebat. Memang paling sulit mengalahkan emosi Yania jika tengah meledak-ledak.

Avisha yang harusnya bergabung dalam obrolan karena ini berkaitan dengan harga dirinya. Malah sekarang terpekur diam sambil memegang pucuk hidungnya.

"Lo kenapa megang hidung mulu sih?" Yania mengangkat alis heran. "Tenang aja, tuh hidung gak ilang juga. Cuma emang agak mancung ke dalam doang."

Yang dihina tak peduli. Avisha malah membiarkan ingatannya melangkah pada saat di taman belakang sekolah, saat Arven mencium lembut hidungnya.

"Hidung lo sakit, Sha?" Ilona ikut bertanya.

"Mm, enggak," balasnya dan malah jadi senyam-senyum tidak jelas.

"Apa sih lo! Gak jelas!" Yania tak habis pikir pada pola pikiran Avisha sekarang.

"Tapi, kaki lo gak pa-pa kan?"

"Lona udah nanya itu hampir sepuluh kali loh seharian ini?" Avisha terkekeh. Ilona tersenyum.

"Ya kan gue gak mau lo kenapa-napa."

"Eh, gue paham sekarang!" Yania tiba-tiba berseru heboh. Menyeret tubuhnya mendekat pada Avisha yang menyandar pada kepala ranjang. "Wajar ajalah muka lo kagak ada kesel-keselnya! Karena kak Arven kan?" tebaknya tepat.

"Kalo gue jadi lu juga lupa udah kekesalan gue, ya gimana ya, bayangin aja pas lo lagi dibully, cowok pangeran lo dateng bak pahlawan, ya allah Yaya juga mauuuu!"

Yania mulai drama.

"Digendong depan banyak orang. Itu kan khayalan gue selama ini! Kenapa bukan gue yang ngerasain."

"Apaan dah Ya!" Ilona mendorong muka Yania dengan bantal. "Lebay lo ah!"

"Tapi lo pasti pernah ngekhayal kayak gitu juga kan, Na?" tuding Yania. "Ya gue tau lo cantik, siapa sih cowok yang gak bakal nolongin lo kalo lo dibully kayak Visha. Tapi pasti lo pernah ada pemikiran kayak gitu."

"Gak juga sih!" Ilona tak mau mengaku.

"Hahahahah bohong banget!" Yania meledek. Membuat Ilona melemparnya dengan bantal.

"Eh, iya Lona kak Didi mau balik ke jakarta kan?" Avisha jadi teringat hal lain tiba-tiba.

"Oh iya gue juga hampir lupa." Yania juga baru teringat itu.

"Iya dia ngambil penerbangan malem ini buat ke Jakarta. Mungkin baru sampe besok pagi."

"Gimana ya kakak lo sekarang, pasti tambah cantik, secara model gitu."

Avisha menganggukan setuju atas ucapan Ilona.

Ilona terdiam lama. "Gue harap sih gitu, bukan cuma cantik," ada jeda. "Tapi juga makin sehat."

•••

Sampai sini dulu ya, moga aja secepatnya bisa diupdate lagi   :)))

Thanks banget yang udah selalu nunggu, jangan bosen2 ya sayangkuhh


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top