A;A44-Ungkapan Tersimpan
Malam senin yang biasa
Minta vote dan komennya
Kalo kata Lucas NCT cobain kuy, eh maksudnya ramein kuy💓💓
▪
SECERAH langit pagi ini, seperti itulah keadaan Avisha. Mobil Arven sudah berhenti di parkiran sekolah. Dan, bukannya turun, Avisha justru diam sambil menatap cowok di sebelahnya.
"Lo gak mau turun?" Arven menoleh bingung.
"Kak Arven gak mau senyum gitu kayak kemarin?" tanyanya frontal.
Arven malah mendorong keningnya. "Mending lo turun! Gue mau ke ruang osis!"
Avisha cemberut. "Dih gitu masa! Kemaren kayaknya manis banget kayak kucing, ini kenapa udah balik di mode 'singa'nya?"
"Berisik lo! Sana turun!" galaknya seperti yang biasa. Avisha kadang bingung dengan Arven, kenapa kepribadian cowok itu sulit diterka. Seperti ada dua sosok di dalam dirinya. Kadang sikap manisnya mengalahkan gula dan kadang berubah galak mengalahkan cewek pms.
"Visha gak bakal turun sebelum dapet senyum kak Arven pagi ini," ucapnya santai sambil tersenyum lebar.
"Turun atau gue kunciin di dalam mobil?"
"Curang!" Avisha menggembungkan pipi. "Pilihannya gak ada yang bisa Visha pilih! Ayo dong senyum kak Arven," Dia menusuk-nusuk pipi yang cowok seolah hal yang biasa. "Kan biar Visha semangat ngejalanin pagi sekolahnya."
"Sha, turun!" ucap yang cowok penuh penekanan. Cuma itu, tapi Avisha merasa kalah telak. Dia mendengkus, tak punya pilihan selain membuka pintu mobil.
"Lo bawa bekel?" Arven tampaknya baru menyadari paper bag yang diletakannya di bawah kaki.
"Bawa," ucapnya memasang wajah datar. "Tapi maaf, ini bukan buat kak Arven, tapi buat Nata." Tanpa peduli mata Arven yang langsung berubah bagai laser pembunuh, Avisha sudah melangkah turun dengan tongkatnya sambil membawa paper bag itu.
Hal yang sengaja dia lakukan karena dia kesal. Apa-apaan permintaan sesederhana itu saja harus mendapat omelan. Cih!
Sejujurnya memang bekal ini Avisha bawakan untuk Nata, karena dia masih punya hutang cupcake pada cowok itu.
Di lorong bawah, hilir mudik siswa tampak memadati. Di antaranya banyak yang menyapa Avisha, yang dia balas dengan cengiran lebar dan kalimat absurd khasnya.
Sampai langkahnya sudah dekat dengan kelasnya, dia sontak melangkah girang saat melihat Yania dan Ilona ada di luar kelas, tengah duduk-duduk mengobrol.
"Hello friends, princess comeback."
Dan saat mendengar sapaan itu, Yania dan Ilona kompak memutar mata malasnya.
"Masih pagi ya, Sha," Yania memasang muka malas. "Gue gak mau buang-buang energi buat ngumpat."
"Yaya gak boleh dong ngomong kasar pagi-pagi, pahalanya berkurang loh." Avisha sok menasehati berdiri di depan mereka.
"Masalahnya lo yang mancing njir!" Yania kesal. Sementara Avisha cuma terkekeh.
"Udah sih masih pagi lo berdua udah gak jelas gini." Dan seperti biasa Ilona yang menjadi penengah. "Oh ya, Sha ... itu apa?" Mata Ilona menatap paper bag di genggamannya, Yania tentu jadi ikutan.
"Wah oleh-oleh ya?!" Secepat itu raut Yania berubah. "Lo kan habis jalan-jalan sama kak Arven kemarin, pasti itu oleh-oleh buat gue kan? Aduh, Sha gak usah repot-repotlah kan gue jadi seneng." Yania kepedean sambil mengulurkan tangan hendak menjangkau.
"Apa sih!" Avisha refleks memukul tangan Yania. Membuat Ilona terbahak melihatnya. "Ini buat Nata."
"Nata?" Ilona heran.
"Kok cuma Nata," Yania juga heran. "Kita berdua enggak?"
Avisha mendengkus sebal. "Bukan gitu, ini hutang cupcake Nata yang baru bisa Visha buatin. Kalo soal oleh-oleh, tenang ada di dalam tas Visha."
"Cihuyyy!" Yania girang. "Minta sekarang dong!" Yania menadahkan telapak tangan, yang lagi-lagi mendapat pukulan, tapi bukan dari Avisha melainkan Ilona.
"Plis ya, Ya. Gak usah malu-maluin jadi temen."
"Yee masih malu-maluin Visha ya dibanding gue." Begitu mudah Yania menjadikan Avisha kambing hitam.
"Kenapa Visha jadi dibawa-bawa," Avisha mendelik. "Entar Visha kasih oleh-olehnya di kelas, Visha mau kasih kotak makan ini ke Nata dulu. Eh, iya kalian liat Nata gak? Visha gak liat dia ada di kelas."
Kelas Nata itu ada di sebelah kelas Avisha. Jika Avisha mau menuju kelasnya, dia pasti akan melewati kelas Nata, dan tadi dia tidak melihat cowok itu di dalam kelasnya.
"Dia ada di lapangan indoor." Ilona memberitahu.
"Ngapain?" Avisha bingung.
"Kayaknya tadi mau ketemu sama anak futsal." Ilona mengangkat bahu tak acuh.
"Oh ya udah, Visha langsung ke sana aja." Dia tersenyum lalu melepaskan tasnya dari bahu. "Nih," Dia begitu saja mendorong tasnya ke dada Yania. "Titip tas Visha." Yania baru buka mulut hendak protes, tapi Avisha sudah lebih dulu menyeret tongkatnya pergi.
Lapangan indoor itu terletak tidak jauh dari kantin. Keadaan pagi tidak justru membuat kantin sepi. Malah tampak ramai oleh siswa yang sekadar jajan atau nongkrong menunggu jam masuk.
Avisha sedikit memberi ruang saat pintu masuk menuju lapangan terbuka, ada beberapa anak futsal melangkah keluar dan mereka sontak berhenti saat melihat keberadaan Avisha.
"Hai, Sha," Salah satu anak futsal, yang Avisha sangat tahu juga anak kelas sepuluh dan berteman baik dengan Nata menyapanya. "Tambah pendek aja?"
Avisha langsung mendelik. Yang membuat cowok itu tertawa. "Mau ngapain nih? Ck! Bukannya di kelas aja lo, kaki sakit gitu mending banyakin duduk."
"Justru kalo sakit gini, malah bagus kalo diajak jalan, biar cepet sembuh." Dia menjelaskan malas, lalu mengibaskan tangan tak mau berdebat. "Visha ke sini mau nyari Nata. Ada gak?"
"Oh Nata, gue pikir lo nyari gue," Mendapatkan tatapan lasernya cowok itu malah makin tertawa. Yang seperti ini, yang membuat Avisha sangat malas berurusan dengan anak futsal. Nata bilang kalau sebagian, oh bukan mungkin nyaris dari anak futsal itu suka tempel sana-sini. Seperti cicak. Cicak versi besar maksudnya. Buaya!
Avisha pernah mengatakan kalau Nata pasti juga bagian dari mereka. Tapi, Nata tak terima dan malah bilang. "Gue cuma setia sama satu cewek."
"Nata ada noh di dalam, keliatan galau."
Galau? Tidak biasanya Nata begitu?
"Eh, Sha," Baru ingin melangkah masuk, cowok futsal itu menahan lengannya. "Gue boleh dong minta id line lo, gue minta ke Nata malah gak dikasih."
"Maaf nih ya, Visha gak punya id line, merek hp Visha esia." Dia asal saja, menarik tangannya dan berlalu masuk, tak peduli lelaki di sana yang ternganga.
Di dalam ruangan, Avisha bisa melihat Nata berada di dalam jaring lapangan futsal. Terduduk merenung di bawah gawang.
Mari Avisha jelaskan, ruangan indoor itu bukan cuma satu saja di sekolah ini. Ada lima ruangan indoor yang terbagi di tiga gedung sekolah. Pertama khusus futsal dan sepak bola di tempat Avisha berdiri sekarang. Kedua khusus voli dan bulu tangkis. Untuk basket berada di sebelah ruangan ini. Dan setiap sisinya selalu ada bangku tribun yang mengelilingi.
Jadi tak heran jika sekolahnya selalu dijadikan tuan rumah perlombaan antar sekolah.
Avisha berusaha masuk ke dalam jaring lapangan futsal. Gerak-gerik Avisha yang sedikit heboh, menarik perhatian Nata. Secepat itu yang cowok langsung berdiri dan melangkah cepat membantunya masuk.
"Aduh ribet banget sih ini jaring-jaringnya!" Avisha mendengkus setelah berhasil masuk.
"Lo ngapain di sini?" Nata masih tampak bingung di pijakannya.
Avisha langsung menatap Nata lalu mengulurkan paperbag di tangannya dengan senyum. "Mau ngasih ini ke Nata."
"Apa tuh?" Nata mengernyit sebelum tiba-tiba mendengkus dan malahan membungkuk mengambil bola di bawah kakinya. "Kalo itu oleh-oleh dari jalan-jalan lo sama Arven, gak perlu Sha, gue gak butuh."
Avisha jadi kebingungan. Apalagi setelahnya Nata malah berjalan ke arah gawang dan duduk di bawahnya sambil memutar bola di tangannya.
"Ini bukan ..."
"Bukan apa?" Nata mendongak. Raut wajahnya sulit ditebak. "Gue tau lo pergi jalan sama Arven, pas gue ke rumah lo lusa kemarin." Dia diam sejenak, sudut bibirnya terangkat perih. "Niatnya gue mau ngajak lo jalan, terus makan es krim bareng-bareng, kayak yang sering kita lakuin. Tapi, ternyata ... lo udah seneng-seneng sama yang lain."
Avisha mengeratkan genggamannya pada tongkat. Entah kenapa jadi merasa bersalah. "Terus ... kenapa, kenapa gak ngajak Yaya atau Lona aja? Biar Nata juga bisa seneng-seneng."
"Lo ngerti gak sih, Sha kalo gue mau jalan sama lo," ucap Nata berusaha menjelaskan apa yang dia inginkan.
"Jadi," Avisha menunduk. "Nata marah sama Visha?"
Nata tak menatapnya saat mengatakan ini, "Gue lebih marah ke diri sendiri sih. Kenapa gue harus kesel, padahal gue bukan siapa-siapa."
"Nata temen Visha, terus kenapa bilang bukan siapa-siapa."
"Temen?" Nata tertawa. Terdengar hambar. "Pait banget ya."
"Gak pahit kok, Visha manis." Avisha malah ngawur. Nata cuma bisa menghela napas lelah. Kemudian dia bergabung duduk di sebelah Nata di bawah gawang. "Nata jangan marah sama Visha dong."
Dia meletakkan paper bag itu di atas rumput buatan. "Nata gak mau oleh-oleh dari Visha kan? Jadi tenang aja, ini bukan oleh-oleh, tapi cupcake, khusus dari Visha buat Nata."
Cuma itu dan Nata langsung menatapnya lama. Ada berbagai tatapan yang cowok itu berikan. Entah apa, Avisha tak dapat mengartikan.
"Cupcake?" tanya yang cowok seolah tak percaya.
Avisha mengangguk. "Kesukaan Nata. Dimakan ya."
Untuk beberapa detik Nata diam. Sebelum perlahan raut wajahnya berubah. Ada senyum yang tampak di sana. "Lo!" Nata mengusap rambutnya. "Kenapa sih selalu buat mood gue naik turun?"
"Naik turun kayak ingus dong?"
Nata tertawa sampai matanya membentuk garis lurus sambil mengacak-acak rambutnya. "Jorok lo!" Avisha ikut tertawa. "Thanks ya, mau makan bareng gue cupcake-nya?"
"Boleh, tapi istirahat aja, dikit lagi jam masuk."
"Oke," Nata setuju. "Gimana pulang sekolah ini kita makan martabak matcha kesukaan lo? Gue yang traktir. Gantian karena lo udah buatin gue cupcake."
"Martabak matcha?" Avisha langsung berbinar. "Itu sih, Visha gak bakal nolak."
"Mm kalo gitu," Nata mengambil anak rambutnya dan diselipkan ke belakang telinga. "Pulang bareng gue, gak sama Arven."
•••
"Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali." Tangan Avisha yang berada digenggaman Nata terayun ke depan belakang sambil bernyanyi tidak jelas. "Kiri-kanan kulihat saja, banyak pohon duriaaaan, kiri-kanan kulihat saja banyak pohon rambutan."
Saat masa SMP, Avisha dan Nata sering melakukan hal tak berfaedah ini, kadang mereka menyanyikan lagu plesetan balonku, naik delman, atau lagu-lagu yang mereka buat sendiri. Dan seolah urat malu mereka memang tidak ada, mereka mengabaikan orang-orang yang memerhatikan di sepanjang koridor
Namun, bedanya sekarang, Nata tak ikut serta, cuma diam memerhatikannya sambil tertawa. "Gak sekalian aja lo sebut pohon jambu sama pohon mengkudu?"
Avisha tergelak. "Gak ah, Visha gak suka buah jambu."
"Jadi buah mengkudu suka?"
"Ih enggak!" Avisha cemberut. Nata tergelak.
"Kenapa gak suka buah jambu?"
"Banyak bijinya."
"Tapi, kebanyakan buah pasti ada bijinya, Sha."
"Oh iya-ya, tapi tetep aja Visha gak suka jambu biji. Merinding gitu liat biji-bijinya." Muka Avisha yang begitu polos, membuat tangan Nata yang lain jadi gatal mengacak-ngacak rambutnya gemas.
Hingga saat berbelok mereka mendadak menghentikan langkah. Jika Nata jadi terdiam dengan raut kaku. Avisha justru mendengkus sebal, merasa moodnya kembali anjlok melihat Arven bersama Veron di depan mereka.
Masalah di mobil, jelas belum usang di kepalanya.
"Hai kak Veron," Yang ini Avisha menyapa ceria, beda dengan yang ini. "Hai manusia batu."
Alis Arven terangkat di wajah datarnya sebelum mata tajam itu melirik tangannya yang tergenggam pada tangan Nata.
"Hai, Sha, ngapain nih berduaan?" Veron balik menyapa. Walau sudut matanya melirik Arven yang tampak diam dengan raut tak terbaca. "Duh kayaknya ada gas mau meledak nih?"
"Gas mau meledak?" Avisha malah menganggap hal itu serius. "Dimana?"
"Lo emang gak nyium bau-bau kebakar gitu?" tanya Veron. Jelas meledek.
"Ada kebakaran?" Avisha panik. "Udah dipanggil pemadam kebakaran?! Harus cepet-cepet telepon!"
"Kebakarannya gak mempan pake branwir, Sha. Cuma lo yang bisa madamin." Kemudian Veron tersenyum penuh arti.
"Apa sih?" Avisha tak mengerti.
"Lo gak denger bel masuk?" Suara dingin itu terdengar tiba-tiba. Membuat perhatian Avisha dan Veron teralihkan pada Arven.
"Ini juga mau masuk kok, ya kan Nata?"
Nata cuma bergumam malas sebagai respon.
"Mau masuk kelas, perlu gandengan gitu ya kayak mau nyebrang?" Jelas nada dingin itu sangat menyindir.
"Emang kenapa?" Avisha menyeret tongkatnya menghadap Arven. "Gak boleh? Bilang aja kak Arven iri! Tuh tangan kak Veron nganggur, gandeng aja!"
Veron mengulurkan tangannya. "Mau gue gandeng, Ven?" Yang untuk detik berikutnya terbahak sendiri.
"Ini masih masalah tadi di mobil?" tanya Arven tepat. "Lo jadi ngambek gak jelas?"
"Kalo iya kenapa? Masalah buat kak Arven?"
Veron seolah harus terbiasa melihat keberanian Avisha di depan Arven. Bagaimana mungkin, Arven notabene ketua osis yang ditakuti para cewek karena mulut tajamnya, tapi Avisha berani melawannya. Apalagi gadis itu cuma adik kelas yang secara kebetulan menjadi tanggung jawab Arven. Dari tinggi saja jelas mereka bukan lawan seimbang, kalau mau Avisha bisa saja langsung remuk di tangan Arven.
"Masalah banget," ucap Arven tenang sebelum dagunya menunjuk genggaman mereka. "Jadi lepas gandengannya."
Avisha jadi memelotot. Mulutnya terbuka hendak protes, tapi Nata sudah menariknya dan membuat cowok itu yang berhadapan dengan Arven. "Kenapa perlu dilepas?" tanya Nata menantang. "Emang lo siapanya bisa ngatur-ngatur?"
"Lo gak bisa baca pin yang di tempel di seragam gue?" tanya Arven menunjuk pin berlambang osis bewarna emas yang tertempel di rompi sekolahnya. "Gue ketua osis, kalo lo gak lupa."
"Dan itu bisa ngebuat lo seenak jidat lo merintah?" Aura perperangan makin tercium pekat. Avisha menarik Nata, tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
"Dan apa karena lo temennya, lo bisa sesuka hati gandeng dia?"
"Nata, Visha aja yang ngomong sama kak Arven." Avisha berdiri di antara kedua cowok yang saling berpandangan itu. "Dengerin Visha kak Arven, Visha tuh ..."
Arven kali ini menatapnya. "Oke lanjutin aja ngambek gak jelas lo itu. Ayo, Ron!" Jika Veron tentu langsung patuh. Beda dengan Avisha yang malah ternganga.
"Oh gitu? Oke!" Langkah Arven terhenti. Veron juga jadinya. Dan Nata yang jadi bingung melihat Avisha menatap kesal punggung Arven. "Visha cuma mau ngasih tau kalo pulang sekolah, Visha gak pulang bareng kak Arven. Visha mau pulang sama Nata."
Arven berbalik. Mata sedingin esnya seolah menancap Avisha di pijakan. "Silahkan, gue gak peduli."
Avisha makin ternganga. "Oh ya udah, jangan telepon Visha. Nanyain Visha udah nyampe rumah apa belom."
"Mm." Arven cuma mengangguk.
"Jangan ngechat Visha."
"Bukannya lo yang selalu ngechat gue?"
"Pokoknya Visha ngambek sama kak Arven. Kita musuhan."
"Terserah lo!"
Nata dan Veron jelas cuma bisa memandang heran perdebatan mereka. Terutama Veron yang sudah memasang muka bego saking sulitnya mencerna apa yang terjadi. "Bentar, bentar. Kenapa lo berdua berantem kayak orang pacaran?"
"Enak aja! Siapa yang pacaran!" Avisha tak terima lalu menunjuk Arven. "Pacaran sama manusia ini Visha sih gak mau!"
"Lo pikir gue mau sama lo!" Arven mendengkus. "Ayo Ron!" ucapnya berlalu begitu saja. Veron mau tak mau langsung mengikuti. Meski jadi terheran-heran sambil garuk-garuk kepala sendiri.
Melihat punggung Arven yang menjauh, Avisha tanpa sadar melepaskan begitu saja genggaman tangannya di tangan Nata. "Apa sih!" Dia cemberut. "Kenapa cuma gitu doang! Kan Visha yang ngambek, kenapa jadi ikutan ngambek?"
"Kenapa lo jadi kesel?" Wajah Nata tampak aneh sekarang. "Kalian gak beneran pacaran kan?"
"Nata emang gak denger Visha ngomong apa tadi?" Avisha langsung mendelik. "Kita. Gak. Pacaran!" Penuh penekanan dan setelahnya dia berlalu meninggalkan Nata tanpa kata lagi. Yang tanpa sadar itu sedikit memberikan 'luka' pada Nata.
•••
"Visha mau matcha yang banyak."
"Mm."
"Bilangin martabaknya setengah matang aja."
"Iya, Sha."
Nata seolah menjadi tempat pelampiasan kekesalan Avisha pulang sekolah ini. Setelah segala rentetan permintaan Avisha yang sampai membuat sang penjual bertanya, "Pacarnya lagi PMS ya mas?" Yang Nata balas, "Kita cuma temen, Pak." akhirnya martabak pesanannya itu tersaji di meja.
Nata mendorong piring isi penuh martabak matcha itu ke arah Avisha yang tampak cemberut. "Makan. Jangan cemberut terus."
Avisha cuma mengangguk. Walau raut kesalnya belum juga surut selama menikmati makanan kesukaannya yang tersaji. "Nata gak makan?"
"Gue udah kenyang makan cupcake pemberian lo. Tenang aja kalo lo kurang, gue juga mesen yang rasa cokelat sama keju." Avisha langsung mendongak dengan mulut penuh. Menatap haru Nata yang malah tergelak melihat ekspresinya. "Gue tau kalo lo lagi kesel gini, makan lo jadi banyak."
"Ah Nata!" Bagai anak kucing yang senang dikasih ikan, ekspresi Avisha hampir serupa. "Visha jadi terhura gini. Aduh Visha mau mewek, tapi gak bagus gitu karena lagi makan."
"Dasar!" Nata mendorong keningnya pelan. "Gak usah masang muka gitu, makin imut lo-nya. Udah dimakan aja martabaknya."
Avisha mengangguk. Mengubah rautnya perlahan dan tersenyum. Sementara Nata cuma diam memerhatikan cewek itu makan, yang bisa dibilang tidak ada jaimnya sedikit pun. Tangannya bahkan sudah berlumur matcha berikut bibirnya.
"Sha," panggil Nata saat martabak matcha itu sudah digantikan martabak keju dan martabak cokelat. Jangan ditanya, kemana perginya sepiring martabak tadi, sudah masuk ke dalam perut Avisha, tapi belum juga membuat cewek itu kenyang.
"Mm?" Avisha hendak mengambil tisu, tapi Nata yang peka langsung mengambilnya dan membersihkan bibirnya yang kotor.
"Gue mau ngomong." Nata menjauhkan tisu dari bibirnya dan mendadak tampak gelisah di duduknya.
"Itu Nata udah ngomong."
Nata menghela napas. "Ini lagi serius, Sha."
"Iya, iya." Avisha terkekeh. "Nata mau ngomong apa?"
"Hmmm ... kira-kira kalo gue ngomong ini lo marah gak?"
"Emang kenapa Visha harus marah?"
Nata mengetuk-ngetuk jari di meja. Makin gelisah. "Lo jangan marah ya, sebenarnya gue tuh ..."
Avisha menunggu.
"Gue tuh ..." Nata menggigit bibir, membasahinya, bahkan sampai tidak bisa diam di bangkunya. "Gue ... Gue ... gue mau martabaknya." Nata meringis.
"Hah?" Muka Avisha jadi tampak bodoh sekarang. "Jadi Nata cuma mau minta martabaknya?" Dia tertawa. "Kenapa susah banget ngomong itu doang? Ambil aja!"
"Iya, iya tadinya, cuma gue takut lo kurang," Dia kemudian menunduk, menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. "Mau nambah lagi?"
"Gak, Visha udah kenyang." Avisha mengusap perutnya yang sudah penuh. "Nata gak jadi makan nih?"
"Gak perlu, kalo emang kenyang dibungkus aja, lo bawa pulang."
Avisha mengangguk. Setuju.
Usai membungkus martabaknya dan membayar semua, mereka meninggalkan tempat bersama motor yang Nata kemudikan pelan. Selama perjalanan pulang, Avisha selalu berbicara. Mulutnya tak kenal lelah, walau angin sekitarnya membawa suaranya tenggelam.
Namun, Nata tak merespon apapun. Mungkin karena suara Avisha yang tidak jelas didengar. Sampai motor Nata berhenti karena padatnya jalanan sore.
"Yah macet, males nih kalo gini," Avisha yang duduk miring di belakang motornya cemberut.
"Kita lewat kompleks merdeka aja gimana?"
"Yah jangan," Avisha tidak sejuju. "Kan Nata tau, di sana sepi banget."
"Tapi, gue gak mungkin bawa motor buat nyalip. Gue lagi bawa lo. Terus kalo kita gini doang, nyampe rumahnya bisa maghrib. Papa lo bisa marah nanti, Sha."
"Hmm Nata yakin?" Avisha terdengar ragu. "Misalkan nanti ..."
"Tenang aja, lo lagi sama gue."
Avisha setuju setelah terdiam lama. Yang membuat Nata membelokkan motornya menuju jalanan kompleks sepi, yang mereka sebutkan tadi. Jujur, perasaan Avisha merasa tak enak sepanjang jalan.
Dan sepertinya hal yang mengganjal itu memang bukan cuma perasaan saja.
Saat Nata tiba-tiba mengerem mendadak dan membuatnya terdorong ke depan, itu sebuah pertanda. Jika mereka tidak akan baik-baik saja dengan tiga orang preman di depan mereka.
•••
Kenapa malah ngambek-ngambekkan wkwkwkwk
Tuh Nata, harusnya dengerin Visha, Visha kan bisa baca situasi🙈
Cimengnya aku💓💓
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top