A;A43-Harapan yang sia-sia

Seneng tuh aku kalo liat komen kayak kemarin. Luar biasa kalian emang:*

Ayo-ayo ramein lagi wkwkwk. Vote dan komen jangan lupa

Terus buat yang lagi PTS fighting!!


DALAM sebuah kamar tampak seorang lelaki kecil dengan jas formal yang terpasang di tubuhnya. Dia memasang muka masam. Sepertinya memakai pakaian gerah ini saja belum cukup, Rinda, mamanya malah memperparah memakaikan dasi kupu-kupu yang terasa membuat lehernya tercekik.

"Emang wajib pake baju ini, Ma?" protesnya yang entah sudah keberapa kali. "Dino gak suka."

Dan mamanya akan selalu terkekeh mendengarnya. "Dino sayang, ini kan demi adik kamu."

"Tapi, ini cuma acara lomba bukan acara pesta yang mama-papa sering datengin. Dino gak suka pake pakaian ini gerah!" ucapnya cemberut sambil melonggarkan kancing atas yang terasa mencekik leher.

"Semua tamu wajib memakai pakaian seperti ini, Dino."

"MA ..."

"Mau sampai kapan kamu protes Arvendino Gazkel?" suara dingin itu terdengar. Di daun pintu, tampak Haydan, sang Papa menyandar, memerhatikan perdebatan mereka yang tak kunjung usai. "Adik kamu sudah berangkat sejak tadi bersama kakekmu."

Arven, sang anak yang usianya tepat menginjak tujuh tahun itu, bingung. "Kenapa dia gak berangkat bareng kita?"

"Adik kamu harus datang lebih awal." Mamanya menjelaskan sambil sekali lagi merapihkan rambutnya. "Dan karena papamu harus mengerjakan urusan kantornya dulu tadi, jadi terpaksa adikmu dateng bersama kakek."

Mendengar itu, Arven semakin kesal. "Terus kenapa kakek gak ngajak Arven berangkat bareng juga?"

"Karena sejak tadi kamu sibuk memprotes." Haydan menaikkan alis. Nadanya menyindir.

"Mending sekarang kita berangkat, sebelum acaranya dimulai," putus Rinda yang mendapatkan anggukan sang suami.

"Ayo, son." Walau dengan ogah-ogahan, Arven mengikuti langkah kedua orang tuanya menuju mobil.

"Dino duduk sendiri di belakang gak pa-pa?" Rinda menoleh sambil memasang seatbelt di kursi depan. Sementara Arven mengangguk saja. Ikut memasang sabuk pengaman di kursi belakang setir yang sudah papanya duduki.

Sepanjang mobil merayap di jalan, Arven cuma memandang luar jendela. Meski kesal, ada rasa senang karena dia akan melihat adiknya berada di atas panggung sambil memainkan benda kesayangannya. Biola.

Momen yang paling perempuan kecil itu tunggu dan tentu saja ini penampilan pertamanya.

"Dino, kakek bertanya nilai kamu di sekolah. Bagaimana?" Itu pertanyaan papanya sambil mengemudi di depan.

Rinda tertawa di sebelahnya. "Mas tahu anak lelakimu selalu mendapatkan nilai sempurna di kelasnya."

Mungkin di luar papanya adalah sosok pria bertangan dingin, berwajah datar, dan lawan yang tak tertandingkan. Namun, saat bersama keluarga, Haydan mengubah sosoknya, menjadi pria hangat dan mudah tertawa.

"Itu karena otak Gazkel memang sulit dikalahkan."

Mamanya memasang muka tak setuju yang dibuat-buat. "Jangan lupakan ada bibitku juga di sana, mas."

Dan seperti yang sudah sering Arven lihat. Bagaimana orang tuanya yang tak pernah menutupi keromantisan mereka. Bahkan depan anak-anaknya. Haydan tampak tak segan mengusap pipi Rinda pelan.

"Tentu saja, sayang. Karena Arven anak kita."

Rinda tersenyum memegang tangan sang suami. "Dan gak nyangka, bukan cuma anak lelaki kita yang selalu membanggakan, anak perempuan kita juga membuat kita bangga dengan bakatnya."

"Dia mirip seperti ibunya. Suka bermain biola." Seperti itulah kemanisan yang sering mereka tunjukkan. Arven sudah biasa dan tak merasa aneh atau apapun. Malah kalau mamanya tidak bersikap manja dengan sang papa, itu adalah hal yang aneh.

Arven tidak sadar ketiduran dan saat membuka mata, mobilnya melaju begitu kencang. Dia menatap muka mamanya yang tampak panik. Termasuk sang papa yang selalu bersikap tenang, kini justru terlihat resah.

"Papa, kenapa bawa mobilnya ngebut?"

Rinda menoleh, mengubah raut wajahnya secepat itu dengan tersenyum. "Kalau gak ngebut kita bakal telat, Dino duduk tenang di situ aja ya nak, jangan ... jangan dilepasin seatbelt-nya."

Bertepatan dengan itu terdengar suara tembakkan. Arven memekik refleks menutup telinganya. Dia mendongak ke arah jendela dan makin kebingungan melihat sebuah mobil berusaha mensejajarkan di sebelah mobil mereka.

Yang membuatnya terbelalak dan seolah berada di dunia action kartun, jendela mobil yang terbuka itu ada sebuah pistol yang terpancang ke arah mobil mereka.

"Mereka ... mereka siapa?"

"Dino gak usah pikirin itu, Dino nunduk aja dan duduk tenang," saran mamanya gemetaran.

Setelahnya luncuran peluru itu bertubi-tubi tanpa berhenti. Arven makin meringkuk. Tampaknya dia salah perkiraan. Bukan cuma ada satu mobil yang mengikuti, ada tiga lagi yang berada di sebelah kanan dan dua di belakang mereka.

Arven tak mengerti. Ini sebenarnya ada apa. Kenapa ... kenapa mobil itu mengikuti mereka? Apalagi sampai mengeluarkan senapan panjang dan mengeluarkan peluru mematikan itu.

"Mas," Rinda tampak seperti menahan tangis dan entah bagaimana ekspresi papanya. Namun, sepertinya Haydan makin kewalahan dengan menaikan angka kilometer kecepatan di luar batas normal.

Malam ini seolah menjadi awal yang tak dapat diperkirakan. Semuanya tak tertebak. Malam yang seharusnya menjadi malam membahagiakan dan menyenangkan. Namun, dalam sekejap semua berubah tanpa bisa dikendalikan.

Mobil ini tidak punya lagi arah tujuan. Selain hanya mementingkan keselamatan, papanya makin terpojok dengan menjalankan mobilnya ke luar jalanan menuju hutan yang entah dimana ujungnya. Pepohonan mengelilingi, menjulang begitu tinggi dan tampak makin membuat malam ini menjadi suram.

"Mama ... Dino takut!"

"Tenang sayang, tenang ..."

Mamanya berusaha menenangkan. Namun, suara tembakkan di luar mobil membuat mamanya refleks memekik kaget dan menunduk cepat. Sementara sang papa, di balik setirnya, dia berusaha menghindari luncuran peluru pistol di luar.

Arven makin meringkuk di pojok.

"Dino, takut. Dino takut, Ma, Pa!"

"Dino, dengerin Papa nak," Papanya bukan saja berusaha fokus pada jalan dan menghindari tembakkan itu. Tapi, dia juga berusaha untuk tidak menampakkan muka paniknya. "Dino itu anak pemberani. Raja elang. Burung yang ditakutin siapapun dan gak seharusnya Dino nangis sekarang."

"Tapi, Dino takut, Pa," anak kecil itu kembali menangis. Mama dan papanya saling pandang sejenak. Ada ekspresi sedih di sana. "Mereka siapa? Kenapa mereka ngejar-ngejar kita? Kenapa mereka jahat main-main pistol kayak gitu?"

Nyatanya mobil yang mengejar mereka makin menjadi. Apalagi didukung dengan keadaan sepi. Cuma ada pepohonan sekitar mereka.

"Tangan Dino sini, Mama genggam. Biar Dino gak takut lagi." Walau juga gemetaran. Mamanya berusaha terlihat kuat. Mengulurkan tangan yang membuatnya langsung menaruh telapak tangan kecilnya ke sana.

Mereka sama-sama menyalurkan kekuatan di antara ketakutan yang menjebak di setiap sisi.

Sampai salah satu peluru mematikan itu menembus kaca mobil bagian kiri papanya. Secara refleks papanya menunduk dan membuang setir ke kanan dan ... mimpi buruk itu datang.

Mobilnya berguling.

Pada sebuah jurang dengan kecuraman tinggi, mobil itu meluncur bebas. Terdengar teriakkan bersahutan. Penampakkan tak lagi terlihat. Semuanya buyar dalam sekejap. Arven sepenuhnya memejamkan mata, merasa jantungnya jatuh ke bawah dan seperti merasa ini akhir dari semua.

Saat Arven membuka mata, tubuhnya tak dapat digerakkan. Tulang terasa remuk. Otot mendadak kaku. Dia menangis, merintih kesakitan.

Namun, seperti diberi kekuatan dari Tuhan, dia bisa beringsut bangun setelah mendengar rintihan lirih sang mama.

"Mama!" Arven melepaskan seatbelt yang masih mengikat tubuhnya. Dahinya terluka dan mengeluarkan darah. Tapi, saat melihat kondisi mama dan papanya. Dia makin terisak. Banyak darah yang mengotori wajah mereka.

"Mama-Papa bangun!" isaknya tak terkendali. "Papa bangun!" Digoyang-goyangkan tubuh Haydan. Dan mata papanya tetap memejam dengan darah yang tak berhenti mengalir. Arven membersihkan darah papanya membuat tangan kecilnya kotor penuh darah sekaligus tanah. "Papa ayo bangun! Dino takut!"

"Mama!" Kali ini dia menggoyangkan tubuh Rinda yang tampak berusaha membuka mata. Napasnya tampak tak beraturan. Tersengal-sengal.

"Dino," Betapa terlihat menyakitkan saat mamanya mengulurkan tangan dan mengusap air matanya yang mengalir. "Dino lari sekarang, nak."

Arven menggeleng. Menangis makin keras.

"Lari, nak! Lari!"

Bagaimana dia bisa lari disaat situasi menakutkan ini. Dia sendirian. Tak ada siapapun di sini selain aroma tanah bercampur anyir darah.

"Kalo Dino sayang Mama-Papa, Dino lari sekarang. Inget, adik kamu. Dino harus jagain ..."

"Dino gak mau! Dino takut! Dino takut, Ma!"

"Mama tau, Dino pemberani!" Ucapan mamanya terputus-putus. Lalu dia merogoh sesuatu. Menyerahkan pada Arven. "Ini kamu kasih adik kamu." Arven terisak menerima sebuah gelang berbandul biola. Dan setelahnya tarikan napas panjang Rinda membuat wanita itu memejam sepenuhnya.

Arven makin menangis gila. Tersedu-sedu sambil menggoyangkan tubuh sang mama yang tak berarti apa-apa. Dia berteriak, meraung, menjerit, tapi semua itu tak membuat kedua orang tuanya membuka mata.

Sampai dia mendengar suara. Langkah-langkah kaki. Walau ada rasa takut yang membayang, akalnya masih bisa diajak bekerja.

Dia langsung bergerak cepat keluar mobil, yang beruntungnya tak terkunci. Meski seluruh tubuh terasa patah, dia melompat lalu berjalan terseok-seok menjauhi mobil sambil membawa gelang berbandul biola dalam jasnya yang sudah tampak berantakkan.

Dia berlari sekuat yang dia bisa. Melafalkan dalam hati setiap perkataan sang Papa. Arven adalah anak yang kuat. Arven, anak pemberani. Arven, anak lelaki yang selalu dibanggakan. Arven bukan lelaki kecil cengeng.

Setiap kalimat papanya-lah yang akhirnya membawa Arven menemukan jalan keluar dari rimbunnya pepohonan.

Jasnya berantakkan. Ada noda darah bercampur tanah. Arven tampak sangat kotor.

Namun, dia tak peduli.

Langkahnya terus berlari kencang. Sesekali kepalanya tertoleh ke belakang. Meyakinkan jika tak ada orang yang mengejar.

Dia berhenti sejenak. Bersama napasnya yang tak beraturan, dia menatap tangannya yang bersimbah darah.

Di malam yang terasa menyesakan, Arven berjongkok. Menundukkan kepala diiringi tangisan yang mengiris hati. Sepinya jalan seolah semakin menambah penderitaan yang dirasa, dia menggeleng, mengusap tangannya berulang kali, cara bodoh hanya untuk menyingkirkan darah di sana.

Tak lama terdengar suara sirine mobil polisi yang saling bersahutan. Tidak hanya satu, banyak jumlahnya, melaju bersama mobil pemadam kebakaran.

Salah satu mobil polisi berhenti di depannya, seorang polisi keluar dan bertanya, "Nak ... Nak kamu kenapa?"

Dia menggeleng. Menunjukkan tangannya yang bersimbah darah. Polisi itu tampak tercengang sekaligus bingung. Tapi tak bertanya apapun, dan justru membantunya berdiri.

•••

Kehidupan Arven seperti jungkir balik setelah kecelakaan orang tuanya.

Pertama, Arven pikir sikap kakeknya cuma sampai tidak menjemputnya di kantor polisi dan membiarkannya berhari-hari di sana dan membuatnya jadi tidak menghadiri pemakaman orang tuanya.

Kedua, Arven pikir sikap kakeknya cuma sampai membiarkan adiknya seorang diri bersama sekretaris pribadinya menjemputnya dari kantor polisi.

Ketiga, Arven pikir kakeknya tidak akan mungkin membiarkannya menjadi cemoohan para rekan bisnisnya. Membiarkan mereka menganggap dirinya dalang sial dari kecelakaan itu.

Tapi, tampaknya Arven harus ditampar kenyataan yang lebih menyakitkan.

Tidak ada yang lebih sakit dibanding tidak dipercaya oleh keluarga sendiri. Cibiran orang-orang itu tak Arven indahkan, selain fakta sang kakek menganggap ucapannya cuma khayalan semata saat dia menceritakan apa yang terjadi dari awal sampai akhir.

"Buat apa kakek memercayaimu. Kakek cukup tahu kalau kamu yang membuat anak dan menantu rumah ini meninggal dunia."

Seperti pisau yang diasah setiap hari, kalimat itu bahkan lebih tajam mengoyak dadanya.

"Kakek harus percaya sama Arven! Kakek harus percaya!"

Arven cuma bisa mengucapkan kalimat itu. Bukan cuma sekali, ribuan kali, jutaan kali dan hasilnya sia-sia. Kakeknya tidak akan percaya.

"Aku percaya, Dino."

Walau dari sekian manusia yang berada dalam lingkaran Gazkel, cuma adiknya yang percaya. Itu tetap tidak akan mengubah sikap kakeknya balik seperti dulu.

Kakek yang memanjakannya. Kakek yang menyayanginya melebih apapun. Dan kini ... berubah menjadi sosok tak dikenal.

Arven harus rela menerima segala perubahan yang ada. Dari yang menjadi tersingkirkan dan tak dipedulikan.

Bukan sekadar tak peduli, tapi kakeknya juga seolah menjadikan dirinya robot berjalan. Memaksakan kehendak. Bersikap seperti Arven adalah bawahan yang harus selalu tunduk mengikuti perintah.

Arven menjalankan hari-hari yang begitu berbeda. Kakeknya selalu menyuruhnya belajar dan belajar. Menyuruhnya menjadi nomor satu dan mendapatkan nilai sempurna. Keinginan Arven tak lagi menjadi hal utama, yang kakeknya pentingkan cuma egonya saja.

"Ingat Arven, kamu yang akan menjadi andalan kakek di masa depan. Orang tuamu sudah meninggal. Dan kamu akar penyebabnya. Jadi sudah seharusnya kamu menanggung semuanya."

Tanda tanya besar mengenai orang-orang yang mencelakai orang tuanya perlahan pudar, berganti pikiran penuh oleh buku-buku yang kakeknya tumpuk setiap hari di meja belajarnya.

Itu mungkin bukan bagian yang parah.

Bahkan begitu tanpa perasaan kakeknya akan mengurungnya di gudang saat nilainya hanya kurang sekian koma dari seratus. Arven dikurung bersama tumpukkan buku. Tanpa makanan dan cuma ditemani debu yang begitu penuh dari barang tak terpakai.

Disaat seperti itu, adiknya yang akan datang menghampiri. Diam-diam membawakan makanan ke arah jendela kaca yang rusak.

"Dino belum makan kan?"

Arven menolak piring berisi makanan itu. "Berhenti manggil Dino, namaku Arven. Bukan Dino."

Adiknya itu tampak kaget sekaligus bingung. Apalagi nada datar yang Arven lontarkan.

Tapi, matanya jadi berkaca-kaca saat melihat jemari Arven berdarah dan terluka. Penampakkan yang sering terlihat karena tangan Arven selalu dipaksa menulis dan menulis.

"Dino jarinya berdarah lagi."

"Gak pa-pa, nanti sembuh." Raut Arven tanpa ekspresi. "Aku minta sekali lagi berhenti manggil Dino. Dino udah gak ada."

Dari usia tujuh tahun Arven harus mendapatkan perlakuan semena itu. Sikapnya yang memang pendiam sejak dulu seolah dipaksa untuk berubah semakin parah. Sosoknya menjadi dingin dan tak tersentuh. Bertahun-tahun mengasingkan diri, menjauh dari khayalak ramai dan menjadi sosok penyendiri.

Semua orang menjadi takut padanya dan berujung dia tak memiliki teman selama masa sekolah dasar.

Sampai adiknya mengalami kecelakaan. Arven kembali disalahkan. Dan sekali lagi, penjelasan Arven tak dipercaya dan justru kakeknya semakin gila memerintah.

•••

"Karena kecelakaan adik gue, gue tau ada yang salah. Itu bukan cuma kejadian tabrak lari, gue tau banget, mobil itu sengaja nabrak adik gue."

Selama mendengarkan Arven menceritakan masa kelamnya, Avisha tak bisa mendeskripsikan keadaannya. Ada sesak yang tiba-tiba menyerang. Ada rasa pedih yang kuat mengekang.

Selama itu juga, dia tak menyela ataupun merusak suasana.

Dia diam dan mendengarkan. Hal yang sangat langka. Tapi, juga menjadi hal yang patut membuatnya bangga. Untuk pertama kalinya, Arven membuka 'masa lalu'nya. Di sini. Di depannya. Di bawah matahari yang semakin tinggi bersinar.

"Mungkin, saat orang tua gue meninggal, gue masih bisa diam. Gue masih kecil saat itu, gue berpikir mungkin emang gue yang salah. Gue ngalah, gue diam aja saat para teman kakek dan tante gue bilang kalo gue pembawa sial. Gue diam saat mereka bilang gue penyebab kematian orang tua gue."

Avisha memainkan kuku. Menunduk. Mati-matian menahan air mata di pelupuk. Ini cerita Arven, tapi seolah dituntun ikut ke masa lalunya, Avisha ikut merasakan kesedihan yang Arven rasakan. Walau cowok di sebelahnya tampak tenang dan tidak raut sedih di sana.

Piala Oscar saja tak cukup untuk Arven, cowok itu patut mendapatkan yang lebih besar berkat kesempurnaan wajahnya menjaga emosi.

"Tapi, gue gak terima disalahin karena kematian adek gue. Gue jelasin kalo ada yang salah sama kecelakaannya, tapi kakek gue tetep gak percaya. Dan dari situ gue mulai berontak. Gue gak peduli lagi sama perintahnya. Yang gue peduli gimana caranya gue keluar dari rumah iblis itu."

Tangan Arven tampak mengepal. Hal yang tanpa sadar menjadi perhatian Avisha dan membuatnya mengusapnya pelan.

Arven melirik tangan Avisha yang menangkup tangannya yang mengepal. "Gue beruntung, disaat gue kehilangan adek gue, gue punya Regha. Dia yang bantu gue. Mulai bantuin gue cari kerja freelance, buat gue bisa ngumpulin uang dan gue bisa pergi dari orang-orang munafik itu."

"Jadi ... karena Kakek kak Arven juga," Avisha mengusap dua jarinya yang terbungkus plester. "Kak Arven suka lukain jarinya?"

Arven mengangkat jemarinya, menatapnya lama. "Gue udah biasa buat tangan gue kerja setiap saat. Nulis rumus, nulis rangkuman dari buku-buku yang Kakek gue kasih. Yang gue gak sadar udah berdarah saking banyaknya hal yang gue tulis."

Sudut bibir cowok itu terangkat membentuk ironi. "Dan begonya, gue gak bisa berhenti gak ngelakuin hal itu. Setiap kali ada masalah, gue pasti bakal lampiasin semuanya ke jari gue. Ngebiarin mereka lecet sampe berdarah."

"Kak Arven gak bisa gitu terus. Kak Arven harus berhenti ngelakuin itu," Avisha mengulurkan kelingkingnya. "Janji sama Visha?"

"Sori, Sha," Jemari Arven yang sebagian terluka menurunkan kelingkingnya. "Gue gak bisa janji ngelakuin hal yang gak bisa gue pastiin."

Avisha menarik napas panjang. Menetralkan sesak yang semakin kuat dirasakan. "Kalo emang kak Arven gak bisa janji, gak pa-pa. Biar Visha aja yang pastiin kalo kak Arven bakal berhenti karena Visha."

Kali ini tahu-tahu air matanya meleleh di pipi, Avisha buru-buru menarik tangannya dan sesegera mungkin menghapus air matanya.

"Lo nangis?" Arven menunduk, di depan wajahnya. Membuatnya sedikit tersentak karena jaraknya jadi dekat. "Kenapa?"

"Masih syukur Visha nangis denger cerita kak Arven," Avisha menekuk bibirnya. "Kan gak elit kalo Visha malah salto."

Arven tampak terdiam. Lalu yang terjadi selanjutnya tak diterka saat cowok itu mengusap air matanya. "Cengeng!"

"Kak Arven kenapa tampangnya biasa aja sih, kenapa gak ada sedih-sedihnya setelah cerita. Visha aja jadi mewek."

"Karena gue udah capek nangis." Dia merapihkan anak poninya. "Gak usah buang-buang air mata, gak bagus."

"Tapi kak Arven juga pasti sedih, mau Visha peluk?" Dengan polosnya, Avisha merentangkan tangan.

Alis Arven terangkat meresponnya. "Ini lo yang emang niat nawarin pelukan? Atau ini cuma sekadar karena lo pengen gue peluk?"

"Eh," Avisha terbelalak. Antara ingin mengelak tapi di hati membenarkan. "Apa sih!" Dia akhirnya membuang muka malu. "Orang Visha beneran nawarin! Geer banget kak Arven!" Lalu dia mengibaskan tangan ke arah wajah. Merasa perlu memarahi matahari yang terasa membakarnya.

"Ini kenapa sih mataharinya?!" Dia mendongak. Masih dengan mengipasi wajah. "Kayaknya dendam banget sama Visha. Sampe muka Visha jadi panas gini. Kan gak bagus kalo Visha nanti jadi garuk-garuk muka kayak monyet karena kepanasan. Iya kan kak Arven?"

Avisha menoleh dan menganga begitu saja. Antara ini memang benar nyatanya atau memang dia yang kebanyakan mengkhayal.

Dia mengerjapkan mata beberapa kali dan tak bisa mengubah penampakkan senyum di wajah Arven yang begitu samar namun mendebarkan.

"Kak ... kak Arven ... senyum?" Avisha kehilangan kata-kata.

Senyum cowok itu malah makin terlihat jelas. "Lo aneh!"

Avisha masih menganga. Beberapa kali berusaha meyakinkan jika ini dunia nyata. "Ya ampun! Ya ampun!" dia heboh menepuk pipinya. "Ini ... ini Visha lagi gak ngigau kan? Ini Visha gak kekurangan aqua kan jadi bego gini?"

Arven mendorong keningnya. "Lo emang bego!"

"Ih kak Arven!" Avisha jadi mendelik. "Serius kak Arven senyum?!"

"Emang aneh kalo gue senyum?"

"Gak," Avisha menggeleng cepat. "Malah mau banget Visha potret biar fotonya bisa Visha simpen. Ini kan langka banget. Kayak ya gak mungkin anak beruang lahirin anak kucing. Seenggak mungkin itu kak Arven senyum!"

"Mungkin aja," ucap Arven bersama tatapannya yang meneduh. Hal yang selalu membuat jantungnya berdebar-debar tak jelas. "Gue udah bilang, gue senyum tanpa ditahan berarti orang itu penting."

"Dan kak Arven gak nahan senyumnya lagi."

"Dan lo tau artinya bukan?" Cowok itu mendekatkan bibirnya ke telinga Avisha. "Berarti lo orang penting buat gue."

Bagai dipanah, Avisha mendadak kaku bersama jantungnya yang berdentum kencang, yang diperparah saat Arven sedikit memberi jarak hingga mata mereka bertemu.

"Lo masih punya hutang dua permintaan." Dan Arven bisa-bisanya membahas itu! "Permintaan pertama," ada jeda, "... peluk gue."

Saat yang cowok merentangkan tangan, Avisha tak bisa mengelak apapun saat tahu-tahu dirinya meletakkan kepala di dada Arven dan memeluk punggungnya dengan mudah. Karena bukan lagi perihal nyaman, namun memang ini yang hatinya inginkan.

•••

Arven kan selalu gengsi senyum depan Avisha, itu berarti Visha belum penting. Nah beda cerita kalo dia nunjukkin senyumnya langsung, berarti ituu ..... simpul sendiri wkwkkwkwk

Nah-nah, permintaan pertamanya mah gampang aja ya Ven ... cuma peluk, tapi gak tau sih kalo yang kedua apa :v


Sha, jangan dimaju-majuin bibirnya, kalo kata Arven mancing itu namanya wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top