A;A38-Yang bersalah?

Sengaja update sekarang, biar semangat besok hiyahiya

Mau liat ah rame gak nih, kalo iya besok mungkin bisa gas up lagi ...

tapi gak janji ya wkwkwkwk


KEJADIAN kemarin telah berlalu. Avisha mencoba melupakan dan menampakkan wajah biasa. Tak ingin mengingat-ingat. Apalagi bercerita pada orang lain. Cukup Tuhan dan Arven yang tahu.

Namun, seharusnya Avisha tahu menyembunyikan sesuatu itu tak semudah seperti dibayangkan. Siangnya saat Arven mengantarkan pulang. Ada Darlan di ruang tamu. Raut khawatir sekaligus kemarahan terpancar di sana. Memandangnya dengan sorot tajam.

"Kemana aja lo sampe gak pulang?"

Avisha baru mau buka mulut.

"Kenapa telepon gue gak diangkat?"

"Handphone Visha ..."

"Lo tau, Sha ... gue hampir nelpon Mama sama Papa semalam saking gue takut lo kenapa-napa!"

"Bang Darlan Visha ..."

"Lo gak bisa gampangin apapun. Lo harusnya selalu hubungin gue, biar gue gak khawatir. Dari semalem gue gak bisa tidur gara-gara lo. Gue ke rumah Yania. Dia bilang kalo lo nginep di rumah Ilona. Pas gue ke sana. Ilona kayak orang gugup dan ujungnya dia bilang kalo lo sama Arven. Dan ..."

"Bang Darlan dengerin Visha dulu dong!" Avisha kesal. Kenapa Darlan sebawel ini. Jika ini menyangkut kekhawatiran seorang kakak, dia sangat paham. Tapi baru dia ingin menjelaskan, mulut kakaknya itu terus bergerak seperti kereta api. "Visha ..."

"Ilona bener, Avisha emang sama gue." Arven angkat suara.

"Terus kenapa lo gak ada hubungin gue. Kasih kabar atau apapun kek, biar gue gak kelabakan kemarin!" Darlan mendesis. Menahan emosi.

"Sori, ponsel gue lowbat." Sikap tenang Arven sekarang ini memang patut mendapatkan penghargaan. Kebohongannya begitu apik terangkai.

Darlan menghela napas. Berusaha mengatur emosi. "Jadi bener adek gue ada di tempat lo kemarin?"

"Mm." Arven mengangguk.

"Lo nekat bawa adek gue apart lo?!" Darlan maju hingga kedua orang itu berdiri sejajar.

"Dibanding gue tinggalin Avisha sendirian di rumah, bukan ada bagusnya gue bawa dia?"

"Dia gak sendirian di rumah!" Darlan seperti serigala yang ingin menerkam. "Ada pekerja di rumah gue, dan jelas dia gak sendirian!"

"Apa lo bisa jamin, adek lo bakal tetep aman, cuma ditemenin para pembantu?" Darlan terbungkam. Arven mendengkus. "Seharusnya lo berterima kasih, gue bawa adek lo pulang tanpa lecet sedikit pun."

"Thanks," ucap Darlan penuh penekanan. "Itu yang lo mau bukan? Lo bisa pulang sekarang!"

Avisha langsung mendelik. "Bang Darlan apa sih! Kak Arven udah baik sama Visha! Jangan gitu dong!" Jelas Darlan bersikap begini sebagai bentuk perlindungan seorang kakak pada adiknya. Tapi, Darlan tidak bisa semena itu, dia tidak tahu apa yang Avisha lewatkan kemarin.

"Nih," Avisha mengulurkan kantung plastik. "Bubur kacang hijau kesukaan bang Darlan."

Darlan menoleh padanya. "Lo mau nyogok gue?"

"Ini Visha udah baik ya beliin bang Darlan makanan, bukannya bilang makasih."

Darlan tak peduli pada wajah kesalnya dan malah memandangnya naik turun. "Pake baju siapa lo?"

Avisha ikut mengamati bajunya. Kaus putih bergambar mickey mouse. "Oh ... ini dibeliin kak Arven. Baik kan?" Darlan langsung mendengkus. "Makanya Bang Darlan gak boleh gitu sama kak Arven."

"Berapa?" Darlan menatap Arven kembali. "Biar gue ganti."

"Gak perlu, gue beliin bukan buat diganti."

Darlan cuma mengedikan bahu akhirnya. Kembali memandang adiknya. Dan saat itulah matanya menyipit. "Telapak tangan lo ... kenapa?"

Ah! sial! Padahal sejak tadi dia sudah berusaha menyembunyikan plester di telapak tangannya. "Ini cuma kegores tembok." Avisha menyengir.

Darlan tak ingin terlalu memusingkan.

"Oke, urusan lo udah selesai kan? Mending balik sana!" Darlan memandang malas Arven, yang langsung mendapat ketukan tongkat Avisha. "Apa sih, Sha!"

"Gue emang mau pulang," Arven mengangguk tak peduli. Sebelum tatapannya jatuh pada Avisha yang juga menatapnya. "Kalo ada apa-apa telepon gue."

Avisha mengangguk. Kemudian lewat tangannya yang melambai, itu sebuah isyarat untuk Arven menunduk. Pintarnya cowok itu mengerti dan membungkukkan tubuhnya sedikit rendah hingga Avisha bisa berbisik di telinganya. "Makasih kak Arven buat semuanya."

"Bilang makasih mulu lo, gak capek?"

"Hehe, gak pa-pa karena cuma ucapan itu yang bisa Visha kasih."

Arven ikut berbisik. "Cukup lo ngasih tau gue kalo ada masalah, itu udah cukup buat balas budi."

Avisha memundurkan wajah. Menatap mata biru kehijauan itu yang membalasnya tepat. "Visha suka deh kalo kak Arven manis gini. Hehe." Dia tersenyum. Membiarkan tatapan itu menuntut detik terbuang banyak. Disaat seperti ini Avisha sangat menikmati, walau tak ada senyum di bibir cowok itu, tapi Avisha tahu tatapan Arven mengartikan segalanya.

Deheman Darlan merusak keadaan. Tubuh Arven langsung menegak, bersamaan Avisha membuang muka.

"Gue balik."

Darlan mengangguk. Avisha pun melambaikan tangan, melihat Arven yang sudah berjalan menuju pintu keluar.

•••

Tak lama setelah mendapat kabar Avisha sudah pulang, Yania dan Ilona langsung ke rumahnya. Dua perempuan itu tak perlu mengulur waktu buat memarahi dan mengintrogasinya habis-habisan. Tentu di bagian ini, Yania yang paling dominan dan tak sedikit pun memberikan Avisha jeda untuk menjelaskan.

Meski, akhinya bukan sebuah kenyataan yang Avisha beritahu, melainkan penjelasan bohong untuk menutupi kejadian yang sebenarnya. Dia tidak mau sampai berita kemarin masuk ke telinga kedua orang tuanya.

Kekhawatiran mereka adalah hal terakhir yang Avisha inginkan.

Jadi begitulah, Avisha merangkai karangan di bibirnya begitu mudah. Menceritakan jika kemarin dia kesasar bersama supir taksi.

"Kok bisa nyasar?" Ilona yang menyandar di kepala ranjangnya tampak bingung.

"Bapaknya gak tau alamat rumah Visha." Avisha lagi-lagi mengarang.

"Kok gue mau ngomong kasar ya," Yania mendelik kesal. "Emang gak pake GPS?!"

"Bapak supirnya kehabisan kouta."

"Receh banget lo!" Yania belum bisa berhenti kesal kalau jawaban segala kebingungannya itu terjawab. "Gue serius, Sha. Gimana bisa kesasar?!"

"Visha juga serius, bapaknya kesasar karena gak tau alamat rumah Visha."

"Sha," Yania mendesis. Kalau di wajah anime, mungkin wajahnya itu sudah memerah sebab marah. "Itu kan taksi online. Lo kok bego sih?!"

Avisha memasang muka polosnya. "Lah emang siapa bilang itu taksi offline?"

Yania langsung bergerak mendekat, seolah ingin mencekik. Yang buru-buru Avisha mengambil bantal dan menjadikannya tameng.

Ilona menghela napas lelah. "Udah, udah! Gak usah dilanjutin! Capek gue!"

"Gue juga capek, salah kayaknya gue milih temen!" Yania mendengkus, kembali berbaring tengkurap di atas ranjangnya.

Avisha cuma mengedikan bahu. Walau dalam hati merasa bersalah karena membohongi mereka.

"Eh iya, Sha!" Tiba-tiba mood Yania berubah seratus puluh delapan derajat. Begitu saja langsung duduk menyilang di depannya yang tengah menyandar. "Kan katanya lo kemarin ditemuin kak Arven tuh. Terus lo diajak kemana sampe gak pulang?"

"Ah itu," Avisha terdiam sejenak. Tanpa alasan, pipinya memanas. "Ke ... ke apartnya."

"WOAAHH DEMI APA?!" Mata Yania membulat penuh berseru heboh. Pun Ilona yang ikutan terkejut.

"Untungnya kemaren gue langsung keinget kak Arven pas abang lo dateng ke rumah gue." Ilona angkat suara. "Gue awalnya ngasal, eh ternyata emang bener."

Avisha cuma meringis malu.

"GILA! GILA! ANJIRLAH!" Yania tak dapat menutupi keantusiannya akan hal ini. "Kenapa kak Arven ngajak lo ke apart-nya?!"

"Katanya sih biar gampang jaga Visha." Memang itulah yang Arven katakan.

"YA AMPUN! Ketos dingin kita kenapa bisa sweet gitu!" Yania masih heboh. "Terus, terus kalian ngapain? Eh, bentar jangan dijawab dulu, gue mau rekam, terus share ke anak kelas!" Yania kesenangan sambil mengeluarkan ponsel, yang langsung mendapat hadiah tabokkan dari orang depan kirinya.

Yania langsung mendelik pada Ilona. "Apa sih, Na?!"

"Gila lo! Kalo anak kelas tau, Visha nginep di apart kak Arven, malah mereka mikir yang enggak-enggak entar."

"Dih! Lo juga pasti punya pikiran yang enggak-enggak kan sekarang?" Yania menaikkan alis. Ilona terbungkam. "Sama berarti, gue juga."

Ilona mendengkus. Tak mau berdebat.

"Sha, coba dong ceritain detailnya. Kalian di sana ngapain aja? Terus, terus kak Arven gimana sikapnya? Manis gak? Apa galak-galak tai ayam? Ayo dong, Sha!"

Avisha tak dapat mencerna pertanyaan Yania. Karena cukup dari mengingat detail kejadian semalam saja, Avisha rasanya perlu menggali tanah untuk mengubur diri karena malu.

Bayangkan, dari tidur di satu ranjang yang sama, memegang tangan satu sama lain, kunciran rambut, bisikkan rendah, pelukan .... sepertinya masih banyak lagi dan Avisha tidak mau mengingatnya, yang cuma akan memacu jantungnya gila-gilaan.

"Sha! Dih malah bengong!" Yania menyentaknya sadar. Sebisa mungkin Avisha mengubah raut wajah cepat.

"Gak ada apa-apa, Yaya kenapa pikirannya ngawur sih!"

"Emang! Kebanyakan gaul sama siapa lo!" Ilona memelotot. "Mending lo perhatiin Visha tuh, mukanya pucet!"

"Eh!"

"Eh!"

Avisha dan Yania kompak sama-sama terkejut. Yania langsung menatap Avisha. "Lah iya, kok muka lo pucet banget."

"Telat lo nyadarnya, Ya!" Ilona memutar mata malas.

"Ah enggak, Visha gak pa-pa." Avisha menggeleng. Memilih menutup diri lagi. Karena sebenarnya setelah kejadian kemarin, dia merasa pusing dan tak enak badan. Apalagi sangat terasa suhu tubuhnya yang jauh dari biasanya. Ini mungkin dampak dari runtutan kejadian yang membuat kepalanya dipaksa bekerja.

"Serius?" Ilona tak yakin.

"Dua rius malah." Avisha menyengir.

"Aduh gue hampir lupa, besok hari senin kan kita libur, Sha. Dua hari." Yania mengacungkan dua jarinya begitu gembira.

"Libur? Emang ada apa?" Avisha tidak tahu hal itu.

"Lo belum baca grup emang?" tanya Ilona, yang Avisha jawab gelengan. "Besok ada rapat dinas besar-besaran. Makanya libur."

Avisha beroh panjang.

"Rezeki anak soleh banget gak sih, kita jadi gak remedial matematika." Yania terkikik senang.

"Dih Pe'a!" Ilona menabok muka Yania dengan bantal. "Kalo kita gak remedial, entar nilai yang dimasukkin yang raport nilai kemarin. Lo mau?!"

"Yaelah itu mah gampang," Yania mengibaskan tangan santai. "Gue tinggal ngeles aja, kalo dapet nilai segitu karena ulangannya dadakan. Gue belum sempet belajar, terus gak ada remedial. Beres."

Ilona nyaris mengumpat kesal. Sementara Avisha cuma tertawa geli. Keberadaan mereka cukup memberi dampak baik pada pikirannya.

•••

Belum lama setelah mengantarkan Yania dan Ilona sampai depan gerbang hendak pulang. Saat kembali ke dalam, dia melihat Darlan menuruni tangga dengan pakaian yang sudah rapi.

"Temen-temen lo pada kemana?" tanya Darlan sambil menggulung lengan kemejanya.

"Baru aja pulang," matanya menyipit. "Bang Darlan mau kemana?"

"Mereka pulang?" Darlan hampir refleks mengumpat. "Gue pikir mereka lama. Gue mau ninggalin lo sebentar."

Avisha langsung mendelik. "Pasti mau pergi lagi sama temen-temennya kan?"

"Sori, Sha gue ..."

"Tuhkan! Kebiasaan!" Avisha cemberut. Menyeret tongkatnya menuju sofa. "Kalo gitu seharusnya bang Darlan jangan suruh pulang kak Arven, biarin aja dia di sini ..."

"Dan biarin lo berduaan lagi sama dia?!" Darlan memelotot padanya yang sudah duduk di sofa.

"Waktu itu juga bang Darlan ninggalin Visha berduaan sama kak Arven. Malam-malam lagi."

"Itu karena kepepet. Kalo sekarang, gue harus bener-bener mastiin kalo lo gak selalu berduaan sama dia. Lo cewek, Sha. Bahaya deket cowok."

"Lah bang Darlan juga cowok. Nata juga."

Darlan tampak gregetan. "Itu beda ya. Gue abang lo. Nata temen lo sejak SMP, gue udah deket sama dia. Kalo Arven, gue tau dia baik. Tapi, tetep aja gue harus jaga-jaga."

Avisha tidak mau kalah. "Ya udah bang Darlan pergi aja sana. Pokoknya hari ini Visha mogok ngomong sama bang Darlan sampe besok, besoknya lagi, terus besoknya lagi, besok ..."

"Gue beliin es krim pas pulang?"

Sial! Darlan punya jurus ampuh untuk mengalahkannya! Avisha pura-pura membuang muka di atas sofa. "Tiga toples es krim haagen dazs. Deal?"

"Anjir! Jangan yang itulah mahal!"

"Ya udah kalo gak mau, Visha gak mau ngomong lagi sama ..."

"Iya-iya gue beliin!"

Avisha tersenyum kemenangan. Sementara Darlan cuma mendengkus lalu melangkah pergi meninggalkannya setelah memberi petuah panjang. Mengenai hal-hal yang harus Avisha lakukan selama dia meninggalkan rumah.

"Inget, kalo ada apa-apa, telepon gue!"

"Siap pak bos!" Avisha mengangkat tangan hormat. Membiarkan keheningan perlahan merebak. Kesunyian terasa menusuk.

Dan perlahan senyumnya turun membentuk garis lurus.

Dia menghela napas. Memilih berbaring di atas sofa. Meredakan nyeri di kepala. Seperti ada binatang yang menggerogoti kepalanya hingga sakit tak tertahankan.

Avisha menerawang ke atas langit ruang keluarga. Mengabsen setiap kejadian yang menerpanya beberapa minggu ini.

Mulai dari kecelakaan yang berdampak pada kakinya, tulisan di meja, batu nyasar di kepala, laba-laba di sotonya, kertas di loker, boneka laba-laba, dan terakhir penculikan ini.

Yang terakhir tentu paling berdampak pada ingatannya.

Avisha mengepalkan tangan. Menggeleng keras agar tidak mengingat semuanya. Yang malahan berdampak air mata meleleh di pipi.

Kesalahan yang selalu Avisha lakukan adalah membiarkan ketakutan ini selalu mengikutinya.

Dia menghapus air matanya. Tidak bagus menyia-nyiakan cuma karena hal sepele ini.

Baru ingin beringsut bangun, dari arah ruang tamu, Mbak Tia menghampirinya. Merasa de javu, Avisha terbelalak melihat kotak di tangan pembantunya itu.

"Itu apa Mbak?"

"Paket buat Non."

Oh jangan lagi!

"Ini Non." Seperti kotak kematian, Avisha tidak ingin menerima benda itu.

"Buang aja, Mbak!"

"Tapi ..."

"Buang, Mbak! Visha gak mau!"

"Kenapa Non—eh Non kok mukanya pucet banget?!" Raut Mbak Tia langsung berubah khawatir. "Non sakit? Apa yang sakit Non, Mbak ambilin obat! Atau mau nelpon Nyonya sama Tuan ..."

Avisha menggeleng. Nyeri di kepalanya bertambah. "Jangan nelpon Mama, Papa Mbak. Ambilin obat pusing aja. Kepala Visha pusing."

"Iya, Non. Mbak ambilin!" Setelahnya Mbak Tia meletakkan kotak hitam itu di meja dan buru-buru pergi ke dapur.

Sesaat Avisha menatap kotak itu. Menebak-nebak apa yang ada di dalamnya.

Walau ada rasa takut untuk membukanya. Rasa penasaran dalam diri Avisha juga begitu kuat. Tanpa bisa dikendali, dia mengulurkan tangan membuka penutupnya perlahan. Menunduk lalu mengintip sedikit.

Dan ... cuma ada kertas di sana.

Kertas yang menjawab semuanya.

Yang kemarin cuma peringatan awal buat lo!

Avisha tersentak dan cepat-cepat menutupnya kembali. Mendaratkan diri di sofa dengan tubuh gemetaran luar biasa.

Sebenarnya siapa orang itu? Apa benar tebakkannya jika terror ini berkaitan dengan penculikan sepuluh tahun lalu? Atau sebenarnya ini permasalahan berbeda? Mereka belum tentu orang yang sama?

Memikirkan itu semua justru memperparah nyeri di kepalanya. Bagai ada jarum yang menusuk-nusuknya.

"NON!" Mbak Tia panik, melihatnya yang gemetaran sambil memegang kepala. "Non kenapa?! Sakit banget Non kepalanya? Telepon Nyonya sama Tuan aja ya ..."

"Jangan, Mbak." Suaranya lirih. Menahan sakit. "Mbak jangan buat mereka khawatir."

"Terus saya harus gimana dong Non!" Mbak Tia tampak gelisah. "Bi Desi! Bi ..."

"Telepon kak Arven, Mbak."

Setelahnya kegelapan menguasai Avisha sepenuhnya.

•••

Baru juga siangnya, Sha dianterin pulang sama Arven, eh sorenya malah :((

Udah gak bisa jauh-jauh emang mereka hmm

Tapi yang nerror tuh kayaknya ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top