A;A37-Terbukanya Alasan

Sebelum baca, dipencet dulu itu bintang bawahnya biar afdol wkwkwk

Kata manusia kutub jangan pelit-pelit komen juga, nongol aja gak digigit kok :)))

HARI ini adalah hari istimewa. Hari yang begitu membahagiakan. Hari yang telah dia tunggu-tunggu setelah setahun lamanya.

Dalam aula, tampak sebuah panggung besar. Barisan kursi penonton yang telah terisi seluruhnya. Beberapa peserta lomba ada yang telah selesai menunjukkan bakatnya. Dan bagi yang belum, terlihat sibuk mempersiapkan diri di belakang panggung.

Termasuk gadis berusia lima tahun yang tampak mungil dengan balutan dress putih. Poninya tersusun rapi bersama bandana yang bewarna serupa dengan dress-nya. Mata bulatnya menatap cermin. Tersenyum sangat lebar.

"Visha!"

Apalagi saat namanya dipanggil. Dia menoleh dan senyumnya makin mengulas sempurna. Sontak bangkit dari kursinya. "Bu Feni!"

Wanita muda yang dipanggilnya barusan berjongkok di depannya. Mensejajarkan tinggi. "Kamu cantik banget."

Dia menoleh saat bahunya disentuh dan menemukan keberadaan sang mama di belakangnya. "Mama yang milih gaunnya."

"Iya, ibu suka, Visha jadi kayak princess."

Avisha, gadis itu tertawa, membuat dua gigi kelincinya terlihat.

Bu Feni mengusap rambutnya yang menjuntai panjang melebihi bahu. "Ibu yakin, kamu bisa."

"Icha bisa Bu," Avisha tersenyum yakin. "Karena Bu Feni, Icha bisa lancar main biolanya kayak sekarang."

"Itu bukan cuma karena Ibu, tapi Visha emang berbakat." Bu Feni tersenyum. "Visha harus rileks di atas panggung. Kalo gugup tatap Mama," Velin di belakangnya tertawa. "Liat Papa, Bang Darlan, siapapun itu yang buat Visha bahagia. Karena saat Visha ngeliat mereka, Visha bakal lupa kegugupan Visha."

"Gitu ya?" Bu Feni mengangguk. "Tapi, Bu Feni liat." Dia menunjukkan telapak tangannya yang berkeringat. "Tangan Icha sampe basah, padahal yang deg-degan jantung Icha."

Kedua wanita itu serentak tertawa melihat bagaimana kepolosannya.

"Itu wajar sayang," Mamanya mengecup puncak kepalanya. "Ini lomba pertama Visha. Penampilan pertama Visha di atas panggung. Ditonton banyak orang. Jadi, demam panggung itu udah biasa."

Mungkin memang begini rasanya. Avisha tersenyum mengangguk. Menetralkan detak jantungnya dengan menarik napas panjang. Mengikuti yang Darlan ajarkan kemarin.

"Oh ya, biolanya Visha mana?" Bu Feni sudah berdiri sekarang.

"Ya ampun," Tangan kecilnya menepuk dahi. "Icha lupa biolanya ada sama Papa." Kemudian tangannya menarik tangan Velin. "Ayo Ma, cari Papa. Dikit lagi Icha mau tampil. Bu Feni tunggu sini ya."

"Iya-iya," Velin kewalahan. "Bu saya tinggal dulu ya."

Setelah mendapat anggukan dari Bu Feni, Avisha menyeret mamanya keluar area belakang begitu saja. "Papa dimana, Ma?"

"Coba Mama telepon."

"Eh itu Papa!"

Velin belum sempat mengeluarkan ponsel di dalam tas, ketika Avisha sudah lebih dulu menariknya menuju Devin yang ada di ujung koridor ruangan. Dari sang Papa yang tampak frustasi berbicara pada telepon, sepertinya ada masalah penting.

"Saya sudah bilang, saya tidak mau bekerja sama dengan bisnis mereka. Apa perlu saya mengulangnya jutaan kali?!" Suara papanya membentak.

"Papa!" Avisha memanggil. Mengalihkan papanya dari orang di seberang telepon.

"Ini pembicaraan terakhir tentang masalah itu. Saya harap kamu mengerti." Setelahnya Devin mematikan panggilan sepihak. Mengubah raut kejamnya beberapa saat lalu dengan penuh kelembutan.

"Hai princess kesayangan Papa!" Dia berjongkok sambil menyodorkan higfive, yang Avisha balas langsung bersama tawa.

"Ada apa mas?" Velin menerima tas biola yang Devin sodorkan. Sementara sang suami berdiri sambil menggendong Avisha.

"Gak ada apa-apa. Cuma masalah pekerjaan." Dengan tangan sebelahnya, Devin merangkul pinggang Velin. Tampaknya cara pintar untuk pengalihan pembicaraan. "Dimana Darlan?"

"Dia sudah duduk di kursi penonton sejak tadi." Velin tertawa. Mengingat putra sulungnya yang awalnya sulit dibujuk untuk ikut, kini justru terlena menonton setiap peserta yang tampil di panggung.

"Gadis cantik Papa takut?" Bersama-sama mereka kembali melangkah ke belakang panggung.

Avisha menggeleng. Mengeratkan pelukan di leher papanya. "Gak dong, Icha kan anak pemberani."

"Putri Devin kayden emang harus berani." Papanya mencium pipinya beberapa kali yang membuatnya tertawa. Setibanya di area belakang, Devin menurunkan Avisha, bertepatan dengan Bu Feni yang menghampiri. Memberitahu jika ini saatnya untuk Avisha maju ke depan panggung.

"Anak Papa bisa," Sang papa mengecup keningnya. Kemudian mengepalkan tangan. "Fighting!" Avisha ikut-ikutan mengepalkan tangan sekaligus mengikuti ucapan sang Papa.

"Mama sama Papa tinggal ya sayang." Setelah mendapat pelukan dari mamanya dan menyerahkan biola, yang langsung didekap, kedua orang tuanya berlalu. Meninggalkan Avisha bersama Bu Feni. Kemudian dia dituntun ke arah tangga menuju panggung.

Avisha memeluk biolanya erat. Merasa gugup semakin kuat menyerang. Apalagi saat salah satu peserta yang sebelumnya tampil kini sudah menuruni panggung.

Dan ini waktunya.

Setelah mendapat ucapan penyemangat dari Bu Feni, Avisha melangkahkan kaki kecilnya menaiki tangga. Tirai merah di depannya perlahan terbuka, mempersembahkan seluruh tatapan penonton langsung menyorot ke arahnya.

Dengan biolanya, Avisha berjalan ke tengah panggung. Ada para juri penilai yang duduk bagian depan. Pertama, Avisha memperkenalkan diri. Sebelum beberapa kru menaruh kursi tinggi, yang kemudian dia duduki.

Tangannya gemetaran saat meletakkan biola di antara leher dan dagu. Namun, itu cuma sesaat, dia mengulang perintah yang Bu Feni berikan. Dia tak peduli pada orang-orang di sekitar, sorotnya langsung jatuh pada kedua orang tuanya, tersenyum menyemangati. Pun Darlan, sang kakak siap-siap merekamnya dengan kamera.

Kegugupannya runtuh. Avisha mulai tenang. Bersama penglafalan jika dia bisa, Avisha mulai meletakkan busur di antara senar. Menggesekkan perlahan. Membiarkan nada bermain. Membiarkan dia tenggelam dan lupa pada sekitar.

Segalanya terasa menyenangkan. Avisha memang suka lupa jika sudah bermain bersama biolanya. Detik berjalan begitu cepat. Tanpa terasa semuanya telah selesai. Dihadiahi tepuk tangan meriah. Sekeliling riuh, tapi ini melegakkan.

Senyumnya mengembang.

Dia turun dari kursi. Membungkuk terima kasih.

Apalagi saat tatapannya bertemu dengan Darlan sekaligus kedua orang tuanya. Tangannya melambai ceria. Jika sang Papa mengacungkan dua jempol bangga, Darlan berteriak-teriak menyerukan namanya, mamanya justru sudah sampai menangis terharu.

Usai horden jatuh menutup, dia melangkah menuruni tangga, menuju belakang panggung. Avisha sangat senang luar biasa. Merasa jika ini adalah hari dari hidupnya yang paling bahagia.

Atau justru dari sini kesedihannya bermula.

Lampu mendadak padam.

Semua gelap dan tak dapat menampakkan apa-apa.

Avisha panik. Merasa ketakutan menjalar di sekujur denyut nadi. Jantungnya berdentam tak karuan. Kasak-kusuk kekacauan terdengar di luar sana. Orang-orang berteriak, memperburuk ketakutan yang dirasa.

"PAPA!" Mengandalkan indra peraba, Avisha mengulurkan tangan dalam kegelapan. Merasa harus cepat menemukan kedua orang tuanya agar dia bisa tenang dalam pelukan mereka.
"MAMA!"

"Papa-Mama dimana?! Icha takut!" Teriakannya teredam di antara kekacauan yang tecipta. Banyak teriakan yang bersahutan sana-sini. Bahunya menabrak orang-orang yang berlalu lalang ikut panik.

Sampai dimana waktu seperti berhenti berdetak, jantung merasa terhantam saat sebuah telapak tangan bersama kain bius membekapnya dari belakang. Menghalau pekikkan terkejutnya dalam satu kesadaran yang hilang.

•••

Seingat Avisha dia ada di belakang panggung. Masih menikmati ephouria kesenangan yang dia rasa.

Namun, ketika membuka mata, kondisi remang dengan barang-barang rongsokkan yang tergeletak tak beraturan di pojok. Aroma debu, kayu lapuk, dinding berjamur, dan asap rokok yang berterbangan.

Dia terbelalak melihat dirinya berada dalam gudang kosong dengan tangan dan kaki terikat. Apalagi mulutnya tertutup kain yang menahan jeritan. Avisha menggeleng berusaha, melepaskan saat justru gerakannya ditahan seseorang.

Avisha makin takut luar biasa melihat orang-orang berbaju hitam dengan topeng di wajah berdiri mengelilingi.

Siapa mereka?

Dimana Papa-mamanya?

"Lepas! Lepasin Icha!" Itu yang Avisha teriakkan. Walau sia-sia karena tak ada suara yang keluar dari bibirnya. "LEPAS! KALIAN SIAPA?! MANA PAPA-MAMA ICHA?!"

Darahnya seperti mengucur deras oleh ketakutan dan kepanikkannya. Avisha tanpa sadar menangis. Membiarkan air mata yang justru mengundang gelak tawa. Dia meronta, ingin melepaskan diri dari tali yang mengikatnya kencang.

"Mama-Papa, Icha takut!" Dia takut. Tidak ada siapapun yang dikenalnya di sini.

Ketika orang-orang bertopeng itu minggir ke kanan dan kiri, membentuk sebuah jalan. Tak lama, muncul seorang pria paruh baya dengan sorot santai tapi tampak begitu bengis.

"Avisha Pratista, anak Devin Kayden," Dia tersenyum. Senyum yang sampai kapanpun melekat di memori buruk kepalanya. "Kalo bukan ayahmu, kamu gak akan di sini, nak."

"OM SIAPA?!" Andai Avisha bisa mengeluarkan teriakan ini.

"Kamu harus dilenyapkan karena kesalahan ayahmu."

Bagaimana rupa dan wajah lelaki itu, terbayang begitu mengerikan untuk Avisha. Rasa takutnya tak dapat dideskripsikan lagi. Tubuhnya gemetaran. Jantungnya berdentam keras. Dan ... tangannya menekan lantai aspal dan berdebu, membuatnya kotor dan terluka.

Apalagi saat sosok itu melangkah seperti malaikat kematian buatnya. Dia berjongkok. Melepaskan bekapan yang membuatnya bisa berteriak.

"Om siapa?" Avisha mengeluarkan pertanyaan ini akhirnya. Lirih sekaligus panik di waktu yang sama.

"Kamu yakin mau tau saya siapa?" Sorotnya begitu tajam. "Seharusnya kamu bertanya pada ayahmu. Tanya dia nanti. Ah ... sepertinya itu tidak bisa. Karena mungkin kamu harus melihat kesedihan Papamu nanti dari surga."

"Om jahat!" Lagi-lagi dia berteriak. Air matanya menggumpal banyak di pipi. "Kenapa Om lakuin ini?! Salah Papa Visha apa?!"

"Kamu masih kecil, nak," Dia menangkup pipinya kasar. "Penjelasan saya pun tidak akan membuatmu mengerti." Kemudian dia menyentaknya dan membuat kepalanya terantuk tiang di belakang.

Sosok iblis itu berdiri, menatap seluruh orang-orang yang berbadan tegap di sana.

"Jalankan rencananya sekarang." Wajahnya tersenyum pada Avisha setelahnya. "Bakar tempat ini!"

Avisha menggeleng. Semakin meronta di tempatnya. "JANGAN! ICHA MOHON JANGAN!"

Mereka cuma peduli pada perintah tuannya. Ucapan Avisha hanya angin yang dibiarkan berlalu. Mereka membaur, menjalankan tugasnya masing-masing. Avisha menangis. Meronta. Menjerit. Sayang, bukan rasa iba yang diterima, sosok itu justru tertawa.

"Saya harus pergi nak!" Orang itu memasang raut sedih yang dibuat-buat. "Maafkan saya." Setelahnya dia melangkah arogan meninggalkan Avisha.

"Icha mohon jangan dibakar! JANGAN! Jangan dibakar!" Teriakkannya tak berarti apa-apa. Aroma bensin menusuk penciuman. Disusul suara percikan api, yang perlahan membumbung tinggi. Orang-orang itu pun berlalu pergi, meninggalkan Avisha yang terikat sendiri.

"Gak!" Avisha semakin memperkuat usahanya untuk bebas. Membuat setiap jengkal tangannya lecet dan berdarah karena gesekkan. "Papa! Tolong Icha. Tolong!" Karena saat ini Avisha cuma berharap pada keajaiban.

Hal yang dia lakukan ini tak berbuah apapun. Dia menyandar pada tiang belakang. Asap membaur, bersama api yang makin beranjak tinggi, melahap rakus. Air matanya tak lagi keluar, cuma dibiarkan tertinggal di pipi.

Disaat harapan mulai mengikis, rasa lelah mulai membayang, dan menyerah menjadi pilihan. Avisha menemukan sebuah titik terang. Di titik terendahnya, seolah Tuhan sudah merancang jika ini belum akhir baginya.

Ada sebuah besi tajam di dekat kakinya.

Mengandalkan sisa tenaga terakhir, dia memanjangkan kaki. Walau dengan keadaan terikat, dia berusaha menarik besi itu mendekat. Mengerahkan seluruh tenaga, yang membuatnya ingin sujud syukur karena keberhasilan yang dia dapatkan.

Besinya sudah berada di dekat tiang. Sekarang giliran tangannya yang bergerak untuk menjangkau. Setelah menjepitnya dengan jari, dia menggerakannya ke arah belakang punggungnya. Ke arah tali yang mengikatnya kuat.

Karena posisinya dia tidak bisa melihat ke belakang. Sesekali besi itu menggores tangannya. Mati-matian di sini, dia menahan tangis. Apalagi saat beberapa bangunan mulai runtuh termakan api.

Di batinnya, dia memohon pada Tuhan. Mama sering mengajarkan jika dalam kesusahan. Avisha harus ingat jika Tuhan ada di sisinya. Siap membantu dan menolongnya dari badai yang datang.

Saat akhirnya talinya bisa terputus, dia sesegera mungkin melepaskan tali di kaki. Meski terluka, Avisha merasa senang luar biasa. Setidaknya hanya sisa satu perjuangannya. Yaitu; keluar dari tempat ini.

Avisha berdiri, bertepatan dari arah kepala sebuah reruntuhan jatuh. Refleksnya berguna cepat. Dia menghindar dan jadi meringkuk ketakutan. Menutup mulutnya menghalau asap yang semakin pekat dan menusuk penciuman.

Kembali dia berdiri, mencari jalan keluar susah payah. Beberapa kali menghindari benda-benda yang terjatuh dari atas kepala.

Kakinya melangkah gemetaran, sesekali tangannya yang bebas mengusap sudut mata yang berair. Dalam hati Avisha cuma bisa menyebut papanya berulang kali, berharap beliau akan datang menolong.

Segalanya jadi terasa makin sulit.

Tak lama, bala bantuan datang, seorang petugas pemadam kebakaran menemukannya, yang hampir terkena reruntuhan besi, dia menggendongnya dan membawanya keluar.

Nyaris saja nyawanya terenggut. Sebuah ledakkan besar terdengar menyusul setelah petugas berhasil membawanya keluar, api memercik menunjukkan kekuasaan, melahap habis semua.

Dia didudukkan di rerumputan luar gedung kosong yang terbakar itu. Si petugas bertanya keadaannya, yang tak mampu dia jawab. Dia syok luar biasa, tangannya lecet dan terluka.

"Tenang nak kamu udah di luar!"

Bukannya tenang, gadis kecil itu justru menutup telinganya. Menggeleng mendengar suara sirine pemadam kebakaran sekaligus mobil polisi yang terdengar memekakkan.

"Takut ..." gumamnya. "Api ... takut!"

Karena mungkin nyawanya memang terselamatkan. Tapi itu tidak mengubah keadaan. Kejadian ini memiliki dampak besar bagi ingatan. Sampai pada waktu yang mungkin akan terus berjalan, ingatan itu akan melangkah bersama. Meninggalkan trauma dalam mimpi maupun nyata.

•••

Avisha tak menyangka jika rasanya selega ini setelah bercerita. Mungkin diawal dia sempat ragu, menceritakan masa kelamnya pada orang lain tentu tak semudah yang dibayangkan. Dia perlu mengulang ingatan dan hampir terjerumus pada ketakutannya lagi.

Namun, kepercayaannya pada Arven menepis langsung keraguan itu.

Avisha mengetuk permukaan sofa. Menunduk. Meski dari ujung mata, dia melirik Arven yang diam, tenang mendengarkan. Cowok itu tak memberi reaksi apapun, dan Avisha pun tidak berharap banyak.

"Jadi karena itu ..." Avisha langsung menoleh, melihat mata Arven lurus tak membalas tatapannya. "Lo takut api?"

"Sebenernya, Visha gak ... gak bener-bener takut. Kalo api-nya masih kecil dan gak ada tanda-tanda ngebakar semua. Visha masih bisa biasa aja." Dia menarik napas panjang, memainkan kuku. "Tapi, ya gitu, Visha selalu ... ngeri ngeliat api."

Yang ini, Arven menoleh. Membuat mata mereka bertemu.

"Karena itu juga, lo gak mau ikut lomba dan tampil di panggung?"

Untuk raut wajah dan isi kepala, Arven tak mudah ditebak. Avisha tidak tahu yang Arven pikirkan dari sikap tenang dan dinginnya. Tapi, satu hal dari pertanyaan yang diberikan itu, Avisha tahu jika ada rasa peduli di sana.

"Visha jadi gampang takut, takut laba-laba, takut api, takut suara sirine." Bukan inginnya Avisha menjadi lemah seperti ini. Setiap kali mengingat ketakutannya yang tak ada ujung, selalu berdampak dadanya yang sesak dan membuat air matanya mengalir. "Bahkan cuma suara bedebum jatuh aja, Visha udah gemetaran. Takut kalo sebenernya Visha masih ada di sana. Di gudang kosong itu sama bangunan-bangunan yang jatuh."

Avisha membiarkan air matanya mengalir deras. Seperti ada batu yang menekan dadanya kencang. Dia sesegukkan. Penampakkan yang bagi siapapun begitu menggetirkan. Termasuk Arven yang tanpa sadar sudah menarik cewek itu dalam rengkuhan. Membiarkannya menangis di dadanya.

"Kejadian kemarin buat Visha inget kejadian dulu ... ap-apalagi, ada orang yang sengaja neror-neror Visha akhir-akhir ini, bikin Visha jadi makin takut apapun."

Dia sebenarnya tidak ingin menangis di depan siapapun. Pada setiap ketakutannya, Avisha berusaha menutupinya. Bahkan di depan keluarganya, Avisha selalu berupaya bersikap normal. Tak mau membuat mereka semua menjadi khawatir.

Namun, saat di depan Arven, entah kenapa Avisha seperti menemukan tempatnya bercerita.

"Kak Arven pasti mau ledek Visha penakut kan?" Dia mendongak lalu tertawa perih. "Gak pa-pa kok, Visha emang penakut, cengeng juga."

Dari diamnya Arven, Avisha tak butuh apa-apa. Karena dari tangan cowok itu yang merengkuhnya erat. Itu sudah dari cukup baginya.

"Visha pikir, kemarin itu akhir Visha ngeliat orang-orang yang Visha sayang. Visha ..."

"Itu bukan akhir," Arven mengambil sisi wajahnya. Membersihkan jejak basahnya di pipi. "Itu justru awal, karena buat sekarang, dimana pun dan kapanpun, lo gak perlu takut karena ada gue. Malahan orang itu yang harus siap-siap, karena mungkin hidupnya bakal berakhir."

Arven memang selalu punya cara untuk membuatnya tenang.

"Om itu ... sampai sekarang Visha masih inget jelas wajahnya." Avisha diam sejenak. "Menurut Kak Arven mereka orang yang sama? Apa Om itu ... yang ngelakuin hal kemarin?"

"Gue gak tau," Arven tidak bisa asal menyimpulkan. "Tapi, siapapun itu gue pastiin dia bakal ketemu malaikat mautnya."

Avisha ternganga. Digabung antara kaget juga kagum.

"Wah, kak Arven serem." Wajah Avisha memasang berlebihan, sebelum detik berikutnya pecah oleh tawa. "Tapi, jadi keliatan keren gitu masa."

"Gue emang keren." Arven percaya diri dengan wajah dinginnya. Itu tidak cocok sama sekali membuat Avisha geli dan tertawa kembali. Mengubah suasana kaku itu perlahan-lahan.

"Lo harus sering ketawa." Arven menatapnya lekat. "Jelek soalnya kalo nangis."

Bukannya tersinggung, Avisha malah makin tergelak sambil mengangguk. Kemudian suasana seakan mendukung saat Avisha tak dapat menahan diri untuk kembali menenggelamkan diri di dada Arven.

"Visha suka dipeluk kak Arven."

Arven memandang puncak kepala Avisha, diam-diam mengangkat ujung bibirnya samar. "Pelukan gue gak gratis. Ada bayarannya."

"Kenapa harus selalu bayar sih?!" Avisha mendongak kesal. "Jangan-jangan kak Arven cita-citanya mau jadi penjaga pegadaian ya, harus selalu ada jaminannya." Dia mendengkus malas. "Emang apa bayarannya?"

Arven menurunkan sisi kepala, mempertemukan hidung mereka tanpa jarak. "Kalo lo udah masuk dalam pelukan gue," Avisha tanpa sadar sudah menahan napas sejak tadi. "Lo gak boleh lepas."

Dalam kedua tangannya yang memeluk Arven dan jarak yang terpaut dekat, Avisha justru menikmatinya. "Visha emang gak mau lepas."

"Good," Arven menariknya makin mendekat. Tubuh mereka merapat. Lebih saat Arven mendekatkan bibir ke telinganya. Napasnya terasa di sana. Berbisik pelan. "Karena gue juga gak mau lepas."

•••

Wah makin bahaya ya kalian, jauh-jauh ada setan entar :v

Jangan gitu babang Arven, kalo nanti kebawa perasaan bukan cuma tanggung jawab kaki lagi, tapi juga hati eaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top