A;A35-Pahlawan yang ditakdirkan
Malam sabtu, tapi gak enak ya seharusnya besok istirahat, tapi tugas numpuk hmm
Vote dan komen bebepkuuh :*
▪
RAGA Arven berada di ruang rapat osis. Tapi, justru pikirannya tak berada di tempat yang sama. Sesekali irisnya melirik ponsel yang tergeletak di meja. Berharap tanda 'read' dua setengah jam yang lalu mendapatkan sebuah jawaban.
Rasa tak mengenakan ini membawa dampak buruk pada kefokusannya. Dia seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri dibanding mendengarkan para anggota berdiskusi.
"Ven, gimana menurut lo?"
Suara Veron menyentak sadar. Dia menatap seluruh anggota yang menunggu pendapatnya.
Arven yakin jika dia terus menjebak pikirannya pada asumsi buruk yang bertebaran di kepala, bisa-bisa dia ikut terseret dan fokusnya tentu menjadi hilang arah. Dia tidak bisa bertahan di sini.
Dia bangkit berdiri. Mengejutkan seluruh pasang mata orang yang berada di ruangan. Setelah mengambil ponsel sekaligus jaketnya yang tersampir di kursi. Dia menatap semua yang di sana.
"Lanjut besok. Harus ada yang gue urus dulu."
Tanpa meunggu persetujuan yang lain sekaligus Askar yang siap melayangkan protesan. Arven sudah berlalu ke pintu keluar. Koridor telah sepi dan suara operator yang memberi jawaban sangat jelas terdengar.
Refleks dia mengumpat. Dia mencoba beberapa kali dan berujung menerima kondisi yang sama.
"SHIT! Lo dimana sih, Sha!" Suara dinginnya menggema setiap sudut koridor. Sebelum bahunya ditarik dan dia melihat siapa yang melakukannya. Arven menepis kasar tangan Veron.
"Ven," Sepertinya wajah tegang Arven terlalu mudah dibaca. "Lo kenapa sih?"
"Pesan gue cuma diread sama Avisha."
Arven yang tampak frustasi itu adalah penampakkan yang sangat langka. Apalagi mendengar penyebabnya membuat Veron ternganga tak percaya.
"Jadi cuma karena itu lo gak fokus?"
Mata sedingin sekaligus tajam itu bagai menyembelih Veron di tempat. Dia meneguk ludah susah payah.
"Coba telepon."
"Hpnya mati."
"Lowbat hp dia berarti! Santai aja sih, entar juga dia ngabarin lo!"
Arven langsung mendelik. Kalau boleh rasanya Veron ingin kabur saja. "Gue gak sebego itu! Perasaan gue gak enak sejak tadi!"
"Terus gimana? Mau gue bantu?"
"Itu emang harus bukan?" Arven melemparkan tatapan dingin, untuk kemudian berlalu gusar meninggalkan Veron yang nyaris mengumpat kesal.
"Untung temen, Ven." Veron geleng kepala. Terpaksa mengikuti di belakang.
Di pertigaan koridor, dari arah belokkan tampak dua cewek berjalan terburu-buru. Melihat itu langkah Arven pun terhenti. Termasuk Veron.
"Kak Arven!" Itu teman Avisha yang Arven tahu bernama Yania. Dan fakta cewek tinggi itu ada bersama Yania, perasaan Arven makin tak karuan. "Kebetulan saya nyari kak Arven. Visha ..."
"Bukan seharusnya lo pulang bareng Avisha?" Cewek bernama Ilona itu tampak tergagap. "Dimana dia?"
"Itu kak, saya ..." Ilona kebingungan menjelaskan. "Saya udah nyuruh Visha nunggu saya selesai kumpul ekskul. Cuma dia gak mau dan ..."
"Dan lo biarin dia pulang sendiri?" Nada tajam serta aura kelam Arven memotong kalimat Ilona seketika. Veron di sebelahnya sampai meringis. Apalagi Ilona yang sekarang ciut merapat pada Yania sambil menunduk.
"Saya udah bujuk dia terus kak, tapi Visha emang sedikit keras kepala. Dia tetep ..."
"Kalo lo temennya seharusnya lo tetep maksa gimanapun caranya!" Beruntung Arven masih bisa mengendalikan diri disaat kacau pikirannya sudah di titik tertinggi.
"Jangan salahin Ilona kak," Jujur kaki Yania sudah gemetaran di pijakan. Tapi, berusaha untuk menatap mata Arven yang setajam elang. "Saya juga salah. Saya gak nanya lagi, Ilona ada kumpul ekskul hari ini atau enggak. Jadi ya saya biarin aja dia pulang bareng Ilona siang tadi. Tapi ternyata, dia pulang sendiri dan saya telepon dia, tapi malah operator yang jawab. Terus, pas saya telepon ke rumahnya. Bi Desi bilang ..."
"Bilang apa?" Arven tak sabaran.
"Visha gak ada di rumah."
Seharusnya Arven sejak awal sadar. Perasaan tak mengenakan yang dirasa, bukan sekadar mengada-ngada.
"Visha harusnya udah sampe rumah dua jam lalu." Yania tampak ingin menangis. "Saya takut Visha kenapa-napa, kak."
"Dia pulang naik apa tadi?" Walau berusaha tenang, ada kegusaran jelas yang Arven tunjukkan.
"Taksi," sahut Ilona cepat.
"Lo inget plat-nya?" Veron buka suara akhirnya. "Biar gue lacak."
"Masalahnya, plat asli sama yang di aplikasi ... beda kak." Ilona terbata-bata.
"BANGSAT!" Arven tak tahan untuk tidak mengumpat. Nyaris saja melayangkan tonjokkan ke tembok.
Ilona dan Yania terkejut setengah ampun. Merapat satu sama lain gemetaran. Sementara Veron tersentak sejenak dan agak kebingungan. Untuk pertama kalinya, dia melihat Arven yang dijebak oleh kekalutan seperti sekarang.
"Ven ..."
"Lo urus berkas di ruang osis aja, Ron." Arven langsung memotong kalimatnya. "Gue harus cari Avisha sekarang." Setelahnya, dia bergegas cepat meninggalkan orang-orang di sana bersama kegusaran dalam setiap jejak langkahnya.
Cukup dua kali Arven merasakan kegilaan ini. Saat dia melihat darah yang mengalir dari kedua orang tuanya sekaligus detik-detik adiknya merenggang nyawa. Dan ... Arven tidak menyangka hal seperti ini lagi-lagi terjadi.
•••
Tujuan Arven cuma satu sekarang.
Ruang ekskul fotografi tampak sudah kosong dan sepi saat Arven melangkah masuk. Pertemuan sepertinya sudah dibubarkan.
"Ven," Cuma tersisa dua orang di sana. "Kenapa ke sini?" Regha memasukkan beberapa data ke laci meja.
Zion juga bingung. "Bukannya lo ada rapat ya?"
Tanpa acuh oleh Zion, Arven memilih menjelaskan alasannya datang menemui Regha. "Gue mau lo lacak GPS yang gue taruh di tempat pensil Avisha."
"Lo naruh GPS di tempat pensil biji kuaci?!" Zion sampai kaget mendengarnya. "Gila! Nekat banget lo!"
"Kenapa lo mau lacak Avisha. Bukan seharusnya dia udah di rumah?" Regha bingung.
"Dia gak ada di rumah," Jika menghitung kapan terakhir kali melihat Arven sekalut ini, Regha dan Zion menjawab dengan keyakinan penuh. Kalau ini kali pertamanya. "Gue mau lo lacak. Sekarang, Gha!"
"Santai, Man!" Zion bermaksud menenangkan, tapi pikiran kacau ini membuatnya gila. Di luar kendali, Arven menarik kerah Zion.
"Gue gak bisa santai!" Arven kini jelas dua kali lipat tampak menyeramkan dibanding biasanya. Zion mengangkat tangan menyerah dan tersentak mundur saat Arven melepaskan kerahnya.
"Oke Ven. Tapi lo tenang dulu, gue bakal lacak sekarang." Kemudian Regha segera berdiri menunduk di depan komputer yang berada di ruang ekskul. "Kenapa gak lo lacak sendiri?"
Andai pikiran Arven tak seberantakkan sekarang. Dia mungkin akan melakukan sendiri tanpa meminta bantuan orang lain.
"Mana ponsel lo?" Regha mengulurkan tangan, Arven langsung memberikan yang lelaki itu minta.
Detik-detik yang terbuang terasa menjelma menjadi begitu panjang dan Arven merasa frustasi menunggu. "Udah ketemu?"
Kini gelengan Regha menambah daftar kekalutan Arven.
"Kenapa gak lacak GPS ponselnya-nya Avisha biar lebih gampang?" ucap Zion.
"Ponsel-nya mati."
"Kenapa lo masang GPS di tempat pensil Avisha?" Regha bertanya sambil mengetik sesuatu di komputer.
"Biar bisa dibutuhin kayak sekarang." Arven menjawab. Semaksimal mungin berusaha tenang. "Dan lo tau ... Avisha diteror beberapa minggu ini. Buat ngehindar yang enggak-enggak, gue harus mantau di setiap hari."
"Ven ..." Zion bersuara. Tatapannya begitu serius. "Kenapa lo ngelakuin sampe sejauh ini?"
Arven terdiam beberapa saat.
"Gue udah ketemu," seru Regha. "Gue kirim alamatnya ke ponsel lo Ven!"
Regha menyodorkan ponselnya kembali, yang diterimanya tanpa mengalihkan tatapannya dari Zion.
Sambil memakai jaketnya, Arven menjawab dengan keyakinan penuh. "Karena dia tanggung jawab gue sekarang." Selalu itu jawabannya. Yang kemudian berlalu keluar. Meninggalkan kedua temannya yang terdiam.
Karena jujur jauh di dalam lubuk hati, Arven selalu menghindari jawaban atas pertanyaan itu.
•••
Tidak satu pun ingatan yang tertinggal di kepala Avisha. Hal terakhir yang dia ingat seseorang memakai pakaian serba hitam membekapnya dengan obat bius. Dan ... kini ketika terbangun, matahari sudah tenggelam di cakrawala. Kegelapan menyentak mata. Hening mendengung telinga. Pun aroma besi berkarat bercampur tembok melapuk masuk di indra penciuman.
Avisha tak tahu ini tempat apa. Dari sekeliling yang gelap dan cuma pilar-pilar tembok yang berjejer di sekitar, Avisha menyimpulkan jika ini adalah gedung tak berguna. Kosong dan cuma suara jangkrik yang terdengar.
Ketakutan kembali menyerang. Avisha baru ingin menggerakan tubuh saat dia sadar sepenuhnya jika tangannya teringkat ke belakang dan kakinya yang menjulur juga terikat tali tambang.
Perasaannya makin tak karuan. Hal ini mengingatkan Avisha pada tragedi sepuluh tahun lalu. Persis sama. Yang membedakan jika saat itu Avisha ada di gudang kosong bersama beberapa orang yang berdiri bertugas menjaga.
Avisha memandang sekeliling berusaha kuat untuk tidak menangis. Mungkin bisa saja orang-orang jahat itu bersembunyi di balik pilar-pilar yang menjulang. Avisha tak boleh lengah. Sekuat tenaga dia menggerakan tangannya di belakang punggung, melepaskan tali yang diikat kencang.
Seharusnya Avisha tahu, walau sekeras apapun usahanya, hal ini berakhir sia-sia. Dia tak bisa membebaskan diri. Dia tak bisa melakukan apapun.
Tanpa bisa ditahan, air matanya mengalir ke pipi. Dia takut. Dia jelas sangat takut. Dia tidak pernah berharap kejadian seperti ini terulang lagi. Bahkan, dia tak pernah memiliki bayangan akan seperti ini.
Ini mengerikan. Ini terasa begitu mengerikan.
Disaat Avisha berusaha berdamai pada traumanya di masa lalu. Justru kondisi ini memperparah ingatan buruk di kepalanya.
Avisha menunduk. Menangis sejadi-jadinya.
Ketika mendongak dia tersentak, tak ada yang lebih mengejutkan saat melihat seseorang berdiri sambil menyandar di pilar. Dengan pakaian serba hitam dan topeng menutup wajah, orang itu jadi tampak sangat menakutkan.
Ingatan kembali menusuk kepalanya. Dia menggeleng. Ketakutannya tak terkendali, yang tanpa sadar menggerakan tubuhnya mundur dengan telapak tangannya yang terikat.
"Siapa kamu?"
Tubuh orang itu samar terlihat. Sekitar gelap ditambah cuma ada cahaya bulan. Avisha tak bisa menebak siapa orang di depannya. Namun, satu hal, orang itu memiliki postur tubuh besar dan tinggi. Seperti orang-orang yang pernah bertugas menjaganya sepuluh tahun lalu.
"KAMU SIAPA?!"
Orang itu tak menjawab dan justru melangkah mendekat. Avisha terbelalak. Berusaha untuk menjaga jarak walau susah payah. Avisha mundur bersama telapak tangannya yang menempel di lantai semen, dan hal itulah yang membuat telapak tangannya tertusuk batu di sana.
Avisha meringis. Walau kesakitan ini tak sebanding dengan ketakutannya.
"Visha mohon. Kamu siapa?!" Air matanya menetes kembali. Bayangkan, tidak ada siapapun di sini, lebih suasana gelap dan sepi. "Kamu mau apa?!"
Avisha menunduk. Menekuk kakinya yang teringkat. Menggeleng kencang. Menghindar pun hal yang tak berguna, dia tak bisa melakukan apapun sekarang. Cuma berharap ada orang yang menolongnya nanti.
Kemudian ada sebuah cahaya senter yang menyorot. Ketakutannya berlipat ganda. Avisha mendorong tubuhnya ke pojok pilar. Memejamkan mata sambil bergumam ketakutan. "Visha mohon. Jangan ... jangan ... JANGAN!"
Bahunya ditarik setelah dia mengeluarkan teriakkan.
"Ini gue, Sha ..."
Penglihatannya seolah menjadi jelas saat dia menemukan Arven memegang bahunya dengan sorot panik yang nyata. Bagai menemukan jalan keluarnya setelah tersesat, Avisha tak dapat menahan diri untuk tidak makin menangis, yang langsung membuat cowok itu menariknya dalam pelukan.
Ketakutannya luruh begitu saja.
"Visha takut," gumamnya di dada Arven. "Tadi ada orang pake pakaian hitam. Dia ..."
"Sekarang lo gak perlu takut, ada gue di sini. Ada gue," bisik Arven menenangkan. Begitu erat memeluknya.
"Kak Arven liat?" Avisha mendongak dari dadanya. Pipi dan matanya basah oleh air mata. Bahkan jaket yang Arven pakai ikut terkena jejaknya. "Dia ada di pilar itu tadi."
"Mungkin dia udah keburu pergi setelah liat cahaya senter gue." Arven menjelaskan. Lalu mengusap jejak basah yang ada di wajahnya. "Lo jangan nangis lagi. Orang itu gak berani ngapa-ngapain lo, lo aman sekarang."
"Dia yang bawa Visha ke sini," jelasnya tersendat. Walau ada Arven yang membuatnya tenang dan tak perlu takut, tapi bayang-bayang mengerikan jika orang itu akan kembali melakukan ini. Membuat ketenangan tak selamanya berpihak padanya. "Gimana kalo dia balik lagi?"
"Gak akan," Arven melepaskan pelukan. Membantu melepaskan tali di kaki sekaligus tangannya. "Dia gak akan balik lagi. Gue pastiin itu."
Untuk saat ini Avisha mencoba untuk percaya. Lagipula Arven selalu menepati semua ucapannya. Avisha sangat tahu itu. Tangannya sudah terlepas dan Avisha menatap telapak tangannya yang terluka sejenak. Memilih tak memusingkannya.
"Visha takut, tapi sekarang Visha seneng karena ada kak Arven di sini." Dalam raut sedihnya, dia mencoba mengukir senyum.
Arven tak mengatakan apapun, cukup usapan lembut yang dia berikan di pipinya. Avisha merasa tenang dan nyaman.
"Visha mau pulang kak Arven," Cowok itu mengangguk. "Tapi tongkat Visha ..." Dia ingat tongkatnya tertinggal saat dia diseret ke dalam mobil.
"Gak perlu pake tongkat," Arven melepaskan jaketnya sebelum memakaikan di atas seragam sekolah yang masih melekat di tubuh Avisha. "Kalo gue bisa gendong lo kan?"
•••
"Kenapa kak Arven bawa Visha ke apart-nya?" Posisi tangan Arven yang berada di lekukan kakinya dan bawah bahunya. Membuat Avisha terpaksa yang memasukkan password apartemen milik Arven. Yang cowok itu sebutkan dan Avisha bagian memencet.
"Di rumah lo gak ada orang. Gue cuma memininalisir supaya kejadian kayak gini gak keulang lagi."
Perkataan itu dingin, tapi di telinga Avisha terdengar sangat manis.
"Kalo Papa lo juga tau," Sambil membawanya, Arven melangkah ke dalam. "Gue bakal habis."
Sifat Arven dan papanya itu hampir mirip. Sama-sama cuek walau kedinginan Arven lebih dominan. Avisha sangat tahu cuek mereka itu cuma topeng, yang padahal ada bentuk perhatian diam-diam tersimpan.
"Papa gak sekejam itu. Lagian Visha juga gak mungkin ngasih tau Papa-Mama, mereka pasti bakal khawatir."
Arven mendudukkannya di atas sofa ruang tamu. "Ini jadi rahasia kita ya kak Arven?" Avisha menoleh ketika Arven duduk di sebelahnya, kemudian mengulurkan tangannya. "Deal?"
Cowok itu mengambil tangannya. "Tenang aja, gue selalu pinter jaga rahasia."
Avisha spontan tertawa. Membiarkan ketakutan sedikit mengikis meski masih tertinggal beberapa bayangan mengerikan. Sekarang, Avisha cukup berpikir positif dan mencoba untuk melupakan kejadian ini. Bersama Arven, Avisha yakin dia bisa.
"Tangan lo ...'" Arven memandang telapak tangannya. Mengerut bingung.
"Ini cuma kena batu tadi."
Cowok itu mengusap goresan di sana. "Sakit?"
Avisha menggeleng. "Gak."
Arven melepaskan tangannya. Lalu membungkuk ke arah meja depan mereka. Mengambil sebuah kotak P3K yang ternyata tersimpan di sana.
"Ulurin telapak tangan lo." Perintah dingin yang tak Avisha bantah sama sekali. Dia membuka telapak tangannya.
Setelah dibersihkan dengan tisu basah dan juga diberi obat merah. Arven menutupnya dengan plester.
"Visha suka seneng gitu kalo ngeliat kak Arven obatin luka Visha. Kayak waktu di mobil, lobi sekolah dan sekarang. Berasa kak Arven tuh dokter Visha." Setelahnya dia tertawa dalam senyum lebarnya.
"Seharusnya lo tau, bukan cuma jadi dokter, gue terpaksa jadi bodyguard sekaligus sopir lo."
"Kak Arven malu?" tanyanya sambil memiringkan kepala.
Satu patah kata pun tak bisa Arven berikan. Bukan tak memiliki jawaban. Hanya saja jawaban yang dia temukan membuatnya tak yakin untuk diucapkan. Seharusnya ini sebatas kewajiban tanggung jawab, namun, Arven merasa jika 'tanggung jawab' ini membawa dampak lain.
Avisha masih menunggunya. Untuk usaha pengalihan, cowok itu cukup pintar. Avisha tersentak kaget saat Arven mengangkat tubuhnya. Yang refleks membuat dia melingkarkan tangan di leher Arven.
"Banyak nanya lo, mending anak kecil kayak lo tidur."
"Tidur? Tidur dimana?"
Avisha tidak mendapatkan jawaban. Justru Arven melangkah ke arah tangga yang berada di samping ruang tamu. Pasti kamar cowok itu berada di sana, sejak pertama kali ke sini, Avisha sudah bisa menebaknya.
Tiba di atas, ada dua pintu kamar yang saling berhadapan. Pintu yang kiri Arven buka dengan mendorongnya dengan kaki. Sejenak, tatapan Avisha terjatuh pada pintu yang berada di sisi kanan. Tidak ada yang menarik, cuma pintu cokelat biasa, tanpa pernak-pernik apapun di sana.
Tapi, entah kenapa Avisha penasaran pada kamar itu.
"Ini kamar gue," Pandangan Avisha tak kuasa mengedar. Menatap setiap detail kamar Arven yang yang didominasi warna gelap. Dari dinding, horden lebar yang menjuntai menutup kaca, dan seprai dari ranjang besar yang berada di tengah kamar.
Tidak ada hiasan, pajangan, bingkai foto, atau apapun yang terpasang di dinding. Semuanya cuma dinding polos. Padahal Avisha berharap ada satu kepingan puzzle yang dapat mengisi segala pertanyaan di kepalanya tentang keluarga Arven.
Berharap ada satu saja foto papa-mamanya atau adiknya, tapi ternyata ... dia lagi-lagi harus menyimpan rasa penasarannya sendiri.
"Kalo kamar sebelah. Itu kamar siapa?" Arven membaringkannya di atas ranjang. Cowok itu yang tadinya hendak beringsut menegakkan tubuh, jadi mempertahankan posisinya yang menjulang sekaligus menunduk di atas tubuh Avisha yang berbaring.
"Itu cuma kamar gak kepakai," Bukan jawaban seperti itu yang Avisha inginkan. "Lo tidur di sini, gue di sana."
Arven lalu berjalan ke arah lemari. Mengambil celana training sekaligus kaos polosnya. Memberikannya pada Avisha. "Gue ke bawah ngambil makanan, lo ganti baju."
Avisha mengangguk.
"Bisa kan?"
"Itu mah pasti Visha bisa." Dia terkekeh.
Arven mengangguk, hendak berlalu, jika bukan karena ujung kaosnya ditahan.
"Kenapa?"
"Visha boleh meluk kak Arven lagi?"
Untuk pertama kalinya, Arven sedikit sulit mengontrol kekagetannya. Apalagi tanpa sebuah persetujuan darinya, Avisha sudah menarik lehernya, yang mau tak mau Arven menopang tubuhnya dengan kedua tangan di sisi Avish.
"Makasih ya kak Arven, Visha gak bisa bayangin kalo kak Arven gak dateng tadi."
Entah perintah datang dari mana, Arven malah membalas pelukan Avisha. "Justru kalo gue yang telat dateng, gue bakal nyesel seumur hidup."
Pelukan ini bukan cuma memberi ketenangan pada Avisha, tetapi juga berdampak pada Arven, yang membuatnya tak ingin melepaskan.
•••
Eh main peluk-pelukkan siapa yang ngajarin?
Kadar galak Arven di sini agak berkurang ya, cuma emosinya itu hmm :)))
Gimana mau digas up kapan lagi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top