A;A27-Hal yang tak dimengerti

Selamat datang di bulan agustus. Semoga kalian ngasih vote dan komen dengan hati yang tulus. 

Eh bentar jadi keinget penyanyi dong wkwk

PELAJARAN terakhir telah usai ditandai dengan suara bel pulang. Avisha membereskan buku, bertepatan sang guru keluar kelas. Dia mengecek laci meja, takut ada yang tertinggal di sana.

"Sha!" Itu teriakan Lala. Avisha mendongak. Pun Yania di sebelahnya. "Ada yang nungguin noh. Cieee!"

Avisha maupun Yania langsung melihat ke arah mata Lala tertuju. Ilona juga ikut serta. Bahkan seluruh teman kelasnya juga menoleh. Ternyata di ambang pintu ada Arven yang menunggu dengan tangan kiri masuk ke dalam saku celana.

Tatapan mereka bertemu.

Avisha melambaikan tangan ceria.

"Kalian pulang bareng?"

"Gak usah ditanya lagi kali, Na. Ya udah pasti kak Arven ke sini mau jemput Visha." Yania yang menjawab. "Padahal cuma sebatas tanggung jawab, tapi kak Arven ngelakuinnya udah kayak cowok yang jagain pacarnya dua puluh empat jam."

Ilona mengangguk tak peduli. Berdiri sambil membawa tasnya di bahu. "Gue duluan ya, mau ke anak cheers."

"Lona jadi udah mutusin buat ikut cheerleader aja? Ekskul fotografi gak jadi?" tanya Avisha sambil menyandangkan tas.

"Kebanyakan, Sha ngambil dua ekskul. Gue miih cheers aja."

"Gue sih tetep fotografi," Yania memegang teguh pilihannya. "Sayang kalo keluar, entar gue gak punya kesempatan liat kak Regha lagi."

"Serah lo deh, Yaya." Ilona memutar mata malas. "Gue duluan ya. Dah!" Setelahnya dia berjalan ke arah pintu. Sejenak berhenti untuk menyapa Arven. Yang tak diacuhkan sama sekali.

Yania yang melihatnya melongo. "Gila! Secantik Ilona aja dicuekkin. Apalagi modelan kayak gue."

"Emang modelan kayak Yaya tuh gimana?" Avisha tertawa. Mengambil tongkatnya dan berdiri dengan mudah.

Yania juga ikut berdiri. "Cewek yang cakepnya biasa-biasa aja."

"Jadi Yaya ngaku kalo Yaya biasa aja?" Yania memelotot. Avisha tergelak sambil melangkah menuju pintu.

"Gini nih kalo otak orang ditukar sama otak bebek." Hinaan itu malah membuat Avisha makin tertawa. "Sha, maksud gue tuh gini ... aneh gak sih cowok secuek kak Arven segitu perhatiannya sama lo. Coba mikir?"

"Gak mau mikir ah, otak Visha udah nyut-nyutan ngafalin bahasa jerman tadi."

Yania tidak memperpanjang lagi. Sudah lelah duluan melihat Avisha yang tidak konek pada maksudnya.

"Kita langsung pulang kak Arven?" Avisha bertanya ketika berdiri di depan Arven. Lalu mengernyit bingung. "Eh, tas kak Arven mana?"

Beberapa teman kelasnya keluar pintu, melambaikan tangan pada Avisha. Yang dibalasnya dengan cengiran lebar. Walau banyak di antaranya mencuri pandang ke arah Arven. Seolah masih belum terbiasa dengan pemandangan si ketua osis yang datang ke kelas sepuluh cuma untuk menjemput Avisha.

"Gue ke sini justru mau bilang kalo gue gak bisa nganterin karena ada rapat osis."

Oh ... ada rapat. Avisha mengangguk mengerti. "Nggak apa-apa, Visha bisa pulang bareng Yaya."

"Naik?" Arven menaikkan alis.

"Saya bisa minta jemput sama Mama saya, kak." Yania menjawab.

Arven seperti memikirkan sesuatu sebelum mengangguk setuju. "Oke, gue anterin sampe lobi."

"Gak usah kak Arven!" Avisha menolak. "Visha sama Yaya bisa sendiri kok."

"Masalahnya ini bukan tawaran yang bisa ditolak." Sikap otoriter itu lagi. Avisha mendengkus. Tidak punya pilihan lain.

Selama berjalan menuju lobi, setelah mengirim pesan pada sang Mama untuk dijemput. Yania sengaja sedikit memberi jarak dari dua orang itu. Lihat saja, dia merasa seperti menjadi kambing.

"Tas lo kayaknya berat banget?" Arven menelisik tas birunya yang tampak lebih besar dibanding biasanya.

"Iya nih, Visha bawa banyak koran. Soalnya tadi ada tugas praktek di kelas."

"Sebagian seharusnya lo taruh loker, biar gak terlalu berat." Walau nada itu terdengar datar. Yania merasa ada bentuk perhatian di sana. "Sini gue bawain?"

"Eh," Avisha kaget. Termasuk Yania. "Gak ah, ini kan tas Visha kenapa kak Arven yang bawa?"

"Biar lo gak keberatan."

"Visha gak berat bawanya. Lagian, kalo kak Arven bawa emang gak malu pake tas biru. Entar dikira 'belok' loh."

Arven menarik tasnya. "Udah sini sih!" galaknya sambil menatap tajam.

Avisha tidak takut dan malah mendekap tali tasnya erat. "Gak mau!"

Lorong sekolah ramai. Segala perhatian mereka tertuju pada Arven dan Avisha. Yania yang selangkah di belakang mereka jadi merasa seperti pengawal yang tengah menemani raja dan ratunya berkeliling istana.

Astaga!

Arven menghela napas. Menyerah membujuknya. Kemudian yang dilakukan selanjutnya, semakin gentar membuat orang sekitar menjadikan sorotan. Saat Arven memeluk pinggang Avisha, bukan, tangan Arven cuma terulur ke belakang pinggangnya, menumpukkan bawah tas Avisha di atas lengannya.

Usaha yang membuat tasnya sedikit terangkat dan mengurangi bebannya.

"Kak Arven," Avisha syok. Apalagi Yania sekarang. "Kita diliatin loh?"

"Dan lo pikir gue peduli?" sahut Arven cuek.

Sikap Arven ini membingungkan, tapi Avisha memilih tak memusingkan. Membiarkan tatapan hilir mudik orang-orang sekadar bayangan sampai tiba di lobi.

"Kak Arven bisa balik ke ruang osis." Avisha tidak ingin menahan Arven lebih lama lagi. Cowok itu tengah sibuk mempersiapkan hari ke tujuh belasan nanti.

"Gue tungguin lo sampe dijemput."

"Kak Arven balik aja sih! Hus-hus sana!"

Arven memelotot. "Lo pikir gue kucing?"

"Singa lebih tepatnya," Bukannya ciut, Avisha malah meledek lagi. "Udah sana! Kak Arven lagi sibuk juga."

"Gak, gue tetep di sini."

"Ih kak Arven tuh ..."

"Ya ampun!" Seruan Yania membuat keduanya sontak berhenti berdebat. "Berasa ngeliat adegan romeo dan Juliet gue. Tapi versi gak romantis." Yania sengaja meledek malas.

Avisha memelotot kesal. Yania masa bodoh. Kekeraskepalaan cowok dingin itu akhirnya membuatnya menyerah.

Didetik-detik yang terbuang dalam keheningan. Sesekali Avisha melirik Arven yang sibuk pada ponsel. Terkadang ada dering panggilan yang langsung ditolak cowok itu. Sampai kemudian kejadian selanjutnya tak dapat diprediksi.

Yang Avisha tahu, dia tiba-tiba terkejut dan refleks memekik ketika sebuah batu kerikil terlempar ke arahnya dan mengenai dahi bagian kiri. Arven ikut terkejut, mematikan sambungan telepon dengan Veron begitu saja.

"Sha!" Arven menariknya mendekat.

"Anjir ada yang nimpuk lo, Sha!" Yania berubah jadi macan. Menatap sekeliling seolah siap membunuh siapapun yang mencelakai sahabatnya.

Avisha tak dapat berpikir apapun. Cuma dapat memegang keningnya yang terasa perih.

"Coba gue liat." Arven menyingkirkan tangan Avisha pelan. Menatap goresan kecil dan darah yang mengalir dari sana. Dia ikut menyisir keadaan sekitar. Cukup ramai. Dan sepertinya orang itu sangat berani melakukan hal busuk ini di keramaian.

"Taik dah!" Yania makin mengamuk. "Siapa sih yang lagi iseng sama lo! Cukup tadi pagi ya lo di isengin! Meja lo dikotorin. Dan sekarang ditimpuk. Apa banget sih tuh orang, kalo punya nyali sini, jangan main petak umpet. Kayak anak kecil!"

Yania kalau tengah kesal. Mulutnya terkadang tidak bisa direm. Dan Avisha sangat menyesali itu saat Arven memandangnya serius.

"Jadi ini bukan pertama kali lo diisengin?" Raut Arven tak bisa ditebak sekarang. Yania sepenuhnya sadar, menatap Avisha penuh penyesalan.

"Visha gak apa-apa kok kak Arven."

"Nggak pa-pa gimana?" Mata cowok itu sedikit menajam. "Dahi lo berdarah."

"Ini bisa diobatin," Avisha tak ingin menambah masalah buat Arven. Lagipula ini masalahnya sendiri. "Lagian itu cuma kerikil kecil, jadi gak usah diperpanjang."

Arven menarik Avisha duduk di kursi yang ada di sana. Lalu menyuruh Yania pergi ke UKS untuk mengambil kotak P3K. Yania langsung bergegas meninggalkan mereka.

Cowok itu berjongkok di depan Avisha. Tentunya hal yang langsung menarik perhatian orang-orang.

"Sha," panggilnya penuh keseriusan. "Mungkin sekarang cuma luka kecil, gimana kalo orang iseng itu bertindak lebih gila dari ini. Seharusnya lo ngasih tau gue!"

"Visha gak mau ngerepotin kak Arven." Avisha membalas tatapannya. "Kak Arven udah harus capek-capek anter-jemput Visha. Nemenin Visha kemana aja. Belum lagi kak Arven sibuk sama urusan osis. Tugas kak Arven udah banyak, Visha gak mau nambahin lagi."

"Kalo lo orang yang nambahin beban gue, gue gak pernah permasalahin." Arven tidak pernah bercanda dengan ucapannya. Avisha tahu itu. "Jadi, kalo ada apa-apa langsung cerita ke gue. Ngerti?"

Avisha belum sempat menjawab. Saat Yania sudah kembali sambil membawa benda yang Arven minta. Selama cowok itu, mengobati luka di dahinya. Avisha mengatupkan bibir rapat.

Cukup dari detak jantungnya yang menggema karena jarak tipis ini, memperkuat alasan Avisha kenapa suka membuang waktu menatap wajah serius Arven.

Selesai Arven memberi plester di dahinya. Bertepatan dengan itu mobil mama Yania berhenti di depan lobi. Avisha tentunya langsung berdiri, yang dibantu Arven pelan-pelan.

"Ayo, Sha!" Yania sudah berjalan ke dalam mobilnya.

Belum sempat melangkah, tangan Avisha ditahan. "Kalo udah sampe chat gue."

Padahal ucapan itu cuek, tapi senyum Avisha terlalu lebar meresponnya.

•••

Kesepian ini terasa menyeramkan. Bukan, karena mungkin ada orang-orang tak terduga datang tanpa diundang. Apalagi dihubung-hubungkan dengan makhluk tak kasat mata yang suka mengganggu. Jelas alasannya bukan karena itu.

Avisha benci sepi karena keheningan sekitar terkadang membawanya larut dalam lamunan. Hingga tanpa sadar menariknya ke ingatan belakang.

Dia tidak ingin mengingat masa itu.

Masa dimana dia ketakutan dan sendirian.

Untuk itu, jika Avisha bosan ditinggal sendirian di rumah. Dia melakukan sesuatu agar ingatan itu tidak datang. Terkadang, Avisha bermain biola, bermain bersama kelinci-kelincinya, menganggu para pekerja di rumah, atau lebih sering menganggu Yania dan Ilona.

Tapi, sekarang ini Avisha suka menganggu Arven dengan mengirim banyak chat. Entah sekadar menyapa, bertanya, atau curhat. Tentu isinya tidak jelas semua. Avisha cuma ingin menganggu cowok itu. Walau chat-nya lebih sering tidak dibalas.

Yang sedihnya sekarang karena Avisha tidak bisa. Arven tengah sibuk dan dia tidak ingin menganggu cowok itu. Dia cuma mengirim chat sepulang sekolah tadi. Memberitahu jika dia sudah sampai di rumah. Itu pun karena Arven yang meminta.

Jadi karena itu Avisha di sini. Di taman perumahan-nya yang ramai. Banyak anak kecil yang bermain sepeda. Banyak lansia yang duduk menikmati angin sore. Gerobak-gerobak makanan yang menarik perhatian anak-anak.

Avisha duduk di salah satu bangku. Memerhatikan sekeliling dengan senyum.

Sampai senyumnya hilang berganti kaget ketika sebuah es krim terulur dari arah belakang kepalanya.

Sontak dia menoleh ke belakang.

Dan tambah kaget lagi.

"Kak Askar?" Dia ternganga.

Askar, cowok yang mengulurkan es krim cone itu tersenyum. "Mau?"

Avisha mungkin terkejut. Tapi, tentu tawaran itu lebih besar untuk menyadarkan Avisha. Dia mengambilnya sambil tersenyum. Askar tertawa, bergabung duduk di sebelahnya.

"Karena Visha udah baik hati nerima es krim dari kak Askar. Avisha boleh nanya dong?" Dia memakan es krimnya santai. Tanpa berpikir jika mungkin ada yang salah dengan kalimatnya. "Kak Askar ngapain di sini?"

"Bukan seharusnya gue yang dapet kesempatan nanya karena udah ngasih lo es krim?" Askar menaikkan alis sambil memakan es krimnya sendiri. "Kenapa lo di sini?" Lalu dia melirik tongkatnya yang tersandar di bangku. "Sendirian pula, emang lo gak takut?"

"Kenapa harus takut?"

"Kaki lo ..." Askar ragu.

"Kaki Visha gak masalah kok. Visha udah biasa sekarang," dia menjawab tanpa sedikit pun mengurangi nada cerianya. "Kak Askar tenang aja, gak ada penjahat yang berani deketin Visha. Dia malah yang takut nanti," lalu dia berbisik pelan. "Takut digetok kepalanya pake tongkat sama Visha."

Askar tertawa. Senyum, tawa, dan raut ceria cewek itu seperti punya energi sendiri yang membuat orang sekitar ikut tenggelam bersamanya.

"Lo tau gak sih," Askar seperti tengah memikirkan sesuatu. "Wajah lo mirip seseorang yang gue kenal deket."

"Oh ya?" Walau nada Avisha sedikit tak acuh. Masih ada rasa penasaran di sana.

"Mm," Askar mengangguk sambil menerawang. "Dari senyum lo, tingkah ceria lo, hobi lo, muka, kalo muka gak beneran mirip sih. Hampir. Tapi, dari itu semua lo ngingetin gue sama dia."

Avisha menoleh. Memerhatikan Askar yang terdiam untuk sesaat. "Dia itu ..."

"Dia udah meninggal."

Avisha tercengang. "Me-meninggal?"

"Mm karena kecelakaan." Askar memberitahunya lirih. Avisha tak mampu berkata-kata lagi. Otot kakinya mendadak mati, beruntung dia tengah duduk hingga tidak perlu malu karena mungkin dia bisa saja terjatuh.

"Kak Askar masih mikirin dia?"

"Gimana gue gak mikirin kalo semua orang terdekat gue berubah karena dia. Dia ... yang jadi penyebab semuanya berubah."

Avisha tahu, untuk ukuran berpikir. Dia memang lambat. Tapi, perkataan ini benar-benar sulit dicerna. Dia tidak mengerti sama sekali.

"Gak usah dipikirin," Askar menyentaknya sadar. "Es krim lo tuh meleleh."

"Eh," Avisha terbelalak. Sebelum berpaling menatap lelehan es krimnya yang mengenai tangan. Dia sontak langsung menjilatnya. Melihat itu, Askar tergelak dan tidak sadar mengusap kepalanya.

Tindakan yang membuat Avisha kaku mendadak tentunya. Askar langsung tersadar di beberapa detik setelahnya. "Sori," ucapnya tak enak hati.

Avisha cuma mengangguk. Merasa sedikit canggung.

"Kak Askar kenapa bisa di sini?" Avisha memilih mencairkan keadaan.

"Gue lagi jalan naik motor, bosen di rumah. Eh terus gue ngeliat lo yang lagi duduk di taman ini." Askar menghabiskan es krimnya begitu saja.

"Kak Askar kenapa bosen di rumah?"

"Ada bokap gue."

Singkat saja penjelasan itu, tapi Avisha langsung teringat obrolan mereka beberapa hari lalu. Ayah Askar tidak suka musik dan Askar tetap mempertahankan kesukaannya itu. Perbedaan pendapat yang memecah menjadi pertengkaran. Avisha bisa menyimpulkan.

"Visha juga bosen di rumah. Gak ada siapa-siapa."

"Jadi sampe kapan lo mau di sini?"

"Sampe Visha bosen dan pengin pulang." Dia menyengir.

"Oke, kalo gitu gue temenin lo."

Avisha terkejut bukan main. "Jangan kak, Visha gak perlu ditemenin."

"Gue juga lagi bosen." Askar menjawab santai. "Jadi nggak pa-pa dong?"

Avisha terdiam. Kalau Avisha menolak lagi. Itu jahat sekali. Jadi, sebagai pilihannya dia mengangguk saja.

Tidak terasa. Keheningan yang terbentang membawa matahari perlahan turun hendak meninggalkan singgasana-nya. Jingga mengukir angkasa. Indah dan memesona. Avisha tersenyum melihatnya.

Diam-diam, Askar melirik cewek di sebelahnya. Tidak ada yang menarik di sana selain senyum dan wajah imutnya. Tapi, itu lebih dari cukup membuat Askar merasa tenang.

Dia melirik jam yang melingkar di tangan. "Lo mau pulang?"

"Kayaknya iya," Avisha mengangguk. "Udah sore." Kemudian dia berdiri bersamaan dengan cowok berambut cokelat itu ikut bangkit.

"Gue anter."

"Hah?" Avisha kaget. "Gak kak, rumah Visha deket dari sini," tolaknya halus.

"Kalo deket kenapa? Lo nyuruh gue biarin cewek jalan kaki, padahal gue bisa nganterin pake motor?"

"Mm itu masalahnya," Avisha tampak berpikir. "Kak Askar bawa motor, sedangkan Visha gak bisa naik motor dengan kaki kayak gini."

"Bisa aja kalo lo mau."

"Visha ..." Avisha tengah memikirkan cara lain lagi untuk menolak. Tapi, Askar sudah menarik tangannya lebih dulu ke arah motornya terpakir. "Kak Askar, Visha ..."

Lagi-lagi dia tidak dapat berkata saat Askar mengangkat tubuhnya secara tiba-tiba dan mendudukan miring di atas motornya. Avisha syok bukan main. Bahkan ketika Askar naik di atas motor dan siap melajukan benda besi ini, dia masih terdiam.

"Kok lo jadi diam? Kaget ya?" Avisha mengerjap mata sadar. Cowok itu terkekeh.

"Ini kalo Visha jatoh gimana?" Dia memegang tongkatnya kuat. Ketakutan sendiri. Belum pernah dia duduk miring di atas motor. Apalagi dengan kakinya yang seperti ini.

"Lo gak bakal jatoh, selama lo ..." Kemudian Avisha sedikit tersentak karena Askar menarik sebelah tangannya untuk melingkar di pinggangnya. "... Pegangan kenceng sama gue," lanjutnya tersenyum.

•••

Sepertinya Arven memang sangat sibuk sekarang. Sampai-sampai dia membatalkan janji makan bersama di jam istirahat. Lewat chat, Avisha membalas tidak masalah. Tapi, tahukah, sebenarnya ada sedikit yang mengganggunya. Kesibukkan Arven membawa sedikit rasa kesal yang tak bisa Avisha artikan.

Sebentar, kalau dipikir-pikir lagi. Kenapa Avisha jadi seperti pacar yang posessif?

Dia menggeleng. Mengenyahkan kekesalan itu dan coba membaur bersama kedua temannya.

"Kalian mau ke kantin?"

Itu Nata yang tiba-tiba datang ke kelasnya.

Avisha bersama Yania dan Ilona kompak berhenti melangkah di ambang pintu.

Yania dan Ilona saling lirik. Berbeda dengan Avisha tersenyum lebar. "Nata mau ikut ke kantin?"

Cowok sipit itu mengangguk. "Ayo!" Kemudian dia menarik pelan tangan Avisha.

Yania mencibir melihat itu. Sementara Ilona cuma bisa menahan senyum.

"Belajar apa tadi?" Nata bertanya.

"Belajar teknik modus biar lancar." Yania berdiri di sebelah kiri Avisha. Menjawab nyinyir.

Nata menoleh. "Lo tuh biasaan deh, Yaya. Gak kangen gue emang? Udah seminggu lho kita gak makan bareng."

"Gue justru berharap lo nyasar di planet lain. Supaya lo gak balik-balik lagi!"

Nata menjewer telinganya dari belakang. Yania memelotot dan hendak memukulnya jika tidak karena Avisha yang menyuruh berhenti. Posisinya berada di tengah, jadi bayangkan kalau mereka berdua saling memukul seperti biasa. Avisha yang nanti jadi terkena sasaran.

"Awas ya lo cimeng!" Yania melayangkan bendera perang.

"Mm jadi takut gue..." Nata meledek sekaligus menggodanya. "Emang lo mau ngapain gue sih?"

Yania gemas. Ingin mencubitnya tetapi tertahan oleh Ilona. "Udah dong," Dia berdiri di sebelah kiri Yania jadi lelah. "Jangan mulai lo berdua."

Akhirnya Yania tak ingin memperpanjang lagi dan mengalihkan topik saja.

"Oh ya, Sha. Gue baru inget, kemaren gue gak sengaja liat lo balik pake motor sama Kak Askar. Kok bisa?"

"Askar?" Nata berhenti melangkah. Raut jenaka-nya hilang.

Ilona yang peka. Mencoba memberi kode pada Yania. Mencolek-colek bahunya. Sayang, Yania orang yang masa bodoh.

"Oh itu," Avisha mengangguk, juga bergabung di orang yang tidak pekaan. "Visha gak sengaja ketemu di taman."

"Lo ketemu Askar di taman?" Ekspresi Nata tak dapat dibaca. Polosnya Avisha mengangguk. "Terus lo mau-mau aja dianter pulang?"

"Visha gak enak nolak, lagian kak Askar baik kok, dia udah—"

"Tapi dia orang asing." Nata memotong tajam.

"Asing gimana?" Yania tidak setuju. "Dia kakak kelas kita."

"Kakak kelas banyak, dan jelas dia gak deket sama Visha." Nata menyorot tak suka.

Yania ikut membalas tatapan Nata. Bersedekap seolah menantang. "Lo ngomong gitu karena gak mau saingan lo bertambah kan?"

Nata sepenuhnya bungkam. Kini Avisha kebingungan. Memandang dua temannya yang sering berselisih itu bertatapan penuh keseriusan.

"Kenapa kalian yang jadi berantem?" Avisha mencoba melerai. Walau terheran-heran oleh ucapan Yania barusan. "Udah dong, Visha kan juga cuma dianter pulang sama Kak Askar. Gak usah dilebih-lebihin sih."

"Emang nih," Ilona ikutan. "Gak usah tatapan-tatapan gitu lo berdua. Awas jatuh cinta."

Kompak keduanya langsung membuang muka. Yania tergelak sinis. "Jatuh cinta sama si cimeng. Gue sih ogah."

"Yee, lo pikir gue mau sama lo. Ada yang lebih menarik kali." Nata melirik Avisha sejenak.

"Sok kegantengan lo!" Yania kesal. Berjalan meninggalkan mereka.

"Tuhkan ngambek, lo sih Nat."

"Kok gue?" Nata tak terima disalahkan Ilona.

"Yaya, jangan ninggalin Visha dong." Dengan tongkatnya, Avisha langsung menyusul langkah Yania yang lebar. Nata dan Ilona juga bergegas mengikuti.

"Yaya ngambek sama Nata?" Avisha akhirnya bisa mengejar. Itu juga karena Yania tidak tega dan memilih melangkah pelan-pelan.

Yania menggeleng. "Ngapain gue ngambek sama si cimeng. Kurang kerjaan." Dia melirik sinis Nata yang sudah bisa menyusul bersama Ilona.

Selanjutnya, keempatnya serentak menghentikan langkah. Berkat Zion yang datang dari arah berlawanan.

"Beruntung, gue ketemu lo di sini, jadi gue gak perlu susah-susah ke kelas lo." Dalam senyumnya, Zion seperti menahan kesal.

"Ngapain kak Zion mau ketemu Visha?" Avisha heran.

"Menurut lo siapa lagi kalo bukan karena sahabat sialan gue?" Dengan wajah berubah penuh kesal, kakak kelasnya yang berambut acak-acakkan itu menyerahkan kantong plastik di tangan. Avisha menerimanya makin kebingungan.

"Ini apa?"

"Nasi goreng." Zion menjawab. Avisha melirik kantong plastiknya dan menemukan kotak sterofoam. "Karena Arven, si ketos lagi sibuk sekarang. Dia nyuruh gue beliin itu buat lo."

Avisha tercengang. Yang lain pun. "Kak Arven yang nyuruh?"

Zion mengangguk malas. "Iye, makanya dimakan. Ntar bisa-bisa dibunuh gue."

"Gak mungkin kak Arven sampe segitunya."

"Wah lo gak tau Arven banget ternyata," Zion berbicara seolah hendak menakuti-nakuti. "Dia tuh ..."

"Kenapa dia harus repot-repot nganterin makanan buat Visha. Ada temen-temennya kali yang bisa nemenin dia makan di kantin." Nata berbicara. Jelas nadanya terdengar geram.

"Emang salah?" Zion menimpalinya santai. "Temen gue gitu karena gak bisa nepatin janjinya makan bareng si biji kuaci ini. Baik banget kan temen gue?"

"Cih! Baik?" Nata tertawa sinis. "Kalo diawal doang baiknya, terus ujungnya nyakitin buat apa?"

Zion terkejut. Seperti tak menyangka adik kelasnya berani berucap begitu. "Lo beruntung karena yang denger itu gue. Bukan sahabat gue," Dia lalu tergelak. Menepuk-nepuk pundaknya seolah mereka teman akrab. "Tapi, kalo cemburu gak usah ditunjukkin banget lah. Keliatan ngenes banget lo jadinya."

Kemudian, dengan gaya santainya Zion berbalik. Berdadah ria pada Avisha. Yang dibalasnya juga dengan lambaian tangan ceria.

•••

Dari kemarin panjang mulu kayaknya hmm :((

Bosen gak nih bacanya? Wkwkwk

Btw Zion tolong ya nak, mulutnya dikondisikan. Nyentil Nata banget itu

Bonus😚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top