A;A22-Perhatian yang tak diartikan
Kalau suka boleh dong vote. Kalau jatuh cinta boleh dong komen wkwkwk
▪
DARI jam enam kurang, Avisha sudah bangun kemudian membersihkan diri. Selesai urusan pertama, dia berlanjut mencari pakaian di lemari putih yang tergeletak di samping meja rias.
Alasan tingkah Avisha yang berbeda hari ini tidak lain karena ajakkan Arven untuk menonton pertandingan boxing sekolahnya dengan sekolah lain. Sebenarnya dari ajakkan itu tidak ada hal yang spesial membuat Avisha jadi antusias begini. Cuma menonton perlombaan, yang paling teriak-teriak tidak jelas.
Meski begitu, Avisha sibuk sendiri seolah Arven mengajaknya kencan. Lihat saja, baju-baju sudah berantakkan di atas kasur. Dengan menggiring tongkatnya ke sana-kemari, Avisha mengamati keseluruhan pakaiannya dan menghela napas frustasi.
"Ya ampun!" Itu Velin yang tampak terkejut melihat keadaan kamarnya yang kacau. "Ini kenapa kamar kamu jadi berantakkan begini?"
Avisha menyengir. "Itu, Ma," Avisha menggumam sambil duduk di pinggir ranjang. "Visha bingung mau pake baju apa."
"Bingung?" Velin tampak tak percaya. Avisha adalah orang yang masa bodoh soal berpakaian.
Mamanya melangkah mendekati lemarinya. "Ini ada jumpsuit putih kesayangan kamu. Gak pake ini aja?" Velin mengeluarkan jumpsuit putih yang masih tergantung di lemari.
"Visha udah sering pake itu," Avisha menanggapi.
Mamanya yang masih tampak muda di umur empat puluh tahun itu makin mengerutkan kening. "Emang Arven mau ngajak kamu kemana?"
"Mm itu," Avisha kebingungan menjelaskan, padahal meminta izin saat awal saja dia gampang. "Ada pertandingan boxing antar sekolah Visha sama sekolah lain. Kak Arven ngajak Visha nonton itu."
"Jadi cuma nonton lomba?" Avisha mengangguk. Mamanya geleng-geleng kepala. "Kalo gitu pake yang santai aja, celana jeans sama sweater." Velin menunjuk sweater crop-nya yang tergeletak di atas kasur.
"Visha juga maunya gitu. Tapi," nadanya terdengar lirih. Dia melirik kakinya. "Visha susah pake jeans di keadaan kaki Visha yang kayak gini."
Velin terdiam. Seperti baru sadar dengan keadaannya yang kini berbeda. Kakinya yang sekarang membuatnya sulit leluasa kemana-mana. Apalagi untuk memilih pakaian yang Avisha suka, sekarang dia cuma bisa memilih rok atau dress, karena mudah diloloskan dari kakinya.
Namun, tidak apa-apa. Dia tidak perlu bersedih meratapi nasib, ini hanya sampai tiga bulan ke depan. Setelahnya, dia bisa berjalan normal lagi.
Mamanya mengusap rambutnya dengan senyum. "Pake dress yang simple aja kalo gitu." Velin memandang beberapa dress yang masih tergantung di lemari dan mengambil salah satunya. "Yang ini gimana?"
Dari senyum Avisha yang mengulas dengan anggukan kepala, tentunya dia setuju dengan pilihan mamanya.
•••
Arven memang orang yang selalu datang tepat waktu. Sepertinya cowok itu sangat alergi dengan keterlambatan. Velin mengantarkannya keluar rumah saat mobil Arven terparkir di depan gerbang.
Usai berpamitan, mobil perlahan meninggalkan rumah dengan Velin yang melambaikan tangan pada Avisha.
Avisha menutup kaca jendelanya saat wujud mamanya menghilang. Dia menoleh sejenak pada Arven yang sekarang diam seperti biasa. Padahal sejak tadi Avisha berharap ada komentar dari cowok itu untuk pakaiannya. Tapi, seharusnya Avisha tahu manusia es seperti Arven tidak mungkin peduli pada urusan pakaian perempuan.
Jika diimbangi dengan Arven yang kini memakai kaos putih yang tertutup kemeja abu-abu dan sepatu sneaker, penampilan Avisha bukanlah apa-apa. Cuma dress biasa dengan rambutnya yang dibuat gaya ponytail.
"Gue gak liat bokap lo?" Tanpa disangka Arven yang lebih dulu membuka obrolan. Yang cewek sontak menoleh antusias.
"Papa lagi ada tugas di luar kota," jawab Avisha ceria.
"Seharusnya lo jangan pake dress." Avisha memang berharap Arven akan berkomentar mengenai pakaiannya, tapi bukan komentar setengah-setengah yang membuatnya tak mengerti.
"Kenapa?" Dia bertanya. "Kak Arven gak suka?"
"Bukannya gak suka—"
"Kalo gitu berarti kak Arven suka dong Visha pake baju ini?" Dia tersenyum lebar.
Cowok itu menghela napas kesal. "Bukan juga, anginnya lagi kenceng sekarang, kalo lo pake dress bisa-bisa keangkat rok lo!"
Avisha tahu Arven tidak mengada-ngada. Seperti yang dia katakan, angin pagi ini sangat kencang, mendung menutup awan. Lalu udaranya terasa dingin menusuk. Entahlah, mungkin ini tanda-tanda akan turun hujan.
"Tapi kan kak Arven tau Visha gak mungkin pake celana," ucap Avisha yang tak bisa Arven bantah. "Celana yang bisa Visha pake cuma piyama, emang kak Arven mau jalan sama cewek pake piyama tidur. Apalagi gambarnya kartun."
"Emang gak ada bahannya yang agak berat? Itu dress lo keliatan ringan banget."
"Sengaja Mama milih yang ini karena katanya biar Visha leluasa jalannya."
"Oke, terserah lo." Arven menyerah karena Avisha selalu saja ada jawaban atas semua perkataannya.
Setengah jam kemudian, mobil berhenti. Mereka telah tiba di area parkir gedung olahraga.
Pertama, Avisha membuka pintu mobil, memiringkan tubuh lalu menurunkan kaki kanannya yang baik-baik saja, menurunkan tongkatnya baru kemudian kaki kirinya. Susunan itu seperti sudah jadi kebiasaan Avisha untuk beberapa hari ini.
Baru juga menutup pintu mobil, embusan angin begitu kuat hingga yang Arven takutkan terjadi. Bagian roknya terangkat ke atas, Avisha panik dan buru-buru menahan roknya agar tetap di tempatnya.
Atas tindakannya itu, tongkatnya jadi oleng dan Avisha hampir mendarat jatuh jika tidak karena tangan yang menahan pinggangnya dari belakang.
"Ini yang gue takutin," Suara Arven tepat di samping telinganya. Mendesis kesal. Avisha menoleh dan terbelalak melihat wajah mereka yang cuma berjarak sesenti. Kalau saja sebelumnya Avisha menengok cepat, tentu pipinya akan menempel dengan bibir Arven.
Untungnya itu tidak terjadi.
Arven melepaskan pinggangnya. Avisha refleks menjaga jarak dan masih berusaha untuk memegang roknya. Arven yang melihatnya mendecih kesal.
"Udah telanjur, Visha gak mungkin pulang buat ganti baju." Dia tersenyum ceria kemudian. "Lagi juga, Visha pake celana pendek kok buat daleman."
Melihat alis Arven yang justru terangkat, Avisha mendengkus. "Kak Arven gak percaya? Mau liat?" Dengan wajah polos, dia mengangkat roknya dan Arven refleks menahan tangannya cepat.
"Gak perlu," nada Arven terdengar tajam. "Lo jangan asal ngangkat rok lo kayak gitu, apalagi depan cowok."
Avisha ingin mengatakan kalimat balasan. Walau tak jadi sebab Arven yang berjalan ke kursi belakang mobil dan kembali dengan sebuah jaket di tangan.
Awalnya dia heran, tapi tersentak di detik ketiga saat Arven menarik tubuhnya mendekat.
Pasalnya posisi mereka yang berhadapan lalu dengan Arven yang tengah mengikatkan jaket itu di pinggangnya sambil menunduk menjadikan Avisha kesulitan bernapas.
Dia mendongak, meneliti wajah Arven yang justru tampak santai. "Seenggaknya jaket itu bakal bisa nahan rok lo," jelas Arven saat selesai. Lalu dengan ketus, menyuruhnya jalan duluan agar tak tertinggal di belakang. Cowok itu tidak mau direpotkan mencari orang hilang.
Ini tidak adil! Kenapa cuma Avisha yang merasa kedekatan ini ada dampaknya.
•••
Ketika sudah di dalam, tribun-tribun penonton sudah dipadati dari sekolah-sekolah yang ikut serta dalam perlombaan. Termasuk anak sekolahnya, yang mengangkat tinggi-tinggi spanduk yang bertuliskan 'Regha kami juara' 'Regha kebanggaan SMA TARUNA JAYA' dan kalimat-kalimat lain.
Jujur, melihat itu Avisha jadi teringat Yania yang memaksa ingin ikut. Tapi, dia mengurungkan niatnya setelah mengatakan ini, "Eh gak jadi deh, jadi nyamuk lagi gue di sana."
Apa maksudnya coba?
Di tengah-tengah, ada ring yang akan dijadikan tempat adu tinju yang menentukan pemenang. Avisha masih menjelajahi sekeliling. Terakhir kali, dia datang ke gedung olahraga itu saat menonton pertandingan futsal Darlan dan juga Nata.
"Udah selesai liat-liatnya?" Sindiran itu menyentak Avisha. Saking terlenanya, dia sampai lupa pada keberadaan Arven di sebelahnya. Lalu makin tersentak saat Arven memegang tangannya dan menariknya pelan untuk berjalan lagi. "Kalo gak gini, lo bakal dijadiin patung depan gedung karena kebanyakan bengong."
Arven menariknya ke ruangan kaca. Itu tempat para peserta lomba tengah menyiapkan diri sebelum pertandingan dimulai.
Langkah mereka berhenti saat sudah memasuki salah satu ruang dan melihat keberadaan Regha bersama Zion di sana.
Zion yang menyadari kedatangan mereka sedikit terkejut. Walau diganti dengan senyum penuh arti saat melihat tangan Arven yang menggenggam tangan Avisha.
"Aduh itu tangan berasa pengin nyebrang."
Dibanding menghiraukan ledekkan Zion, Arven justru lebih tertarik pada Regha yang tengah dipeluk oleh Linzy dan Retta.
"Berasa punya istri dua, Gha." Arven menyindir. Avisha di sebelahnya cuma ikutan melihat dan memilih diam.
"Itu cewek gue anjir!" Zion memelotot kesal.
Regha tidak meladeni karena lebih frustasi pada dua cewek di sebelahnya. "Padahal gue cuma mau tanding boxing, bukan mau perang!"
"Lo tuh seharusnya seneng sepupu lo ini khawatir!" Linzy membentak marah. "Cih! Dikhawatirin malah marah-marah."
"Gue tau lo berdua khawatir," Regha mengusap-ngusap punggung Retta supaya ceweknya tenang dan berhenti bersikap berlebihan. "Tapi, jangan lebay gini-lah."
"Aku takut, Gha. Misalkan kamu sampe masuk rumah sakit lagi gimana." Itu yang Retta dan Linzy takutkan hingga keduanya jadi bertingkah begitu.
Regha memutar matanya malas.
"Zi, mending lo peluk cowok lo aja sini!" Zion jadi sensi.
"Lo gak usah buat kesel ya, Yon!" Linzy mengomel.
"Jahat lo sama pacar sendiri," Zion cemberut. "Gue kan juga mau dipeluk."
"Gabung pelukan aja sana, biar personil teletubisnya lengkap." Arven menyindir. Di situasi seperti ini Avisha tak bisa berkata apapun lantaran bingung harus bagaimana. Bayangkan, dia dikelilingi kakak kelasnya, kalau Avisha salah bicara, bisa-bisa dia yang malah dijadikan samsak nanti.
"Oh oke, gue jadi poh," Zion meladeni. "Sama-sama imut kayak gue."
Arven menaikkan alis. "Padahal gue berharap lo jadi dipsy yang item itu."
"Anj ..." Zion hampir refleks mengumpat.
"Woy!" Regha menghentikan perdebatan mereka. "Dibanding lo berantem, bantuin gue sini!"
"Sori, Gha. Mata gue udah perih duluan ngeliat drama di sini." Arven berkata dingin. "Ayo, Sha. Keluar aja." Kemudian dia menarik Avisha menuju pintu, membuat orang yang ditinggalkan melongo di tempat.
"Kak Arven masa temen-temennya ditinggal?" Avisha bingung saat mereka telah keluar dari ruangan itu. "Lagian nih ya, Visha belom ngomong apa-apa ke kak Regha tadi. Niatnya kan Visha mau nyemangatin."
"Gak usah!" sahut Arven ketus.
"Kok gak usah?" Akhir-akhir ini sepertinya darah Arven melonjak drastis hingga selalu marah-marah. "Terus Visha ngapain ke sini kalo bukan buat nyemangatin kak Regha ..."
"Nemenin gue," potong Arven santai. Bahkan sangat santai, mengucapkan itu tanpa menatap Avisha yang ternganga dan malah menjelajahi bangku tribun.
"Kak Arven bercanda nih?"
"Lo mau beli minuman sama makanan?" Arven tak menghiraukan kalimat barusan.
"Emang di sini ada kafe?" Avisha pun tidak ingin memperlanjut topik tadi.
"Ada di belakang," jawabnya. "Mau gak?"
Avisha mengangguk. "Iya deh, kalo nonton ginian kan enaknya sambil makan."
"Gue gak yakin lo bisa makan pas nonton," Avisha tidak mengerti maksudnya. "Tapi ayo, lo belom sarapan kan?"
Di kafe mereka cukup lama, Arven membelikannya lima roti sekaligus, yang katanya untuk mengganjal perut. Avisha protes jika itu kebanyakan, tapi Arven tetap memaksa. Lalu membeli tiga bungkus snack dan dua botol minuman. Arven cuma membeli air dan Avisha sempat bertanya, dan cowok itu bilang sebelum ke sini dia sudah sarapan. Jadinya Avisha tidak memperpanjang lagi.
Saat kembali ke arena pertandingan, tribun sudah penuh. Avisha memandang sekitar tempat duduk sekolahnya yang mungkin ada bangku kosong. Tapi, sebelum itu tangannya sudah ditarik Arven ke arah utara. Ternyata ada space kosong di sebelah Zion.
Avisha menjejakkan tongkatnya menaiki tangga tribun. Begitu pelan dan lama. Avisha sesekali menoleh ke samping, Arven tampak mengimbangi langkahnya dan seolah tak mempermasalahkan dirinya yang begitu lambat berjalan.
Beruntung space kosong itu tidak jauh dari tangga tribun.
"Udah selesai main dramanya?" Arven bertanya saat dilihatnya Retta dan Linzy duduk di sebelah Zion. Sudah tampak biasa dan tenang dibanding sebelumnya.
"Udah kebetulan, nih entar gue mau lanjut syuting iklan." Zion yang menjawab ngawur. Lalu dia melirik kantong makanan yang Avisha bawa. "Wah makanan tuh. Bagi-bagilah, Sha. Laper nih gue."
"Kak Zion mau?"
"Gak ada orang yang nolak makanan, Sha." Zion menjawab. Avisha tersenyum lebar, baru juga ingin mengambil makanan di kantongnya, tangannya sudah dicekal.
Siapa lagi pelakunya kalau bukan Arven.
"Itu gue beliin buat lo."
"Ya ampun, Ven. Pelit banget lo!" Wajah Zion nelangsa. "Bagi satu doang, juga gak bakal kurang Avisha. Badannya kecil gitu, gak muat juga kalo makan banyak-banyak."
Linzy dan Retta saling pandang, merasa Arven bertingkah berbeda. Awal saja mereka sempat kaget karena Arven ternyata membawa cewek.
CEWEK?!
Ayolah kapan seorang Arven sepeduli itu dengan seorang perempuan. Tapi, mengingat perkataan Regha jika Arven melakukan ini karena sebuah pertanggung jawaban konyol, jadi mereka berusaha untuk tak memedulikan walau sebenarnya mereka sedikit penasaran.
"Gak pa-pa kok kak Arven, bener kata kak Zion. Visha gak mungkin bisa abisin makanan sebanyak ini. Kan juga itung-itung sedekah ke rakyat kelaperan," ucapnya begitu polos. Linzy dan Retta kompak tertawa mendengar kalimat akhir Avisha. Berbeda dengan Zion yang melongo.
"Nih kak Zion." Avisha menyerahkan salah satu bungkus roti. Kebetulan Avisha cuma sempat makan dua roti yang Arven belikan. "Kak Retta sama kak Linzy juga mau? Banyak kok ini."
"Gak usah, kebetulan kita udah makan tadi." Retta menolak ramah, yang diangguki Linzy dengan senyum.
Zion mengambilnya. "Minumannya ada enggak?"
"Plis ya Yon, gak usah malu-maluin." Linzy di sebelahnya memelotot marah.
"Yah, Visha cuma beli dua minum. Satu punya Visha, satu punya ..."
"Arven?" Zion memotong, merogoh kantong plastiknya lagi. Dan begitu saja mengambil salah satu botol air mineral. "Nah yang punya Arven buat gue aja."
"Sialan Yon!" Arven mendelik. "Itu punya gue!"
"Yaelah, lo bisa minum satu botol berdua," ucapnya tanpa ada rasa malu sedikit pun. Justru Linzy yang merasa ingin menutup kepalanya dengan karung.
"Ta, cowok bisa ditukar tambah gak sih? Frustasi gue." Linzy berbisik. Retta tergelak.
"Mulut pacar gue emang minta dicium ye," lalu Zion meneguk air di botolnya dan tersedak hingga terbatuk-batuk di menit berikutnya.
Arven yang melihat, menyumpahi, "Mampus!"
Linzy dan Retta bahkan tertawa. Tega sekali mereka.
"Duduk." titah Arven pada Avisha sambil duduk di sebelah Zion, dan Avisha mendaratkan diri di sebelahnya.
Pertandingan sudah akan dimulai. Space sebelah Avisha yang sebelumnya kosong, kini ada lima lelaki yang tengah berjalan ke arahnya. Yang kemudian menduduki tempat kosong itu, membuat Arven refleks menarik pinggang Avisha untuk merapat padanya.
Avisha sedikit terkejut walau tak banyak bertanya. Dia tengah memakan salah satu snack-nya, kemudian menyodorkan snack yang terjepit di jarinya ke arah Arven. "Kak Arven mau?"
Sambil terfokus pada Regha yang kini sudah berada di atas ring, tanpa kata Arven menerima snack Avisha di mulutnya. Tentunya untuk kedua kali Avisha dibuat terkejut. Dia cuma berbasa-basi, karena berpikir Arven pasti akan menolak.
Tapi ternyata di luar perkiraan, Arven menerima suapan dari tangannya.
"Kak Arven."
"Mm."
"Kak Regha sering tanding boxing gini ya?"
Arven tak perlu susah-susah menoleh, dia cuma mengangguk.
"Keren sih ya, udah jadi ketua ekskul fotografi, eh ternyata juga anggota boxing. Pantes fansnya banyak."
"Lo termasuk?" Buat yang ini Arven menoleh menatapnya sedingin es.
"Apa?" Avisha tidak mengerti.
"Lo termasuk fans Regha?"
Avisha terdiam lalu menjawab yakin. "Enggak, Visha cuma kagum aja." Arven yang giliran diam. Seperti ada sesuatu yang dipikirkan.
"Yaya yang justru ngefans sama kak Regha, tadi malah dia mau ikut nonton, terus gak jadi. Dia juga sempet nyuruh Visha ngerekam kehebatan tinju kak Regha di atas ring, cuma kan peraturannya gak boleh ngerekam saat pertandingan dimulai."
Diakhir Avisha tersenyum. Arven tak menghiraukan dan kembali fokus ke pertandingan yang berlangsung.
"Lo anak Tj juga?" Tiba-tiba anak cowok sebelahnya menoleh dan bertanya pada Avisha.
TJ itu singkatan dari Taruna Jaya, sekarang Avisha sudah tahu itu.
Avisha mengangguk, menjawab.
"Anak kelas sepuluh?" Dia bertanya lagi.
"Iya."
Cowok itu terkekeh. "Sori, gue pikir lo anak SD yang nyasar ke sini."
Avisha cemberut. Lagi-lagi anggapan itu.
"Boleh dong kenalan?" Dia mengulurkan tangan. Teman-teman cowok itu heboh menggoda sambil mendorong-dorong tubuh cowok itu.
"Gas dah."
"Bisa banget lo, nyet. Liat yang bening dikit aura buayanya keluar."
"Awas lo kalo ada yang punya, kena gigitan anjing lo entar."
Mereka terus mendorong-dorong hingga cowok yang meminta berkenalan itu ikut terbawa dan Arven langsung menahan bahu Avisha yang ikut terdorong dan hampir jatuh karena ulah mereka.
Arven tak tahan dan berdiri akhirnya. Saat kelima orang itu menatap Arven, wajah mereka berubah pucat, bisa Arven simpulkan jika mereka pasti mengenalnya. Sangat mengenalnya.
"Geser, Sha," titah Arven. "Sekarang!" Mau tak mau Avisha, menggeser tubuhnya menjadi sebelah Zion—yang sudah menyeringai melihat kejadian ini. "Waktu kecil lo semua gak pernah bercanda ya? Sampe gak bisa bedain taman kanak-kanak sama tempat umum!"
Mereka kompak diam. Posisi Arven yang sebagai ketua osis sekaligus kakak kelas, menjadi alasan mereka tak berani melawan.
Arven duduk di tempat Avisha sebelumnya. Zion melongokkan kepala tiba-tiba dengan wajah penuh ledekkan. "Sweet banget sih babang Arven tuh." Alis Zion naik turun, yang langsung Arven hadiahi memukul belakang kepalanya.
Sementara Avisha, memandang Arven yang sudah kembali fokus pada pertandingan. Perhatian itu sederhana, tapi jelas Avisha sangat suka.
•••
Ciee yang udah masuk sekolah. Ada gak di sini?
Mereka ketemu di satu ruangan hmm. Belum di kumpulin satu meja nih wkwk
part selanjutnya kayaknya *spoiler*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top