A;A21-Kebencian yang berakar
Udah up lagi kita wkwkwk. Seberapa antusias kira-kira nih?
▪
PUKUL dua belas malam, Askar baru pulang ke rumah. Kesenangan di luar selalu dia cari karena dia tahu, kalau di rumah tidak ada alasan yang pantas untuk membuatnya betah. Papanya, satu-satunya faktor mengapa rumah terasa begitu sesak seperti neraka dan Askar tidak tahan tinggal hingga memilih keluar mencari hiburan.
Tapi, dia lupa sepertinya. Dafa, orang yang paling tidak bisa ditentang.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, Askar selalu berhasil mengendap-ngendap, tapi hari ini seolah menjadi hari penghakiman.
Lampu ruang tamu tiba-tiba menyala. Apalagi melihat sang papa yang terduduk di sofa sambil menatapnya lurus, jujur di dalam hati Askar sudah mengumpat.
Walau langkah Dafa tenang saat mendekat, Askar tidak bodoh menangkap kemarahan di sana.
"Pulang malam lagi Askar?" Papanya tersenyum. Senyum mengejek. "Sepertinya kamu suka sekali berubah menjadi kelelawar dengan keluar malam."
Untuk saat ini tidak ada hal lain yang bisa Askar lakukan selain diam.
Dafa memandangnya naik-turun. Lalu beralih pada tas gitar yang tersandang di bahunya. "Jadi kamu masih suka buang-buang waktu pada band gak berguna kamu itu?"
"Pa," Askar berusaha tidak gentar. "Askar bukan anak kecil!"
"Siapa bilang kamu anak kecil, Papa gak pernah bilang begitu." Askar tahu dibalik wajah tenang Dafa, ada kemurkaan yang siap meledak. "Kamu sudah dewasa. Iya kan?"
"Kalo gitu seharusnya Papa tau apa kemauan Askar!"
"Kemauan kamu?" Papanya bertanya dengan sorot berbeda sekarang. "Kemauan kamu seharusnya mengikuti kemauan Papa."
"Harus berapa kali Askar bilang, Pa." Di dadanya sudah memercik api, yang butuh dia larikan dengan mengepalkan tangan. "Askar gak pernah mau jadi pemimpin perusahaan. Itu bukan cita-cita Askar—" Setelahnya, terdengar bunyi tamparan yang memekakan. Begitu keras. Begitu kencang hingga rasanya pipi Askar terasa kebas.
"PAPA!" Diana tahu-tahu menuruni tangga, berlari mendekat lalu memeluk Askar yang kini terdiam syok sambil memegang pipinya. "Berhenti, Pa. Mama mohon."
"Jadi kamu mengaku kalah?" Dafa tak menghiraukan kedatangan istrinya. "Kamu mengaku kalau kamu gak akan pernah bisa mengalahkan Arven. Cucu pembawa sial itu?"
Untuk memicu apinya, Dafa pintar dengan melempar bensin. Hingga Askar harus mengepalkan tangan lebih kuat.
"Pa," Diana menatap memohon. "Berhenti membandingkan mereka. Askar gak harus selalu menjadi seperti Arven."
"Saya gak pernah meminta dia menjadi Arven." Dafa memandang istrinya dengan kilatan tajam. "Saya meminta dia untuk menjadi lebih dari Arven."
Lagi-lagi ucapan ini. Askar sudah biasa mendengarnya.
"Anak kamu itu bodoh Diana!" Seolah tidak puas memberikan tamparan menyakitkan, perkataan itu tamparan lebih keras dan menimbulkan luka tak tampak untuk Askar.
"Seharusnya dia bisa mengalahkan Arven. Anak itu sudah melakukan kesalahan fatal hingga Papa membencinya, dan itu jelas peluang yang seharusnya anak kamu ambil untuk mendapat gelar menjadi cucu utama. Cucu kesayangan."
Dibanding adu pendapat, Diana hanya mampu memeluk lebih erat Askar yang kini berusaha tidak tampak lemah di depan papanya.
"Tapi mana? Anak kamu justru menyia-nyiakannya, lebih mementingkan menjadi anak band sekolah yang gak ada artinya di masa depan. Cuma buang-buang waktu!" Dafa menyelesaikan ucapannya itu dengan berlalu pergi.
Diana melepaskan pelukannya sambil mengusap pipi bekas tamparan itu. "Kamu mending sekarang ke atas, lalu tidur."
"Wajar gak sih, Ma?" Askar memandang mamanya dengan emosi yang ingin diluapkan. Emosi yang dia tahan-tahan hingga matanya yang berkaca-kaca. "Kalo Askar benci sama Arven?"
Diana tak mampu membalasnya.
"Dia ... yang selalu membuat Papa marah sama Askar. Dia yang ngebuat Askar gak bisa jadi cucu kesayangan kakek. Karena dia, Askar gak bisa jadi ketua osis. Dan juga karena dia ... Askar menderita bertahun-tahun."
Bahkan Askar harus rela menjadikan dirinya bahan perbandingan hingga akhirnya dia paling benci menerima kekalahan. Termasuk merelakan orang yang dia sayang.
"Askar ..."
"Mama gak perlu jawab, karena Askar tau Mama bakal belain pembawa sial itu!" Askar mendengkus. Lalu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Membiarkan Diana yang terdiam di tempatnya.
•••
Askar suka melampiaskan amarahnya dengan mencari masalah dengan orang. Menimbulkan perkelahian agar amarah yang mengekang sedikit pudar dan perlahan hilang.
Tapi, tidak untuk hari ini.
Jam sembilan pagi, dia sudah tiba di ruang musik sekolah. Acara pertemuan anggota kelas sepuluh yang terpilih akan dilaksanakan setengah jam lagi. Bu Santi, selaku guru musik pun belum datang, jadi Askar melampiaskan tangannya yang gatal ingin menonjok sesuatu dengan hal yang lebih berguna.
Biasanya gitar yang Askar mainkan. Tapi, untuk kali ini dia terduduk di kursi belakang piano. Tanpa sadar, jemarinya sudah berlari di atas tuts dan menekannya hingga keadaan yang awalnya sunyi memecah dengan suara alunan piano yang merdu.
Askar lebih menyukai seni. Sayang, papanya justru membenci.
Entah berapa lama Askar memainkan pianonya. Yang dia tahu tangannya berhenti tiba-tiba saat terdengar suara tepuk tangan yang begitu kencang. Askar menoleh, melihat cewek bernama Avisha itu tengah berdiri di tengah ruangan dengan sorot kagum.
Yang mengejutkan untuknya adalah satu tongkat yang menumpu kaki cewek itu.
"Keren!" pujinya begitu polos. "Kak Askar bisa main piano?"
Askar tidak acuh pada pujian Avisha. Justru terfokus pada kaki cewek yang tergips. Meski tertatih berjalan dengan tongkat, wajah Avisha tetap cerah.
"Kaki lo kenapa?"
Sejenak Avisha melirik kakinya lalu tersenyum seolah tak mempermasalahkan keadaannya sekarang. "Ini tuh, gara-gara Visha ceroboh. Visha nyebrang gak liat-liat jadinya gini deh."
Askar ingin bertanya lebih lanjut, tapi diurungkan, karena melihat kepolosan yang cewek itu tunjukkan.
"Visha selalu pengin bisa main piano. Tapi, gagal terus, justru kalo Visha main ini, Visha yakin kak Askar bakal sakit telinga dengarnya."
Seperti anak kecil yang baru melihat sebuah piano, Avisha menekan-nekan tuts nada dengan gerakan kaku. Tanpa sebuah alasan jelas, Askar jadi lupa pada permasalahan yang mengurungnya.
"Kak Askar bisa mainin satu lagu lagi?" pinta Avisha.
"Lo mau bayar gue berapa?"
Avisha tercengang. Askar tergelak. "Bercanda. Lo dateng ke sini sama siapa?"
"Mm dianterin." Dia seperti ragu ingin mengatakan.
"Ya iya dianterin siapa?"
"Ih Kak Askar kepo!" ucap Avisha lalu memilih ganti topik. "Selain piano, kak Askar bisa main alat musik apa lagi?"
"Gitar, ukulele, bass, drum, piano, dan angklung." Dikata akhir dia tergelak
"Kak Askar maruk nih! Banyak banget bisa-nya," Banyak orang yang memuji Askar, tapi baru kali ini dia merasa tersanjung luar biasa. "Visha aja cuma bisa main biola." Dia terkikik kecil. "Papanya kak Askar pasti bangga ya?"
Avisha tampak berbeda dengan sweater rajut dan rok hitam pendeknya. Askar tengah mengamatinya, tapi mendapatkan pertanyaan terakhir, semuanya buyar dan kembali mengingatkan pada kejadian semalam.
"Bukannya bangga, Papa gue justru gak suka."
Avisha bingung. "Kenapa? Papa Visha aja pas pertama kali Visha main biola, padahal baru digesek-gesek aja, papa Visha udah bangga banget."
Askar senyum setengah hati. "Katanya buang-buang waktu."
"Gak buang-buang waktu dong, main musik itu kan bakat. Seharusnya Papa kak Askar bangga. Tapi, mungkin sekarang belum, tunggu aja, pasti ada saatnya kak Askar dipuji-puji." Avisha tersenyum.
Entah cewek itu memang tengah menyemangatinya atau tidak. Tapi ucapan sekaligus wajah cerianya berhasil menghapus amarah yang menggerayang di dadanya.
"Thanks," ucap Askar kemudian. Avisha mengerutkan dahi, yang cowok tersenyum tulus. "Karena udah jadi orang pertama, yang ngembaliin semangat gue."
•••
Ternyata pertemuan itu bukan kali ini saja dibuat, tapi setiap tahun ajaran baru memang Bu Santi sengaja membentuk kelompok musik kelas sepuluh. Ini untuk menguji bakat anak didik baru sekaligus untuk meningkatkan kecintaan anak-anak muda pada kesenian. Terutama musik.
Kelompok yang dibentuk bahkan diberi nama yang disebut dengan skillteen—atau yang artinya kemampuan remaja. Kelompok yang berkumpul hanya hari sabtu ini cuma diadakan sampai kenaikkan kelas nanti, lalu setelahnya anggota akan diganti dengan peserta didik baru, seterusnya akan berlanjut seperti itu.
Mereka membahas banyak hal. Aliran musik. Kesenian musik setiap daerah. Musik modern maupun tradisional. Bukan itu saja, kelompok ini juga dibentuk untuk memeriahkan perayaan pensi setiap tahun, hari jadi sekolah, atau tahun kelulusan kakak kelas. Bahkan juga, ada perlombaan yang sering mereka ikuti setiap bulannya.
Jika terpilih menjadi anggota grup, mereka tidak perlu lagi mengikuti ekskul untuk penambahan nilai. Mereka akan mempunyai nilai tambah dari kemampuan mereka sendiri.
Untuk saat ini Avisha bingung harus senang atau kesal. Senang karena setidaknya dia tidak perlu pusing mengikuti salah satu ekskul. Lalu juga kesal karena rencananya untuk masuk ekskul fotografi harus pupus di tengah jalan.
Gagal sudah rencananya agar bisa satu ekskul dengan Arven.
Pertemuan itu selesai setelah Bu Santi membagi kelompok sesuai dengan bakat musiknya. Avisha masuk ke dalam kotak biola—sebutan grupnya. Beberapa kata Bu Santi sampaikan lalu setelahnya salam penutupan.
Saat Avisha kesusahan berdiri dengan tongkatnya, Askar tiba-tiba ada di sampingnya dan membantunya beringsut bangun. Avisha berterima kasih sebagai balasan. Sejak tadi, Avisha tidak buta melihat gerak-gerik Askar yang selalu memerhatikannya, dia tidak ingin kegeraan tapi cowok itu seperti sengaja mengamatinya terus-terusan.
Ada apa dengan Askar?
Avisha melangkah keluar ruang musik diikuti Askar di sebelahnya. "Lo pulang sama siapa? Dijemput?"
Dijemput? Avisha jadi ingat pesan papanya untuk meminta jemput pada Arven. Tapi setelah Arven mengantarkannya tadi dengan wajah kaku dan wajah orang yang baru bangun tidur, Avisha jadi tidak enak jika menghubungi Arven untuk meminta jemput.
Beberapa hari ini, Avisha merasa dia sangat membebani Arven. Jadi membalas pertanyaan Askar, Avisha cuma mengangkat bahu. "Gak tau."
Askar menaikkan alis heran. "Gak tau?" Lalu senyumnya mengembang. "Mau bareng gue?"
Tawaran itu tentunya tak disangka-sangka. Avisha membeo, "Emang boleh?"
"Kalo gak boleh, kenapa gue nawarin lo?" Askar tersenyum.
Avisha terkekeh, menyadari kebodohannya. "Hm kalo gitu ..." perkataan Avisha tak dapat dilanjut saat ponsel yang tergenggam di tangannya mengalun dering biola.
Melihat nama yang terpampang di layar, rasanya mata Avisha hampir meloncat keluar.
Avisha menempelkan ponselnya di telinga. "Halo ..."
"Lama banget angkat telepon gue!" Ya Tuhan, tidak ada wujud Arven di sini, tapi Avisha sudah merasakan tatapan tajamnya.
"Ih marah-marah mulu!" Dia cemberut. "Kenapa nelpon?"
"Udah selesai kan lo? Gue di parkiran."
Tidak ada lagi alasan untuk Avisha tidak tercengang. Arven menjemputnya?
"Kak ..."
"Cepet!" Lalu sambungan terputus. Avisha rasanya ingin menenggelamkan Arven di lautan bersama ikan hiu. Eh, tapi jangan, nanti tidak ada orang yang bisa Avisha buat kesal.
"Siapa?" Askar bertanya.
"Mm itu," Avisha ragu untuk mengatakannya. Mengingat obrolannya bersama Yania dan Ilona tentang perselisihan antara Askar dan Arven, menjadi hal yang cukup untuk membuat Avisha tidak menyebut nama Arven di sini.
Kalau ada perang di antara mereka bagaimana, Avisha jelas tidak bisa mengatasinya.
"Kayaknya Visha gak jadi bareng kak Askar," Dia tersenyum tak enak hati karena menolak. "Kebetulan Visha udah dijemput."
"Ya udah kalo gitu gue anter sampe parkiran."
"Eh gak usah gak usah," Avisha menolak terlalu cepat sampai Askar mengerutkan dahi heran. "Visha bukannya gak mau dianterin, tapi Visha gak enak aja ngerepotin. Lagian kak Askar tenang aja, walaupun pake tongkat, Visha masih bisa jalan sendiri kok."
"Yakin?" Askar memandang kakinya.
Avisha mengangguk penuh. "Yakin, Visha kan wonder woman. Strong."
Mendengar itu, Askar tertawa. "Oke deh, hati-hati."
Avisha mengangkat jempol. Sambil berjalan meninggalkan Askar, dia melambai tangan.
Begitu sampai di parkiran, dia melihat Arven yang tengah menyandar pada kap mobil. Celana jeans, kaos polos yang tertutup denim lalu gayanya yang tengah memasukkan tangan ke saku celana, deskripsi yang tepat bagi cewek untuk terpesona.
Termasuk Avisha yang terbengong untuk sesaat.
Dia terdiam di tempatnya sampai dia memekik merasa poni depannya ditarik. Mendongak, dia memelotot pada Arven yang tahu-tahu menjulang di depannya. Kapan cowok itu berjalan ke arahnya?
"Bengong lagi lo!" suaranya dingin. "Cepetan!" Kemudian dia kembali berjalan ke mobil dan meninggalkan Avisha semudah itu. Refleksnya berguna, dia langsung menyusul Arven dengan tongkatnya.
"Kak Arven, kok gak bilang mau jemput?" Setelah memasang seatbelt, Avisha menoleh pada Arven yang siap menjalankan mobilnya keluar area sekolah.
"Emang gue harus bilang-bilang mau jemput lo?" Dia melempar balik pertanyaan. Avisha mendengkus. Kebiasaan. "Kalo gue gak jemput, emang lo mau pulang bareng siapa?"
Kini mobil sudah merayap di jalanan yang lengang waktu siang.
"Mau pulang bareng kak Askar." Itu yang ingin Avisha katakan. Tapi, tentunya dia tidak ingin memicu perang. Karena bingung mau menjawab apa, Avisha cuma menyengir tidak jelas.
Keadaan kemudian menjadi hening. Kalau sudah begini, Avisha menunggu-nunggu Arven membuka topik atau apapun yang membuatnya tidak tersesat pada sepi tak mengenakan. Tapi, khayalan Avisha terlalu muluk, Arven adalah orang yang tidak mungkin berbicara jika tidak dipancing.
"Visha kayaknya gak jadi masuk ekskul fotografi kak Arven."
"Gue gak peduli."
Tuhkan! Baru juga diajak mengobrol, sikap ketusnya sudah keluar.
"Emang kak Arven gak mau gitu Visha satu ekskul sama kak Arven."
"Gak."
Avisha menghela napas panjang. Kalau Arven memang suka menutup bibir. Baiklah, Avisha juga harus begitu. Dia ikut serta dalam menciptakan hening yang panjang, memilih menatap jalanan.
"Besok jangan lupa jam tujuh."
Avisha langsung menoleh. Terlalu cepat malah. "Emang kita mau kemana?"
"Pertandingan boxing. Lo gak mau ikut?"
"Eh, Visha mau ikut!" Dia menjawab langsung. Salahkan Arven yang menjelaskan setengah-setengah, otak Avisha jadi tidak sinkron awalnya.
"Pas gue jemput udah harus rapi."
Peraturan yang sudah Avisha ingat. Jangan biarkan manusia es itu menunggu. "Siaaap kapten!" Dia mengangkat tangan hormat sambil tersenyum lebar.
Saat Arven membelokkan mobilnya, ada yang menarik perhatian Avisha. Itu kedai es krim yang pernah dia kunjungi di hari terakhir liburan. "Kak Arven kita mampir ke sana yuk!" ajaknya, yang langsung mendapatkan tolakkan mentah-mentah.
"Gue mau langsung pulang."
Avisha menekuk bibirnya. "Visha mau es krim."
"Ya terus?"
"Kita mampir ke sana sebentar."
"Gak!"
"Kak Arven ih!" Avisha sudah seperti anak kecil yang tengah merajuk, menarik-narik jaket denim yang Arven pakai. "Visha mau es krim."
"Ya udah lo turun, terus gue tinggal."
"Kok gitu?!" Avisha makin cemberut. "Ayo dong kak Arven, bentar aja ke sana." Tubuhnya tercondong sambil menarik-narik jaketnya, kali saja bujukkannya akan berhasil. "Kak Arven ya ... ya ... ya? Bentar aja."
Lampu merah, Arven menghentikan mobilnya dan menoleh, melihat tipisnya jarak mereka, ditambah mata bulat Avisha yang penuh tatapan memohon. Kalau boleh, rasanya Arven ingin menabrakkan mobil saking frustasi.
Setelah menarik napas panjang, dia tidak punya pilihan. "Oke ... tapi jauh-jauh dari gue!" Dia mendorong kening Avisha. Walau suaranya ketus, Avisha tak mempermasalahkan dan justru tersenyum senang.
Lampu berubah hijau, Avisha begitu bersemangat. "Let's go!"
Arven mendengkus, memutar balik mobilnya menuju kedai yang Avisha tunjuk. Setibanya di lahan parkir, Arven mengernyit melihat kedai yang tentunya tak asing buat dirinya. Mereka melangkah masuk, di sebelahnya meski kesusahan dengan tongkat, Avisha tampak antusias.
Mereka tidak perlu mengantri lama sebab antrian tidak cukup panjang. Saat giliran mereka, pelayan cewek yang sudah Avisha hafal betul mukanya, tampak sangat syok memandang mereka.
Ini kakak pelayannya kenapa.
"Kak, saya mau ..."
"Kalian saling kenal?"
Arven dan Avisha saling tatap. Karena wajah terkejut pelayan, mereka berdua jadi bingung. Jangan bilang, dia benar dulu, kalau pelayan cewek ini gila!
"Emang kenapa kalo kita saling kenal?" Ini Arven yang bertanya dengan wajah dinginnya.
"Ya ampun! Ya ampun!" serunya sedikit berlebihan. "Dek, kamu inget pangeran ganteng yang jadi penolong kamu?"
Tentunya Avisha tidak mungkin lupa soal itu. Sampai sekarang dia masih penasaran siapa cowok yang sudah baik hati menolong ...
"Dia orangnya!"
Bagaimana tubuhnya yang mendadak kaku, Avisha tidak pernah menduga hal itu.
"Kak," Si pelayan kelihatan salah tingkah saat menoleh pada Arven. "Adek ini ... cewek yang ketinggalan dompetnya."
Arven ikut membeku di tempat.
Pertama Avisha yang sadar dengan menoleh pada Arven, kemudian yang cowok ikut menoleh menatapnya. Kemudian dengkusan Arven memecah keadaan yang mendadak hening.
"Ternyata lo cewek ceroboh itu. Seharusnya gue gak usah kaget."
Siapa sangka takdir bermain selucu ini.
•••
Sampe syok gitu dong pelayannya
Askar aslinya baik kok, cuma ya gitu wkwk.
Semoga di setiap part nanti kalian akan mengerti dari setiap watak tokohnya. Karena masing-masing sikap mereka punya alasan :)))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top