A;A20-Kecurigaan

Lama banget kayaknya gak up wkwk. Padahal cuma empat hari

Hayooo tanda bintangnya dipencet. Jangan lupa :*

PAGI hari yang biasa, tapi kini tak lagi biasa. Avisha tentunya masih sedikit aneh jika melihat mobil Arven terparkir di luar gerbang rumahnya. Apalagi langkah kakinya yang belum terbiasa ditumpu tongkat. Tertatih-tatih dia berjalan mendekati mobil Arven sambil membawa kotak makan.

Begitu sudah duduk manis, dia menoleh pada Arven dan menyapa cowok itu ceria. Sayang, cuma gumaman yang lagi-lagi dia dengar. Avisha mendengkus, hendak memasukkan kotak makannya di tas.

"Ngapain lo bawa bekel?"

Secepat itu Avisha menoleh. Melihat Arven yang sudah menarik pedal gas dan mengendarai mobilnya dengan tenang.

"Oh ini ..." Avisha tersenyum. "Visha mau kasih ke Nata."

Nyaris saja Arven menginjak remnya. Beruntung dia pintar mengatur keterkejutan.

"Mau kasih ke siapa?" ulangnya untuk meyakinkan.

"Nata. Visha buatin karena dia suka sama cupcake."

Tanpa sedikit pun menoleh, tangan Arven menarik kotak makannya yang berada di pangkuan. "Gak usah, ini buat gue aja."

Pertama dia terheran-heran oleh Arven yang mengambil kotak makannya, lalu si cowok mengatakan sesuatu yang di luar nalar Avisha hingga dia tak dapat mengontrol matanya yang nyaris keluar.

"Kak Arven mau makan bekel ini?" Dia sangat bingung. Kemarin saat dia memberi kotak bekalnya, tolakkan mentah-mentah yang dia dapatkan. Lalu kini secara tak terduga, justru Arven meminta tanpa aba-aba.

"Kenapa?" Arven sedikit menoleh. "Gak boleh?"

"Bukannya gitu," Avisha menggeleng. "Ini kan buat Nata. Kemarin kak Arven Visha kasih gak mau. Nanti kalo ini buat kak Arven, Nata ..."

Avisha tak dapat melanjutkan ucapannya karena Arven yang menghentikan mobilnya tiba-tiba. Untungnya jalanan masih sepi hingga mereka tidak dihadiahi suara klakson yang mendengung.

"Mulai sekarang," Arven mencondongkan tubuh tanpa pemberitahuan. Avisha tentunya mendadak kaku bukan main. "Kalo lo bawa bekel, bekel itu harus buat gue. Jangan kasih ke orang lain. Ngerti?"

"Kenapa gitu?" Avisha memberanikan diri mendongak, memandang wajah dingin Arven dan mata biru kehijauannya.

"Itu hitung-hitung balas budi lo ke gue karena udah mau jemput lo ke sekolah sekaligus nganterin lo pulang."

Sekarang penjelasan itu membuat Avisha paham. Kalau dipikir-pikir benar juga, setidaknya itu bisa jadi ucapan terima kasih karena cowok dingin seperti Arven mau menjemputnya dan mengantarkan pulang dengan selamat.

"Jadi bekel Visha buat kak Arven aja?" Arven mengangguk. Aroma citrus yang dibawa cowok itu melayang di hidungnya. "Gak boleh kasih ke Nat—"

"Gak!" Secepat itu Arven memotongnya.

"Tapi," Avisha mengetuk jarinya di bibir. "Nata Visha udah janji buatin Nata cupcake..." gumamnya, merasa bersalah. Apalagi Ilona dan Yania sudah Avisha kasih sebelumnya. Jadi ini giliran Nata. "Ya udah deh, Visha kasih Nata besok—"

"Gue bilang gak usah, ya gak usah." Lagi-lagi Arven memotongnya. Suaranya terdengar tajam. Avisha kesal jadinya.

"Kenapa gak boleh?" Avisha memelototinya. "Visha udah janji sama Nata."

"Lo bisa beli di toko kue. Selesai."

"Kalo beli gak enak rasanya, enakkan bikin sendiri!" Avisha tentunya tak mau mengalah.

Arven menghela napas frustasi. Hampir hilang kendali dengan mengacak rambutnya. "Terserah lo, Sha." Dia menyerah sambil menjauh dan kembali menjalankan mobilnya.

Setelahnya keheningan tak terelakkan. Menggantung tak mengenakan. Keadaan yang tentunya membuat Avisha tak tahan.

"Kak Arven," Avisha menarik ujung seragam manusia es itu. "Jangan diem aja, ngomong dong. Visha gak suka diem-dieman gini."

Arven menyingkirkan tangannya. "Bawel lo!"

Avisha memberengutkan bibir kesal. "Kak Arven kenapa sih? Ngomel-ngomel mulu! Lagi PMS ya?" Tetap tak acuh, perkataan Avisha tak memancing bibir cowok itu untuk terbuka. Dia mendengkus kesal akhirnya. "Ya udah, Visha ikutan diem juga."

Baru beberapa detik setelah mengatakan itu, Avisha merasa frustasi. "Ih Visha gak bisa. Kak Arven ngomong sih!"

Arven menarik napas panjang. Mengusap wajahnya lelah. Lalu saat sebuah motor melintas di sampingnya kencang, dia langsung teringat sesuatu. "Sha!"

Avisha menatapnya dengan senyuman lebar, seolah panggilannya adalah hal yang dia paling tunggu. "Tuhkan! Kak Arven gak tahan juga kan diem-dieman, lagi suka banget sih ngunci mulut kayak sariawan aja. Entar sariawan beneran awas aja—Hhmmpp!"

Sontak tangannya menutup mulut Avisha, yang membuat cewek itu meronta dan memukul tangannya untuk dilepaskan.

"Ih kak Arven Visha lagi ngomong ..."

"Lo tau plat nomor motor yang nabrak lo kemarin?" Avisha terbelalak. Tidak menduga Arven akan melempar pertanyaan ini. Sesaat dia terdiam untuk menggali ingatan dan menggeleng kemudian.

"Gak, kan Visha udah kaget duluan ngeliat motornya, gimana mau liat plat nomor." Ada benarnya ucapan cewek itu. "Emang kenapa kak Arven nanya gitu?"

Arven diam sejenak lalu sekadar menggeleng.

•••

Tidak salah jika Arven menaruh kecurigaan setelah mendengar ucapan Pak Didin. Satpam sekolahnya itu tidak mungkin mengarang cerita. Ada orang yang sengaja mencelakai Avisha. Entah siapa orang itu, tapi tentunya dia harus siap menjadi buronan Arven.

Jangan asal menyimpulkan, Arven berniat mencari pelaku itu untuk kepentingannya sendiri. Ingat karena orang sialan itu Arven terjebak pada pertanggung jawaban konyol yang Devin buat; menjaga Avisha hingga cewek itu bisa kembali berjalan normal.

Dia yang melakukan kejahatan, Arven yang terkena imbas.

Lagipula, Arven benci orang yang bermain curang dan licik. Seperti biasa, orang seperti itu selalu membuat tangan Arven gatal untuk melakukan pembalasan. Setidaknya, mereka harus merasakan kepedihan di penjara lalu mati pelan-pelan.

Kejam? Tapi dunia memang kejam bukan?

"Ada orang yang lo curigain?" Bel masuk belum berdering, Regha datang lima menit yang lalu. Arven telah menceritakkannya lewat chat grup kemarin dan kedua sahabatnya adalah orang yang tepat untuk Arven ajak diskusi.

"Ada." Walau kalimatnya tenang, pancaran mata Arven terlalu kelam sekarang.

"Siapa?" Ini Zion yang santai sambil menyesap milo-nya.

Tindakan yang salah jika Arven asal menuduh. Hanya saja, firasatnya langsung jatuh pada orang itu.

"Jessy," jawabnya.

"Kenapa lo curigain Jessy?" Regha yang bertanya.

Bukan tanpa alasan, Arven curiga pada Jessy, cewek blasteran yang sangat populer di kalangan cowok itu, bisa dibilang sangat terobsesi pada Arven. Apalagi Jessy juga bisa disebut psikopat cuma untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Lalu jangan lupakan tragedi pot kemarin.

Jadi tidak salah Arven menuduh cewek itu sebagai pelakunya.

"Karena dia yang hampir nyelakain Avisha pake pot?" Regha bertanya lagi.

Arven bergumam. "Dari situ udah jadi alasan kuat gue nuduh Jessy."

"Bentar, Ven," sela Zion. "Jessy itu emang ratu nekat. Psikopat. Kalo berurusan sama orang yang dia klaim jadi miliknya. Tapi, dari pengamatan gue, Jessy gak bakal sebodoh itu mancing kecurigaan orang dengan ngelakuin kecelakaan 'sengaja' kayak gitu sampe dua kali. Kalo sekalinya ketauan, ya udah selesai."

"Lo belain mantan lo?" Arven menaikkan alis dengan wajah datarnya.

Zion berdecih. "Kagak anjir!"

"Tapi, Ven," Regha menyela. "Zion ada benernya juga, ya walau kita berdua tau dia sering gak bener," Zion memelotot mendengar hinaan itu. "Kalo bener Jessy yang ngelakuin itu, dia pasti udah tau kalo lo bakal curigain dia."

Untuk mencerna semuanya, Arven terdiam lama.

"Ya terserah lo sih mau percaya apa enggak." Regha mengedikan bahu tak acuh.

Zion mengangguk. "Kalo emang penasaran, gertak aja dia sekali lagi."

Senyum sinis Arven terangkat. "Gue terpaksa harus ngelakuin itu."

Obrolan itu terpaksa dihentikan karena bel masuk berdering. Regha meninggalkan kelas mereka untuk kembali ke kelasnya sendiri. Selama pelajaran, kepala Arven seperti terbagi dua antara ingin mengerti materi pelajaran dan terpekur pada kecelakaan Avisha.

Satu sisi dia membenarkan kesimpulan Regha dan Zion. Namun, di sisi lain, dia enggan mempercayai hingga kepalanya terasa mendidih. Jika seperti ini, dia tak akan bisa berpikir jernih kecuali niatnya terlaksana.

Saat bel istirahat pertama, sebelum menjemput Avisha di kelasnya untuk ke kantin. Arven melangkah lebih dulu ke pojok lorong, menuju kelas Jessy. Tiba di sana, Jessy langsung menghentikan obrolan cantiknya bersama teman genk-nya.

Wajahnya tampak tak acuh melangkah mendekati Arven, tapi Arven tak bodoh untuk melihat binar senang di rautnya.

"Ngapain kamu ke sini?" Tangannya terlipat di dada. "Mau minta maaf? Kamu sadar sekarang kalo kamu gak bisa jauh dari aku iya kan?" Alis Arven terangkat mendengar kepercayaan diri cewek itu yang tidak pernah berubah. "Sebenernya aku masih marah sama kamu, gara-gara kamu belain cewek sialan itu, Ven."

Dia semakin menipiskan jarak. Menyentuh dada Arven dengan senyum yang terukir. "Tapi, kalo emang kamu mau minta maaf, aku bakal maafin kok."

"Sifat pede lo itu ternyata masih ada ya?" sindir Arven lalu menyingkirkan pelan tangan itu dari dadanya. Jessy terbelalak. "Gue ke sini cuma mau ngasih lo peringatan, kalo di hati lo masih ada niat buat nyelakain Avisha, buang jauh-jauh niat itu karena lo pasti gak bakal suka sama hal yang akan gue lakuin."

"Jadi alasan kamu ke sini karena cewek itu lagi?" Jessy mendengkus. "Oh ya kebetulan dia pake tongkat ya sekarang?" Dia tertawa sinis. "Oke aku paham, kamu mau jadiin aku tersangka kejahatan di sini? Kamu nuduh aku?"

"Lo emang pantes bukan?" Arven memandangnya malas. "Kemarin aja lo bisa bayar orang buat ngejatohin pot di atas kepala Avisha, mungkin aja lo bisa bayar orang buat nabrak dia."

Jessy tampak terperangah untuk sesaat sebelum tergelak keras kemudian. "Aku bego banget dong kalo ngelakuin itu, sama aja aku narik umpan supaya kamu ngecurigain aku." Dia memandang raut datar Arven menantang. "Jujur ya, Ven. Aku emang orang gak baik. Tapi aku gak bego!"

"Kalo emang bukan lo pelakunya, itu bagus." Arven mengangguk tak acuh. "Tapi, mulai sekarang semua kegiatan lo bakal gue pantau setiap hari." Baru juga Arven memutar tumitnya hendak pergi, perkataan Jessy menahan langkahnya di pijakan. Perkataan yang membungkam seluruh kosa kata yang seharusnya bisa dia katakan.

"Aku heran kenapa kamu sampe segitunya sama cewek itu?! Kenapa kamu harus capek-capek ngelindungin dia? Emang dia siapa hah?!"

•••

Perkataan Jessy terus berputar di kepalanya. Bagai kaset usang yang tak diperlukan, kalimatnya menjadi lagu pengantar lamunan yang jarang Arven lakukan. Beruntung Arven langsung punya jawaban atas pertanyaan itu semua.

Dia melakukan ini hanya untuk dirinya sendiri. Seperti yang awal dia jelaskan, dia melakukan ini hanya agar dia bisa terbebas dari pertanggung jawaban konyol. Dan pula dia memang paling tidak bisa membiarkan orang jahat berkeliaran di luar.

Itu masuk akal kan?

Jelas itu masuk akal. Siapapun yang mengenal Arven, dia pasti akan mengerti. Arven tidak suka kehidupan orang terdekatnya diganggu.

Tapi ... sebentar, Avisha hanya orang baru?

"Kak Arven!" Suara cerewet yang tak asing lagi di telinga, mendobrak jiwa Arven kembali ke raganya. Dia memandang Avisha yang kini memakai bandana putih di kepala. Poninya tersusun rapi. Yang makin mencolok mata bulatnya yang membuatnya tampak seperti boneka.

"Ih kalo Visha diajak ke kantin cuma buat mengheningkan cipta begini, mending Visha di kelas aja tadi." Avisha cemberut. "Kak Arven bengong mulu sih, ada yang dipikirin ya?"

"Gue gak mikirin apapun."

Avisha mencibir. "Bohong, kata Mama Visha nih kalo ada masalah cerita aja, jangan disimpen sendiri nanti stress. Kak Arven kalo emang ada yang dipikirin, keluarin aja, ceritain ke Visha. Visha dengerin kok."

"Lo mau tau gue mikirin apa?"

"Apa?" Mata bulat Avisha melebar penuh seolah menunggu.

"Gue mikirin," ada jeda sejenak. "Kesalahan apa yang gue lakuin sampe gue jadi sial terjebak sama lo."

Avisha terbelalak. Memelotot kesal. Lalu memukul tangan Arven di meja.

Arven menaikkan alis. "Mulai berani ya lo nabok-nabok gue. Lo gak lupa gue siapa kan?"

"Karena kak Arven ketua osis, Visha harus takut gitu?" Wajah Avisha justru menantang. Menunjukkan keberanian, yang membuat Arven ingin bermain-main sejenak.

"Emang lo gak takut sama gue?" Dengan sengaja, Arven menarik tangan Avisha. Pelan tapi cewek itu tersentak sampai tertarik mendekat walau terhalang meja. Setidaknya wajah mereka terpangkas tipis sekarang.

Sejenak dia menatap iris biru kehijauan milik Arven sebelum menggeleng. "Kak Arven makan nasi, Visha juga. Kak Arven pasti tidur meluk guling, Visha juga. Terus kak Arven kalo makan lewat mulut bukan hidung, sama Visha juga. Jadi gak ada alasan Visha harus takut sama kak Arven."

Entah kenapa ini jadi sedikit menarik. "Lo gak takut gue gigit?"

"Kak Arven suka ngegigit?" Sepertinya cewek itu salah mengartikan gigit yang Arven maksud. 'Gigit' dari mulut Arven memiliki makna membentak, kasar, dan galak. Tapi, Avisha justru mengartikan secara harfiah. "Visha juga suka gigit bang Darlan kalo dia lagi iseng, terus juga Visha pernah gigit Yaya dan Lona." Senyumnya lalu terukir. "Kak Arven juga mau Visha gigit?" tanyanya polos.

Arven menyodorkan pergelangan tangannya. Merasa tertarik. "Lo berani gigit?"

Avisha ingin melakukan disaat dia lebih tertarik pada plester yang melekat di jari tengah dan telunjuknya. Karena terlalu fokus pada misi 'pendekatan' dia tidak pernah sadar tangan kanan Arven yang terluka.

"Kak Arven jarinya kenapa?" Dia bertanya. "Kena pisau ya?"

Arven menarik tangannya kembali. Wajahnya sangat kelam saat mengatakan ini, "Kebetulan gue suka buat tangan gue berdarah-darah."

Cewek berponi itu syok. "Kak Arven suka gigit tangannya sampai berdarah?" Ternyata dia salah mengartikan. Arven maklum.

"Lupain," ucap Arven. Lalu menyendok mie gorengnya yang sempat terabaikan. "Lo mau ikut gue?" Entah kenapa Arven menawarkan ini. Setelah mendapatkan undangan dari Regha untuk datang ke pertandingan boxing-nya. Dia memikirkan Avisha dan mungkin tidak masalah jika dia mengajak cewek itu.

"Kemana?" Avisha juga memakan kembali somay-nya.

"Pertandingan boxing."

"Boxing?" Dia terbelalak kagum. "Kak Arven anggota boxing?"

"Bukan gue, yang tanding Regha."

Avisha beroh panjang. "Kak Regha ternyata. Keren! Visha mau!" Dia antusias. "Kapan?"

"Dua hari lagi," jawabnya sambil menyesap es jeruknya.

Avisha mengangguk. Setuju ikut. "Berarti sabtunya Visha harus ikut kumpul di ruang musik. Terus besoknya ke pertandingan kak Regha, besoknya lagi dateng ke tempat les."

"Apa?" Arven terfokus pada kalimat awal Avisha. "Lo kepilih di grup musik kelas sepuluh?" Ditanya tentunya Avisha mengiyakan. Arven mendengkus. "Di hari libur pun gue harus nganter lo ke sekolah?"

Avisha manyun. "Kalo kak Arven gak bisa gak pa-pa, Visha bisa minta anterin bang Darlan atau Nata ..."

"Gue anterin," potongnya. "Lagian gue males adu mulut sama bokap lo."

•••

Lah Jessy boong tuh kayaknya wkwk. Kalo bukan Jessy siapa dung?

Itu trus Arven kenapa?😏😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top