Prolog : Red Cherry

Blue Building, tiga bulan yang lalu.

Seorang perempuan menguap lebar di depan laptop yang layarnya baru saja padam. Bungkus camilan mulai dari yang gurih, asin, sampai manis memenuhi tempat sampah di samping kubikel.

Foto pria paruh baya menggunakan seragam chef yang berpelukan dengan seorang wanita bertubuh jenjang terlihat romantis. Berbanding terbalik dengan ekspresi bocah perempuan dan lelaki berpipi tembam di depan mereka yang saling tatap penuh dendam kesumat pada figura di atas meja. Tidak hanya itu, foto-foto kegiatan kampus hingga ulang tahun kantor tertempel rapi pada dinding kubikel di belakang layar laptop.

Mutia, pemilik meja itu lagi-lagi menguap lebar. Suara keroncongan dari perutnya terdengar gaduh tidak mau kalah. Mimiknya terlihat sebal menemukan kotak camilan yang berada di atas mejanya sudah kosong melompong. Bisa jadi ini pertanda sudah waktunya dia untuk pulang ke rumah.

Usai membenahi meja kerja, Mutia mengangkat bokongnya dan melangkah pulang. Suasana kantor masih terlihat ramai. Bahkan seorang desainer grafis dan account executive masih saling gontok-gontokan di salah satu sudut, sepertinya revisi klien yang menjadi orang ketiga.

"Mau ke mana lo?" tanya Osa si Art Director yang baru keluar dari ruang meeting bersama beberapa orang timnya.

"Balik lah. Masih zaman lembur?" sindir Mutia angkuh.

Osa terkekeh sambil melangkah ke mejanya. "Gaya lo. Ketemu sama Mas Del aja lo di depan, gue yakin langsung puter balik."

"Jangan gitu dong doainnya. Sirik bilang aja, Bro," ujar Mutia makin songong sambil melanjutkan langkahnya.

Namun, langkah kaki Mutia mulai melambat dan berhenti ketika melewati ruangan sang atasan, Delius, yang masih terang benderang. Bulu kuduk Mutia pelan-pelan meremang, apalagi ucapan Osa tadi terngiang-ngiang di kepalanya.

Benar saja, baru berjalan dua langkah dari sana, sosok angker Delius tampak duduk di meja pantri dengan ponsel di telinga. Mutia merasa hawa di sekelilingnya mendadak sedingin kutub utara.

"Jadi, kamu di Bali? Enggak apa-apa. Papa juga masih di kantor."

Sangat perlahan Mutia berjalan mengendap berharap Delius tidak akan melihatnya pulang tepat waktu hari ini. Sebab sebagai atasannya yang paling perfeksionis bin workaholic, Delius memiliki kebiasaan aneh di kantor. Dia gemar memberikan pekerjaan tambahan minus gaji tambahan di waktu-waktu tubuh butuh rebahan.

"Ya udah, salam buat Mama sama Om. Selamat ulang tahun."

Pintu keluar kantor yang sudah di depan mata, terasa semakin menjauh berbarengan dengan kalimat Delius yang memutus panggilan telepon. Tidak lagi mengendap-endap, Mutia langsung melangkah terbirit-birit ke arah pintu depan.

"Mutia."

"Mati," gumam Mutia spontan. Terpaksa, dia pun menoleh kepada Delius. "Kenapa, Mas?"

"Kamu mau ke mana?" tanya Delius. Matanya yang tajam dan kejam, melirik Mutia dari balik kacamata.

"Pulang. Udah jam enam, kan?" jawab Mutia dengan senyum lebar dipaksa muncul di bibir. "Sesekali tenggo* enggak apa-apa kali, Mas," gumamnya pelan.

Mata Delius lagi-lagi mengamati Mutia dari ujung kepala ke ujung kaki. "Saya ada cake di kulkas, kalau kamu mau ambil aja."

Sontak, mulut Mutia terbuka lebar. Tidak kalah kaget, tubuh gempal perempuan itu sampai membeku di tempatnya. Demi nikmatnya raclette dicampur keju camembert, momen langka seperti ini harusnya dia abadikan. Rekan kerja yang lain pasti langsung heboh bila dia menceritakan hal ini di waktu makan siang besok.

"Kok, diam? Mau pulang, kan?"

"Saya benaran boleh balik, Mas?" tanya Mutia spontan.

"Kenapa? Udah jam pulang kantor, kan?" jawab Delius dengan tatapan aneh kepada Mutia, kemudian tanpa basa-basi kembali ke ruangannya.

"Oke."

Sepeninggal Delius, tatapan Mutia tidak pernah lepas dari ruangan pria itu. Ruangan yang didominasi warna kuning pias itu, hanya dibatasi kaca tembus pandang sehingga apabila gorden di dalam tidak dipasang dengan benar, maka orang akan leluasa mengamati suasana dari luar.

Seperti sekarang, Mutia memperhatikan atasannya itu terlihat penat di atas meja kerja. Bahkan sesekali pria di akhir tiga puluhan itu mengembuskan napasnya berat.

Sepengetahuan Mutia, semenjak Delius berpisah dengan istrinya hampir empat tahun yang lalu, tidak pernah sedikitpun dia melihat Delius mengulas senyum. Sepersekian milidetik sekali pun.

Mungkin kegagalan pernikahannya yang membuat Delius seperti itu. Apalagi dari obrolan Delius tadi, Mutia dapat mengambil kesimpulan bila mantan istrinya sudah memiliki pengganti. Ternyata, sekeras apa pun seorang pria bakal tetap layu ketika patah hati.

Mutia mengedik tak mau ambil peduli dan membawa langkahnya ke depan kulkas kantor. Binar bahagia langsung terpancar di mata Mutia ketika menemukan cherry cake utuh berwarna merah muda dengan krim menutupi pinggirannya. Tanpa buang waktu, dia pun membungkus desert itu menggunakan kotak makan seadanya di dalam almari pantri sebelum ada karyawan lain yang sadar akan keberadaan cake gratis ini.

Sepanjang perjalanan ke lantai bawah, wangi segar maraschino cherry menguar dari kotak makan di tangan Mutia. Di kepala perempuan itu bahkan sudah penuh dengan ekspektasi tinggi akan rasa asam manis dan lembutnya cake bercampur cheese frosting yang lumer di mulutnya. Apalagi disanding dengan ocha panas dari dapur ibunya sebagai teman.

"Thanks, ya, udah mau nemenin nunggu."

Mutia lagi-lagi menghentikan langkah kaki. Tontonan di depan coffee shop yang menarik minat Mutia.

"It's okay. Kebetulan gue juga butuh asupan kopi dulu tadi."

Si korban patah hati kedua. Felix. Seingat Mutia, Felix diam-diam menyimpan rasa dengan wanita yang kini berdiri di sana Namun, sekitar lima tahun yang lalu, wanita itu malah memilih menikah dengan lelaki lain. Maka dapat ditebak, Felix pun harus merasakan patah hati. Para sadboy alias pria patah hati sepertinya tengah jadi trending topic di dalam Blue Building, nama gedung tempat kantornya berada.

"Udah mau balik?" sapa wanita si sumber patah hati Felix kala menemukan Mutia termangu. "Tumben tenggo."

"Lo ngelembur lagi?" tanya Mutia asal kepada wanita itu, Ninna, Account Manager sekaligus teman rumpinya di kantor. "Laki lo enggak protes lo ngelembur melulu?"

"Dia lagi ada meeting di luar, jam delapan palingan dia ke sini jemput gue," gumam Ninna sembari mengerucutkan bibir. "Dia udah di depan. Gue duluan, ya. Bye, Lix."

Pandangan Mutia tanpa sadar mengikuti sosok Ninna sampai ke depan pintu lobi. Melihat Ninna, Mutia seperti tengah berkaca secara terbalik. Wajah manis, rambut lurus sebahu bak duta iklan sampo lain, badan langsing, dan punya suami super perhatian. Sedangkan dia, rambut cokelat keriting yang selalu kusut setiap pagi, berat badan di atas rata-rata beban hidup, dan jomblo akut sejak tujuh tahun lalu.

Lamunan Mutia baru kembali ke dunia nyata ketika desahan letih seseorang mampir ke telinga. Senyum mengejek terbit dari bibir Mutia kala ternyata tidak hanya dirinya yang memperhatikan Ninna tanpa berkedip.

"Woy! Bini orang tuh," ejek Mutia mendekati Felix.

Felix terkesiap. Senyum masam pun hadir di bibir. Mata Felix kemudian beralih menatap Mutia dan kotak makan di tangan perempuan itu bergantian.

"Itu apaan? Cadangan makanan seminggu?" kekeh Felix balik menggoda Mutia.

"Makan malam gue. Kenapa?" gerutu Mutia sebal.

"Padahal gue udah memperhalus loh bilang itu cadangan makanan seminggu. Eh, malah dipertegas," sahut Felix yang keisengannya makin menjadi-jadi.

"Emang gue enggak tahu maksud lo ke mana," gerutu Mutia kembali membawa langkahnya ke pintu depan gedung. "Gue duluan, ya."

"Mau balik, kan? Mau bareng?"

Di tempatnya, Mutia sempat berpikir sejenak sebelum berbalik menghadap Felix. "Gratis, kan?"

"Enak aja. Bensin lo yang bayar lah," sahut Felix yang langsung dihadiahi dengkusan dari arah Mutia.

"Dasar koret**!" dengkus Mutia kesal.

Bibir Felix yang semula layu, seketika tersenyum lebar. "Bercanda, Mut. Gitu aja ngambek. Ayo!"

"Gratis, kan? Awas lo kalau minta bayaran pas gue turun."

Felix mengangguk dan mengalungkan lengannya ke leher Mutia. "Lagian rumah lo, kan, searah sama gue. Mana tega gue ninggalin cewek balik sendiri."

"Ckckckck. Pantesan, ya, Ninna enggak mau sama lo. Mulut lo lemes kayak gini." Mutia menggeleng-gelengkan kepala sambil bersidekap.

Alih-alih kembali menggoda Mutia, muka Felix malah berubah aneh. Tanpa kata lelaki itu melepaskan lengannya di leher Mutia dan melangkah ke arah lift lebih dulu.

Mendadak Mutia berubah menjadi Raisa, serba salah. Bahkan sepanjang langkah kaki keduanya keluar lift dan berjalan menuju mobil abu-abu Felix di basemen, lelaki itu masih menjadi pendiam.

Kaki Mutia berhenti melangkah di tengah-tengah luas dan sepinya tempat parkir malam itu. Sementara kedua bola matanya mengamati punggung Felix yang berjalan gontai ke arah mobil, seolah-olah Mutia tak kasat mata.

Sesaat, Mutia teringat akan sosok mendung Delius di dalam ruangan tadi, patah hati dan putus asa. Ibarat pasta overcooked, layu.

"Payah," gumam Mutia tersenyum miris, meskipun tanpa sadar ada iba di benak Mutia kepada dua lelaki itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top