7. His-Story

Bila bisa disebutkan kapan hal paling canggung yang pernah Mutia alami maka tidak perlu berpikir lama, dia akan menyebut detik ini. Setelah kejadian bertemu tanpa sengaja dengan Raka, bocah 7 tahun yang Mutia tebak adalah titisan Delius, dia terpaksa harus terus memasang senyum dusta ke arah kumpulan orang tua yang sama sekali tidak dia kenal. Belum lagi, ada beberapa ibu muda yang mendekati Delius, mengobrol sok akrab, dan berujung mengira Mutia "Calon Ibu Baru Raka".

Sebuah asumsi asal jeplak mengingat Mutia yang jelas-jelas tidak memiliki kesan akrab dengan Delius di pesta ulang tahun teman Raka ini. Bahkan dengan tanpa dosa pria itu sering kali berjalan sesuka hati meninggalkan dirinya berdua dengan Bi Ira, babysitter Raka. Jadi, bisa dibilang Mutia sebenarnya lebih mirip pengasuh kedua anak Delius malam ini.

"Ibu udah lama kenal sama Bapak?"

Mutia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri ketika sebuah pertanyaan meluncur dari bibir Bi Ira. "Maksud Bibi, saya? Enggak-enggak saya cuma karyawannya Mas Delius, kok, dan sampai sekarang enggak kepikiran buat lebih dari itu."

"Oh, jadi satu kantor sama Bapak. Pantas. Soalnya enggak pernah saya lihat Bapak bawa perempuan lain sejak pisah sama Ibunya Raka. Cinlok toh," kekeh Bi Ira heboh sendiri.

"Cinlok ... lebih enak juga cilok ke mana-mana," gumam Mutia pada dirinya sendiri selagi mimiknya berubah masam.

"Bu, saya mau ke toilet sebentar, tolong beri tahu Den Raka atau Bapak, ya, kalau mereka tanya," pamit Bi Ira buru-buru pergi.

Mutia hanya mengangguk. Sepeninggal Bi Ira, Mutia berjalan ke arah satu meja bundar berisi camilan untuk mengusir suntuk. Kedua matanya kemudian beralih ke tengah ruangan sambil mengamati Delius dan Raka dari kejauhan.

Mutia menghela napas panjang sembari meratapi nasibnya yang mendadak terus-menerus berurusan dengan Delius. Dari mulai Ian yang ternyata teman dekat Delius, revisi deck klien dengan Delius, mantan istri Delius, dan sekarang anak Delius. Lama-lama dia bisa gila bila sekali lagi harus mendengar nama Delius di telinga.

Dering ponsel dari dalam tasnya terdengar nyaring. Segera, dia mengeluarkan benda itu dan mengangkat panggilan di sana.

"Halo, Lix. Maaf, ya, gue kayaknya enggak bisa nemenin lo malam ini. Gue mendadak lembur disuruh si Delicious," terang Mutia sambil mencomot sebuah pie susu di atas meja. "Senin aja gimana? Gue janji deh bakal dengerin curhatan lo. Suer! Lagian lo kenapa sih galau amat? Gara-gara Ninna enggak masuk? Dasar bucin!"

"Dih! Emang bener, kok," kekeh Mutia dengan tangannya mengambil sebuah camilan lagi di meja. "Kok lo ngese— ASTAGA!"

Kedua bahu Mutia berjengit kaget ketika menemukan ekspresi datar dari seorang bocah di sampingnya, Raka. Bahkan hanya dengan ditatap tanpa kata seperti sekarang, nyali Mutia langsung menciut.

"Hai," sapa Mutia kepada Raka selagi menutup panggilan telepon dari Felix.

Alih-alih menjawab sapaan Mutia, Raka dengan cuek mengambil sepotong cake dan mengunyahnya pelan. Seolah-olah Mutia bagian dari meja bundar di ruangan, bukan hal penting.

"Acaranya seru, ya? Ini ulang tahun teman sekelas kamu?"

"Bukan."

Mutia menahan kesal saat jawaban ketus Raka terdengar, "Teman main di rumah."

"Bukan," jawab Raka enggan.

Sementara itu, raut muka Mutia sudah hampir murka di sebelah Raka. "Oke, lupain aja. Kamu suka cherry cake? Kayaknya dari tadi kamu makan itu lahap banget."

Suapan cake di tangan Raka berhenti di udara. Wajah bocah itu bahkan sudah menatap ke arah Mutia dengan jengkel. "Tante jangan sok akrab. Aku minta Tante ikut ke sini bukan berarti aku suka sama Tante."

Rahang bawah Mutia hampir mengalami dislokasi akibat ucapan Raka. Wajahnya bahkan tidak lagi dapat menahan jengkel. Namun, belum sempat dia merespons, sosok Delius sudah berdiri di hadapan.

"Mama kamu telepon," kata Delius sambil mengangsurkan ponsel ke tangan Raka.

"Dia yang minta gue ikut, dia juga yang sengak ke gue. Maunya apa, sih, tuh bocah, yeuh. Dasar titisan Delius," gerutu Mutia panjang lebar yang untungnya tidak didengar jelas oleh Delius.

"Bi Ira mana?"

"Toilet," jawab Mutia dengan nada kesal selagi matanya masih melirik Raka dan tangan mengambil segelas sirup.

"Kamu kenapa?"

"Haus," jawab Mutia lagi sembari menenggak segelas es sirup dengan sekali tenggak.

"Kamu kesal karena saya bawa kamu ke sini?"

"Menurut Mas?!" semprot Mutia keceplosan.

Delius terdiam, begitupun Mutia yang langsung meringis malu. Beruntung dia tidak tersedak air di tenggorokan.

"Sa—saya ... itu. Oke. Emang iya," aku Mutia pasrah.

"Sorry."

Kedua bola mata Mutia membulat kemudian bergerak aneh ke arah Delius.

"Enggak seharusnya saya turutin mau anak saya. Apalagi lihat respons orang-orang tadi, saya yakin kamu pasti enggak nyaman," terang Delius sambil mengambil kopi di sudut meja. "Kalau cowok kamu tahu, kena amuk saya. Sori, ya."

Mutia menarik napas dalam. "Cowok. Gimana mau dapat cowok kalau hampir tiap hari ngelembur, belum lagi kalau tiba-tiba klien minta revisi, weekend aja saya masih kudu buka laptop. Seminggu ini aja saya selalu balik malam. Giliran balik tenggo malah keperangkap di sini."

"Kenapa kamu malah jadi curhat? Sengaja mau buat saya bersalah karena kamu masih jomlo?"

Mutia melipat bibirnya ke dalam saat kedapatan salah bicara.

"Yakin cuma karena kerjaan kamu belum punya cowok? Bukan karena belum mau? Cewek seumuran kamu saya rasa cuma alesan aja bikin kerjaan jadi kambing hitam," sindir Delius sambil memasang muka menyebalkan.

"Dih, ngeselin. Emang Mas enggak, Bi Ira bilang setelah cerai dari Mbak Lana, Mas enggak pernah dekat lagi sama cewek. Sama aja, dong," balas Mutia tidak mau kalah.

Sambil menyesap kopinya, Delius terkekeh. "Seenggaknya saya udah punya Raka."

"Maksudnya?!" semprot Mutia jengkel lalu memukul lengan Delius sebal. "Ngeselin banget sih."

"Mut," decak Delius berang ketika kopi dari gelas di tangannya tumpah ke kemeja. "Tenaga kamu itu gede loh."

"Sori-sori-sori," ucap Mutia buru-buru mengambil tisu dan mengelap sisa kopi di kemeja Delius. "Lagian ngomongin jodoh ke jomblo itu sensitif tahu. Jangan mentang-mentang atasan ngomong seenaknya."

Delius makin terkekeh mendengar gerutuan Mutia. "Jadi itu yang kamu rasain selama ini ke saya? Not bad."

"Not bad," cibir Mutia mengulang ucapan Delius selagi tangannya mengelap sisa kopi di kemeja Delius dengan kasar. Sampai-sampai tubuh Delius ikut terdorong ke belakang.

"Pa."

"Udah selesai?" tanya Delius spontan mengambil tisu di tangan Mutia dan mengelap kemejanya sendiri.

"Udah," jawab Raka singkat sambil menyerahkan kembali ponsel Delius ke pemiliknya. Kemudian dia melangkah keluar restoran.

"Kamu mau ke mana?"

"Cari Bi Ira. Aku mau balik."

"Acaranya belum selesai lho, Ka," kata Delius mengejar Raka.

Langkah kecil Raka berhenti sejenak. Mutia yang berdiri di belakang Delius dan Raka merasakan bila hubungan keduanya tidak begitu akur.

"Acaranya enggak seru," terang Raka sambil berkacak pinggang di depan Delius. "Ngebosenin."

"Kalau gitu mau makan malam dulu sama Papa sebelum balik?"

Mata Raka menyipit sinis ke arah Mutia sebelum menggeleng pelan di depan Delius. "Enggak. Lagian Mama udah mau sampai."

"Oke," kata Delius berusaha tersenyum menghadapi Raka. "Itu Bi Ira. Kita pamit dulu sama temen kamu. Ayo!"

Raka mengangguk dan melangkah kembali ke dalam. Tangan kanan Delius yang bergerak akan menggenggam tangan Raka, tergantung di udara ketika bocah itu malah berlari menghampiri temannya.

Mutia tertegun. Sosok Delius saat ini ribuan kali berbeda dengan atasannya saat di kantor setiap hari. Sosok Delius sekarang serupa orang yang patah hati. Bahkan sampai mereka keluar ke arah lobi, kesan aneh itu masih nampak di sorot mata Delius meskipun wajah pria itu tetap congkak dan menyebalkan.

"Itu Mama," tunjuk Delius ke arah mobil hitam di depan mereka.

"Aku balik, ya, Pa," pamit Raka sambil mengamati sosok ibunya dan Delius bergantian. Lengkungan kecewa tampak jelas di wajah bocah itu, apalagi saat dia tiba-tiba memeluk Delius erat sebelum pergi dengan Bi Ira ke arah Lana. Tentunya, tanpa pamit sedetikpun dengan Mutia.

"Rekan kerja, ya?" sindir Lana di depan Delius, sementara Raka dan Bi Ira sudah masuk ke dalam mobil.

"Ini enggak kayak yang kamu pikirin," balas Delius terdengar kesal.

"It's okay. Aku enggak peduli sama kehidupan kamu, apalagi kerjaan kamu," kata Lana tersenyum tipis kepada Mutia. Senyum yang sarat kesan julit mirip Bu Tejo di film Tilik. "Aku cuma mau mastiin aja kalau anak aku punya ibu sambung yang baik."

Ekspresi Delius tetap datar, meskipun emosi jelas-jelas dia tahan. Berbeda jauh dengan Mutia yang mulai panik dan gelisah di tempat.

"Kontradiktif. Harusnya aku yang bilang kayak gitu ke kamu. Apa bisa model enggak laku kayak Gani terima Raka? Dan apa Raka mau punya Ayah enggak jelas kayak dia?"

Lana mendengkus. "Kamu lagi nyindir aku?"

"Aku enggak pernah bilang kalau aku nyindir kamu. Aku cuma enggak mau Raka punya ayah sambung enggak jelas kayak dia."

Mutia yang berdiri di tengah-tengah Lana dan Delius menelan ludahnya gusar. Apalagi muka keduanya sudah saling tatap dengan sorot mata seolah siap untuk saling bunuh. Sementara orang-orang di lobi sudah melirik penasaran ke arah mereka.

"Sori, nih, Mas-Mbak," sela Mutia dengan hati-hati. "Ini, kan, lobi dan banyak orang keluar-masuk juga. Apa enggak lebih baik debatnya kita lanjutin di kafe aja atau mungkin di tempat makan? Dan, boleh saya duluan? Soalnya ini udah jam sembilan saya kayaknya kudu balik ke rumah."

Lana terkekeh sinis. "Oke. Kayaknya dia udah enggak sabar mau balik berdua aja sama kamu. Aku sama anak kamu duluan, ya."

"Silakan. Sedari awal enggak ada yang nahan kamu di sini," balas Delius tidak kalah sinis.

Lana berdecak. Kemudian berbalik pergi ke arah mobil dan pergi begitu saja meninggalkan tanda tanya besar di benak Mutia dan dongkol menggunung di raut wajah Delius.

"Mut."

"Kenapa?"

"Ribut-ribut yang tadi. Anggap aja kamu enggak pernah lihat," kata Delius dengan mimik menahan kesal. "Dan, sekali lagi maaf kalau ucapan ibunya Raka emang sengeselin itu. Maklum udah bawaan."

"Mas, Mas enggak kesurupan kan?" celetuk Mutia coba mengusir canggung di antara mereka.

"Maksudnya?"

"Hari ini Mas udah beberapa kali loh minta maaf ke saya. Lama-lama saya jadi sangsi kalau ini Mas Delius beneran," goda Mutia dengan matanya mengamati muka Delius lekat-lekat.

Alis Delius menyatu bingung. "Emang iya?"

"Lupain aja. Saya balik, ya. Besok, kan, kita masih harus meeting sama anak desain pagi-pagi," pamit Mutia bersiap memanggil taksi yang berjejer di sisi kanan lobi. "Bye, Mas."

"Kamu mau ke mana?"

"Pulang," jawab Mutia bingung.

"Saya, kan, udah janji antar kamu balik," kata Delius meminta Mutia mengikuti dirinya kembali ke dalam mall. "Saya cuma mau mastiin kamu beneran balik dan enggak nongkrong dulu. Kata kamu besok kita meeting pagi, kan?"

"Iya-iya," gumam Mutia sambil membawa langkahnya mengekori Delius.

***

"Mam, ngapain berdiri di sini?" tanya mutia hampir berteriak kaget ketika menemukan Dyandra di jendela ruang tamu begitu dia masuk ke dalam rumah.

"Itu siapa?" tanya Dyandra balik.

Mutia berdecak. "Siapa apanya?"

"Yang nganter kamu, dong, Mon cherry," goda Dyandra merapat ke tubuh Mutia.

"Mam, jangan kayak Papa deh. Aku enggak suka, ya, dipanggil pakai panggilan itu. Aku udah gede. Malu. Nanti kalau klien aku denger gimana?" gerutu Mutia memasuki kamar.

"Enggak usah ngalihin pembicaraan, ya, kamu," potong Dyandra menyipitkan mata. "Mutia. Jawab pertanyaan Mama."

"Bukan siapa-siapa. Cuma temen kerja," jelas Mutia malas sambil mengambil baju ganti dari dalam lemari.

"Temen kerja atau temen kerja."

"Mam udah, dong. Aku baru sampai lho, aku capek."

Bibir Dyandra mencebik sebal. "Kamu kenapa, sih? Mama, kan, cuma kepo. Dan, berarti nanti di pernikahan Mahesa kamu enggak sendiri, kan?"

Mutia yang baru akan mengambil handuk dari gantungan tercenung. "Sebentar. Jadi, Mama setuju Mahesa kawin sama Alika?"

"Yah, terpaksa," desah Dyandra pasrah.

"Mahesa udah tahu?" tanya Mutia semringah.

"Udah. Tadi sore Mama telepon dia."

"Terus kenapa Mama cemberut?" tanya Mutia memeluk tubuh Dyandra. "Harusnya Mama seneng, dong, bentar lagi Mama, kan, bakalan punya mantu dan mungkin cucu kayak harapan Mama."

Air muka Dyandra makin kusut saat menghadap Mutia. "Tapi, kan, mama maunya punya cucu dari kamu."

"Mam," protes Mutia.

"Ya udah deh kamu istirahat udah malem. Malam sayang," kata Dyandra sambil mengusap rambut Mutia dan mengecup puncak kepala anak gadisnya itu lembut.

Sepeninggal Dyandra, senyum yang diam-diam menggantung di bibir Mutia perlahan meredup. Niat perempuan itu untuk membersihkan diri hilang, berganti sebuah rasa aneh yang membawa dia ke arah meja kerjanya yang penuh berkas. Kemudian dengan tangan kanan, Mutia membuka salah satu laci di sana.

Sebuah foto tampak di antara benda-benda kecil dalam laci. Senyum kecil nampak di bibir Mutia saat ada dia yang masih berseragam sebuah stasiun TV swasta tengah mewawancarai seorang pria di acara Citra Pariwara di foto itu.

Delius.

Diam-diam ingatan malam itu muncul di kepala. Bahkan euforia dan suasananya sudah berputar pelan bak film di memori Mutia.

"Apa kunci sukses Bapak dapat membangun perusahaan sebesar ini? Bahkan katanya mulai bulan depan bakal bekerja sama dengan perusahaan dari UK."

"Selain tim yang solid, Istri dan anak saya yang selalu mendukung saya di rumah, itu kuncinya. Karena mereka saya selalu punya semangat buat jadi lebih baik."

Mutia tersenyum miris mengingat kejadian enam tahun yang lalu. Apalagi hubungan Delius dengan orang-orang itu lebih mirip seperti orang asing sekarang. Mutia pikir, hal ini yang membuat Delius berubah dari sosok penuh kharisma, menjadi om-om dengan perut sedikit offside dan penuh komplain.

Mutia menarik napas dalam sambil merekatkan foto tadi di dekat cermin. Diam-diam Mutia rindu melihat sorot mata Delius yang seperti ini. Sorot mata optimis dan selalu berdiri teguh dengan pendiriannya. Sorot mata yang selalu Mutia idolakan sejak malam itu.

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top