6. Awkward Moment

"Hai," jawab Delius dengan nada tanpa intonasi kepada wanita dengan blouse merah marun yang tampak senada dengan celana bahan dan heels hitamnya. "Kok, bisa bareng Ian?"

"Kan, kemarin gue cerita kalau laporan keuangan perusahaan gue lagi kacau, jadi barusan gue meeting bareng Lana buat jadi konsultan audit perusahaan gue. Makanya gue ajak dia dan timnya meeting di sini," sambar Ian kemudian mengalihkan tatapannya kepada Mutia. "Tapi justru gue lho yang enggak nyangka bisa mergokin kalian makan siang berdua."

Kemunculan senyum penuh arti milik Ian, membuat Mutia buru-buru bangkit sembari merapikan barang-barang. "Kita juga beneran cuma meeting kok, Mas. Suer deh! Ini baru aja selesai. Atau kalau Mas Ian atau Mbak mau ngobrol, duduk di sini aja. Biar saya yang balik ke kantor."

"Kalau enggak ada apa-apa biasa aja kali, Mut," goda Ian makin kegirangan. "Buru-buru banget. Oh iya, Lan. Kenalin ini Mutia, teman dekat-nya Delius."

"Mas!" semprot Mutia setengah berbisik sambil memelototkan matanya kepada Ian.

"Karyawan aku. Jangan percaya kata Ian," potong Delius dengan muka sekaku kanebo kering kepada Ian. "Bercanda lo enggak lucu."

"Siapa yang bilang gue lagi bercanda," sahut Ian lagi yang membuat Mutia ingin menelepon Gadis dan meninta sahabatnya itu, untuk menyeret Ian pergi dari sini.

"Lana," sapa wanita di sebelah Ian mengulurkan tangannya ke depan Mutia.

"Mutia. Mbak mau duduk?" kata Mutia sopan kepada Lana sembari menunjuk kursi kosong di miliknya.

"Enggak usah. Saya harus balik ke kantor sebentar lagi. Tapi kalau kalian masih mau kumpul, enggak apa-apa biar aku yang duluan," jawab Lana sambil melirik Delius dan Ian bergantian dengan kedua mata mungilnya. Sementara rambut panjang berwarna hitam pekat yang digerai milik Lana terlihat sangat cocok menjadi duta iklan sampo lain di mata Mutia. "Oh iya, acara nanti kamu enggak akan lupa lagi, kan, Mas?"

Delius mengangguk dengan mimik tak kalah enggan menatap Lana. "Acara temannya Raka?"

Lana mengangguk. "Ingat janji kamu. Jangan sampai buat dia kecewa. Aku enggak mau kelihatan jahat di depan orang lain gara-gara kamu. Lagi."

Delius mengangguk pelan tanpa kata. Namun, dari wajahnya Mutia bisa menebak bila ada gejolak aneh yang pria itu tahan sebisa mungkin. Sampai-sampai suasana yang semula santai berubah canggung dalam hitungan detik.

"Mau balik sekarang? Gue antar aja. Kantor kita satu arah, kan?" kata Ian mencairkan suasana dengan tatapan ke arah Lana.

"Boleh. Kalau gitu aku duluan. Permisi," pamit Lana tanpa melirik Mutia sama sekali.

"Gue balik ke kantor, ya. Bye, Mut," pamit Ian.

"Bye. Salam buat Gadis," sahut Mutia kepada Ian yang hendak beranjak dari hadapan mereka, sedangkan Lana sudah lebih dulu keluar dari kafe.

"Kapan mau main lagi ke rumah?" tanya Ian sebelum tubuhnya benar-benar pergi menyusul Lana.

"Belum tahu. Maklum lagi banyak deadline, jadi Bos ikutan ribet," jawab Mutia spontan. Namun, buru-buru dia anulir ketika lirikan Delius berpindah ke arahnya. "Eh, maksudnya klien lagi ribet."

"Oke. Gue paham," kekeh Ian dari arah pintu kafe. "Bye, Del. Jangan galak-galak. Inget kolesterol."

"Kampret," umpat Delius pelan sambil mengangkat tangannya seperti mengusir Ian untuk segera pergi dari pandangan mereka.

Mutia dan Delius pun kembali duduk ke tempat masing-masing. Akan tetapi, karena pertemuan super canggung barusan, suasana di meja kafe siang itu pun sudah jauh dari kata kondusif. Mutia bahkan beberapa kali kedapatan melirik Delius sambil pura-pura sibuk mencatat sesuatu.

"Kalau mau tanya, tanya aja."

Sontak, Mutia mendongak. "Enggak, Mas. Lagian itu, kan, privasi Mas sama mantan. Kayaknya enggak etis kalau saya tanya-tanya."

Delius termangu di depan Mutia sementara dua alis tebalnya menyatu bak ulat bulu. "Soal kerjaan maksud saya."

"Oh, kerjaan," gumam Mutia menggerakkan bola matanya ke kanan dan ke kiri. "Enggak."

"Jadi, dari tadi kamu sibuk tulis sana-sini tapi isi kepala kamu malah mikirin yang lain?"

Mutia menggigiti bibir bawahnya makin panik. Apalagi mimik Delius sudah kembali ke mode sengak. Entah ke mana perginya aura seorang mentor saat Delius memberikan arahan setengah jam yang lalu.

"Tapi saya jadi penasaran, tahu dari mana kalau tadi mantan istri saya? Setahu saya orang kantor belum pernah ketemu langsung sama dia."

Tubuh Mutia makin membeku di tempat. Ekspresinya pun berubah tegang, selagi pikiran perempuan itu berputar ekstra keras untuk mencari alasan. Sebab sebuah kemustahilan tingkat tinggi bila dia harus jujur anak-anak kantor sering menjadikan Delius bahan ghibah di pantri.

"Tebak aja. Dari obrolan Mas sama Mbak Lana tadi," jelas Mutia asal.

Delius mengedik tak acuh sambil kembali mengetikan sesuatu di ponsel. "Deadline pitching kapan? Udah kamu masukin timeline?"

Ketegangan di wajah Mutia luntur seketika saat Delius mengalihkan pembicaraan mereka. "Empat hari lagi."

Delius yang semula sibuk membalas pesan seseorang, langsung melirik kaget ke arah Mutia. Tatapannya langsung gelisah ketika sadar waktu yang mereka miliki kurang dari satu minggu. "Kita meeting dua jam after office mulai hari ini bisa?"

"Maksudnya?"

"Setelah saya pikir-pikir lagi dengan sisa waktu yang ada dan apa yang saya bilang tadi soal kamu, jelas deck ini masih mentah bahkan buat sekadar dilempar ke anak kreatif. Jadi, besok saya bantu kamu buat risetnya."

"Serius jadinya Mas mau bantu saya?"

"Siapa bilang saya mau bantu kamu?" sahut Delius membuat semangat Mutia kembali hilang tak bersisa. "Saya cuma enggak mau perusahaan saya kehilangan investor dan tutup gitu aja cuma karena kesalahan satu orang. Apa kata media nanti kalau perusahaan yang dulu menang Citra Pariwara malah collapse ditinggal investor."

Mutia meringis serba salah di tempat duduk sambil kembali menyantap makan siang. "Iya, sih."

"Kalau gitu saya balik ke kantor sekarang. Kita lanjutin diskusinya after office, karena saya harus ketemu orang sebentar lagi," kata Delius selagi merapikan laptop.

"Oke," sahut Mutia dengan mulut sibuk mengunyah makanan.

"Kamu enggak balik ke kantor?" tanya Delius dengan nada datar.

"Mas duluan aja, saya masih mau rapihin deck di sini. Lagian makanan di piring saya, kan, masih banyak, sayang kalau harus saya tinggal," jawab Mutia sambil meringis malu-malu.

Kedua sudut bibir Delius terangkat naik kala melirik piring Mutia. "Makanan, ya ... Oke. Saya duluan."

Mutia mengerucutkan bibirnya saat Delius berlalu sambil menahan senyum. "Emang kenapa? Bener, dong, omongan gue. Daripada mubazir," gumamnya lalu menyantap kembali makanan di piring sementara tatapannya terus tertuju ke arah punggung Delius yang sudah menghilang dari pandangan.

***

Besoknya, perkembangan deck pitching mereka meningkat drastis. Dua hari bekerja di bawah arahan Delius dalam mode mentor, seperti mimpi bagi Mutia. Tidak ada komentar ketus tanpa solusi, apalagi mata menatap tajam siap terkam. Meskipun kernyitan dalam di kening juga pendapat jujur bin pedas kadang kala masih keluar dari mulut Delius. Bagi Mutia itu lebih baik ketimbang harus menelan omelan Delius mentah-mentah sambil menebak apa maksud pria itu.

Kemudian sebagai hari terakhir sebelum deck presentasi itu sampai kepada tim design, malam ini Mutia pun masih harus berada di ruangan meeting bersama laptopnya dan juga Delius.

Sesuai ekspektasi Mutia, dibalik sikap perfeksionisnya Delius itu ternyata memang pria dengan banyak sudut pandang dan berwawasan luas terutama mengenai business process beragam industri. Selama dua hari ini Mutia bahkan tahu banyak mengenai riset yang benar, memilih target audience tepat sasaran, sekaligus menyusun metode marketing berdasarkan masing-masing industri. Ini jelas mengingatkan Mutia akan alasannya dulu ingin bekerja di sini.

"Insight yang saya kirim udah kamu masukin deck?" tanya Delius yang duduk saling berhadapan dengan Mutia.

"Udah. Mas mau review dulu?" jawab Mutia melirik Delius yang tatapannya tidak pernah lepas dari layar laptop.

"Boleh. Kirim aja."

Sambil menunggu komentar Delius, mata Mutia memutari ruangan meeting untuk melepas bosan. Dimulai dari rak yang dipenuhi dokumen, interactive flat panel tempat mereka biasanya menuangkan ide, sampai kepada meja panjang di sudut ruangan yang dipenuhi foto-foto dan penghargaan yang pernah diterima Tiger sampai detik ini. Termasuk foto Delius dan mantan partnernya di Tiger, Darwis. Pria yang sekarang membangun digital advertising sendiri dan sering kali membuat Delius kebakaran jenggot. Entah kenapa.

"Good. Udah oke. Tinggal besok pagi kita meeting sama Osa dan timnya, biar sore bisa kita review." Penjelasan Delius terhenti ketika Mutia tetap tak bergeming sementara kedua bola mata abu-abunya mengamati salah satu foto di atas meja. "Susah fokus kayaknya emang bakat kamu, ya, Mut. Mutia!"

Mutia terkesiap. "Iya. Kenapa, Mas?"

Delius melepaskan kacamatanya dan menatap Mutia dengan tatapan malas. "Sekarang kamu lagi mikirin apa lagi?"

"Hm ... gimana, ya ... sebenarnya saya udah penasaran sama ini dari lama. Tapi kalau Mas enggak mau jawab enggak apa-apa, kok," jawab Mutia sangat hati-hati sembari melirik foto Darwis.

"Soal Darwis?" tebak Delius melirik foto yang sedari tadi menjadi fokus Mutia.

Takut-takut, Mutia mengangguk. "Mas segitu enggak maunya kesaing sama Fabulous, apa karena Pak Darwis?"

"Kesaing? Ngapain juga saya mesti ngerasa kesaing? Jelas masih keren Tiger ke mana-mana," jawab Delius pongah sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan mengamati Mutia lebih leluasa. "Tapi yang pasti, dalam bisnis emang enggak seharusnya kita pakai hati, Mut. Mungkin itu kelemahan saya."

Mutia termangu. Di antara suara pendingin ruangan yang terdengar nyaring, Mutia menemukan ada yang berbeda di suara Delius. Seperti ada kecewa dan luka yang serupa seperti hari itu saat Delius termenung seorang diri di pantri kantor. Mutia merasa kurang nyaman.

"Terus tadi soal deck Mas ngomong apa? Sori saya enggak denger," tanya Mutia mengalihkan pembicaraan.

"Kamu lagi ngalihin pembicaraan ceritanya?"

Segera, Mutia menggeleng kikuk.

"Tenang aja. Saya udah enggak terlalu mikirin soal Darwis. Yah ... walaupun saya sendiri masih kesal tiap dengar perusahaan dia selalu menang pitching."

"Tenang aja, Mas. Saya yakin kali ini pasti kita yang dapetin kontrak Mabar."

Delius berdecak sambil mengulum senyum tipis. "Pede banget kamu. Bikin riset aja masih berantakan."

"Kan, ada Mas," jawab Mutia sambil memamerkan gigi-giginya pongah.

Delius tersentak. Salah tingkah, dia buru-buru merapikan barang-barangnya dan beranjak meninggalkan Mutia di ruang meeting seorang diri.

"Mas, loh, kok, kabur? Kita harus optimis, dong. Mas!" teriak Mutia mengejar Delius. "Terus ini deck nya udah oke??"

"Besok. Kamu arrange meeting sama tim design," jawab Delius tanpa berbalik dari ambang pintu ruang meeting.

"Terus deck-nya? Udah oke? Saya udah boleh balik, kan?" tanya Mutia lagi.

"Kamu beneran enggak dengar saya tadi bilang apa?" semprot Delius melirik tajam kepada Mutia sebelum keluar dari ruang meeting, sontak saja Mutia beringsut di tempatnya berdiri.

"Ngeselin banget, sih," gerutu Mutia kembali melangkah ke meja ruang meeting. "Apa susahnya, sih, tinggal bilang. Good Mutia, udah oke. Dasar Delicious!"

Gerutuan Mutia menghilang ketika getaran di ponselnya terasa di atas meja. Segera dia sambar lalu membaca pesan di layar.

Bucin Ninna :

Ndut, udah balik?

Temenin gw makan mau enggak? Ketemuan di GI, ya.

Mutia berdecak sebal. "Ini lagi si Sapi. Ngajak makan enggak sekalian berangkat bareng. Lo pikir ke sana enggak pakai ongkos!"

Bucin Ninna :

Please gw lagi butuh temen nih

Gw traktir deh & balik gw anter

Dijamin selamat sampai tujuan. Gimana?

"Nah, gitu dong," kata Mutia saat pesan Felix kembali muncul di layar ponsel. Segera, dia pun keluar dari ruang meeting untuk menjemput tas di kubikel.

***

Baru beberapa langkah Mutia berjalan ke arah lift, sosok Delius tampak berdiri sama-sama menunggu lift. Fokus Delius yang masih ke arah layar ponsel membuat dia tidak sadar ada Mutia di sebelah. Sampai suara denting lift dibarengi pintu besi terbuka menggerakan kepala Delius ke arah Mutia.

"Malam, Mas," sapa Mutia canggung yang hanya disambut anggukan dari Delius. Keduanya lalu memasuki lift dan memilih diam sepanjang waktu turun ke lantai bawah.

"Mas," panggil Mutia takut-takut sambil mengamati sosok Delius dari pantulan pintu lift.

"Kenapa?"

"Terima kasih, ya, buat bantuannya dan maaf kalau selama ini saya kurang maksimal kalau buat deck pitching."

"Sama-sama. Tapi saya mau buat next proyek kamu bisa ikutin alur ini. Karena pakem kayak gini justru bikin latar belakang deck kita kelihatan lebih rapi," jelas Delius masih enggan lepas dari ponse.

"Siap Mas," sahut Mutia penuh semangat.

"Dan satu lagi, KONSENTRASI."

"Si—siap, Mas." Mutia meringis kemudian mengulas senyum tipis sambil melirik Delius yang sudah menatapnya datar. Sampai akhirnya lift itu pun berhenti di lantai dasar.

"Saya duluan, Mas," pamit Mutia buru-buru kabur dari sana.

"Hm ... Mau bareng?"

Langkah kaki Mutia spontan berhenti di tempat. "Enggak usah, Saya mau mampir dulu ke GI. Mau ketemu teman."

"Kebetulan saya juga mau ke sana. Gimana?" ajak Delius berbelok ke arah lift lain yang menuju basement gedung.

Setelah menimbang selama beberapa detik, Mutia mengangguk. "Oke, kalau emang Mas maksa."

Tubuh Delius yang berada beberapa langkah di depan Mutia kembali menoleh. Tatapan malasnya membuat setiap sendi Mutia kaku seketika. "Siapa yang maksa?"

"Eh, maksud saya bukan gitu. Kalau gitu saya balik sendiri aja deh. Bye, Mas," pamit Mutia serba salah.

Delius tersenyum samar. "Saya bercanda Mutia. Ayo!"

"Bercanda, ya ... ," gumam Mutia bergidik ngeri di belakang Delius, kemudian mengekori pria itu ke arah tempat parkir.

Selang satu jam sibuk dengan isi kepala masing-masing, mobil Delius tiba di tempat parkir Grand Indonesia. Mutia dan Delius buru-buru keluar dari mobil dan masuk ke dalam mall.

"Thanks, ya, Mas buat tumpangannya," pamit Mutia di depan pintu masuk. "Saya permisi duluan."

"Sama-sama. Sampai ketemu besok, Mut."

Namun, sebelum Mutia benar-benar meninggalkan Delius sendiri, seorang wanita paruh baya sudah berdiri menghalangi. Tidak hanya itu seorang bocah laki-laki tanpa segan menatap Mutia dari ujung rambut ke ujung kaki.

"Baru dateng? Papa telat satu jam sepuluh menit," todong bocah itu tanpa ekspresi yang mengingatkan Mutia akan ekspresi seseorang.

"Kenapa Raka belum ke acara, Bi?"

"Udah Bibi bilang buat tunggu Bapak di dalem aja sama temen-temennya tapi dia enggak mau. Malah minta nunggu di sini," terang wanita itu takut-takut kepada Delius.

"Terus Tante ini siapa?" tanya bocah yang bernama Raka itu menunjuk Mutia tidak suka.

Mutia yang kedapatan melamun langsung terperanjat kaget.

"Kamu masih di sini?" tanya Delius spontan.

"Eh, i-iya Mas. Ini juga saya mau pergi. Dah," pamit Mutia sambil melambaikan tangannya kepada Raka.

"Kenapa Tante enggak ikut aja?"

"Raka," potong Delius tidak suka. "Tante ini cuma temen Papa dan dia ke sini karena harus ketemu sama temennya."

"Aku mau Tante ini ikut atau kalau enggak, ya, udah aku mau balik aja. Aku enggak mau ikut ke acara Yudha," sahut Raka sambil melipat kedua tangannya ke dada dengan wajah mengancam kepada Delius.

Ibarat pinang dibelah dua, mimik Raka detik ini mengingatkan Mutia akan raut Delius bila sedang di mode kejam. Mutia meringis dan meminta bantuan kepada Delius untuk membiarkan dia pergi.

"Oke. Tante ini bakal ikut kita."

"Mas," protes Mutia setengah berteriak, tetapi tidak digubris oleh Delius.

"Udah protesnya? Mau masuk sekarang?" tanya Delius kepada Raka yang sekarang sudah mau tersenyum lalu berjalan pergi ke arah rumah makan di dekat pintu masuk sambil menggandeng baby sitter.

"Kamu ngapain? Ayo!"

"Mas," rengek Mutia dengan wajah memelas.

"Saya udah bantu kamu hari ini, kan? Anggap aja sekarang kamu yang bantu saya," kata Delius enteng kemudian mengekori anak lelakinya dan meninggalkan Mutia. "Dan jangan coba kabur, ya, Mut."

"Dasar Delicious," ratap Mutia di belakang Delius.

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top