4. Brain-Storm-Ing

Kafetaria di lantai bawah Blue Building terlihat ramai, sumpek, dan berisik siang itu. Beragam karyawan dari bermacam bisnis perusahaan gedung berlantai dua puluh itu tumpah ruah menjadi satu. Terkecuali, satu meja di sudut kanan kantin yang senyap meskipun diisi oleh tiga orang. Makan siang mereka sepertinya lebih menggoda ketimbang membuka suara.

Ting!

Suara notifikasi pada satu buah ponsel di atas meja terdengar. Tiga pasang mata manusia di sana langsung terpaku pada ponsel di atas meja yang langsung disambar pemiliknya.

"Kampret!" seru salah seorang diantaranya usai membaca pesan di layar, Mutia.

"Lo kenapa?" tanya Ninna menyudahi makannya.

"Abang lo kenapa lagi sih, Nin. Pening gue," gerutu Mutia menyerahkan ponselnya kepada Ninna.

"Abang gue? Siapa?" tanya Ninna kebingungan sambil mengeja pesan di layar ponsel.

"Delius," jawab Felix menahan tawa.

"Dih, sejak kapan dia jadi abang gue?" kata Ninna malas. Namun tak lama, gelak tawa pun terdengar usai membaca pesan Delius di ponsel Mutia. "Activation digital kamu pasaran. Ganti."

Bibir Mutia mencebik, sementara Felix makin tergelak.

"Gue kudu ngapain dong, Nin?" tanya Mutia memelas.

"Meeting sama tim lo lah. Bikin deck ulang, selesai," jawab Ninna enteng.

"Sialan. Enggak perlu gue tanya juga gue udah tahu," gerutu Mutia dengan mulut penuh. "Lama-lama omongan lo kayak Mas Del. Geli gue."

"Udah ... jangan kesel-kesel. Makan dulu, deh, mendingan," rayu Felix memberikan potongan besar katsunya ke piring Mutia.

Mutia mendelik ke arah Felix, kemudian menyuapkan sepotong katsu ke mulutnya dengan sekali lahap.

"Tapi gue rasa baru setahunan ini deh Mas Del makin sadis," gumam Ninna menautkan alis.

"Swetwahun apwaan?! Dwari dwulu jwuga dia selalu swadis swama gueh," sahut Mutia dengan mulut penuh.

"Buktinya gue minta cuti buat liburan aja udah hampir setengah tahun baru di ACC kemarin. Kan, kapan lagi gue liburan bertiga sama anak gue. Kesel," decak Ninna seraya melipat kedua tangannya ke dada. "Apa efek kelamaan jomblo kali, ya, makanya dia bawaannya emosi melulu."

"Mungkin. Kenapa kalian enggak coba jodohin aja?" celetuk Felix tiba-tiba, sontak mata Mutia membundar sempurna. "Biasanya, kan, orang kalau belum punya pasangan uring-uringan melulu."

"Bisa jadi," sahut Ninna.

"Pengalaman?" ejek Mutia kepada Felix.

Felix tersenyum pongah. "Wait, sorry. Status boleh jomblo, tapi kalau gandengan buat diajak jalan sih banyak kali. Emang elo?"

"Emang gue kenapa? Sorry, ya, I'm single and I'm very happy."

"Jangan gitu lo. Biar gini-gini Muti udah punya gebetan kali. Ya, kan, Mut?" bela Ninna memunculkan kerutan di dahi Mutia. "Itu loh Mut cowok yang lo bilang mau dikenalin sama temen kuliah lo. Gimana udah ketemu? Oke enggak?"

Mutia yang baru akan menelan makanannya terdiam. Malu bercampur geli bermunculan di dada mengingat kejadian beberapa minggu lalu. Segera, dia menggeleng beberapa kali.

"Bukan selera gue," jawab Mutia cepat

"Widih, ada yang mau sama lo?" goda Felix lagi.

"Sialan! Maksud lo apaan ngomong gitu? Gue yakin cewek-cewek yang kemarin juga sebenarnya kepaksa, kan, deket sama lo. Cewek mana yang mau sama cowok enggak jelas kayak lo," cerocos Mutia tersulut emosi.

"Kok, lo berdua malah berantem, sih. Kayak bocah deh," kekeh Ninna menengahi.

Mutia berdecak kesal ke arah Felix yang masih senang menggoda. Namun, mimik perempuan itu berubah tegang ketika sebuah pesan kembali masuk ke ponsel.

Not Delicious :

Kalau kamu punya waktu 5 menit buat ngobrol

Harusnya kamu lebih bisa manfaatin itu buat cari ide, kan?

Susah payah, Mutia menelan ludahnya kasar, bahkan pipi tembamnya sudah semerah saos tomat sekarang. Buru-buru kepala Mutia bergerak ke segala arah mencari sesuatu. Ralat, seseorang.

"Kenapa?" tanya Ninna yang kebingungan dengan reaksi Mutia yang tiba-tiba.

"Delicious terpantau masuk radar," jawab Mutia kala menemukan sosok Delius di depan Kafetaria yang bersidekap dengan segelas kopi di tangan. Tubuh Mutia sukses membeku di tempat. "Nin, daripada kita cari mati. Mending kita balik ke kantor deh kayanya. Udah jam satu lebih loh ini."

"Oh, please." Ninna mendesah malas saat mengikuti arah pandang Mutia. Terlebih pria berkacamata di sana melangkah pergi sambil menggelengkan kepala. "Ya, udah deh Lix. Kita duluan, ya."

"Enggak asyik banget sih lo pada, berasa anak SMA ketemu guru BK, deh," gerutu Felix yang ditinggal sendiri. "Katsunya masih sisa tuh."

Mutia yang baru beberapa langkah menjauh kembali berbalik dan menyomot sepotong katsu dari piring. "Thanks, cuy."

"Konyol," gumam Felix terkekeh memandangi dua orang perempuan yang berlari tergopoh-gopoh keluar dari Kafetaria.

***

"Kak, ini udah revisi ke sepuluh loh, yakin masih mau lanjut?" tanya Shinta, salah satu tim Mutia yang bertugas sebagai Content Writer. "Besok lagi gimana? Gue masih ada press release buat Pak Hendra loh. Entar kalau telat, gue bisa kena omel AE nih."

"Mabar ... Healthbar .... Cemilan ...," gumam Mutia sambil bertopang dagu memandangi papan tulis di depan muka. "Apa yang langsung muncul di kepala kalian lihat kata cemilan sehat?"

Lima orang di ruangan meeting kompak mendesah malas kala Mutia tidak ambil peduli curhatan Sinta.

"Kok, pada diem? Mana ide liar kalian!" protes Mutia menoleh ke arah timnya dengan ekspresi gemas luar biasa seakan tengah menjiplak tingkah Delius.

"Lo ngapain, sih, Cuy?" tanya Angga, Social Media Strategist mereka yang berpenampilan preman tetapi hati kalem bak ikhwan. "Enggak cocok lo ngomong macam Delius."

"Siapa yang mau nyamain dia? Ogah," cebik Mutia kembali mencorat-coret papan tulis sementara tangannya yang lain menjemput sisa martabak keju dari atas meja ruang meeting.

"Emang lo enggak bisa, Mut, perang argumen dikit sama Mas Del?" tanya Osa ikut buka suara dengan wajahnya sudah sangat suntuk. "Seumur-umur, file revisi gue enggak pernah loh sampai gue kasih nama Creative_Mabar_Fix20 dan masih mentok di internal. Bisa sampai seratus revisi kalau gini terus."

"Iya, Kak. Padahal pitching-nya tinggal lima hari lagi loh," timpal Shinta. "Mana sempet keburu telat."

Manusia-manusia di ruangan meeting tertawa geli. Sementara di depan papan tulis, Mutia mencebik sambil mengunyah makanan. Bila boleh jujur, dia pun sebenarnya sudah cukup lelah memutar otak dan mencari ide "terliar" versi Delius dua minggu ini. Apalagi sampai detik ini dia tidak diberi clue sedikit pun mengenai ide liar yang masuk standar Delius.

"Ya udah, deh, kita pakai ide yang awal aja dulu. Nanti gue coba edit di bagian brand story-nya," cetus Mutia akhirnya. "Udah jam sepuluh malam juga."

"Setuju!" koor timnya kompak seraya membenahi laptop dan catatan masing-masing, kemudian meninggalkan Mutia sendiri di ruang meeting.

"Lah, udah pada kabur aja. Sampah woy!" seru Mutia sebal.

Sambil menarik napas panjang, Mutia membenahi sisa-sisa bungkus makanan di ruang meeting. Wajah lelah bin nelangsa terlihat jelas ketika perempuan itu keluar dari ruang meeting dengan sampah dan laptop miliknya di tangan.

"Sepi banget," gumam Mutia yang hanya menemukan satu orang programmer dan designer di dalam ruangan kantor yang berkubik-kubik itu.

Tatapan Mutia beralih ke kanan. Lampu di ruangan Delius masih benderang menandakan bila pria itu masih berada di ruangan. Mutia mendengkus malas seraya meletakan bokongnya ke atas kursi kerja.

"Bisa sampai jam dua belas kalau begini ceritanya."

Detik demi detik pun berlalu begitu cepat. Deck presentasi yang semula berantakan kini sudah rapi di layar laptop Mutia, berbanding terbalik dengan rambut keriting Mutia yang sudah mencuat tidak tentu arah. Meskipun begitu, wajah Mutia masih tampak serius menghadap laptop.

"Done," ucap Mutia semringah. Kepalanya kemudian bergerak ke arah ruangan Delius yang tidak pernah berubah sejak dua jam yang lalu. "Tinggal kirim. Semoga kali ini aman. Amin."

Send.

Sambil merapal beragam doa, bola mata abu-abu milik Mutia terus mengarah ke ruangan Delius. Perempuan itu pun berharap kali ini Delius setuju dengan ide dari mereka, sebab bila tidak, Mutia mungkin akan beralih profesi menjadi satpam malam ini juga di kantor.

"Please ... please ... please," gumam Mutia sambil menunggu balasan email dari Delius.

Inbox (1).

Mutia buru-buru membuka pesan masuk di alamat emailnya setelah menunggu dengan jantung belingsatan selama hampir lima belas menit. Namun, senyum di bibir Mutia langsung luntur membaca pesan dari Delius.

Kurang detail. Terlalu luas. Saya enggak tahu apa hubungan campaign kamu sama goal-nya.

Pelan-pelan emosi merangkak naik dari dada Mutia lalu mendesak sampai ke ubun-ubun. Lebih-lebih dia melihat lampu di ruangan Delius sudah padam dan penghuninya keluar dari sana.

"Marah ... jangan ... marah ... jangan ...," gumam Mutia menyipitkan mata. "Ah, bodo amat! Mas!"

Kedua alis Delius menyatu ketika Mutia sudah berdiri di hadapan. "Kamu masih di sini? Saya pikir kamu udah balik."

"Sabar ... Mutia .... Sabar," gumam Mutia menghibur dirinya sendiri. "Iya dan saya mau tanya sama Mas."

Delius melipat kedua tangannya ke dada. "Tanya aja. Kenapa?"

"Mas, saya udah cek balasan email dari Mas. Boleh saya tahu kesalahan kita di mana?"

Delius terdiam hanya keningnya yang mengerut tanda dia tengah berpikir. "Saya rasa jawaban dari saya udah jelas. Butuh penjelasan apa lagi? Tim kamu yang lain mana? Saya butuh jelasin juga ke tim kamu."

Mutia memasukan oksigen banyak-banyak sebelum emosi mengambil alih tiap rongga di dada. "Mas, pitching udah minggu depan loh. Kalau idenya aja menurut Mas masih belum SELIAR yang ada di kepala Mas, gimana kita bisa selesai tepat waktu? Gimana kita mau ikut pitching? Gimana kita mau dapat kontrak? Gimana perusahaan mau dapat duit?" cerocos Mutia panjang lebar dengan nada yang dia buat senormal mungkin.

"Kalau soal ide, itu masalah kamu. Kamu pikirin lah sama tim kamu," jawab Delius membawa langkahnya meninggalkan Mutia.

Mutia berdecak sembari mengejar Delius. "Saya tahu! Tapi gimana mau dipikirin kalau yang dipikirin aja enggak tahu apa."

Langkah kaki Delius berhenti di depan pintu masuk, selagi matanya melirik Mutia dari balik kacamata. "Kamu udah tiga tahun, kan, nganalisa brief klien dan enam tahun kerja di dunia kreatif. Masih belum bisa tebak mau klien apaan?"

"Mau klien atau maunya Mas?!" bentak Mutia tidak lagi bisa menahan amarah. Sampai-sampai ekspresi Delius terlihat kaget sambil menatap Mutia syok. Bahkan saking kagetnya, hening terasa nyata di antara mereka selama beberapa detik.

"Kamu ceritanya marah sama saya?"

Rahang Mutia hampir terjatuh mendengar pertanyaan santai dari Delius. Perempuan itu lalu menggeram gemas.

"Enggak! Saya enggak marah. Saya cuma nyesel kerja sama Mas," seru Mutia jengkel seraya berbalik kembali meja kerja. "Terserah. Mau menang pitching kek mau enggak. bodo amat! Kalau atasannya aja enggak peduli sama nasib karyawannya sendiri ngapain juga gue pontang-panting cari ide sampai lupa makan, kurang tidur, dan cari jodoh aja enggak sempet. Kantor apaan kayak gini."

Delius yang masih berdiri di posisinya mengamati Mutia kebingungan, selagi bawahannya itu mengemasi barang-barang ke dalam tas dengan mulut tidak pernah bisa diam. Bahkan, Delius tetap mematung ketika Mutia berjalan melewatinya sambil mendengkus kesal lalu keluar dari kantor.

"Dia kenapa?" gumam Delius menggaruk pelipis kebingungan.

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top