3. Out of The Box

Ruang meeting sore itu terasa hening. Hanya ada suara ketukan buku-buku jari Delius di meja ruang meeting. Lima orang head division saling tatap. Termasuk bola mata Ninna dan Mutia yang bergerak-gerak memberi kode. Sebagai Digital Strategist yang membawahi tim konten dan media sosial, bisa dibilang semua ide awal ada di Mutia. Jadi, isu yang sudah pasti akan diangkat di meeting bulanan hari ini pasti terkait soal itu.

"Kenapa Kontaksel bisa sampai lepas dari kita?" tanya Delius melepaskan kacamata. Surutnya kreatifitas yang berimbas diputusnya kontrak klien.

"Saya kurang tahu pasti. Tapi kemungkinan besar karena sekarang Kontaksel udah punya tim internal sendiri buat urus digital mereka, Mas," terang Ninna mengamati layar proyektor di belakang tubuh Delius. "Mungkin biar lebih hemat dan enggak perlu hire tim dari luar."

"Tapi untuk beberapa channel digital setahu saya masih dipegang Fabulous, kan?" tanya Delius tajam sambil meletakan bokongnya pada kursi di depan meja meeting.

Ninna menarik napas dan mengangguk pelan. Sementara itu, Mutia melirik Delius dan Ninna bergantian. Sebab dari suasananya, gelombang amarah akan menabrak ke arahnya sebentar lagi.

"Nin, si Delicious kenapa, sih, sensi banget sama Fabulous?" bisik Mutia kepada Ninna sambil melirik diam-diam ke arah Delius.

Ninna mengedik dengan wajah sok misterius. "Lo tanya sendiri aja sama dia."

"Lo minta gue bunuh diri?" gerutu Mutia sebal.

Tatapan Delius tiba-tiba bergerak kepada Mutia setelah hening mengamati report target dari Ninna. Kontan saja, tubuh Mutia merangsek mundur ke sandaran kursi.

"Terus selain Kontaksel, existing client kita ada berapa yang enggak perpanjang kontrak?" tanya Delius dengan ekspresi wajah yang sulit dideskripsikan. Entah, marah, kesal, kecewa, atau mungkin gregetan.

"Dua, Mas. Kopi Kapal Selam dan Mie Sadap. Untuk Kapal Selam lagi-lagi Fabulous yang pegang," terang Ninna membaca laporan di layar laptop.

"Si Darwis bener-bener," gerutu Delius menyebut pemilik Fabulous Agency dengan mimik berang, bahkan kacamata yang bertengger di hidungnya dia taruh di atas meja. "Lanjut. Buat prospek dan sisa existing client kita ada berapa?"

"Untuk sekarang klien yang kita punya cuma lima, dengan nilai kontrak yang sama. Prospek sebenarnya banyak Mas, kita bahkan udah 5 kali pitching bulan kemarin. Tapi, emang kebanyakan belum closing dan sisanya belum ada kabar."

"Lima?!" seru Delius tiba-tiba. "Dan enggak ada satupun yang taken sama kita?"

Ninna mengangguk pelan.

Delius melirik lima orang head division di depan mereka satu per satu dan berhenti pada sosok Mutia, si produsen ide di Ahensi mereka. "Oke, berarti kita udah tahu, kan, bottleneck nya di mana? Nin, untuk bulan depan ada berapa pitching yang mau kita ikutin?"

"Untuk sekarang baru satu, Mas. Mabar, produk healthy snack."

"Kalau gitu saya mau setiap ide dan kreatif harus sampai ke saya dulu sebelum masuk ke tim Ninna. Enggak terkecuali tim design," terang Delius tegas. "Pokoknya saya enggak mau ide kita basi sampai di klien."

"Tapi Mas, masih ada beberapa AE yang bisa handle, kok," sergah Ninna. "Kayaknya enggak perlu deh Mas turun tangan langsung."

"Saya enggak peduli. Pokoknya kamu dan tim AE fokus cari lead (kontak) baru. Lagian saya rasa ini bukan salah tim Account tapi salah tim kreatif kita yang emang enggak lagi kreatif," kata Delius tajam. Sontak, Mutia dan Osa menunduk dalam. "Kenapa saya enggak bisa salahin tim Account? Karena saya tahu mereka udah usaha cari lead baru buat achieve target setahun ini. Jadi, kalau sampai ide kita enggak diterima klien, kalian tahu, kan, salah siapa?"

Lima orang di dalam ruangan menggeleng, selagi Osa dan Mutia masih saling tatap ngeri.

BRAAKK!!

"Gimana mau dapat Citra Pariwara kalau kalian suruh cari ide aja enggak becus! Gimana tim Account mau nentuin target tahun depan kalau tahun ini aja kita enggak ada klien! Seharusnya kalian terima kasih dengan tim Account yang mati-matian cari duit buat gaji kalian!"

Suasana di ruangan meeting langsung senyap. Omongan Delius memang kelewat tepat. Bila sudah begini diam hanyalah satu-satunya solusi.

"Terutama tim Content!" Spontan, Mutia mendongak. Sesaat bola matanya beradu dengan tatapan sinis milik Delius. "Saya mau Digital Strategist nya harus lebih out of the box dan fokus cari ide lagi buat pitching kali ini. Ngerti, kan, Mut?"

"Ngerti, Mas," jawab Mutia pelan seakan paham maksud Delius untuk fokus. Sementara empat pasang mata lain melirik iba ke arah Mutia.

"Oke kalau gitu meeting hari ini kita selesaikan sampai di sini aja. Mulai besok saya mau kalian mulai diskusi per divisi masing-masing," kata Delius menutup meeting sore itu. "Brief buat produk Mabar kamu langsung kirim ke email mereka, Nin. Dan, saya mau setiap progress sekecil apa pun harus ada di email saya setiap harinya. Ngerti?"

"Baik, Mas," koor kelimanya kompak.

Setelah, sosok Delius keluar dari ruang meeting, sisa orang di dalam pun keluar satu per satu. Wajah mereka terlihat kusut bak pesakitan yang baru selesai diinterogasi. Apalagi Mutia yang berjalan lunglai menuju mejanya seperti baru kehilangan nyawa.

Sebenarnya, bila ingin disalahkan, semua bukan salah Mutia seratus persen. Sebab dia sudah berusaha sampai berdarah-darah untuk menuangkan ide terliar menurut versi brief klien yang terkadang tidak jelas. Begitu pun tim Design dan tim yang lain.

Mutia kembali termangu di tengah-tengah ruangan besar Tiger Agency. Dadanya masih coba mengais-ngais sisa optimis terutama kepada sosok Delius.

"Woy! Ngelamun!"

Mutia menoleh dengan mimik melas ke arah Ninna yang terkekeh di sampingnya.

"Lo kenapa? Gara-gara omongan Mas Del tadi? Kayak anak baru deh lo," ejek Ninna terkekeh geli.

"Ketawa lagi dia," gerutu Mutia kesal. "Daripada lo ketawa, mendingan temenin gue, yuk, Nin."

"Temenin ke mana?"

"Makan. Gara-gara meeting, metabolisme gue langsung lancar kayak jalan tol. Sekarang gue laper lagi," cerita Mutia sedih.

"Alesan. Bilang aja lo emang laper. Ya udah, gue temenin. Tapi gue ambil dompet dulu, ya," pamit Ninna berbelok ke kiri dan berjalan mendekati mejanya. Namun, belum apa-apa Delius kembali keluar dari ruangannya lalu menatap Ninna.

"Nin, bisa ke ruangan saya sebentar!" panggil Delius kepada Ninna.

"Abang lo manggil," gerutu Mutia sebal ketika tubuh Ninna melewati dirinya sambil tersenyum lebar.

"Sori, ya, Mut."

Di posisi berdirinya, Mutia menatap Ninna dan Delius sebal. Beberapa tahun belakangan kepala Delius dan Ninna seperti satu frekuensi. Bahkan, keduanya lebih sering berdiskusi berdua. Mutia jadi makin merasa tidak dianggap di kantor. Padahal sebagai satu-satunya Digital Strategist di kantor ini, harusnya Delius lebih punya hati kepadanya. Mutia mengerang sedih dan melangkahkan kakinya keluar kantor untuk mencari angin segar.

Sesampainya di bawah, Mutia memasuki satu-satunya tempat makan selain kantin yang ada di Blue building, coffee shop. Di sana, Mutia memesan spageti bolognese, sandwich tuna mayo, dan cheese wedges pada pelayan. Kemudian, dia memilih area luar ruangan agar otaknya lebih dingin.

Senja dan angin sore yang bergerak rancak memainkan dedaunan pada pot di sudut area outdoor coffee shop, ketika Mutia duduk di salah satu meja. Kemudian tidak menunggu lama dia langsung menyantap tiga buah menu di meja tanpa ampun saat makanan pesanannya itu tiba setengah jam kemudian. Tanpa peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, sebab perpaduan emosi dan lapar memang selalu membuat dia hilang ingatan.

"Ndut! Sendirian aja."

"Uhuk!" Mutia yang baru akan menelan wedges di mulutnya tersedak, ketika tepukan tanpa perasaan hinggap di bahunya.

Buru-buru Mutia menenggak matcha latte nya dan memelotot sebal kepada Felix. Apalagi lelaki berkemeja rapi itu tanpa sungkan duduk di depannya.

"Emang kenapa kalau sendirian? Masalah? Gue udah biasa sendiri, kok. Emang kenapa? Heran gue."

"Dih, sewot," kata Felix sambil meletakan americano-nya di atas meja. "Lo kenapa, sih? Orang nanya baik-baik diomelin."

"Enggak apa-apa," jawab Mutia dongkol. Nafsu makannya mendadak hilang melihat senyum lebar Felix di depannya.

"Ninna mana? Tumben lo sendirian."

"Bini orang. Jangan macem-macem," cibir Mutia menatap Felix tajam.

"Maksud gue, lo, kan, ke mana-mana selalu berdua udah kayak anak kembar. Makanya gue heran aja lo makan sendirian di sini," terang Felix menatap Mutia. "Sensitif amat, si Ndut."

"Hilih. Speak lo. Emang gue enggak tahu maksud lo apaan," sindir Mutia menyedot matcha lattenya hingga tandas. "Ninna masih di atas, lagi tea time sama Abangnya."

"Abang? Emang dia punya Abang?"

"Delius," jawab Mutia masih emosi.

"Sejak kapan Delius sama Ninna jadi saudara?" tanya Felix menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi agar lebih leluasa memandangi Mutia. "Lo kenapa? Dari tadi gue tanya, jawaban lo ngegas melulu, si Delicious lagi?"

Bibir Mutia mencebik, menarik napas panjang, dan meletakan gelas matcha latte yang sudah kosong ke atas meja.

"Emang dia kenapa lagi, sih? Cerita, dong, Neng sama Abang," goda Felix bertopang dagu.

"Abang kepala lo pitak," gumam Mutia geli, meskipun dia akhirnya ikut bertopang dagu di depan Felix. "Asli. Gue enggak ngerti lagi sama si Delicious. Kejam banget, Lix. Masa gara-gara existing client enggak mau lanjutin kontrak jadi gue yang disalahin. Kan, yang salah enggak cuma di gue.

"'Gini ya, Cuy. Yang namanya campaign itu ide asalnya enggak cuma dari kepala gue. Tapi dari request klien, kita translate ke bahasa advertising, terus kita kasih ke AE, dan kita balikin ke klien. Jadi, kalau klien mendadak enggak mau nerusin kontrak yang salah enggak cuma gue dong. Heran!"

Felix mengangguk-anggukan kepalanya ketika cerocosan Mutia ditambah gerakan tangannya yang menggebu-gebu muncul. "Terus?"

"Terus, soal pitching. Asal lo tahu, ya, gue sama temen-temen gue udah mati-matian mikirin soal ide yang kata si Delicious harus out of the box. Tapi, ya, gimana lagi, mungkin emang bukan rezeki kita, gimana, dong? Kurang begadang apalagi coba gue buat pitching?"

"Budek lama-lama gue denger lo ngomel-ngomel," decak Felix mengorek-ngorek kupingnya yang mendadak tuli. "Menurut gue, ya. Lo kebanyakan excuse, Mut. Kalau ide lo emang jelek, ya, jelek aja. Beneran kurang out of the box kali ide lo."

"Kampret. Denger kata itu lagi nafsu makan gue langsung hilang," gerutu Mutia jengkel, sementara Felix terkekeh di depannya. "Lama-lama kudu jadi box juga, nih, gue."

"Spongebob kali, Mut," celetuk Felix menghentikan tawanya. "Jangan kebanyakan ngeluh deh mendingan. Jalanin dulu aja, menurut gue omongan atasan lo ada benernya, kok. Bisa aja, kan, perusahaan lo kalah pitching melulu gara-gara ide tim lo kurang bisa diterima sama mereka. Ide, kan, bukan soal bentuk, tapi soal gimana cara lo presentasiin itu di depan klien dan sesuai sama apa yang mereka butuhin."

Mutia mendengkus. Pipinya yang bulat makin memerah karena jengkel. "Tahu apaan lo soal ide?"

"Gue, kan, temenan sama lo udah lima tahun, apalagi sama Ninna. Dari pertama dia kerja di sini sering banget gue denger curhatan soal bos lo," terang Felix menahan tawanya agar tidak lepas ketika mimik Mutia makin kesal kepadanya.

"Ninna lagi. Dasar bucin," sindir Mutia mengabaikan Felix, lalu melanjutkan makannya yang tertunda.

Alih-alih tersinggung, Felix malah terkekeh sambil terus mengamati Mutia yang menghabiskan sisa makanan. Bahkan saking seriusnya, bayangan Felix di hadapan Mutia bahkan seperti potret hitam putih terabaikan yang terpajang di dinding-dinding coffee shop. Seolah-olah, makanan di piring-piring itu lebih menarik ketimbang sosok lelaki berkulit terang dan berambut undercut, yang betah mengamati dirinya makan tanpa segan. Sampai langit di atas mereka menggelap. Sampai makanan di semua piring Mutia habis.

Selang beberapa menit, Mutia mendongak dan menemukan sosok Felix sudah raib, tersisa matcha latte yang masih penuh di atas meja. Sebuah catatan kecil dari kertas bekas struk pembayaran tergeletak di bawah gelas. Mutia tersenyum lebar lalu tanpa ragu mengambil gelas itu dan menyedotnya rakus.

"Ini pasti dari si Sapi. Nice," gumam Mutia tersenyum lebar sambil memandangi kerlap-kerlip jalanan yang mulai menggelap di luar gedung.

***

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top