1. Kejutan Kampret

Jam sudah hampir menyentuh pukul sembilan pagi kala pintu kamar Mutia terbuka lebar tiba-tiba dengan tas di tangannya. Rambut keritingnya masih mengembang sulit untuk disikat. Namun, seolah tidak peduli, dia lebih memilih berjalan ke meja makan, sebab aroma roti gandum bakar lebih menggoda dirinya.

Baru berjalan beberapa langkah, tubuh tegap seorang lelaki dengan kemeja dilicin rapi tampak duduk pada salah satu kursi di meja makan bersama ibunya.

Dia Mahesa. Partner satu kamar Mutia saat masih mengontrak di kandungan ibunya, atau orang-orang lebih kenal dengan sebutan saudara kembar.

Sebenarnya, sulit bagi Mutia bahkan mungkin bagi orang awam untuk membuktikan bila mereka adalah anak kembar. Pertama, jenis kelamin. Dia perempuan dan Mahesa lelaki. Kedua, wajah. Mereka bukan kembar identik. Saat kecil mereka memang sangat mirip. Namun, beranjak besar saat Mahesa mulai kehilangan lemak bayinya dan Mutia masih betah bergelung dengan masalah lemak. Bentuk wajah merek mulai berbeda hanya mata abu-abu pekat mereka yang sama. Warisan turun-temurun ayah.

Sementara untuk bagian tubuh yang lain, dia dan Mahesa itu lebih mirip Nicholas Saputra yang berpose bersama toren air berwarna jingga terang ketimbang saudara kembar. Sangat jauh berbeda. Alih-alih kembar, paling banter mereka mungkin lebih mirip kakak-beradik. Tentunya dengan Mahesa sebagai kakak, melihat sifatnya yang dewasa.

Selain fisik, sifat Mutia dan Mahesa juga bagaikan langit dan bumi. Sedari dulu Mahesa lebih menyukai hal-hal yang serba teratur dan pendiam. Makanya lelaki itu memilih menjadi pengacara. Berbeda dengan Mutia yang berkarakter spontan dan cerewet sejak mulai bicara. Tidak aneh bila kemudian dia terjerembab ke dunia media dan periklanan.

"Widih, ada angin apa lo sarapan di sini?" seru Mutia heboh sembari meletakkan bokongnya ke kursi di samping Mahesa. "Tumben lo masuk siang."

"Cuma mampir doang sebelum ketemu klien di luar," jawab Mahesa dengan mulut penuh.

"Enggak mungkin cuma mampir doang. Apartemen lo, kan, jauh dari rumah," ejek Mutia mengambil roti bakar buatan ibunya dengan selai cokelat, lalu menyantapnya lahap. Sebab sejak mulai bekerja, Mahesa memutuskan keluar dari rumah dan tinggal sendiri, agar lebih mandiri katanya.

"Ya udahlah, Mut. Kapan lagi kita bisa makan bertiga," kata Dyandra, ibu si kembar, kemudian meletakkan setangkup roti lagi ke atas piring Mahesa. "Tambah lagi, ya."

"Enggak usah, Mam. Kebanyakan sarapan, aku malah ngantuk nanti pas meeting. Lagian Mutia bener kok. Aku ke sini karena ada yang mau aku omongin ke kalian," terang Mahesa terlihat gugup di kursinya.

Mutia menghentikan kunyahannya. "Apaan? Omongan lo, kok, bikin gue serem."

Kedua mata Mahesa memandangi Mutia dan Dyandra bergantian. "Aku—mau ngelamar Alika bulan depan. Mama mau, kan, bantu aku bilang ke Papa?"

"Serius?!" seru Mutia tersenyum lebar. Sementara Mahesa terlihat salah tingkah saat menatap Mutia.

"Enggak bisa!" sahut ibunya tiba-tiba.

"Mam," sahut Mutia dan Mahesa bersamaan.

"Kakak kembar kamu belum nikah, Hes. Cowok aja belum punya. Pokoknya kamu baru boleh nikah, kalau Mutia udah bawa calon."

Roti bakar yang baru Mutia ambil, ikut terkejut sampai tergeletak pasrah kembali ke piring. Sementara tatapannya seketika melotot kaget ke arah ibunya. Jelas, Mutia masih syok.

"Mam, sejak kapan lahir cuma beda lima menit disebut kakak? Lagian emang Mama yakin waktu lahir itu aku duluan yang keluar, kan, bisa aja Mama waktu itu enggak konsen, jadi salah kira kalau itu aku," cerocos Mutia panjang-lebar. "Terus sejak kapan juga Mam percaya gitu-gituan."

"Pokoknya Mama enggak mau tahu, Mutia harus bawa calon dulu. Baru kamu boleh nikah. Titik," tekan Dyandra lalu melenggang pergi meninggalkan si kembar dengan wajah kaget di atas meja makan.

"Lo, kok, diam aja, sih? Protes dikit, kek," gerutu Mutia melirik Mahesa dengan gemas. "Lo, kan, cowok. Gue kalau jadi Alika udah mutusin lo dari kemarin, kalau denger omongan Mama aja lo cuma bisa pasrah."

Mata abu-abu Mahesa melirik Mutia dengan tatapan miris. "Dia udah minta putus dari minggu kemaren."

Mutia melipat bibirnya. "Serius? Terus-terus-terus."

"Enggak ada terus. Bilang ke Mama gue berangkat," pamit Mahesa menyabet tas. Jelas, Mutia semakin penasaran.

"Hes! Mahes!" teriak Mutia mengejar Mahesa sampai ke depan rumah.

Langkah kaki Mahesa berhenti di teras rumah. "Apa lagi, sih?"

"Lo serius mau kawin sama Alika?" tanya Mutia meminta penjelasan.

"Kalau gue enggak serius, ngapain juga gue pacaran lima tahun sama dia?"

Senyum menggoda muncul di bibir Mutia. "Oke. Sebagai saudara kembar lo yang baik hati, nanti gue coba bujuk Mama," katanya bergelayut sok imut di lengan Mahesa.

Mahesa menepis tangan Mutia di lengannya. Sambil bersidekap, dia lalu memandangi Mutia. "Sekarang gue mau tanya deh ke elo. Emang kenapa sih lo belum mau kawin?"

"Ko—kok jadi ke gue?!" sahut Mutia tidak terima.

"Iyalah. Mama itu khawatir karena lo belum kawin-kawin. Lo mau cari cowok yang model gimana, sih? Jangan kebanyakan pilih-pilih deh."

Tersulut emosi, Mutia berkacak pinggang di depan Mahesa. "Emang lo pikir selama ini gue enggak usaha buat cari cowok! Lagian kalau lo emang mau kawin, kawin aja. Ngapain urusin gue? Ribet banget."

Mulut Mahesa yang sudah hampir menyahuti kembali terkatup, seakan-akan urung untuk berdebat. Sebab debat hanya akan membuat paginya berantakan.

"Terserah lo deh. Gue mau berangkat," geram Mutia pergi.

"Mau nebeng?" ajak Mahesa yang sudah lebih tenang.

"Ogah. Gue kesel sama lo!" seru Mutia sebal lalu melangkah lebar keluar dari pekarangan rumah.

Di depan pintu gerbang, Mutia sengaja membuang muka ketika mobil Mahesa lewat dan membunyikan klakson di depannya. Sampai mobil itu menghilang, Mutia baru berani menatap jalanan dengan tatapan sedih.

Sebenarnya selain kesal oleh ucapan Mahesa, alasan yang lain adalah karena dia malas orang-orang kantor tahu bila dia memiliki saudara kembar seperti Mahesa. Karena sejak SMA dia selalu dikenal dengan sebutan "Saudara kembar Mahesa" ketimbang Mutia.

Bahkan semenjak SMA, Mutia selalu menjadi tukang pos dadakan bagi kakak kelas ataupun fans berat Mahesa yang ingin memberikan sesuatu kepada saudara kembarnya itu. Mulai dari cokelat, barang-barang lucu, sampai surat cinta. Beruntung semua berhenti, saat mereka beranjak kuliah. Selain berbeda jurusan, keduanya pun masuk ke kampus yang berbeda. Untuk pertama kalinya, orang mengenalnya sebagai Mutia.

"Seandainya aja lo tahu seberapa gede usaha gue buat dapet cowok."

***

Malamnya, Mutia yang baru pulang dari kantor menghabiskan malam untuk bergosip bersama teman-teman kuliahnya di salah satu kafe di daerah Semanggi. Akan tetapi, bukannya ikut heboh mengobrol dengan yang lain, dia malah sibuk dengan ponsel. Lebih tepatnya, sibuk memandangi aplikasi dating online, Tender.

Ucapannya kepada Mahesa pagi tadi itu memang sebuah kenyataan. Sudah dua tahun yang lalu dia sebenarnya mencoba berbagai cara untuk mencari sang belahan jiwa. Namun, selalu gagal. Bahkan lewat aplikasi konyol seperti ini.

Dulu, Mutia sempat mengenal beberapa pria dari Tender. Sebelum bertemu, mereka sepertinya orang yang ramah dan baik hati, tetapi nyatanya tiap kali mengajak kopi darat, semuanya mundur perlahan. Bahkan ada yang terang-terangan tidak menyukai penampilan Mutia dengan alasan lebih menyukai wanita yang gemar hidup sehat.

Bullshit. Apa susahnya bilang jujur dengan tidak menyukai perempuan gemuk. Munafik. Mutia menghela napas berat, kemudian tanpa pikir panjang dia hapus aplikasi itu dari ponsel kala tidak ada satu orang pun yang menyukai profilnya.

"Mut, kok, diam aja, sih? Enggak pesan makan?" tanya Gusti, lelaki setengah matang yang ribetnya melebihi para wanita di atas meja bila berbicara mengenai make up.

"Diet," jawab Mutia asal.

"Alasan. Palingan diet lo cuma bertahan sehari. Lo, kan, sering begitu," sindir Gadis dengan gemas. Perempuan bergaya paling tomboy yang baru menikah beberapa minggu itu menyodorkan kentang gorengnya di depan Mutia. "Udah buruan makan enggak usah sok diet, deh."

"Tahu. Lagian kalau lo kurus, jadi enggak lucu lagi dong," sahut Indri, teman kuliahnya yang lain, sambil menahan tawa.

"Lo pikir gue boneka, dibilang lucu," gerutu Mutia mencomot tiga kentang goreng dan mengunyahnya cepat.

"Hm, dimakan juga, kan, akhirnya," kekeh Gadis. "Laki gue udah mau sampai nih. Tapi dia bawa temennya enggak apa-apa kan?"

"Laki?" tanya Gusti penasaran.

"Laki tulen. Jangan ngarep deh lo," sembur Gadis dibarengi kekehan Mutia dan Indri.

"Kan, enggak ada salahnya usaha, dear," kata Gusti terkikik geli sendiri.

"Mana ada. Dia duda udah punya anak satu, jadi enggak mungkin seleranya kayak lo," terang Gadis sebal.

Ciri-ciri yang diucapkan Gadis terdengar familiar dengan sosok seseorang di telinga Mutia, sampai buku menu di tangannya dia telantarkan.

"Dan setahu gue, anaknya ikut bininya. Jadi, lo enggak akan terlalu pening ngurusin buntutnya. Sekarang, buat lo pada yang masih jomblo, siap-siap, ya. Siapa tahu dia kepincut sama salah satu dari kalian," cerita Gadis bak presenter take me in di televisi.

"Bentar deh. Dia kerja di mana?" tanya Mutia untuk memastikan sesuatu.

"Seingat gue kalau soal kerjaan sih dia udah mapan banget. Di advertising juga, kok. Mungkin cocok kalau ngobrol sama lo," jawab Gadis.

"Oke. Kalau gitu gue berarti mundur. Mutia kayaknya lebih punya nilai plus dibanding gue yang instagram aja isinya cuma selfie," sahut Indi kembali tertawa pelan berbanding terbalik dengan Mutia yang tubuhnya kaku seketika.

Ingin rasanya Mutia berpikiran positif, tetapi semua tanda yang dijelaskan tadi lucunya tetap mengarah kepada satu nama.

"Nah, itu mereka. Mas Ian sini!" panggil Gadis kepada dua orang pria yang mendekat ke arah meja mereka.

Wajah Mutia langsung pucat pasi kala dugaannya seratus persen tepat. Baju yang dipakai pria di samping Ian, suami Gadis, itu pun sama persis dengan pria yang membentaknya pagi tadi hanya karena typo satu huruf di deck presentasi pitching milik klien.

Kepala Mutia bergerak semakin senewen ke kanan dan ke kiri mencari cara untuk kabur. Sementara dua pria itu terus mendekat.

"Okey, girls kenalin ini senior sekaligus temen suami gue namanya Mas Delius. Enggak apa-apa, kan, dia ikut gabung bareng kita?" tanya Gadis mempersilahkan suaminya dan Delius untuk duduk.

"Nah, Mas Del. Kenalin ini temen-temen gue. Yang itu Gusti, salaman sama dia jangan kelamaan, gigit," kekeh Gadis yang langsung dihadiahi tepukan pelan oleh Gusti di bahunya.

"Herder kali gue," celetuk Gusti menyalami tangan Delius. "Gusti."

"Delius," jawab pria itu singkat tanpa senyum.

"Yang ini Indri. Jomblo pertama," kata Gadis membuat perempuan itu tersenyum malu-malu.

"Indri."

"Delius."

"Nah, yang terakhir ...," ucapan Gadis terhenti sesaat ketika Mutia menutupi wajahnya dengan buku menu. "Mut, buru kenalan dulu. Lo kenapa, sih?"

Mutia menggeleng cepat dengan tangan bergerak-gerak seperti memberi kode. Namun, lebih sulit dipahami dari kode morse.

"Ya elah, ini bocah rempong banget, sih," gerutu Gusti merebut buku menu dari tangan Mutia.

Sontak, suasana di sekitar meja berubah canggung. Baik itu Mutia ataupun Delius hanya membisu dengan mata saling tatap. Terutama Delius yang memandangi Mutia tanpa berkedip.

"Mu—Mut—Mutia," kata Mutia tergagap sambil mengulurkan tangannya.

"Kamu ngapain? Emang saya amnesia sampai lupa sama karyawan saya sendiri?"

Kalimat Delius yang tak bernada dan lugas, membungkam mulut semua orang di meja itu. Sementara Mutia menutupi wajahnya dengan kedua tangan untuk menahan malu, seakan-akan hatinya yang selembut princess tidak kuat mendapatkan kejutan mendadak seperti ini. Kejutan kampret yang jelas sempurna menutup hari paling absurd dalam hidup Mutia.

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top