[5] Aku, Kamu Dan Hujan
"Menyebalkan tapi bikin penasaran. Bagai setitik tinta hitam di kertas hidupku, kamu, ya itulah dirimu."
"Siapa? Aku? kakak kesel sama aku? salah aku apa? Aku dari tadi nyimak cerita kakak kok." Tidak hanya mulutnya yang mengajukan banyak pertanyaan, tetapi matanya yang bulat dengan sorot tajam membuatku terpejam sejenak. Matanya penuh tanda tanya dengan raut wajah sedih. Aku tak tega melihatnya. Segera kunetralkan kondisiku yang mulai memanas karena teringat kembali sosok Adeva yang menyebalkan dan membuatku kesal saat itu.
"Tidak, aku tidak kesal sama kamu. Maaf tadi terbawa suasana aja jadi agak ngegas, hehe." Kusunggingkan seulas senyum, semoga alasanku diterima oleh Aerys.
Aerys nampaknya menerima pembelaanku, ia mengangguk lalu menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dengan kedua tangan bersedekap, siap menyimak kembali ceritaku.
Mrs. Xander mengusap bahu kiriku, lalu turun ke bawah dan menggenggam tanganku erat. Terasa mengalir sebuah energi yang memberikan kekuatan bagiku untuk melanjutkan cerita ini.
Kutolehkan wajah padanya. Tersenyum singkat, beralih menatap Aerys dan mulai membuka suara kembali.
***
Embusan angin terasa menusuk kulitku ditambah lagi dengan bulir-bulir air jatuh dari langit. Menyebalkan, kenapa hujan turun di malam hari, padahal aku ingin melihat bintang malam ini. Untung saja aku sudah berada di depan pintu utama rumah Action World jadi terhindar dari derasnya sang hujan yang jatuh keroyokan.
Belum selesai aku menggerutu, pandanganku menangkap sosok yang tak ingin kulihat malam ini. Cukuplah hujan saja membuat moodku hancur. Lalu kali ini, disaat bersamaan, gadis yang menyebalkan beserta hujan hadir secara tiba-tiba. Lengkap sudah.
"Orang aneh, turun hujan bukannya lari neduh, ini malah ujan-ujanan kaya bocah," gumamku seraya berbalik.
"Baru pulang?"
Aku tersentak, kak Tiwi menyembulkan kepalanya dari balik pintu yang ia buka, tepat berbarengan dengan suara guntur dan kilat menyambar.
"Aduh kakak, aku kaget tau." Aku mengelus dada. Melangkahkan kaki hendak masuk ke dalam. Akan tetapi badanku ditahan oleh kak Tiwi. Ia menyodorkan sebuah payung dan tersenyum.
"Tolong bawa Adeva masuk, adek kan sudah terlanjur basah dan belum masuk ke dalam juga. Jadi, adek nggak keberatan kan bantu kakak?"
Dahiku berkerut, bajuku tidak basah, antara tidak percaya dan terpaksa harus menurutinya. Tak butuh waktu lama, tas ransel di pundakku telah berpindah ke tangannya kak Tiwi, aku berbalik juga mendapat dorongan untuk melangkah, berjalan di tengah guyuran hujan dengan satu payung sebagai pelindung.
Gemericik yang mengusik, aroma tanah mencuat tak enak. Hujan yang turun belum sampai 20 menit, itu tandanya masih ada zat-zat atau senyawa polutan yang menguap dari laut dan terbawa oleh rintikan hujan saat turun ke bumi yang nggak baik terkandung dalam air hujan. Tidak menyehatkan, bikin sakit iya. Begitulah menurut artikel tentang hujan yang kuingat.
Tapi gadis ini benar-benar tidak peduli atau bagaimana aku tak tahu. Dia terlihat menikmati hunjaman air hujan di wajahnya. Membiarkan seluruh tubuhnya basah, seoalah mandi di bawah shower. Menengadah dengan mata terpejam, kedua tangan terbentang.
Kugenggam tangan kanannya dengan tangan kiriku yang bebas. Sementara tangan kananku erat memegang payung dan mendekatkan tubuhku padanya, menghentikan laju hujan yang menghunjam tubuhnya. Ia pun membuka mata, berdiri tegak, melihatku dengan tatapan tak terbaca. Entah apa yang dia pikirkan, yang pasti posisi seperti ini tidak enak bagiku bagaimana tidak, Adeva ternyata lebih tinngi dariku, sontak aku yang sedikit mendongak saat melihatnya.
"Ayo masuk, nak. Udahan ya ujan-ujanannya." Dengan sengaja kuucapkan kalimat seperti itu untuk meledeknya, dia malah tersenyum.
Aku tidak menunggu jawaban darinya, senyuman kurasa cukup. Kutarik dia agar berjalan mengikutiku. Namun, bukannya berjalan di sampingku, ia malah berjalan mendahuluiku. Gengaman tanganku pun lepas. Kubiarkan dia berlari kecil dan sampai lebih dulu di depan teras depan pintu utama rumah Action World.
Udara dingin tidak bisa meredakan kepalaku yang terasa panas, ingin rasanya aku meluapkan segala kekesalan ini padanya. Namun, apa yang terjadi padaku, semua amarah itu sirna begitu saja.
Tangannya terulur menadah tetesan air hujan dari pinggir teras.
"Kakak tahu, hujan itu indah. Ada nada, aroma serta rasa."
***
"Menurutnya, hujan itu indah, ada nada, aroma, serta rasa. Menurutku, hujan itu memang indah. Tapi aku tidak dapat merasakan seperti yang dia ucapkan."
"Aku .. aku, biar aku yang membacakan puisinya." Aerys begitu bersemangat, tangannya sibuk membuka lembaran dari novel di genggamannya.
"Ketemu."
Aku, Kamu Dan Hujan
Menurutmu ...
Hujan itu indah,
Ada nada, aroma, serta rasa.
Menurutku ...
Hujan itu memang indah,
Tapi, aku tak dapat merasakan seperti yang kamu ucapkan.
Jika di saat yang sama, kita berdua menapaki jalan yang sama dan derai hujan jatuh secara tiba-tiba.
Aku dan kamu ...
Akan melakukan hal yang sama.
Sama-sama berlari,
tapi berbeda arti.
Aku berlari untuk berteduh
Kamu berlari untuk menyentuh sang hujan.
Dan ...
Hujan tetap terjatuh meski aku berteduh.
Dan kamu, diam merasakan kulitmu di hujam jutaan air hujan.
Aku, kamu, dan hujan.
Menyenangkan,
Menenangkan,
Tapi, tak selamanya akan datang di kala saling membutuhkan.
***
[29]
~{D.W.Y}~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top