39 - Makan Malam Reuni

Kakinya melangkah masuk dengan senyum mengembang. Melewati pintu yang terbuka lebar, ruang tamu, lantas kaki pemuda itu berlabuh pada meja makan di dekat dapur. Bayu mendudukkan diri di salah satu kursi berwarna keemasan bercampur hijau muda.

Walau sederhana, melihat senyum Ulfa saja membuat Bayu serasa menggapai angkasa. Lengkung bibir yang lima tahun lalu ia tinggalkan itu kini terpatri indah lagi diingatannya. Senyum-senyum sendiri seperti itu, Bayu malah lebih terlihat kesurupan.

Pemuda itu lantas merasakan hangat tangan seseorang yang menempel di dahinya. Bayu melirik ke kanan, ibunya mengernyit sama bingung dengan dirinya.

"Nggak demam, tapi kamu keliatan kayak sakit."

Lauren menarik tangannya, tetapi kerutan dalam yang tergambar di wajah Bayu tak juga memudar. Maksud ibunya apa? Dia sehat walafiat. Malah lebih dari kata sehat. Soalnya senyum Ulfa adalah obat yang paling manjur. Tuh, kan, dia mulai senyum sendiri lagi.

"Kamu mau Mama bawa ke rumah sakit? Mama mulai khawatir kalau kepala kamu agak geser otaknya," ucap wanita yang telah duduk di depan Bayu itu. Menunjukkan pandangan risau pada putra semata wayangnya.

Bayu membelalak. "Maa! Bayu udah sembuh, jangan mulai."

Jahad sekali ibunya. Anak sendiri dibilang sudah gila. Tapi benar juga, dia suka gila karena menyayangi sahabatnya sendiri. Tuh, kan, bucin lagi.

Lauren tertawa, setelahnya ia bangkit. Melangkah menuju tempat putranya duduk lalu mengusap kepala Bayu. "Siap-siap, gih. Entar malem kita mau ke rumah Aya."

"Hah? Ngapain?"

Ada perasaan terkejut sekaligus senang di dalam diri pemuda itu. Kapan lagi kesempatan untuk lihat calon pacar? Sama orang tua lagi. Barangkali mungkin dapat restu untuk langsung bawa ke pelaminan. Eh.

"Makan malam biasa, kok. Soalnya, kan, kita udah lama banget nggak ketemu," sahut Lauren. Mengusap kembali wajah putranya lalu melangkah ke dapur. "Kalau kamu mau makan dulu, Mama udah siapin pudding. Ambil aja di dalam kulkas."

Bayu mengulum senyumnya saat punggung sang ibu mulai menjauh. Bersorak girang di dalam hati sembari mendesis semangat. Akhirnya, ketemu pujaan hati lagi. Pemuda satu ini benar-benar sedang kasmaran dalam.

***

Nabastala kian menggelap. Matahari berganti peran dengan para bintang dan bulan. Jika orang-orang berpikir mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk istirahat, maka lain hal dengan pemuda yang berdiri di depan cermin itu.

Rambut hitam kecoklatannya tertata rapi ke kanan. Wajah semringah itu tak kalah menawan jika dibanding artis hollywood. Pakaiannya juga sudah oke. Dengan kemeja kotak-kotak berwarna merah hitam dengan balutan celana jeans. Tak lupa ia juga memakai sepatu skets berwarna senada. Duh, terniat sekali ingin bertemu sang pujaan.

"Bayuu, cepetan! Nanti kita telat, loh!" Pekikan melengking seorang wanita membuat Bayu terlonjak. Baru saja mengagumi diri sendiri, ia dibuat jantungan karena ibunya sendiri.

Mata hazelnya melirik arloji hitam yang melingkar di tangan kirinya. Hampir pukul delapan. Pantas sama ibunya berteriak seperti di dalam hutan. Bayu harus cepat. Kalau tidak mungkin ia akan jadi santapan harimau betina di bawah sana.

"I'm coming, Mom!" pekik Bayu kembali. Pemuda itu menyambar ponselnya yang ada di nakas kemudian keluar kamar menuruni anak tangga sebelum pekikan selanjutnya membuat rumah itu gempa.

Wajah kusut ibunya menyambut Bayu begitu ia sampai di ruang tamu. Pemuda itu hanya cengengesan sembari menggaruk tengkuknya.

"Lama banget kamu. Ngalahin cewek lagi dandan aja. Mentang-mentang mau ketemu calon istri."

"Hah?"

Entah untuk yang keberapa kalinya sang ibu membuat pemuda itu mengernyit dalam. Maksudnya apa? Dia masih kelas sebelas tapi sudah mau ketemu calon istri? Kalau sama Ulfa, nggak pa-pa, sih.

Tanpa menjawab, Lauren langsung saja menarik Bayu. Membawa pemuda itu menuju mobil yang sudah disiapkan. Lauren sendiri yang akan mengendarainya.

"Maksud Mama apa, sih, yang ketemu calon istri?" tanya Bayu begitu ia mendudukkan diri di jok depan, di samping ibunya.

Tak ada jawaban hingga kendaraan berwarna hitam itu keluar dari pelataran rumahnya. Deru mesin yang halus dan suara kendaraan lain mendominasi.

"Nggak ada. Kamu salah denger."

Bayu mengernyit lebih dalam. Mana mungkin ia salah dengar. Jelas-jelas dia dengar sendiri ibunya bilang begitu. Menghela napas panjang, pemuda itu selanjutnya menggeleng tak habis pikir.

Ia memilih melihat pemandangan di bahu jalan. Walau sudah malam, gemerlap kota seakan memberi kehidupan yang seperti siang hari. Kota ini seperti tak pernah tidur. Baik matahari yang bekerja ataupun bulan, orang-orang tetap saja sibuk berlalu lalang. Seakan mereka semua bekerja dua puluh empat jam sehari.

Lima belas menit berlalu dan kini mobil itu memasuki pekarangan sebuah rumah. Bayu tentu mengenalnya. Beberapa kali mampir mengantar seseorang ke sini tak pelak membuatnya lupa begitu saja.

Seorang wanita paruh bayu menyambut mereka di depan pintu. Dengan senyum semringah, ia memeluk hangat Lauren yang tak kalah bahagianya.

"Akhirnya dateng juga. Kirain nggak jadi," kata Rere setelah pelukan mereka terlepas.

"Jadi, dong. Udah nggak sabar pengen reuni sama kamu." Lauren tertawa kecil.

"Ya udah, yuk. Masuk, masuk. Makan malamnya udah ada di atas meja."

Rere menuntun ibu dan anak itu masuk. Membawa mereka ke meja makan di atasnya sudah tertata rapi berbagai makanan lezat. Tak lupa dengan dua orang gadis yang berdiri di sisi meja dengan senyum hangat. Bayu terpesona sesaat pada salah satunya.

"Halo, Tante," sapa Salwa dan Ulfa bersamaan. Kedua gadis itu lantas didekap hangat sejenak oleh Lauren.

"Udah besar aja, ya, mereka," ucap Lauren.

Tak lama setelahnya, ia menduduki salah satu bangku, diikuti Bayu di sebelah kiri, Rere di kanan, serta Salwa dan Ulfa di depannya.

"Iya, dong. Kan lima tahun itu nggak sebentar." Rere menyahut. Dia menyajikan makanan pada tamu-tamunya.

"Sekarang Salwa sekolah di mana? Udah kuliah, kan?" Lauren menatap gadis di depannya serius.

Salwa mengangguk. "Di Banten, Tante. Jurusan ekonomi manajemen. Sekarang lagi libur."

Wanita itu mengangguk. Menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke dalam mulutnya. Percakapan di meja hanya didominasi oleh kedua wanita paruh baya itu. Salwa menyimak sama. Namun, Ulfa dan Bayu malah asik saling lempar pandang. Tidak berbicara, tetapi mata yang berkata. Seperti malu-malu, padahal kalau di sekolah bar-barnya nggak ketulungan.

"Salwa nggak yakin ini sekedar malam malam reuni. Pasti ada sesuatunya, deh."

Gadis dengan rambut panjang tergerai itu menatap dua wanita di depannya penuh selidik. Yang ditatap hanya tertawa kecil lalu lanjut menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Tau aja kamu." Lauren tertawa pelan. Ia menenggak segelas jus di depannya lalu mulai berkata lagi. "Rencananya, sih, Tante mau jodohin Bayu sama Ulfa. Kan mereka udah deket banget, tuh. Tapi sayang banget papa-papa mereka nggak bisa ikut ngomongin hal ini."

Bayu tersedak saat hendak menelan udang sambal. Buru-buru ia meminum jus jeruknya hingga habis tak tersisa. Itu pun ia tambah lagi dengan segelas air putih untuk memadamkan bara yang membakar tenggorokannya.

Sedangkan Ulfa yang duduk di depannya Bayu hanya bisa terpelongo tak percaya. Perjodohan? Masih zaman? Walaupun sebenarnya Bayu oke untuk jadi pasangannya, apa harus sedini ini? Seperti sangat takut kehilangan jodoh saja.

"Maa ..., bercandanya nggak lucu banget," gerutu Bayu pada wanita di sebelah kanannya. Tak menampik kalau ia mau juga, tapi ia masih mau menikmati hidup.

"Bener juga, sih. Lain kali kita bicarain kalau ada papa mereka. Aku setuju banget kalau hubungan kita dipererat dengan ini." Rere menyahut semangat. Tertawa kecil bersama Lauren lalu kembali melanjutkan makan mereka.

Sedang Ulfa dan Bayu menunduk dalam diam. Perjodohan? Yang benar saja!

***

Makan malam usai beberapa waktu lalu. Rere dan Lauren berbincang hangat di depan TV, membicarakan momen yang sempat terlewat beberapa tahun terakhir. Salwa tak kelihatan batang hidungnya. Mungkin gadis itu sedang rebahan di kamar sambil chatting dengan pacar. Maklum, makhluk bucin. Sedangkan Bayu dan Ulfa duduk di teras belakang rumah. Memandang angkasa yang sama, juga memiliki rasa terpendam yang sama.

Hanya keheningan yang menyelimuti kedua remaja itu. Mereka terlalu sibuk memandang ribuan bintang yang seperti memaksa untuk menyatakan sesuatu. Akan tetapi, pernyataan Lauren di meja makan tadi lebih mendominasi pikiran keduanya.

"Ya?" Bayu menoleh ke kiri. Menatap ciptaan Tuhan yang menurutnya lebih bersinar daripada bintang.

Adalah gumaman kecil sebagai jawaban Ulfa. Ia tak menoleh karena gelapnya langit masih mengambil alih perhatiannya.

"Kamu mau?"

Ulfa menoleh sembari menunjukkan kerutan bingung di dahinya. "Mau apa? Cilok? Emang ada yang jual malam-malam begini?"

Helaan napas panjang menguar. Bayu yang dalah bicara atau Ulfa yang tak mengerti? Baiklah, ini salahnya yang tak bicara dengan jelas. Habisnya gugup, sih.

"Lo setuju sama perjodohan itu?"

Bayu memerjelas kalimatnya. Hanya bertanya. Memastikan. Jika benar Ulfa merasa terkekang, maka Bayu siap mundur dan mengatakan langsung pada ibunya.

"Sebenarnya nggak setuju, sih." Ulfa menghela napas panjang. "Soalnya dengan begitu, sama aja bikin perasaan orang terkekang."

Pemuda itu tercekat. Mengangguki pelan karena tak ayal juga setuju. Akan tetapi ... apakah dengan begini artinya Ulfa menolak?

"Cuma ... lain hal lagi kalau sama lo." Gadis itu menoleh. Senyumnya perlahan mengembang. "Gue mau aja, sih. Tapi nggak sekarang. Kita masih terlalu dini."

Keduanya saling menatap lamat-lamat netra yang tampak berkilau di bawah cahaya jutaan bintang. Mata yang menyorotkan ribuan pernyataan tak terucap. Ada saat yang tepat. Namun, saat ini seperti bukan saat yang benar.

Sentuhan di bahu keduanya membuat acara tatap-tatap tadi usai. Tak lama setelahnya, seseorang menyeruak masuk di antara Bayu dan Ulfa. Memaksa kedua remaja itu membuat jarak agar dirinya bisa duduk dengan lebih leluasa. Salwa lantas duduk sambil mengunyah sesuatu di mulutnya juga memainkan ponsel seperti tengah mengetik pesan pada seseorang.

"Ngapain, sih, Kak?" Bayu menatap tak suka pada gadis di sebelahnya. Nyebelin! Padahal dia dan Ulfa baru saja ingin main bucin-bucinan.

"Kenapa? Nggak suka?" Salwa menoleh. "Cewek sama cowok itu nggak boleh berduaan kalau belum nikah. Nanti di tengah-tengahnya ada setan."

Gadis itu kembali menoleh pada ponselnya. Menekan beberapa huruf hingga membentuk kata-kata. Tak lama setelahnya, Salwa malah tertawa sendiri. Bayu dan Ulfa mendengkus.

"Lo setannya."

Setelah mengatakannya, Ulfa bangkit lalu pergi dari sana dengan langkah besar. Takut-takut jika Salwa bergerak cepat lalu membenturkan kepalanya ke dinding. Tapi ... ia tak salah, kan?

Salwa sadar. Ia melihat ke belakang di mana punggung adiknya sudah mengecil karena jarak. "Woe, sembarangan aja! Enak banget ngatain kakak sendiri." Gadis itu kembali memainkan gawainya. Lagi, ia senyum-senyum tak jelas.

"Tapi, kan, Kakak sendiri yang bilang kalau di tengah itu setan. Yang di tengah tadi, kan, Kak Salwa."

Salwa terdiam, menatap ke depan dengan pikiran menerawang. Benar juga. Dia yang bilang, dia juga yang di tengah. Berarti dia setannya.

Eh ....

Gadis itu menoleh ke samping. Tak ada siapa pun lagi di sisinya. Pasti Bayu langsung ngacir. Kedua remaja itu sama aja nggak ada akhlaknya. Lebih baik Salwa chatting dengan pacar tercinta. Soalnya, kan, lagi LDR.

Benda pipih di tangannya berdering. Muncul pop up jika seseorang tengah menghubungi. Seketika Salwa memekik tertahan. Pacarnya menelepon. Huwa ... pas sekali!

"Iya, halo?" Salwa berkata malu-malu sesaat setelah menekan icon terima. Halah ... bucin terus.

"Malam, Sayang."

Setelahnya, Salwa tertawa kecil. Padahal kalau sama Ulfa, ketawanya kayak nenek sihir. Duh ....

***

[05/09/20]

To be continued.

Uhuk-uhuk! Yang setuju Ulfa sama Bayu dijodohin, hayuk angkat kakinya. Hahah.

Ikutin terus cerita ini, yaw. Soalnya bentar lagi anu ... em ... gitu deh.

Okay, love to see yaa next part! 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top