37 - Pergi (2)
"Erghh ... nggak ada akhlak!" pekik Bila geram.
Dengan langkah besar Bila berjalan mendekat pada Thalita yang masih terduduk di tanah, berpandangan kosong. Gadis itu tampak seperti ingin menerkam Thalita. Sebelum cakaran tangan Bila mendarat di rambut Thalita, Bayu lebih dulu menariknya. Menjauhkan Bila dari sana, takut-takut jika hal tak mengenakkan kembali hadir.
"Lo nggak bisa gegabah, Bil. Kita masih butuh penjelasan dia," ucap Bayu agak keras.
"Tapi dia mau bunuh Ulfa, Bay. Ulfa! Lo nggak liat tadi, hah? Sekarang si Gerka itu aja gue nggak tau nasibnya gimana. Gitu-gitu lo masih mau belain dia. Di mana akal lo?"
"Denger gue. Kalau lo mau bunuh dia juga, apa lo nggak sama aja kayak dia? Pahamin dikit, Bil. Banyak yang harus ditanya secara baik-baik. Semuanya nggak harus pake cara kasar," tutur Bayu lantas melangkah kembali menuju Thalita.
Pemuda itu menuntun gadis yang seperti hidup tapi tak bernyawa itu menuju kursi panjang terdekat. Ia mendudukkan Thalita di sana. Sejenak ia menatap pisau penuh darah yang dipegang gadis itu. Lantas tak lama, pisau itu jatuh di bawah kakinya. Bayu hanya menatapnya saja.
"Sekarang bilang ... kenapa lo berniat bunuh Ulfa? Perasaan dia nggak nyenggol lo sama sekali, deh."
Bila yang baru saja sampai di depan Thalita, menghujami dengan tatapan tak suka sembari bersedekap. Bayu meliriknya sesaat kemudian menggeleng tak habis pikir.
Helaan napas panjang menguar. Gadis dengan rambut ikal itu menatap Bayu dan Bila bergantian kemudian mulai berkata. "Gue suka sama Bayu. Sedangkan Ulfa itu penghalang buat gue untuk deketin Bayu. Penghalang harus disingkirkan, kan?"
Plak!
Thalita memegang kirinya yang memanas akibat pendaratan mulus nan menyakitkan dari Bila. Gadis dengan rambut panjang terkuncir tinggi itu menatap Thalita nyalang.
"Kenapa?" Thalita membalas tatapan itu sambil terus memegangi pipinya. Panas itu masih menjalar. "Mama gue sendiri yang bilang kalau penghalang itu harus disingkirkan. Sampai papa pun dibunuh karena udah ngelarang dia buat masak udang teriyaki."
Kedua remaja di depannya tertegun. Bayu dan Bila sama-sama menelan salivanya kasar. Jadi Thalita ... meniru ibunya?
Thalita tertawa hambar. "Umur gue baru lima tahun waktu itu. Tapi ... dia bener-bener kasih gue pelajaran berharga. Penghalang harus hancur. Penyelesaian masalah hanya mati."
Matanya kembali penuh dengan kilatan dendam berapi-api. Akan tetapi, api itu dengan cepat mereda kala netra itu memandang kosong ke depan. Pandangannya berubah sayu seperti hendak mengeluarkan bulirnya.
"Gue sayang mama, tapi gue lebih sayang papa. Pikiran mengenai penghalang itu membuat gue kayak kerasukan. Nggak lama setelahnya, gue bunuh mama." Bulir air mata jatuh dari sudut matanya. Thalita menghapusnya kasar. "Gue memang bangsat banget. Tapi bagaimanapun juga, mama yang ngajarin. Ajaran orang tua itu nggak pernah salah, kan?"
Dia menatap kepada dua orang di depannya yang sudah kepalang tak habis pikir. Bagaimana bisa Thalita berpikiran seperti itu? Tak semua ajaran orang lain itu bisa dianggap sebagai pembenaran. Sepertinya kepala gadis itu telah terkontaminasi cukup banyak.
"Bukan gitu perspektifnya, Ta. Lo nggak bisa makan mentah-mentah apa yang lo lihat dan lo dengar. Semuanya harus disaring lagi," ucap Bayu pelan kemudian memegang pundak Thalita. "Walaupun udah remaja, seharusnya lo bisa berpikir, mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau gini, bahkan pemikiran kecil lebih baik daripada pemikiran lo sekarang."
Air matanya tak lagi mengalir. Hanya ada jejaknya yang bahkan sudah terhapus sebagian. Thalita menunduk lagi. Ia sadar jika itu salah. Hanya saja, emosinya membawa pikirannya ke arah lain.
Ia benci saat emosi untuk menghabisi orang lain itu muncul. Akan tetapi, emosi terkadang selalu saja menang dibanding pemikiran.
"Terus, yang waktu itu katanya lo tinggal sama mama--"
"Itu bukan mama gue," potong Thalita cepat sebelum Bila menyelesaikan kalimatnya. "Dia itu cuma ART. Sengaja buat mancing Ulfa supaya percaya sama gue."
Bayu mendengkus kemudian mengurut pangkal hidungnya karena kepala yang tiba-tiba terasa pening. Pemuda itu benar-benar tak mengerti mengapa Thalita sampai bisa seperti ini. Rencana jahat itu seperti telah terencana dengan matang.
Aneh sekali. Hanya untuk mendapatkan hati seseorang, dia sampai nekad melakukan hal-hal di luar nalar.
"Soal Anda, yang punya ide supaya Gerka itu jadi masa lalunya Ulfa, itu lo, kan?"
Bila kembali bersuara setelah lama hening. Semakin cepat, semakin baik. Ia sebenarnya geram. Namun melihat keadaan Thalita yang tampak terpukul, gadis itu menjadi tak tega.
Bayu menatap Thalita lama. Sama penasarannya dengan Bila. Tak lama setelahnya, Thalita mengangguk pelan dalam tunduknya.
"Alasannya gue udah tau. Cuma ... gimana caranya lo tau sebanyak itu?"
Thalita menghela napas panjang. Sudut bibirnya terangkat sedikit kala kepalanya sudah mendongak sempurnya.
"Bayu sama Ulfa pasti udah lupa sama gue. Dulu, kira-kira waktu gue masih umur tujuh tahun, gue pernah main sama kalian. Cuma gara-gara gue rebut mainannya Ulfa, dia dorong gue sampai lutut gue luka.
"Sejak saat itu gue ngejauh dari kalian. Tapi gue nggak sepenuhnya menjauh. Gue selalu mantau kemana pun kalian pergi, ngapain aja, dan ngomongin apa aja. Saking dendamnya gue sama Ulfa."
Pikiran Bayu menerawang. Berusaha kembali menelisik masa lalu yang pernah ia lupakan itu. Memorinya menemukan siluet gadis kecil dengan baju merah dan rambut yang dikuncir dua dengan pita merah muda. Raut memberenggut itu seperti sebuah ciri khas darinya.
Bayu mengingatnya. Ia jadi merasa bersalah karena waktu itu membiarkan Thalita dengan luka menganga di lututnya. Pemuda itu mengerjap sembari menghela napas panjang.
"Gue inget semua apa pun kebiasaan kalian. Suka ke rumah pohon, bahkan sampai suka beli cilok di depan gang. Sayangnya, beberapa lama setelah itu, paman gue nyuruh pindah ke London. Tapi, ingatan tentang kejadian itu nggak gue lupa lupain gitu aja. Gue udah suka sama Bayu saat itu dan berharap Bayu jadi milik gue.
"Saat di London, di sana juga gue tau kalau Bayu juga di London. Gue ikutin kemana dia pergi. Sampai akhirnya, gue liat dia kecelakaan dan hilang ingatan. Kesempatan bagus, mungkin enggak? Gue tetap ikutin dia kemana pun. Sampai dia balik lagi ke sini pun, gue juga ikut."
Thalita tertawa hambar. Mengingat semua kejadian dulu rasanya sesak bercampur tak habis pikir. Pertanyaan aneh malah terbesit di kepalanya. Apa itu dia yang dulu?
"Gue pikir semuanya bakal mudah karena Bayu hilang ingatan. Lagi-lagi gue harus menghadapi Ulfa sebagai penghalang. Gue kehabisan akal karena nggak bisa ngedeketin Bayu.
Nggak lama, sepupu gue dari London dateng ke sini. Saat pertama kali liat, Gerka punya sedikit kemiripan sama Bayu yang dulu. Di saat itu juga gue berpikir untuk membentuk dia menjadi seseorang yang Ulfa sayang dulu. Anda," tutur gadis itu lagi.
Semakin panjang rasanya semakin seru saja. Akan tetapi, ia malah kembali teringat pada sosok orang yang selama ini membantunya dalam kesulitan. Gerka sudah seperti kakak baginya. Kejadian menyakitkan tadi kembali menghantui kepalanya.
"Kalau selalu ada kejadian buruk yang menimpa Ulfa, itu gue yang lakuin. Gue kesel. Walaupun udah ada Gerka, Ulfa tetep aja deket sama Bayu. Sayangnya, Gerka malah melenceng dari rencana awal. Dia selalu aja nyelamatin Ulfa. Dia memang nggak bilang, tapi gue tau kalau dia udah nyimpan rasa buat Ulfa. Hah, lucu banget.
"Bahkan sampai hari ini pun, dia nentang gue karena rasa itu. Kenapa rasa gue malah bikin gue belok? Kenapa?!"
Thalita kembali menunduk dalam. Entah menangis atau tidak, kedua orang di depannya juga tak tahu. Bayu dan Bila sama sekali tak bisa berkata apa pun. Sesungguhnya juga tak ada yang bisa ditanggapi.
Semuanya sudah jelas. Lebih dari jelas yang harus keduanya dengar. Namun lagi-lagi, mengapa emosi bisa begitu menyeramkan daripada sebilah pisau yang baru diasah? Kini mereka sadari. Menahan emosi lebih penting daripada sekedar bercerita ini itu tanpa tahu sebab akibat.
Keheningan menyapa ketiga remaja itu. Tiupan angin seakan membawa semilir menenangkan setelah beberapa saat sebelumnya terjadi hal menegangkan. Tak berapa lama, dering ponsel membuyarkan keheningan itu. Bila cepat-cepat mengeluarkan benda pipih itu dari saku roknya.
"Ulfa."
Bila menatap Bayu sesaat setelah melihat gawainya yang berbunyi. Gadis itu kemudian menggeser ikon hijau di layar lalu menekan ikon loudspeker.
"Bil ...." Suara Ulfa terdengar parau di ujung sana. Sesekali terdengar sesenggukan hebat yang membuat Bila dan Bayu mengernyit heran.
Pemuda itu lantas mendekatkan wajahnya menuju ponsel Bila. "Ya ... kenapa?"
"Gerka ... dia ... meninggal."
Sambungan terputus begitu saja. Bayu dan Bila tertegun mendengarnya. Deru angin yang semakin gencar menerbangkan rambut mereka seakan memberi penyambutan dingin terhadap berita tersebut.
"Apa? Gerka ... dia ...."
Atensi lantas mengarah pada Thalita yang tampak menitikkan air matanya. Ia menggeleng kuat kemudian menatap sepasang remaja di depannya.
"Gerka nggak mungkin ninggalin gue, kan? Bilang sama gue kalau Ulfa tadi bohong!"
Thalita memekik kencang. Meluapkan semua emosi yang kian kembali membakar dirinya. Gadis itu menatap kedua tangannya. Masih ada bekas darah sepupunya di sana. Pisau di bawah kakinya menjadi saksi itu semua.
"Gerka nggak mungkin ninggalin gue!"
Tangis Thalita pecah. Ia mengusap wajahnya kasar. Mengacak sendiri rambutnya hingga terlihat sangat berantakan. Ia berkeping kala kabar itu menggema si telinganya. Gerka sudah seperti kakak untuknya.
Bila mencoba menenangkan. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Thalita. Akan tetapi, yang dia dapatkan malah tepisan kasar. Netra Thalita lantas menatapnya nyalang.
"Enggak! Gerka nggak akan pergi. Dia sayang sama gue!" pekik Thalita parau dengan wajah memerah.
"Ta ... ikhlasin. Dia nggak bakal tenang nanti di sana," kata Bayu pelan, berusaha menenangkan.
Tindakan selanjutnya dari Thalita malah membuat Bila memekik kaget. Pasalnya, Thalita malah mengambil pisau di bawah kakinya lalu menodongkan pada kedua remaja di depannya. Raut amarah kembali tergambar jelas di wajah gadis yang benar-benar berantakan itu.
"Kalian nggak tau rasanya kehilangan orang yang disayang. Gue mau ikut!"
Bayu dan Bila saling menatap sebentar. Hingga suara yang beberapa saat lalu membuat keguncangan, kini hadir kembali. Kedua remaja itu kembali membeku saat benda tajam itu kembali tertanam di dada kiri seseorang.
Thalita menancapkan sendiri pisau itu pada dirinya sendiri. Cairan merah nan kental membasahi seragam gadis itu. Dengan mata yang setengah terbuka, ia terhuyung ke samping. Bayu menangkapnya.
"Gue ... minta maaf. Gue egois. Gue ... bangsat. Sebenarnya ... bahkan gue ... nggak berhak ... dapat maaf dari kalian, terutama Ulfa."
Dengan napas yang terasa tercekat di tenggorokan, Thalita tetap berucap. Rasanya sesak, panas, ingin segera mengakhir semua. Titik air mata lantas mengucur dari sudut matanya.
"Ta ... please, ini nggak bener." Bila hampir menangis. Terlalu banyak drama hari ini. Walaupun ia tak suka Thalita, setidaknya jangan berakhir mengenaskan.
"Ma-af."
Thalita menutup matanya, menghembuskan napas pelan, sebelum akhirnya tangan kanan jatuh ke samping. Bila dan Bayu saling menatap risau.
Pemuda itu memeriksa denyut nadi di tangan kiri Thalita. Tak ada apa pun. Ia lantas tertunduk dengan pandangan kosong.
"Dia ... pergi," lirih Bayu.
Isakan kecil membuat atmosfer ketegangan itu sedikit melonggar. Bila memegang erat tangan lemah milik Thalita. Sekali lagi, ia benar-benar berharap jika keajaiban datang dan ia bisa menarik pisau itu sebelum benar-benar tertanam.
"Gue paham lo nyesel. Tapi dengan cara ini, sama aja lo nyakitin mereka yang udah menghabiskan waktunya untuk sayang sama lo." Bila menghapus air mata yang hampir jatuh dari dagunya. "Gue harap, lo tenang di sana, Ta."
***
[30/08/20]
To be continued.
Dua bab berjudul 'Pergi' yang sebenarnya bikin deg-deg dan ... aneh (?) Hahah.
Walaupun kalian nggak suka sama Tata dan mungkin benci, nggak ada salahnya, dong, ucapin moga dia tenang. Kalau di-bully mulu, nanti kalian digentayangin, loh, awokwok.
But hope you like it. 👀
Okey, love to see yaa next part! 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top