36 - Pergi

"Terus gimana?" sahutan dari Ulfa semakin membuat Salwa dan Bayu bekerja lebih keras lagi dalam memikirkan rencana yang akan menuntaskan semua.

Sekejap Bayu tersenyum. Entah apa yang di pikiran Bayu, tapi Ulfa yakin pemuda itu sudah menemukan jawabannya.

"Dapet, nggak?" tanya Salwa yang juga ikut penasaran dengan senyum itu. Hebatnya Bayu, senyum saja sudah bisa mencari ide.

"Gue punya ide, sih. Cuma yang gue takutkan ..., ini bakal berbahaya buat Aya."

Keheningan itu datang kembali sesaat setelah Bayu memecahnya sejenak. Kedua adik kakak itu saling memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

"Apa idenya?" sahut Ulfa yang kian penasaran.

"Kita jadiin rencana mereka, untuk mereka," ucap Bayu mantap, tapi masih sulit dimengerti Ulfa dan Salwa.

"Dek, maksud lo apaan?"

Ulfa mengangguk setuju atas pertanyaan Salwa. Bahkan dirinya sama tak mengerti apa yang dimaksud Bayu.

Helaan napas panjang Bayu terdengar oleh dua kakak beradik ini. "Gini, Neng, cepat atau lambat mereka akan ngelakuin itu. Dan gue nggal bakal rela jika itu terjadi sama Ulfa." Penakan kata akhir, Bayu menatap Ulfa dalam, seakan yakin dengan ucapannya bahwa ia tak akan rela jika Ulfa sampai kenapa-kenapa.

Salwa menatap jengah adegan seperti ini. Di keadaan genting seperti ini, mereka sempat-sempatnya. "Jangan bucin, woi!"

Bayu mengangguk kikuk, tak lama ia berucap. "Kita ikutin permainan mereka. Dalam seminggu ini kita lakuin aja akting. Jadi, kapan pun terjadi kita siap. Anggi Bila juga harus masuk. Pasti Thalita ngelakuin itu tunggu Ulfa sendiri, kan?"

Kedua kaka beradik itu mengangguk seperti orang yang paham.

"Nah, kita bakal ninggalin Ulfa sendirian beberapa menit di dalam kelas atau di mana. Nanti kita cari tempat yang memungkinkan Tata melaksanakan semua rencananya. Tapi kita buat seolah-olah kita bener meninggalkan Ulfa. Kalo terjadi, kita juga tetap biarin Ulfa diapa-apain dulu--"

Belum selasai berbicara, Ulfa sudah membelalak duluan kala mendengar Bayu menginzinkan dirinya diapa-apain oleh Thalita.

Sadar dengan tatapan itu, Bayu terkekeh. "Ya ... nggak gitu juga, Ay. Diapa-apainnya itu masih batas wajar gitu. Tapi kalo ada yang nggak wajar, kita semua bakal keluar dari persembunyiaan. Nah, di situ kita ngepung Thalita dan sebisa mungkin kita ungkap ada apa sama diri Thalita kenapa bisa senekat itu. Nanti kita atur. Gimana?"

"Gue sih, yes!" ucapan Salwa sukses membuat dirinya ditimpuk oleh Ulfa.

"Yes-yes, pala lo botak! Gue umpannya, Bego! Kalo ada apa-apa gimana? Kalo gue di gimana-gimanain, gimana? Gue kan nggak mau mati dulu," lirih Ulfa sambil mengerucutkan bibirnya.

Dua tabokan sekaligus dirasakan Ulfa di lengannya.

"Malah ditabok, njirr, not have akhlak emang lo berdua," decak Ulfa sambil memegang lengannya yang ditabok.

"Mulut lo lebih nggak ada akhlak! Gila. Kan udah dibilang Bayu, kalo lo nggak bakal sampe kenapa-kenapa. Percaya aja, sih, repot banget," geram Salwa yang rasanya ingin meremas mulut Adiknya itu. Walaupun sering bertengkar, ia pun tak ingin adiknya pergi untuk selama-lamanya. Gila kali, jika ada yang rela seperti itu.

Sedetik kemudian Ulfa terdiam ketika Bayu mengucapkan sesuatu yang membuat dirinya sedikit lebih tenang. "Semua bakal baik-baik aja."

Ulfa mengangguk.

"Tugas lo untuk sekarang hubungi Anggi dan Bila. Oke?"

"Oke!"

***

Gadis cantik tapi berhati iblis itu tengah duduk di depan kelasnya. Menyaksikan beberapa temannya yang sudah berhamburan menuju gerbang sekolah untuk menunggu jemputan masing-masing atau bahkan ada yang menaiki kendaraan umum.

Thalita sesekali melihat arlojinya. Baru saja menoleh ke kiri,  Thalita melihat dua teman Ulfa tangan berjalan ingin melewati dirinya. Dengan cepat Thalita menundukan kepala.

"Nggi, itu Ulfa ditinggal sendiri di kelas, diajak ikut balikin buku nggak mau. Mana Bayu ada latihan. Jadi dia sendiri, dong?" tanya Bila yang masih bisa didengar Thalita. Thalita rasa mereka berdua tak mengenali dirinya.

"Yaelah, dia udah gede. Nggak ada takutnya, tuh bocah. Santuy." 

Thalita mengadah ketika Anggi dan Bila sudah melewati dirinya. Senyum miring langsung terbit di bibirnya.

"Now it's the time baby," gumam Thalita kemudian bangkit menuju ke suatu tempat.

***

Sedari pagi, ada rasa tak enak. Di pikirannya pun selalu ada Ulfa yang terus mengahantui. Gerka melihat arloji di tangannya. Sudah waktunya pulang sekolah, mungkin sekolah Ulfa pun sama. Dengan cepat ia langsung mengeluarkan motornya dari parkiran sekolah dan langsung menancap menuju sekolah Ulfa.

Bukan apa-apa, sepupunya memiliki niat jahat pada gadis itu. Ia tak ingin jika Ulfa menjadi korban selanjutnya. Untuk kejadiaan ini, Gerka ingin menghentikan aksi Thalita. Menghentikan perbuatan jahat Thalita. Sudah cukup ia hanya menjadi penonton di balik aksi Thalita yang lalu.

Di dalam tengah perjalanan, matanya menangkap satu toko yang menjual beragam bunga. Entah dorongan dari mana, Gerka menepikan motornya tepat di depan toko itu. Ia masuk untuk membeli beberapa tangkai bunga mawar merah. Setelah selesai bertransaksi dan mendapatkan bunga mawar yang ia inginkan, Gerka memasukkannya ke dalam tas. Ia kembali menancap gas untuk cepat sampai di sekolah Ulfa.

Sesampainya di lokasi, keheningan langsung terasa. Tak ada satu pun murid yang kelihatan. Gerka melirik ke area parkir, di sana ada satu mobil yang ia tau itu milik Thalita dan satu sepeda yang ia yakin itu milik Ulfa. Perasaan Gerka semakin campur aduk. Khawatir jika Ulfa kenapa-kenapa.

Dengan gesit, Gerka berlari sepanjang koridor untuk menemukan dua gadis yang ia cari. Beberapa kelas yang ia lewati kosong. Tak ada satu manusia pun yang masih di sana.

Gerka berhenti tepat di samping lapangan basket. Pandangannya menangkap beberapa orang di ujung  lapangan tengah berdiri dan berargumen. Yang Gerka tidak tahu, apa yang tengah mereka bicarakan? Salah satunya ada Bayu di sana.

Gerka membuang rasa malunya untuk bertemu dengan Bayu. Kakinya melangkah menghampiri. Gerka yang sudah di hadapan Bayu dan yang lain, malah mendapat tatapan sinis. Gerka diam dan mengikuti arah pandang  gadis yang sedari tadi menggigiti kukunya. Di lapangan utama sudah ada Ulfa dan Thalita.

Gerka melihat jelas Thalita berjalan mendekati Ulfa dengan pisau di genggamannya.

"Ngapain lo di sini?" tanya Bayu pelan tapi terdengar sarkas.

"Gue yang seharusnya nanya kayak gitu. Lo semua nggak punya akal? Temen lo di sana mau di apa-apain! Kenapa diem di sini, anjing!!" bentak Gerka. Saat ingin melangkah, bahunya langsung ditahan oleh Bayu.

"Kenapa lo peduli? Seharusnya lo di sana? Terus sekarang kenapa mau jadi pahlawan?"

"Gue bukan Thalita yang ngelakuin segala cara untuk dapatin seseorang. Dan gue bukan pembunuh kayak Thalita."

Sentakan di tangan Bayu membuat tangannya menyingkir di bahunya.

Bayu, Anggi dan Bila mengernyit tak mengerti apa maksud dari ucapan Gerka.

"Maksud lo?" tanya Anggi.

Gerka tak menjawab melainkan menghampiri Thalita dan Ulfa.

"Bay, gimana?" tanya Bila yang sangat amat khawatir sedari tadi.

"Kita liat apa yang mau dia lakuin. Gue takut sikap Gerka barusan cuma salah satu permainan dari mereka."

Sedangkan Gerka menggelengkan kepalanya tak habis pikir mengapa Bayu yang katanya sahabat, malah diam menjadi penonton. Gerka yang melihat pisau yang di tangan Thalita mau menuju Ulfa, langsung mempercepat larinya.

"Ta, berhenti!"

Saat hendak mengarahkan pisau itu kembali ke mata Ulfa, teriakan lain mengintrupsinya. Thalita menoleh ke belakang, tepat pada asal suara. Hal itu membuat fokus Thalita menjadi buyar dan membuat Ulfa dapat melepaskan diri. Gadis itu memberi jarak sedikit jauh saat langkah panjang mendekat pada mereka.

"Udah gue bilang, kan, kalau lo nggak perlu lakuin semua ini?" kata pemuda itu. Anda atau sekarang telah dikenal sebagai Gerka. Ia mendengkus setelahnya.

Thalita menunjuk Gerka dengan pisaunya dengan kilatan amarah yang semakin menjadi saja. "Udah gue bilang juga, kalau lo nggak suka, lo nggak usah ikut campur. Ini hidup gue, lo nggak berhak ngatur!"

"Dia ...," Gadis itu lantas menunjuk Ulfa yang posisinya hampir berdekatan dengan Gerka. "dia harusnya mati karena udah berusaha ngerebut Bayu dari gue!"

"Semuanya bisa diselesaikan dengan kepala dingin, Ta. Lo nggak--"

"Enggak!" sentak Thalita. "Penyelesaiannya udah nggak ada. Satu-satunya cara cuma bunuh, dia."

Dia menatap Ulfa nyalang. Yang ditatap hanya menelan salivanya dengan kasar. Hendak bergerak lagi saja Ulfa kesusahan. Ia hanya terpaku di tempat dengan sorot ketakutan yang kental.

Thalita berjalan mendekat, perlahan dan pelan dengan senyum miring yang membuat Ulfa semakin merinding. Jangan lupakan tentang pisau yang masih setia mengarah padanya. Gerka lantas berdiri di depan Ulfa. Merentangkan tangannya hendak melindungi.

"Awas! Sejujurnya gue nggak akan takut buat bunuh lo duluan sebelum bunuh malaikat kecil kesayangan Bayu itu," desisnya yang hampir sama tajam seperti pisau yang ia pegang.

Gerka menggeleng. "Lo baik, Ta. Lo nggak akan ngelakuin hal itu."

Sayang sekali, hal itu tak memberi jawaban apa pun. Hanya senyum miring yang kian mengerikan. Entah mengapa, bagi Ulfa sekarang, Thalita seperti seorang malaikat pencabut nyawa.

"Awas, Gerka," ucap Thalita lagi semakin tajam. Ia sampai mengatupkan giginya untuk memberi penekanan lebih dalam.

"AWAS!"

Gadis itu mengangkat pisaunya, hendak menghujam. Sebelum itu, tangan kirinya lebih dulu mendorong Gerka agar tak menghalangi tujuan awalnya. Ulfa akan mati hari ini, atau keinginannya takkan pernah terwujud.

"Jangan, Ta!"

"Tata! Berhenti!"

Thalita tak fokus lagi. Ia menoleh ke belakang sebentar lalu menusukkan pisau yang ia pegang pada target di depannya. Anggi, Bayu, dan Bila yang baru saja datang kaget bukan kepalang. Mereka terpaku di tempat tak dapat bergerak karena kejadian tersebut begitu cepat.

Sedang satu-satunya saksi yang paling dekat dengan korban Thalita hanya menatap dengan sorot tak percaya. Pisau itu menusuk tepat di dada kirinya. Entah mengenai jantung atau tidak, ia juga tak mengerti. Namun, melihat darah yang kian mengucur banyak malah membuat dirinya ingin menangis hebat.

Sang korban jatuh tak berdaya di atas tanah. Menyisakan tangis sudah menganak di sudut mata. Thalita sendiri melangkah mundur perlahan sebelum akhirnya terduduk lemas di atas tanah. Menatap korbannya tanpa ekspresi apa pun.

"GERKA!!" teriak Anggi dan Bila serempak. Bahkan Ulfa dan Bayu tak bisa teriak lagi.

Korban tusukan Thalita adalah Gerka. Gerka yang sedari tadi melindungi Ulfa dari benda tajam itu.
Ulfa terdiam dengan rasa tak percaya. Yang seharusnya pisau itu tertuju kepada dirinya tetapi malah mengenai Gerka.

Bayu hanya bisa melihat tanpa berkutik. Begitu juga dengan Anggi  dan Bila. Gerka yang tergeletak menumpahkan banyak darah yang tembus dari seragamnya hanya bisa memejamkan mata tapi tak sepenuhnya. Menahan sakit yang menjelajar di seluruh tubuh.

"Bawa ke rumah sakit, jangan diem!" bentak Anggi yang sudah tak tega melihat Gerka. "Gue sama Ulfa bawa Gerka. Bayu sama Bila, urusin wanita pembunuh ini!" desis Anggi dengan penuh penakanan. Ulfa hanya bisa mengangguk lemah, sedangkan Anggi mulai sibuk menghubungi taksi.

***

Rasanya Ulfa gemetaran memangku Gerka di dalam taksi. Hatinya sakit melihat seseorang yang seharusnya dirinya yang berada di posisi ini.

Gerka membuka matanya sedikit. Pandangan pertama yang ia lihat adalah Ulfa yang sudah meneteskan air mata.

"Ja ... ngan na ... ngis," ucap Gerka terbata.

Gerka sedikit menundukkan pandangannya. Ternyata ada tasnya yang menutupi dadanya yang berlumur darah. Dibukanya pelan-pelan. Dikeluarkannya lima tangkai mawar yang ia beli tadi.

"Ini ..., ma ...af."

"Fa ... aku udah jahat. Udah ngaku sebagai seseorang  ... yang amat penting ... bagi kamu." Ucapan terbata Gerka membuat dua gadis di dalam taksi itu memecahkan tangisnya.

"Jangan banyak bicara, kita k erumah sakit, ya."

Ulfa mengusap dahi pemuda itu. Sedikit terisak karena sama sekali tak terbayang akan rasa sakit yang diderita Gerka. Gerka tersenyum samar dan menggeleng.

"Uhukkk ... Kamu tau? Permintaan aku sama Tuhan itu adalah bisa mencintai cewek untuk sehidup dan semati aku. Dan Tuhan datangin kamu. Ma ... af, udah lancang mencintai kamu. Tapi kamu men ... jadi yang terakhir."

"Apasih Ger, jangan gitu dong!" sentak Anggi yang sebenarnya hatinya juga sakit menyaksikan itu.

"Ini ... ambil. Ma ... af dan terima ... kasih."

Detik selanjutnya, Gerka benar-benar menghembuskan napas terakhir. Memejamkan mata diikuti air mata yang keluar dari sudut mata. Gerka menangis ... untuk Ulfa.

"Ger, Ger, Gerka!" Ulfa panik dan terus menepuki pipi Gerka.

"Ger!"

Jari telunjuknya ia letakkan tepat di depan hidung Gerka. Tak ada udara yang menyentuh jarinya.

"Gerka!!!"

***

[29/08/20]

To be continued.

Jangan mewek, jangan mewek.

HUWAAA... 😭😭😭

Beneran nggak rela aku, tuh. Walaupun Gerka udah bohong, tapi aku sayang dia. Nggak rela kalau dia beneran pergi. HUWAAA... 😭😭😭

Kalian gimana? Sedih juga nggak? Jangan bilang senang, ya. 😭

Love to see yaa next part! 😭🖤

With mari-ngopi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top