35 - Amarah
Warning!
Sebelum baca, aku mau ingetin, jangan tiru adegan apa pun yang ada di bab ini.
Jika ada sesuatu hal tidak mengenakkan terjadi, itu semua di luar tanggung jawab kami.
Jadilah pembaca yang bijak. Selamat membaca. >.^
~~~•~~~
Dengan napas terengah, kakinya berhenti tepat di depan teras rumah. Salwa memegangi dadanya sembari mengatur napas yang kian kehilangan pasokan oksigen.
"Gilak! Beneran nggak nyangka gue."
Gadis berambut panjang yang jatuh sepunggung itu menggeleng tak habis pikir. Bagaimana bisa adiknya menjadi korban kekeraskepalaan orang lain? Ia pikir, Ulfa tak pernah suka cari masalah. Gadis itu mungkin lebih memilih tak acuh daripada suka mencampuri urusan orang lain.
Akan tetapi ..., apa ini tentang seorang pemuda? Bagaimana bisa?
Kepalanya hampir ingin pecah memikirkan hal tersebut. Salwa lantas menjejakkan kakinya melewati pintu yang ternyata terbuka lebar. Sepasang remaja lantas menyambutnya dengan senyum merekah. Berbeda dengan wajah Salwa yang sudah sangat kusut karena khawatir keselamatan adiknya.
"Mukanya, kok kusut, gitu, Kak? Setrika dulu, gih," ceplos Ulfa begitu kakaknya berjalan mendekat.
Bayu terkekeh, sedang Salwa hanya menghela napas. Matanya jelalatan menatap sekeliling rumah yang sepertinya hanya ada mereka bertiga.
"Mama mana? Nganter pesanan, ya?"
Ulfa mengangguk. Bersamaan dengan itu dia duduk di sofa, diikuti Bayu juga Salwa yang masih celingak-celinguk. Sebelum duduk tadi, Ulfa mengambil sepiring besar brownis yang ibunya buat. Ada beberapa potong tersisa. Ia menyajikannya di atas meja agar bisa dimakan bersama.
Bayu mengambil satu, begitu juga dengan Ulfa. Salwa ... tidak! Ada yang lebih penting dari makan walaupun lidahnya ingin mencicip itu.
"Gawat, Dek. Lo mau dibunuh!" pekik Salwa tiba-tiba.
Ulfa langsung terbatuk-batuk karena tersedak brownis yang hendak ia telan. Untungnya, dengan cekatan ia mengambil jus jeruk yang tak lupa ia sajikan bersama kuenya.
"Aya mau dibunuh? Sama siapa?" balas Bayu yang wajahnya kian menunjukkan kerutan bingung sekaligus khawatir. Menatap penuh tanda tanya besar agar Salwa segera menjawab.
"Kalau ngomong nggak usah ngarang, deh, Kak. Gue nggak pernah punya masalah sama siapa pun."
Gadis itu menatap kakaknya dengan kepalang jengah. Aneh-aneh saja pikiran kakaknya. Pun begitu, ia tetap saja dihinggapi rasa cemas. Tiba-tiba Ulfa tak lagi berselera untuk menyentuh kuenya.
"Gue serius, ih!" Salwa memukul meja. Ia lantas meletakkan ponselnya di sana. "Gue baru aja rekam percakapan dua orang. Cowok yang lo kira Anda itu, bukan Anda, namanya ... Gerka! Nah, satu lagi, si cewek namanya Thalita, gitu, deh."
Salwa mengusap kasar wajahnya. Bernapas lelah lalu bersandar di sofa empuknya. Bagaimanapun juga Ulfa adalah adiknya. Satu-satunya. Walaupun sedikit menyebalkan, Salwa akan tetap sayang. Jika ada yang ingin mencelakainya, lewati mayat Salwa dulu.
Sedangkan sepasang remaja itu saling bertatapan sebentar. Saling bertukar opini dengan netra yang saling beradu. Bayu memancarkan sorot risau tak terkira. Akan tetapi, mengisyaratkan jika semuanya akan baik-baik saja.
"Gue sebenernya udah tau soal itu dari Anggi sama Bila. Makanya gue ngajak dia dan Bayu ke rumah pohon." Ulfa menghela napas panjang. Menatap motif taplak meja kaca di depannya. "Awalnya gue memang nggak percaya, sih. Tapi mereka nunjukin rekaman Tata sama cowok itu ke gue. Dan pernyataannya tadi, bikin argumen mereka berdua tambah kuat."
"Masalahnya, kok bisa si Gerka itu coba nyamar jadi gue. Sebenarnya apa hubungan dia dan Tata di masa lalu kita?" Pemuda satu-satunya yang masih ada di sana, menengadah.
Udara di sekitar mereka sepertinya mengisyaratkan harus berpikir keras untuk memecahkan teka-teki hampir tak tertebak yang coba dimainkan pemeran lain. Rumit. Ketiganya mencoba mencari sebuah kejanggalan yang mungkin terlewat. Namun ... nihil.
"Gue punya ide, sih. Cuma yang gue takutkan ..., ini bakal berbahaya buat Aya."
Keheningan itu datang kembali sesaat setelah Bayu memecahnya sejenak. Kedua adik kakak itu saling memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
"Apa idenya?" sahut Ulfa yang kian penasaran.
Salwa ikut mengangguk. Ia menyondongkan tubuhnya ke depan, memberi isyarat jika ide Bayu kemungkinan besar akan membuatnya tertarik. Pemuda itu menatap kedua gadis yang duduk di sisi kanan dan kirinya. Tersenyum tipis lalu mulai berkata.
***
Dengan tangan yang memegang penghapus papan tulis, ia bergerutu kesal sambil membanting-banting benda tak bernyawa apalagi bersalah ke papan tulis. Hari Sabtu, sesuai jadwal, Ulfa yang piket hari ini. Namun, hanya dia sendirian karena yang lainnya malah ngacir duluan. Katanya ada yang udah dijemput, mau ngerjain PR, dan blablabla alasan basi lainnya.
Padahal Ulfa sendiri tahu jika mereka sebenarnya mau streaming musik video dari suatu artis. Dih, beneran nggak guna! Ngabisin kuota aja. Mending kuotanya buat Ulfa yang pengen cari resep kue lain. Biar nanti bisa bantuin mamanya juga.
Gadis berkuncir tinggi itu menghela napas panjang. Untung saja keadaan kelas tidak begitu kotor. Hanya papan tulis saja yang perlu dibersihkan. Jika keadaan kelas benar-benar berantakan, maka Ulfa mungkin akan menerbangkan papan tulis tak bersalah itu hingga tempat duduknya.
Ulfa yang sudah selesai akhirnya berjalan ke pintu kelas. Ia menutupnya rapat. Setelahnya, netra gadis itu celingak-celinguk mencari tiga sosok manusia yang katanya pergi cuma sebentar.
Anggi dan Bila katanya ngantar buku ke perpustakaan. Sedangkan Bayu katanya mau beli minuman dulu ke kantin. Namun sampai sekarang, batang hidung ketiganya tak juga kelihatan.
"Mana, sih, mereka? Not have akhlak banget, deh," gerutunya.
Lingkungan sekolah juga sangat lenggang. Hampir tak ada tanda-tanda manusia yang akan menapakkan kaki lagi di sana. Sepertinya banyak yang bersiap-siap untuk besok. Walau cuma libur sehari.
Senyum tipis yang tadinya terukir seketika meluntur di wajah Ulfa. Seorang gadis dengan langkah mantap, sorot tajam, dan rambut yang sedikit ikal berjalan ke arahnya. Tiba-tiba Ulfa merasa atmosfer di sekitar menjadi berbeda. Kedatangan Thalita benar-benar membuat sekitarnya menjadi aneh.
Gadis dengan wajah setengah Eropa itu berhenti tepat di depan Ulfa. Menatap nyalang lalu kemudian tersenyum miring. Ulfa semakin merasa tak enak saja. Harap-harap cemas jika ketiga orang yang ditunggu sedari tadi segera datang.
"Nungguin siapa, sih? Pujaan hati? Kayaknya dia tadi udah pulang, deh."
Ulfa tak merespon. Ia hanya menggigit bibir dalamnya saja. Harapannya malah jatuh pada Anggi dan Bila yang mungkin masih di sekitar sini. Tapi ...
"Nggak usah nunggu dua gembel itu, deh. Mereka nggak bakalan dateng!" sentak Thalita yang membuat Ulfa terlonjak kaget.
Sebuah tawa menggema di telinga Ulfa. Ia mengernyit bingung. Sama sekali tak ada hal lucu yang baru saja terjadi. Sungguh sangat disayangkan ada gadis cantik yang tertawa tanpa alasan. Ulfa mulai mencurigai jika Thalita ternyata punya kelainan jiwa.
"Gue mau ngasih tau lo sesuatu, sih, sebenarnya." Thalita bersedekap. "Bisa, nggak, jauhin Bayu?"
Ulf menatap gadis di depannya sebentar. Tak lama setelahnya, ia tertawa kecil sambil menggeleng tak habis pikir. "Kalau bisa, silakan lo ambil Bayu. Masalahnya, emang dia mau sama lo?"
Perkataan itu lantas membuat kilatan amarah di mata Thalita. Dengan cepat rautnya berubah menjadi serigala yang hendak menerkam mangsa. Ulfa memekik kesakitan begitu tangan Thalita menarik ikatan rambutnya dengan kencang.
Pekikan itu kian mengencang kala Thalita ternyata menarik Ulfa menuju lapangan. Ke tempat yang lebih luas dan mungkin leluasa untuknya melakukan sesuatu.
Gadis itu melepaskan tangannya dari rambut Ulfa dengan kasar. Menatap lebih nyalang lalu kembali bersedekap. Menunggu reaksi apa yang akan diberikan Ulfa.
Nihil. Hanya kesunyian yang menyelimuti kedua gadis itu.
"Kalau Bayu nggak bisa jadi milik gue. Jangan harap dia bisa jadi milik lo," desis Thalita tajam.
Ulfa membuang wajah sebentar. Ia benar-benar berada dalam situasi yang sangat rumit. Jika harus jujur, ia benar-benar takut jika Thalita melakukan sesuatu di luar batas.
"Kenapa nggak bersaing secara sehat aja, sih?" Ulfa menghela napas lelah. "Nggak perlu ngancam-ngancam gini. Kesannya lo malah nggak optimis bisa dapetin dia karena takut kalah saing."
Kilatan amarah itu kembali muncul. Dari rautnya, tampak si empu seperti hendak membuncahkan amarah lebih besar dari pada yang sebelumnya. Memorinya kembali membawa pada yang telah lalu. Seseorang pernah mengatakannya dan gadis itu tak dapat lagi mengendalikan diri.
Dengan sekali sentakan, Thalita kembali membuat Ulfa meringis kesakitan. Ia menjambak lebih keras dan kasar rambut Ulfa. Ikatan itu benar-benar membuat tangannya bekerja lebih mudah.
"Jaga mulut lo." Thalita membuat Ulfa mendongak. Terdengar ringisan yang kian membuat gadis itu semakin gencar saja menyakiti Ulfa. "Jangan sampai lo mati sia-sia di tempat ini karena mulut yang minta dipotong."
Ulfa membelalak kala sebuah benda berkilau berada dalam penglihatannya. Tajam dan tipis, sesuatu yang terbuat dari logam itu bisa saja dengan cepat menerobos kulitnya hingga cucuran darah lantas mewarnai tanah kering di bawah kaki mereka.
Napasnya tercekat. Jangankan untuk sekedar berkata, bernapas saja ia hampir tak bisa. Pisau itu begitu membuatnya gemetaran walau hanya sekedar melihat.
"Lo mau mulai dari mana? Mulut atau ... mata?" Thalita mengarahkan pisau nan tipis itu menuju mata Ulfa.
Gelengan cepat adalah jawaban Ulfa. Thalita hanya tertawa melihatnya. Mungkin benar. Gadis itu sepertinya punya kelainan jiwa. Psikopat? Tidak!
"Ta, berhenti!"
Saat hendak mengarahkan pisau itu kembali ke mata Ulfa, teriakan lain mengintrupsinya. Thalita menoleh ke belakang, tepat pada asal suara. Hal itu membuat fokus Thalita menjadi buyar dan membuat Ulfa dapat melepaskan diri. Gadis itu memberi jarak sedikit jauh saat langkah panjang mendekat pada mereka.
"Udah gue bilang, kan, kalau lo nggak perlu lakuin semua ini?" kata pemuda itu. Anda atau sekarang telah dikenal sebagai Gerka. Ia mendengkus setelahnya.
Thalita menunjuk Gerka dengan pisaunya dengan kilatan amarah yang semakin menjadi saja. "Udah gue bilang juga, kalau lo nggak suka, lo nggak usah ikut campur. Ini hidup gue, lo nggak berhak ngatur!"
"Dia ...," Gadis itu lantas menunjuk Ulfa yang posisinya hampir berdekatan dengan Gerka. "dia harusnya mati karena udah berusaha ngerebut Bayu dari gue!"
"Semuanya bisa diselesaikan dengan kepala dingin, Ta. Lo nggak--"
"Enggak!" sentak Thalita. "Penyelesaiannya udah nggak ada. Satu-satunya cara cuma bunuh, dia."
Dia menatap Ulfa nyalang. Yang ditatap hanya menelan salivanya dengan kasar. Hendak bergerak lagi saja Ulfa kesusahan. Ia hanya terpaku di tempat dengan sorot ketakutan yang kental.
Thalita berjalan mendekat, perlahan dan pelan dengan senyum miring yang membuat Ulfa semakin merinding. Jangan lupakan tentang pisau yang masih setia mengarah padanya. Gerka lantas berdiri di depan Ulfa. Merentangkan tangannya hendak melindungi.
"Awas! Sejujurnya gue nggak akan takut buat bunuh lo duluan sebelum bunuh malaikat kecil kesayangan Bayu itu," desisnya yang hampir sama tajam seperti pisau yang ia pegang.
Gerka menggeleng. "Lo baik, Ta. Lo nggak akan ngelakuin hal itu."
Sayang sekali, hal itu tak memberi jawaban apa pun. Hanya senyum miring yang kian mengerikan. Entah mengapa, bagi Ulfa sekarang, Thalita seperti seorang malaikat pencabut nyawa.
"Awas, Gerka," ucap Thalita lagi semakin tajam. Ia sampai mengatupkan giginya untuk memberi penekanan lebih dalam.
"AWAS!"
Gadis itu mengangkat pisaunya, hendak menghujam. Sebelum itu, tangan kirinya lebih dulu mendorong Gerka agar tak menghalangi tujuan awalnya. Ulfa akan mati hari ini, atau keinginannya takkan pernah terwujud.
"Jangan, Ta!"
"Tata! Berhenti!"
Thalita tak fokus lagi. Ia menoleh ke belakang sebentar lalu menusukkan pisau yang ia pegang pada target di depannya. Anggi, Bayu, dan Bila yang baru saja datang kaget bukan kepalang. Mereka terpaku di tempat tak dapat bergerak karena kejadian tersebut begitu cepat.
Sedang satu-satunya saksi yang paling dekat dengan korban Thalita hanya menatap dengan sorot tak percaya. Pisau itu menusuk tepat di dada kirinya. Entah mengenai jantung atau tidak, ia juga tak mengerti. Namun, melihat darah yang kian mengucur banyak malah membuat dirinya ingin menangis hebat.
Sang korban jatuh tak berdaya di atas tanah. Menyisakan tangis yang sudah menganak di sudut mata. Thalita sendiri melangkah mundur perlahan sebelum akhirnya terduduk lemas di atas tanah. Menatap korbannya tanpa ekspresi apa pun.
***
[26/08/20]
To be continued.
Maaf soal peringatan di awal. Semoga itu nggak mengganggu kalian, ya, xixi.
Hmm... siapa yang kena pisau, ya? Ada yang tau, nggak?
Love to see yaa next part! 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top