33 - Pengungkapan Kebenaran
Seorang gadis masuk ke kelas dengan terburu-buru. Bukan terlambat, ia hanya ingin memberitahukan sesuatu yang genting. Benar-benar genting hingga semalaman Bila terus memikirkannya dan mengabaikan chat dari Asa.
"ULFA!" pekiknya melengking, melebihi Mbak Kukun yang hobi nakutin di atas pohon pas malam Jumat.
Beberapa orang yang sudah ada di dalam lantas menutup telinganya. Tak heran jika Bila yang melakukannya.
"Berisik, Markonah! Masih pagi juga." Bono berjalan mendekat, berkacak pinggang dengan raut kesal.
"Bodo amat!" Gadis berambut panjang itu membuang muka. "Gue, kan, manggil Ulfa."
"Ulfa belom dateng, jodoh nggak jadinya yang udah." Bono berkata acuh. Ia kemudian melangkah melewati gadis itu menuju pintu kelas.
Bila menoleh pada meja Ulfa. Di sana hanya ada seorang pemuda dengan tampang lesu tengah membolak-balik buku paket. Tidak mungkin dibaca, jika membolaknya saja hanya butuh sepersekian detik. Gadis itu kemudian melangkah menuju padanya.
"Ulfa mana?"
Ia menyentak meja dengan tangannya. Akan tetapi, Bayu sama sekali tak terlihat terusik. Pemuda itu hanya memberi gidikan bahu sebagai jawaban tanpa menatap empu suara.
"Bukannya kalian sejoli?"
Bayu menatap gadis yang berdiri di sisi mejanya itu. Tatapan tanpa ekspresi yang membuat Bila menerka-nerka apa yang sedang dipikirkannya.
"Boro-boro. Dia aja lebih milih si bangsat itu." Setelahnya, Bayu beranjak, meninggalkan Bila yang telah menorehkan kerutan dalam di dahinya.
Bila memutar tubuhnya. Menatap pada pintu kelas dan mendapati Bayu yang hendak keluar. Namun sebelum itu, Ulfa dan Anggi masuk. Membuat Ulfa dan Bayu bertatapan sebentar lalu saling membuang muka. Keduanya lantas kembali pada tujuan awal, berjalan berlawanan arah dan meninggalkan bimbang tak terjelaskan.
Langkahnya menuju pada meja yang telah ditunggui Bila. Dengan asal, Ulfa melempar tasnya ke kursi. Ia lalu duduk setelah menghela napas gusar.
"Pas banget, kita mau ngomong sesuatu yang pentiiing banget sama lo."
Bila langsung duduk di bangku Bayu. Sedangkan Anggi menarik kursi yang ada di depan meja Ulfa. Duduk di sana, menatap dengan antusias.
"Apa?" Nada Ulfa ketus. Ia tampak tak bersemangat untuk apa pun hari ini. Semalaman, ia gusar memikirkan pernyataan Bayu yang membuatnya hampir goyah pada Anda.
"Ini tentang orang yang lo bilang temen kecil lo. Anda," ucap Anggi pelan dan terdengar hati-hati.
Ulfa yang awalnya terlihat ogah-ogahan, kini menegakkan tubuhnya. Ia mulai tertarik.
"Anda itu bukan seperti yang lo pikir. Dia bohong tentang segalanya, Fa," lanjut Anggi dengan raut lebih serius.
Adalah gelengan yang Ulfa berikan sebagai balasan. Ia tersenyum sinis kemudian berkata. "Kalian kalau ngomong itu jangan sembarangan, deh. Semalem juga ada yang bilang kalau Anda itu bukan Anda. Malah dia ngaku kalau dirinya yang Anda. Apa jangan-jangan kalian kerja sama, ya? Kalian kerja sama, kan, sama Bayu?"
Bila dan Anggi saling lempar tatap, bingung. Kerja sama apa? Mau ngomong aja malah ditinggal pergi. Cepat-cepat Bila mengeluarkan ponselnya. Menekan beberapa ikon aplikasi kemudian memberikannya pada Ulfa.
"Kalo nggak percaya, mungkin lo bisa liat rekaman itu. Setelah itu lo bisa berkata sepuas hati."
Bila memberi kode agar Ulfa memutar rekaman yang ia pasang bersama Anggi kemarin di cafe. Waktu yang sangat pas saat kemarin mereka hendak membeli kopi. Awalnya memang begitu mengejutkan, apalagi karena latar belakang alasan mereka yang tidak jelas.
Ulfa mulai memutar rekamannya. Ia mendengar dengan seksama. Sampai-sampai, gadis itu malah tertegun kala mengetahui siapa yang ada di dalam rekaman itu. Ia menatap Anggi dan Bila saat rekamannya selesai.
Gadis itu terlalu terkejut untuk segala yang baru saja terjadi. Hanya helaan napas berkali-kali yang Anggi dan Bila dengar. Mengapa perasaannya kerap dipermainkan? Apa rasa semudah permainan monopoli, setelah kau memilikinya, lalu bebas jika ingin diperlakukan apa pun?
"Sekarang gimana? Apa keputusan lo?" Anggi menggenggam tangan Ulfa yang berada di atas meja.
Ulfa menoleh lalu menggeleng pelan. "Gue nggak tau. Gue bahkan masih nggak percaya sama apa yang baru aja terjadi."
"Bisa aja, kan, itu rekayasa. Mungkin kalian ngada-ngada karena pengen banget gue sama Bayu. Kalau gue kasih tau, Anda lebih baik dari Bayu. Dia---"
"Lo mau bukti sebanyak apa lagi, Fa?" potong Bila cepat. "Lo pasti kenal itu suara siapa, kan? Lo nggak bisa ngelak lagi. Plis, kali ini aja, dengerin kata hati lo."
Ulfa menatap kedua sahabatnya dengan sorot tajam. "Hati gue bilang kalau Anda yang bener."
Anggi berdecak pelan. Ia memutar bola mata sebelum akhirnya berkata. "Kalau nggak percaya sama kita, lo bisa buktiin sendiri. Lo bilang kalau Bayu ngaku sebagai temen kecil lo juga, kan? Lebih baik tanyakan langsung aja sama mereka."
"Apa yang harus gue tanya?" Ulfa tertawa sarkas. "Siapa di antara kalian yang beneran temen kecil gue? Huh! Lucu banget."
Kedua gadis yang di depannya Ulfa saling bertatapan sebentar. Anggi tersenyum sebentar lalu berkata. "Tanya sesuatu yang hanya Anda dan Ulfa yang tau. Dari jawaban mereka, udah jelas siapa yang bohong dan siapa yang jujur."
Ulfa tertegun lagi. Kepalanya berpikir keras mengenai hal tersebut. Mencoba menelaah hal apa yang terlewat, tetapi nihil. Satu pun ide tak ada yang melimpir di otaknya. Keduanya ... kedua pemuda itu cukup mirip jika dibandingkan dengan teman kecilnya. Namun fisik, bisa saja menipu, kan?
***
Masih dengan seragam sekolahnya, ia telah berbaring di atas peraduannya. Netra hitamnya menatap langit-langit kamar dengan pikiran menerawang.
Memorinya kembali membawa pada perkataan dua sahabatnya. Anda bukan Anda, apa maksudnya? Ibunya juga sama, malah mengatakan jika Bayu adalah Anda yang sebenarnya. Lalu, siapa yang bisa ia percaya?
Ulfa bangkit, memosisikan tubuhnya menjadi duduk. Gadis itu menghela napas panjang sebelum akhirnya menoleh pada laci meja belajarnya.
Langkahnya beranjak ke sana. Dengan sekali gerakan, laci tersebut telah menampakkan gulungan kertas hampir tampang usang.
Pemberian Anda-nya lima tahun lalu. Ulfa merasa miris sendiri. Bagaimana mungkin ia tidak mengenali sahabat kecilnya sendiri? Sekarang ia harus terjebak di antara dua pemuda yang mengaku sebagai sahabat kecilnya. Mana yang benar?
Pita merah yang menahan gulungannya ia lepaskan. Gadis itu membuka lembarnya perlahan. Tak ada yang berbeda, gambar itu masih sama seperti terakhir kali ia buka. Gelang hitamnya juga masih di sana. Ulfa tak memakai, hanya dijadikan kenangan.
Seberkas ide lantas muncul di kepalanya. Ulfa mengulum senyumnya lalu kembali menggulung kertas tadi dengan hati-hati. Tak lupa, ia mengikat kembali pitanya.
Buru-buru gadis itu mengambil ponselnya. Ia mencari room chat dua orang yang menjadi tersangka hari ini. Jarinya menari apik di layar gawai. Dengan sekali tekan, pesan itu telah terkirim pada mereka.
Anda
Ke rumah pohon sekarang. Ada yang harus kita bicarain.
Bayu
Ke rumah pohon sekarang. Ada yang harus kita bicarain.
***
"Lo?"
Kedua pemuda yang sama-sama telah menapakkan kaki di rumah pohon itu saling menunjuk sengit. Salah satunya kemudian membuang muka ke sisi terbuka rumah tersebut.
"Ngapain lo di sini?" Bayu yang angkat bicara.
Anda menoleh. Menaikkan sudut bibirnya paksa. "Seharusnya gue yang nanya. Mau ngaku-ngaku jadi temen kecilnya Aya lagi, huh?"
Ada langkah yang mendekat. Bayu memandang lekat wajah Anda kemudian tertawa sinis. Wajah mereka cukup mirip jika dilihat sekilas. Namun, Bayu bahkan tak sudi jika harus dapat perbandingan dengan pemuda di depannya.
"Lo bahkan nggak pantes manggil dia dengan sebutan itu." Bayu menggeleng, tersenyum sinis. "Lo yang seharusnya jangan ngaku-ngaku. Apa pun yang menyangkut cewek itu, gue tau segalanya. Sedangkan lo apa? Cuma pengusik yang pengen dapetin hatinya dengan cara sampah."
Bayu melangkah mundur. Menatap sedikit jauh dengan dagu yang dinaikkan.
"Lo nggak malu kalau misalnya nanti ketahuan? Muka lo mau letakin di mana, bro?" Gantian Anda yang tertawa sinis. "Nyatanya dia lebih percaya gue daripada lo, kan? Bilang aja lo udah kehabisan akal buat dapetin hatinya lagi. Jadinya lo ngaku-ngaku." Pemuda itu berdecih.
Langkah samar yang kian terdengar jelas lantas membuat atensi kedua pemuda itu teralihkan. Di pintu, telah berdiri gadis berkuncir tinggi dengan baju overall berwarna merah dan kaus berwarna kuning.
Ulfa berjalan pelan ke arah mereka. Walaupun tampak tenang, sejujurnya tidaklah begitu. Ujung jari-jarinya bahkan terasa dingin saat langkahnya kian mendekat.
Ia gugup setengah mati.
"Kalian tau kenapa aku nyuruh untuk dateng ke sini?"
Gadis itu menatap dua pemuda di depannya bergantian. Namun, yang didapatinya hanya semilir angin yang menerbangkan rambut ketiganya.
"Mau mencari tau siapa temen kecil kamu sebenarnya?" tebak Bayu.
Anda terpaku di tempat. Tiba-tiba saja ia merasakan mungkin ini adalah riwayat akhirnya. Dia akan kalah. Habislah semua. Benaknya sudah berkata jika hari ini mungkin semuanya akan terbongkar.
"Bener." Ulfa mengangguk pelan. "Tapi sebenarnya lebih dari itu. Ada kejujuran yang harus digali dan ada kebohongan yang perlu diteliti."
Deru angin semakin gencar saja. Saling berlomba-lomba hendak menggelitik ketiga manusia yang terdiam dengan pikiran masing-masing. Ulfa berharap gugupnya tak semakin parah, Bayu berharap segala cepat usai, dan Anda berharap mungkin tidak mendapat sesuatu yang begitu buruk.
"Saat ini, gue beneran bingung. Gue nggak tau siapa yang benar dan siapa yang salah. Dengan ini, gue berharap semuanya terbongkar dan nggak perlu ada lagi yang ngaku-ngaku."
Ulfa berucap pelan. Menatap Bayu dan Anda bergantian dengan tangan yang saling bertautan.
"Cuma satu pertanyaan, tapi ini yang menentukan semuanya. Benda apa yang Anda berikan sama Aya sebelum berangkat ke London?"
Gadis itu mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum tipis. Ia menatap Anda lebih dulu. Menaikkan kedua alisnya seakan memberikan kode jika pemuda itu harus menjawab lebih dulu.
Anda menghela napas berkali-kali. Detak jantungnya benar-benar tak normal. Namun, ia berharap gerak-geriknya sama sekali tak ditangkap oleh kedua remaja di depannya.
"Cincin," katanya kemudian.
Anggukan pelan dari Ulfa membuat Anda mengeluarkan napas banyak-banyak. Ia benar-benar seperti kehilangan oksigen. Padahal, angin tak henti-hentinya bersemilir.
Ulfa beralih pada Bayu. Berbeda dengan Anda, rautnya malah semringah. Senyumnya mengembang kala tatapan mereka beradu.
"Yang Anda kasih itu gulungan kertas yang isinya gambar dua anak kecil yang lagi pelukan. Itu Anda sama Aya. Anda juga nempelin gelang di sana. Jangan lupa, pitanya warna merah," jelas Bayu masih dengan senyum cerahnya.
Tentu saja ia percaya diri. Bayu ingat dengan jelas bagaimana dulu ia membuatnya hingga larut malam. Sangat disayangkan jika ingatan itu pernah menghilang dari memorinya.
Ulfa menghela napas dalam. Ia menunduk sebentar lalu kembali menatap netra hazel milik Bayu.
"Udah jelas siapa yang jujur dan siapa yang bohong. Lo nggak bisa ngelak lagi."
Bayu sempat bingung untuk beberapa saat. Apa Ulfa baru saja mengatakan jika ia bohong? Tapi ....
"Kenapa lo pura-pura jadi Anda, huh? Dengan ini lo sama aja bikin kebohongan di atas kebohongan."
Binar di mata Ulfa kian tenggelam di genangan yang menganak di sudut mata. Bayu merasa seperti yang dipersalahkan karena gadis itu malah menatapnya seperti hendak membuncahkan kilatan amarah.
"Kenapa?!"
Dalam sekali gerakan, tangan Ulfa mendarat mulus dan keras di pipi pemuda itu. Menimbulkan gema menyakitkan yang membuat pemuda satunya lagi membelalak kaget.
***
[22/08/20]
To be continued.
Tebak hayo tebak, siapa yang Ulfa tampar?
Muehehehe, kalau pengen tau, jangan lupa ikutin terus, yah.
Love to see yaa next part! 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top