31 - Pigura Penuh Memori
Netra hazelnya menangkap sebuah pigura yang terselip di antara dua pigura besar. Rasa penasarannya bertambah saat Bayu mencoba mengeluarkan benda itu dari selipan sempit.
Dengan tangannya, ia menyapu debu tipis yang menempel di kacanya. Kala melihatnya, pemuda itu tertegun. Membulatkan mata setelahnya kala netranya menangkap sosok dua anak kecil berbeda gender tengah berpelukan.
Perempuannya bisa ditebak siapa. Lalu yang laki-laki ... mengapa terasa begitu familiar? Bukan tentang siapa, ini tentang deja vu yang seperti menghinggapi dirinya.
"Bay, ini tehnya."
Bayu terlonjak. Ia langsung menoleh ke belakang dan mendapati seorang wanita tengah menaruh nampan berisi segelah teh dan sepiring brownis coklat. Di sofa ruang tamu, Rere telah duduk, dengan sepiring brownis yang tak lupa ia bawa tentunya.
Pemuda yang masih berseragam putih abu-abu itu tersenyum tipis. Ia lalu mendudukkan diri di depan wanita paruh baya itu. Pikirannya menjadi terasa random saat memikirkan kembali foto digenggamannya.
Bayu mengangkat pigura di tangannya. Menunjukkan pada Rere lalu mulai mengutakan pertanyaan yang menerawang di kepalanya. "Cowok ini siapa, Tante?"
Sepiring brownis tadi turun hingga paha sang pemilik. Rere mencondongkan tubuhnya ke depan untuk memerhatikan dengan seksama pigura yang dipegang oleh Bayu. Setelahnya, Rere tersenyum tipis.
"Oh, itu. Dia temen kecilnya Ulfa. Waktu itu dia pergi ke London katanya. Pokoknya kalau udah sama-sama dulu, mereka kayak nggak terpisahkan gitu." Rere menaikkan kembali piringnya. Mengunyah dengan semangat brownis yang ia buat sendiri. Kalau buatan sendiri, memang lebih terasa nikmatnya. "Tapi dia udah balik sekarang. Kalau kamu mau tau, namanya Anda."
Bayu mengangguk pelan lalu tersenyum tipis sebentar. Pemuda itu menatap kembali pigura asing dengan pikiran yang terus menerawang. Entah mengapa, matanya bahkan terasa tak ingin luput dari kedua bocah yang membuatnya seperti dibawa ke masa lalu.
Ada sesuatu di sana. Seperti memori yang hendak menyeruak lewat gambaran keduanya. Deja vu itu kerap muncul. Namun, Bayu bahkan tak mengerti bagian mana janggalnya.
Anda.
Kata yang ia kenal tetapi berada di garis asing dan familiar. Selama ini ia mengenalnya sebagai seseorang yang membuat jarak di antara ia dan Ulfa. Namun sekarang, Bayu malah merasa jika ... Anda yang sebenarnya masih terjebak di pigura itu.
Kalo Anda pergi, Aya nanti main sama siapa?
Anda janji bakal balik, kok.
Jangan lama-lama. Nanti Aya rindu.
Kalo Aya rindu, liat aja bintang.
Nyeri itu datang kembali. Ribuan memori terasa seperti menghantam kepalanya. Bayu menjatuhkan pigura yang dipegangnya hingga kacanya pecah berantakan.
Rere yang terkejut lantas menghampiri Bayu dengan raut cemas. Memegang pundak pemuda itu pelan dan bertanya ada apa. Akan tetapi, hanya ada erangan yang membuatnya semakin bingung saja.
"Kamu kenapa, Bay?"
Bayu memegang kepalanya kuat-kuat, sesekali menjambak berharap sakitnya hilang. Namun, yang didapatinya malah sakit yang menjadi-jadi. Bayu mengerang keras hingga suaranya menggema di rumah tersebut.
Suara anak-anak di kepalanya seperti hendak memberitahukan sesuatu. Akan tetapi, kepalanya seperti tak sanggup menerima semuanya dalam waktu bersamaan. Terlalu banyak dan terlalu cepat untuk diterima jika yang datang malah seperti kilatan petir di angkasa.
"Bay, Bayu, kamu kenapa, sih?"
Aya selalu sayang sama Anda!
Anda juga akan selalu sayang Aya.
"Arghh!"
Bayu mengerang keras. Kilasan-kilasan memori itu semakin membuat kepalanya ingin pecah. Ia menjambak rambutnya sembari tak henti mengerang. Rere yang melihatnya hanya bisa terdiam. Jujur, ia sangat takut dengan apa yang terjadi dengan anak muda di depannya itu.
Sakit di kepala Bayu kian mereda. Namun, hantaman lebih besar membuatnya malah terhuyung. Sakit yang lebih besar kembali mendera hingga akhirnya pemuda itu menjatuhkan badannya di sofa dengan mata terpejam erat. Sebelum benar-benar hilang kesadaran, ia melihat sosok gadis kecil dengan rambut bergaya bob tengah memandangnya dengan senyum merekah.
***
Sudah setengah jam yang lalu wanita itu mondar-mandir di depan unit gawat darurat. Rere benar-benar risau dengan keadaan Bayu yang sangat membingungkan. Bagaimana bisa dengan melihat sebuah pigura Bayu malah sakit kepala dan jatuh pingsan?
Ia menggeleng tak habis pikir. Mencoba berespektasi apa pun rasanya juga tidak berguna. Tidak ada kemungkinan yang melimpir di kepalanya tentang apa yang mungkin terjadi pada teman anaknya itu.
Pintu UGD berderit. Seorang pria berpakaian serba putih lengkap dengan stetoskop kebanggaan para dokter lantas menjadi pusat perhatian Rere. Wanita itu lantas menghampiri dengan wajah cemas sekaligus penasaran.
"Sebenarnya dia kenapa, Dok?"
Pria itu menghela napas panjang. "Sebelumnya, apa Ibu adalah orang tua dari pasien?"
Rere menggeleng pelan. "Bukan, Dok. Saya hanya ibu dari temannya."
"Ibu bisa menghubungi orang tuanya? Masalah ini sedikit sensitif. Mungkin orang tuanya yang lebih mengerti," jelas sang Dokter.
"Saya tidak kenal orang tuanya, Dok."
Sungguh disayangkan, perkataan Rere membuat sang Dokter menghela napas lelah lalu menggeleng tak habis pikir. Tak lama setelahnya, seorang suster datang lalu menyodorkan sebuah ponsel sang Dokter.
"Ini ponsel pasien, Dok. Tadi terselip di kantong celananya," kata suster perempuan itu.
Hal tersebut membuat senyum tipis terbentuk di sudut bibir wanita paruh baya itu. Mungkin ia bisa menghubungi orang tua Bayu lewat benda tersebut.
"Emm ... Dok. Bagaimana jika saya menghubungi orang tuanya lewat ponsel itu?"
Dokter yang tadinya hendak mengambil ponsel Bayu mengurungkan niatnya. Ia menatap Rere sembari berpikir sebentar. Pria itu lantas mengangguk sembari tersenyum tipis.
"Silakan. Jika nanti orang tuanya datang, temui saya di ruangan yang ada di ujung lorong ini."
Rere mengangguk antusias. Ia segera mengambil ponsel itu dari tangan suster. Dokter itu pun berlalu dari sana menuju ruangannya. Meninggalkan Rere yang sibuk mencari nama ibu di gawai milik Bayu. Beruntung sekali benda itu sama sekali tak memakai pengaman apa pun. Hanya kunci geser yang mempermudah pekerjaan Rere.
***
Bayu sudah dipindahkan ke ruang inap beberapa menit yang lalu. Rere juga sudah menghubungi Ibu Bayu yang katanya akan sampai dalam waktu lima belas menit. Walaupun begitu, Rere tetap saja masih risau. Ia mengetuk-ngetuk pelan jarinya di ponsel Bayu yang ia pegang. Rasanya ... suara dari kejauhan itu mengingatkannya pada seseorang. Tapi siapa?
"Anggrek tiga ... ah, ini!"
Wanita paruh baya itu lantas mendongak kala mendengar kalimat yang menunjukkan di mana ruangan Bayu berada. Rere berjalan mendekati wanita dengan tas hitam di tangannya berdiri di depan ruangan Bayu sembari menekan-nekan gawainya.
"Maaf, apa anda ibunya Bayu?"
Ia berbalik. Dengan gawai yang menyentuh telinganya, ia memandang dengan binar terkejut. Rere juga sama terkejutnya. Kedua wanita itu sama-sama membeku di tempat sambil memerhatikan lawannya.
"Lauren ...? Kamu ...."
Bagaimana Rere bisa lupa. Wanita berambut kecoklatan sepunggung itu tentu saja diingatkan dengan jelas. Walau penampilannya sedikit berubah, ia tak lantas melupakan begitu saja jika wanita itu merupakan ibu dari teman anaknya. Anda.
Tunggu. Apa? Sebentar. Jadi ... Bayu?
"Astaga ...." Lauren yang tadinya ingin mendorong pintu ruangan itu malah berbalik melangkah menuju wanita yang tadi memanggilnya. Rautnya masih terkejut. Lidahnya bahkan keluh untuk sekedar berkata.
"Rere ... ini kamu, kan?" tanya Lauren memastikan. Senyum di sudut bibirnya kian mengembang.
Wanita yang ditanyai itu mengangguk. Mereka lantas berpelukan erat. Menyalurkan sebuah rindu yang bertahun-tahun terpendam. Sejak lima tahun tak saling menghubungi, rasanya seperti baru saja keluar dari peradaban masa lalu.
"Tunggu. Kamu ... ibunya Bayu? Jadi ... Anda?"
Setelah saling melepas pelukan, Rere bertanya bingung. Mungkin agak aneh jika harus langsung to the point. Akan tetapi, rasa penasarannya sama sekali tak bisa dikontrol.
Tawa Lauren menjadi jawaban. "Bayu itu Anda, Re. Nama dia, kan Bayu Andara Louis Evans."
Rere kembali dikejutkan. Namun, ia sama sekali tak bisa sekedar berkata jika kemarin ada pemuda yang mengaku dia adalah teman kecil Ulfa. Begitu banyak pertanyaan dalam benaknya. Wanita paruh baya itu bahkan tak mengerti harus memulai pertanyaannya dari mana.
"Kenapa Bayu bisa sakit kepala setelah liat foto kecilnya sama Aya?" tanya Rere lagi, semakin cemas.
Lauren menghela napas panjang. Ia lalu duduk di kursi tunggu yang ada di sana. Rere mengikutinya lalu mereka saling menggenggam tangan.
"Sebenarnya, dua tahun lalu, Bayu mengalami kecelakaan. Dia yang katanya belajar naik motor, malah keserempet mobil yang menyebabkan kepalanya terbentur trotoar jalan.
"Saat dibawa ke rumah sakit, dokter bilang kalau dia mengalami hilang ingatan jangka pendek. Aku pikir, dia mungkin hanya lupa bagian tertentu saja. Tapi ternyata, setelah sebulan, aku baru tahu jika Bayu ternyata lupa semua tentang Aya-nya. Gadis yang selalu ia rindukan itu malah ia lupakan."
Rere menggenggam tangan Lauren semakin erat. Melihat Lauren yang menunduk hendak menangis rasanya membuat iba semakin menjadi. Ibu mana yang tidak sedih jika anaknya malah kehilangan sebagian memori. Melihat Bayu yang tadi kesakitan saja membuatnya ketakutan sendiri.
"Jadi, sejak kapan kamu kembali?"
"Kami baru tiga bulan pindah ke sini. Aku berharap membawanya ke sini agar dia mengingat memori lamanya kembali. Tapi ... sepertinya aku malah bikin dia tersiksa."
Lauren mulai terisak. Ia menunduk dalam berusaha menyembunyikan air mata yang hendak keluar dari sudut matanya.
"Kamu udah ketemu sama dokter? Katanya kamu harus temuin dia di ruangannya. Di sana."
Rere menunjuk ruangan yang ada ujung sebelah kanannya. Mungkin dengan begitu, Lauren bisa mendapat kabar baik. Setidaknya perjuangan wanita itu membawa Bayu ke sini, tidak berakhir sia-sia.
Tanpa mereka sadari, di balik pintu yang telah bercelah karena sedikit didorong Lauren tadi ada seseorang yang mendengar. Bayu yang tadinya kebingungan karena berada di ranjang rumah sakit, awalnya berniat untuk mencari tahu. Namun, yang didapatkannya malah kebenaran yang membuatnya terpaku di tempat.
Mengapa ibunya tak memberitahu jika ia hilang ingatan? Apa karena ingatan itu hanya menghapus jejak memori yang takkan mungkin ditemui lagi?
Bayu berjalan kembali ke ranjangnya. Mendudukkan diri di sana dengan pikiran menerawang. Ia ingat segalanya. Benar, Bayu adalah Anda. Namun, karena kecelakaan bodoh yang ia alami dua tahun lalu, pemuda itu malah kehilangan ingatan mengenai satu orang penting yang membuatnya kepalang jatuh hati.
Aya-nya.
Dia ingat di mana dulu pernah membelikan sahabatnya cilok saat tengah kesal. Ia ingat saat di mana mereka sering menghabiskan waktu bersama di rumah pohon. Dan yang paling ia ingat adalah saat di mana pelukan terakhir mereka lima tahun lalu. Bayu ingat semuanya. Bahkan pelukan itu masih terasa hingga saat ini.
Namun, yang jadi masalah adalah ... siapa pemuda itu? Jika dia adalah Anda, maka siapa orang yang mengakui diri sebagai Anda di depan Ulfa?
Permainan apa yang sebenarnya sedang dilakukan pemuda itu?
***
Ringisan kecil menguar kala gumpalan kapas menekan-nekan goresan luka yang terbentuk di lutut. Ulfa melihatnya dengan miris. Cukup lebar, tapi lebih beruntung jika nyawanya selamat.
"Lain kali hati-hati, Ya. Untung aja truknya nggak ikut oleng," ucap Anda yang masih berkutat dengan luka itu. Ia menempelkan plester pada lututnya agar tidak terkontaminasi dengan debu.
Ulfa terdiam sebentar. Sebenarnya, ia juga bingung mengapa hal tersebut bisa terjadi padanya. Hembusan angin di rumah pohon itu sepertinya juga tak memberikan jawaban apa pun.
"Ya ...?"
Gadis itu langsung mengarahkan pandangannya pada Anda ketika bahunya terasa disentuh. Netra hazel itu menembus mata segelap malam miliknya. Dari yang Ulfa tangkap, pemuda itu seperti menaruh risau mendalam dan menuntut sebuah ... kepercayaan?
"Ya, lain kali hati-hati, oke?" ulang pemuda itu. Menatap semakin dalam Ulfa yang seperti terpaku padanya. "Aku bener-bener nggak mau kehilangan kamu."
Sudut bibir gadis itu terangkat. "Iya, Nda. Untung ada kamu tadi. Kalo enggak, mungkin aku ikut gabung sama sepeda dan brownis itu."
Namun, kalimat 'untung ada kamu' sepertinya terdengar janggal di telinga Ulfa. Entah mengapa, ia merasa seperti semua kejadian telah direka ulang sehingga terlihat seperti sudah ditakdirkan. Huh, tiba-tiba perasaannya menjadi tak enak.
"Seyakin apa lo, kalau dia adalah Anda?"
***
[15/07/20]
To be continued.
Siapa yang nyangka kalau Bayu ternyata hilang ingatan. T^T
Kira-kira, yang nyamar jadi Anda siapa, tuh?
Love to see yaa next part! 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top