23 - Kembali

Riuh, ricuh, berantakan, dan sangat tidak tenang adalah ciri-ciri jika kelas sedang tidak ada guru. Bermacam-macam kegiatan random akan mereka lakukan kala freeclass menerpa. Yang mau nyanyi, boleh, sekalian ngamen juga bisa. Yang mau dandanin temen, boleh, sekalian buka salon dadakan. Jingkrak-jingkrak nggak jelas, boleh, dong. Mau bobok cantik pun boleh, asal tahan dengan kericuhan kelas.

Ulfa yang tak tahan, memilih untuk bangkit, hendak keluar. Namun, baru selangkah dari kursinya, ia merasa tangannya ditahan seseorang.

"Mau kemana lo?"

Gadis berkuncir tinggi itu menoleh. Bayu yang masih setia di tempat duduknya, menyipitkan mata.

"Nyari udara segar. Di sini pengap," sahut Ulfa lalu melepaskan cekalan tangan itu. Ia berjalan lurus menuju pintu tanpa tahu jika Bayu mengekorinya.

Ulfa menghentikan langkahnya begitu mencapai pintu. Ada seorang wanita dengan kaca mata besarnya tengah menatap Ulfa penuh mengintimidasi. Gadis itu sampai menegak dengan kasar air liurnya sendiri.

"Judis, gue i ... kut ... dong." Bayu yang tadinya sangat percaya diri hendak berbicara, sekarang malah terdiam seribu bahasa saat tatapan horor Bu Tari menerpanya.

"Mau kemana kalian?" tanya wanita itu yang sama sekali tak terdengar bersahabat. Ia sepertinya mengabaikan kelas yang ricuhnya minta ampun itu dan kini berfokus pada Ulfa dan Bayu.

"Ke WC, Bu."

Kedua remaja itu menjawab bersamaan. Mereka saling bertatapan sebentar lalu kembali melihat Bu Labin.

"Kalian freeclass, kan? Daripada keluyuran nggak jelas, mending bantuin jaga perpus. Guru pada sibuk rapat, jadi nggak ada yang jaga. Kalian aja sana."

Bayu dan Ulfa saling adu pandang sejenak. Mereka seperti bingung dengan instruksi tersebut. Bu Tari menghela napas panjang. Menarik kedua remaja itu keluar kelas menuju arah perpustakaan.

"Udah sana. Jangan kebanyakan mikir."

"Tapi, Bu, kami jaga perpusnya sampai kapan?" tanya Ulfa bingung. Aneh sekali rasanya jika menjaga tempat yang heningnya hampir sama dengan kuburan itu.

Bu Tari yang tadinya ingin berjalan menuju kantor dewan guru, berbalik. Menatap datar di balik kaca mata besarnya. "Sampai penjaga perpusnya dateng, lah."

"Kalo nggak dateng-dateng?" Giliran Bayu yang menanya. Ulfa ikut mengangguki.

"Artinya jagain sampai pulang."

Setelahnya, Bu Tari melangkah menjauh dari sana. Menghilang di balik belokan dan kini menyisakan hening kebingungan di antara kedua remaja itu.

"Udah, yuk, ah!"

Tak berapa lama, Ulfa merasakan tangannya ditarik diikuti dengan tubuhnya yang ikut bergerak mengikuti seseorang yang menariknya. Bayu membawa Ulfa berjalan menuju perpustakaan. Suasana lingkungan di saat itu cukup sepi karena para siswa dianjurkan tetap berada di dalam kelas.

"Isshhh ... apa, sih?" Ulfa melepaskan cekalan tangan Bayu begitu mereka sampai di depan pintu perpustakaan. Setelahnya Bayu dihujami tatapan tak suka.

"Tapi tadi katanya mau nyari udara segar. Rame-rame pengap, kan? Nah, mumpung ada perpus, ke sini ajalah." Bayu tersenyum, songong.

Gadis di depannya berpikir sejenak. Di dalam sini mereka hanya berdua. Itu artinya akan sedikit kemungkinan berisiknya. Ulfa akhirnya menghela napas panjang.

"Ya udah, sih."

Ulfa masuk ke dalam perpustakaan sambil mengibaskan tangannya. Malah mengabaikan orang yang baru saja memberinya saran bagus. Jika saja Bayu punya jiwa psikopat, mungkin gadis itu sudah jadi korban pertamanya.

Suasana hening langsung menerpa mereka kala baru saja kaki menapakkan langkah pertama. Tempat itu benar-benar tanpa kehidupan, tetapi tampak rapi dan bersih. Jejeran rak tinggi menjulang berisi ratusan buku seakan menyambut kedatangan mereka.

"Njirrr ... seumur hidup, gue baru tiga kali ke perpus. Itu pun karena mau gebet cewek," ucap Bayu pelan sambil memandangi dengan takjub isi perpustakaan tersebut.

Tidak hanya ada jejeran buku di sana. Akan tetapi, ada juga peta dunia selebar dua meter yang terpajang di dinding, kata-kata motivasi yang tergambar indah, doodle, globe, dan beberapa piala penghargaan, serta sertifikat yang dipajang di bingkai kaca.

"Itu yang digebet, jadi semua?" tanya Ulfa.

Gadis itu berjalan, menyusuri lorong panjang yang kanan kirinya berdiri tegak rak berisi buku-buku. Ia menelisik setiap judul yang ada di kanannya. Kala menemukan rak novel, Ulfa mengambil salah satu yang bersampul abu-abu.

Bayu mengekori di belakang. Ia juga melakukan hal yang sama. Menelisik setiap judul buku yang terpajang di sana. Namun, jika niatnya memang tidak ingin membaca, ya, mana bisa. Mager juga mata dan otaknya.

"Enggak, wekaweka." Pemuda itu tertawa sebentar.

Ulfa hanya memutar bola matanya malas. Ia memilih untuk fokus pada novel yang mungkin akan lebih menarik dari wajahnya Bayu itu. Bersandar di rak, gadis itu mulai menyelami dunia fiksi.

"Tapi untuk yang ketiga ini gue berharap lebih. Kayaknya beneran bakal jadi, deh."

Tak ada tanggapan yang diterima oleh Bayu. Pemuda itu lantas mendekati Ulfa yang ternyata terlalu fokus dengan dunia fiksinya.

"Lo nggak mau tau siapa orangnya?" tanya Bayu pelan. Membuat suasana di sekitar Ulfa seakan seperti berada di kutub utara.

Baru saja mendongak, ia malah dikejutkan dengan posisi Bayu yang sudah sangat dekat padanya. Ulfa merasa, jantungnya seperti hendak meloncat lalu terjatuh di bawah kakinya. Iris hazel itu seakan ingin menenggelamkannya di sana.

"Itu lo."

Bayu berkata dengan pelan lagi. Ulfa hanya terdiam. Mata Bayu telah menyihirnya untuk tetap membeku di tempat tanpa memalingkan wajah ke arah lain. Wajah pemuda itu semakin mendekat. Mempertipis jarak juga oksigen yang ada di sekitar mereka. Pemuda itu bahkan menurunkan novel yang sedari tadi Ulfa pegang karena menggangu akses pendekatan jarak itu.

Hingga hanya beberapa senti lagi jarak di antara wajah mereka, Ulfa akhirnya tersadar. Ia memukul dada Bayu geram, tetapi malah membuat pemuda itu tertawa kencang. Pipi gadis itu pasti sangat merah sekarang. Tanpa pikir panjang, ia berjalan menjauh dari sana.

"Cabul, bege! Mentang-mentang sepi, nyari kesempatan dalam kesempitan!" pekik Ulfa kala langkahnya sudah cukup jauh.

Bayu hanya membalas dengan tawa kencang. Tubuhnya bersandar di rak buku yang tadi juga disandari Ulfa.

Gadis yang merasa tubuhnya tak terjangkau penglihatan Bayu itu lantas menyentuh bibirnya sendiri.

Untung aja bibir gue masih perawan. Hancur sudah kalo tadi beneran kejadian. Kalo beneran, Bayu bakal gue cincang, terus kasiin ke buaya.

***

Jemari lentiknya menyentuh gulungan kertas yang tersimpan rapi di dalam laci meja belajarnya. Warna putih dari kertas itu telah usang. Namun, pita merah yang mengikatnya malah masih tampak apik.

Sudah lebih dari lima tahun. Entah mengapa Ulfa merasa hari ini pikirannya terus melayang kepada Anda. Dia rindu? Sejak lama, tetapi seperti ada rasa lain yang mendampingi yang bahkan ia juga tidak tahu itu apa.

Pikirannya memutuskan. Gadis itu berniat pergi ke suatu tempat. Dengan berbekal brownis buatan ibunya yang dimasukkan ke dalam kotak bekal, ia keluar dari rumahnya berharap keresahan hatinya mereda. Ada sesuatu yang membuatnya harus memastikan.

Ulfa mengendarai sepedanya ke tempat dengan pepohonan menjulang membentang. Udara sejuk langsung menyapanya. Namun, debaran aneh di dadanya malah berkata sebaliknya. Ia sendiri malah bingung dengan hal itu.

"Kenapa tiba-tiba rindu banget, ya, sama Anda?"

Gadis itu menyandarkan sepedanya dekat dengan salah satu pohon yang menopang rumah kayu di atasnya. Ulfa berjalan perlahan sembari menghela napas panjang. Memandangi rumah kayu itu seperti membuatnya merasakan detakan yang semakin tak karuan.

Ulfa menaiki tangga berbalut tumbuhan menjalar itu pelan. Kala telah menapakkan kakinya tepat di dalam, ia mendapati seorang tengah duduk di sisi terbuka rumah tersebut. Pemuda itu tampak menikmati udara dan pemandangan di depannya hingga tak menyadari langkah Ulfa yang sedikit kaku karena terkejut.

"Lo ... siapa?" tanya Ulfa bingung bercampur gugup. "Kok bisa ada di sini?"

Pemuda berkaus hitam itu menoleh ke belakang dengan senyum cerah hingga menampakkan deretan gigi putih dan lesung pipinya. Ia tak bangkit, melainkan mengode Ulfa untuk duduk di sampingnya. Mata hazel itu seakan menyihir Ulfa untuk mengikuti kemauannya.

"Kamu beneran nggak inget aku, Ay?"

Ulfa yang baru saja duduk, termenung menatap wajah setengah bule dari pemuda itu. Matanya. Gadis itu ingin berpersepsi. Namun, ia takut jika pemikirannya salah.

Mendapati tidak ada respon apapun, pemuda itu menghela napas panjang. Menatap hamparan pepohonan di depan kemudian beralih pada Ulfa. Menampilkan senyum yang sedari tadi ia tunjukkan.

"Masa kamu nggak inget sama mata ini?" Ia menunjuk matanya. "Atau seenggaknya ... senyum ini, deh, Aya."

"A-Anda ...?" Susah payah Ulfa menyebutkannya. Berharap semua rindunya segera terbalaskan. Mata gadis itu bahkan sudah berkaca-kaca.

Pemuda itu tersenyum teduh. Ia Menyondongkan tubuhnya sedikit pada Ulfa. "Aku udah balik, Ay. Anda-nya Aya ada di sini sekarang. Dia nggak bakal pergi-pergi lagi."

Ulfa terisak pelan. Anda yang tadinya tersenyum, lantas berubah raut menjadi risau. "Ay, kamu kenapa nangis? Kalo ada masalah cerita, dong."

Tanpa bisa ditahan lagi, gadis itu lantas menerpa dada bidang Anda. Ia memeluknya erat hingga pemuda itu sendiri terkejut karena mendapat gerakan yang sangat tiba-tiba. Ulfa melepaskan semua bebannya di tubuh kokoh itu. Semuanya termasuk semua kerinduan yang selama ini dipendamkan. Seiring dengan itu, usapan halus di kepalanya ia rasakan.

"Aya rindu banget sama Anda."

Namun ada satu hal yang aneh. Rasa risau itu tak kunjung juga hilang. Mencoba melupakannya, Ulfa memilih mengeratkan pelukan pada sahabat lamanya itu.

"Udah, dong, nangisnya, Ay. Nanti kaus aku basah sama ingus kamu," ucap Anda tanpa menghentikan usapan di kepala dan rambut gadis itu.

Ulfa melepas pelukannya. Menatap pemuda di depannya dengan mata tajam namun sembab dan memerah. Sisa-sisa genangan air mata bahkan masih menempel di pipinya. Anda tertawa kecil karena wajah menggemaskan itu.

"Bercanda, Ay. Anda bercanda, kok. Pisss." Pemuda itu mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya, pertanda damai.

Ulfa tertawa kecil walau dengan suara yang sedikit sengau. Gadis itu memukul pelan bahu Anda lalu menyandarkan kepalanya di sana.

"Anda kemana aja, sih? Lima tahun, loh, nggak pernah ngabarin Aya. Masa Anda nggak tau Aya udah serindu apa, sih?" celoteh gadis itu. Bibirnya mengerucut kesal, menatap langit yang hampir menjingga.

Terpaan angin sejuk menggelitik wajah keduanya. Rambut hitam kecoklatan milik Anda ikut beterbangan. Pemuda itu menangkup wajah Ulfa lalu menatap matanya lekat-lekat.

"Yang penting sekarang Anda udah balik, kan? Bintang udah sampaikan semua rindu Aya ke Anda." Ia berhenti sejenak. Ulfa hanya berkedip hendak mengetahui apa yang selanjutnya akan disampaikan. "Tapi ... beberapa waktu terakhir, Anda sama sekali nggak nerima pesan rindu. Makanya Anda langsung ke sini. Aya kemana aja, hm? Udah nemu seseorang yang lebih baik dari Anda?"

Ulfa menggenggam erat tangan besar yang menangkup wajahnya itu. "Nggak, lah. Mana ada yang bisa gantiin Anda. Anda yang terbaik pokoknya."

Senyum Anda kembali terbit. Mencoba menghangatkan udara yang mulai mendingin. Namun, entah mengapa Ulfa merasa senyum itu sedikit terasa asing. Mungkin karena Anda telah lama tak berada di sisinya.

Hingga tanpa sadar, pemuda itu kembali membawa Ulfa ke dalam dekapannya. Mereka sama-sama memeluk dengan erat seakan takut kehilangan ... lagi.

***

Pemuda yang baru saja keluar dari kamar mandi itu menghela napas panjang. Dia merasa resah, namun tak mengerti mengapa. Hingga sebuah gulungan kertas yang tergeletak di atas meja belajarnya menarik perhatian.

Kerutan di dahi Bayu menandakan bahwa pemuda itu bingung. Tadi pagi, sebelum ia pergi sekolah, sepertinya tidak ada gulungan kertas apapun di mejanya. Lalu ... siapa yang menaruhnya sekarang?

Penasaran, Bayu lantas berjalan menuju meja belajarnya. Tangannya terulur hendak mengambil gulungan kertas berpita hijau muda itu. Namun, yang ia alami selanjutnya malah membuat pemuda itu kembali menarik tangannya.

"Arrghh!"

Kilasan-kilasan balik tak dikenal menghantam memorinya. Nyeri tak tertahan terasa membuat kepala pemuda itu ingin pecah saja. Tangan yang awalnya hanya mencoba untuk memijat, kini malah berubah menjadi jambakan di rambutnya. Kilasan hitam putih itu hanya terlihat samar di dalam ingatannya. Seperti bayangan yang hendak menyeruak masuk lalu kembali keluar.

Gue kenapa?!

***

[18/07/20]

To be continued.

Anda udah balik, yey!
Siapa yang udah rindu sama Anda, angkat paru-parunya?
Wkwkw.

Ada yang tau Bayu kenapa? Nggak ada yang mau nolongin, nih? Awokawok

See yaaa! 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top