22 - Siapa yang Lebih Spesial?
"Kalo gitu nggak usah kuliah lagi. Di sini aja, terus bantuin gue ngerjain PR sama bantuin mama bikin kue," ucap Ulfa tanpa beban. Tangan kanan Salwa langsung memukul pelan bahu Ulfa yang duduk di sampingnya.
"Heh, Pa'ul! Enteng banget ngomongnya. Ngada-ngada lo!" geram Salwa yang kian mendelik.
Rio-ayah mereka- terbatuk sebentar, kemudian berucap, "Dari pada ngerjain PR kamu, bagus kakak kuliah, bermanfaat, dapat ilmu lagi. Nanti kamu juga bakal gitu, Ay."
Ulfa mengangguk. "Tapi, kan, ngerjain PR Aya juga bermanfaat, Pa," jawab Ulfa seraya mengunyah nasi yang sedikit lagi hampir ia telan.
"Iya, bermanfaatnya sama lo, rugi di gue. Ogah, Pa'ul!"
"Santai, Mbak. Jan ngegas. Bilangin, doang. Aya udah selesai, nih. Ke kamar dulu, ya."
Kedua orang tuanya mengangguk sebagai persetujuan. Berbeda dengan Salwa yang menatap horor ke Ulfa. Matanya beralih pada cucian piring di wastafel yang menumpuk.
"Heh, Pa'ul, bantuin gue nyuci piring!" pekik Salwa membuat kedua orang tuanya menutup telinga rapat-rapat.
Ulfa yang masih di tangga pertengahan, menoleh menatap Salwa yang berada di bawah. "Sekali-sekali lo yang nyuci, Wi. Biar ketemu sama temen-temen lo di panci sayuran. Biar bisa nostalgia gitu."
Ulfa tertawa kencang setelahnya, seraya berlari terbirit-birit masuk ke dalam kamar. Sedangkan Salwa mengeram kesal.
"Adek laknat!" ucapnya kuat. Akibat ucapannya, ia mendapat lemparan buah apel dari mamanya.
"Siapa yang ngajarin bicara gitu?"
Rere mendelit menatap Salwa yang kini tengah menggaruk tengkuknya. Tanpa menjawab, cepat-cepat ia langsung pergi untuk mencuci piring kotor. Ia lupa bahwa tadi ada orang tuanya. Ini semua gara-gara Ulfa.
Pa'ul! Awas lo!
📌📌📌
Tawa Ulfa masih terdengar sampai sekarang. Senang rasanya mengerjai kakaknya itu. Walaupun sudah lama tak berjumpa, dirinya tak segan untuk mengusili Salwa, walau terbesit rindu di hati Ulfa.
Ulfa membaringkan tubuhnya di atas kasur ternyaman yang ia punya. Rasanya tulang-tulangnya semua hampir patah diajak berjalan satu harian. Tapi rasa lelahnya terganti ketika satu senyuman Bayu melekat di pikirannya. Oh, bucin sekali dirinya ini. Ia jadi terpikir soal Anda yang mirip sekali dengan Bayu. Mata yang teduh, yang bisa menghangatkan dirinya. Dan itu ada pada Bayu.
Ulfa mengubah posisinya menjadi duduk. Menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. "Apaan, sih, Fa? Bayu sama Anda, tuh, beda banget. Kalo Anda, tuh, spesial pake banyak, kalo si cekuruk itu, spe ... ah, nggak, dia nggak spesial, b aja."
"Tapi mata mereka sama," lanjutnya lagi. Tapi cepat-cepat ia mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Yang punya mata kayak Anda, kan, banyak. Kambing pasti punya juga. Lah kambing emang punya mata hazel, ya? Aaahhh ... bodo amat!"
Ulfa beralih menatap ukelele yang berdiri di atas meja belajarnya. Ulfa beranjak untuk mengambil ukelele itu, tapi keburu Salwa datang dengan pakaian yang basah.
Ulfa menahan tawanya agar tidak meledak sekarang juga. "Abis nyemplung di mana mbaknya?" ledek Ulfa semakin membuat Salwa menggeram.
"Ini gara-gara lo ya. Coba lo bantuin, pasti nggak gini!"
"Gini, ya, Sawi. Tangan gue udah keriput tiap hari nyuci piring mulu. Mumpung ada lo, kenapa harus gue, ya, nggak?" ucap Ulfa jahil seraya memainkan kedua alisnya.
"Serah lo, deh. Minjem baju lo dong."
Tanpa persetujuan, Salwa langsung mencari baju di lemari Ulfa dan langsung berganti di kamar mandi Ulfa juga. Karena melihat kakaknya pergi ke kamar mandi, Ulfa langsung mengambil ukelele hitam tadi dan membawanya ke balkon, bermain di bawah bintang-bintang.
Udara sejuk langsung menerpa kulitnya. Bintang malam juga banyak bertabur di langit sana. Gadis berpiyama doraemon itu, mendongak menatap bintang yang paling terang di antara seribu bintang lainnya.
Tangannya melambai ke langit. "Hai, Anda! Kamu baik-baik di sana, ya. Nanti kita jumpa lagi. Ulfa sayang sama Anda!" pekik Ulfa membuat Salwa yang di belakang Ulfa mengernyit bingung.
"Heh!" Ulfa terlonjak kaget ketika mendengar panggilan Salwa yang cukup keras.
Ulfa memutar bola matanya malas. "Bisa nggak, jangan hah heh hah heh? Gue punya nama, SAWI! Pengang tau, nggak, telinga gue!"
Salwa menghiraukan omelan adiknya dan ikut duduk di samping Ulfa.
"Gue denger tadi, lo mau jumpa sama Anda, emang dia ke mana?" tanya Salwa yang dari awal tak tau ke mana perginya sahabat kecil adiknya ini.
Ulfa menghela napasnya kasar sebelum ia berucap. "Dia pergi jauh, ke London. Dia janji mau balik tapi sampe sekarang nggak balik-balik. Padahal gue nungguin dia sampe sekarang." Raut wajah Ulfa semakin berubah sendu.
"Ya udah, sih. Capek banget lo nungguin yang belum tentu pasti. Mending fokus ke orang yang sekarang," kata Salwa yang dapat gelengan dari Ulfa.
"Fokus gue udah ke Anda semua jadi susah untuk nyari fokus lain."
Srap!
Salwa menghanduki wajah Ulfa sampai Ulfa memekik. "Gayaan lo. Bahasa lo terlalu berat. Dahlah mau telponan sama pacar. Bye. Sian lo jomblo, hahahaha!"
Setelah mengatakan itu Salwa beranjak masuk. Mungkin benar, ingin mengabari pacarnya.
Ulfa memutar bola matanya malas. "Bucin!" pekik Ulfa yang tak dapat sautan apapaun dari Salwa.
Ulfa kembali bermain ukelele itu sampai rasa kantuk menyerang. Apalagi udara angin malam semakin menjadi. Akhirnya ia juga ikut masuk ke dalam kamar meninggalkan seribu bintang yang kini menatapnya.
📌📌📌
Jam istirahat baru saja berbunyi, membuat semua siswa menjauhi area kelas. Bayu juga ikut keluar tapi bukan ke kantin, melainkan ke lapangan basket untuk mencari sedikit keringat.
Sesampainya di sana, juga banyak dari kelas lain yang mengisi jam istirahat mereka dengan bermain basket juga.
"Gue ikut, ya!" pekik Bayu tanpa sungkan. Entah ia kenal atau tidak, yang penting bermain.
"Masuk!" pekik balik seorang pemuda yang perawakannya hampir sama dengan Bayu. Memang banyak sekali manusia yang sedang di lapangan basket siang-siang begini.
Mereka semua bermain dengan seru, terik matahari pun mendukung untuk jatuhnya keringat-keringat yang keluar. Dan sekarang Bayu merasa lelah dan tenggorokannya sangat kering. Karena juga mau bel masuk, Bayu melepas seragamnya menyisakan kaos hitam sambil berjalan keluar dari lapangan dan duduk di pinggirannya. Banyak beberapa gadis juga memekik hebat ketika melihat ketampanan Bayu yang lebih extra.
Bayu merasa ada yang dingin di pipinya. Ia menoleh mendapati Thalita yang tersenyum dengan membawa sebotol air mineral dingin.
"Nih." Thalita menyodorkan minuman yang ia beli tadi.
Bayu dengan senang hati menerimanya. Kebetulan ia juga sangat haus. "Thanks!"
"Main lo bagus tadi. Kapan-kapan ajarin gue dong," pinta Thalita membuat Bayu mengangguk.
"Atur aja."
"Ya udah kalo gitu gue ke kelas dulu ya," pamit Thalita. Thalita yang baru melangkah, berhenti akibat Bayu memanggil dirinya.
"Ta!"
Thalita menoleh. "Makasih buat ini," ucap Bayu seraya mengangkat botol air mineral yang tinggal setengah isinya.
Thalita mengangguk seraya tersenyum. Di balik itu, Thalita tersipu malu dengan senyum yang terus mengembang.
Di lain tempat, tiga gadis kini berada di belakang sekolah untuk menyegarkan isi otak mereka yang berjam-jam tadi sibuk dengan rumus-rumus.
Ulfa dan Bila duduk, sedangkan Anggi masih setia berdiri. "Ada yang mau dibeli, nggak? Gue mau ke kantin soalnya, keburu bel masuk," tawar Anggi.
"Teh kotak sama roti dua dua, ya," ucap Ulfa yang diangguki Anggi. Kemudian Anggi pergi melangkah ke kantin.
Kini tersisa Bila dan Ulfa. Bila yang sibuk berkabar ria dengan pacarnya, sedangkan Ulfa sibuk dengan ribuan pertanyaan di pikirannya.
"Bil," panggil Ulfa. Bila yang tadinya menatap benda pipih miliknya, kini menatap Ulfa.
"Hoh?"
"Gue sayang sama Anda," ucap Ulfa.
Bila mengernyit bingung. "Lo sayang sama gue?"
Ulfa menggeleng. "Sama Anda."
"Ya gue, kan?" tekan Bila membuat Ulfa kembali menggeleng.
"Lah, tapi tadi anda. Anda, kan, gue. Cuman gue yang di sini, Rohimah," geram Bila. Ingin sekali rasanya menggaruk wajah Ulfa.
Ulfa yang mendengar penuturan Bila terkekeh. Ia lupa, bahwa Bila tak tau menau soal siapa Anda. Yang ia kira, Anda adalah kata pengganti, tapi yang ia maksud Anda itu adalah nama orang, nama sahabatnya.
Ulfa berhenti tertawa, sampai akhirnya berucap, "Bukan, Bil. Anda sahabat kecil gue yang pernah gue bilang itu."
Bila ber oh ria. "Bilang, dong, Rohimah. Kalo gini, kan, ketauan banget gue begonya." Bila mendengus, menatap horor ke arah Ulfa. "Tapi kenapa lo segalau ini, coba? Dia kemana? Meninggal?" lanjutnya asal, sukses mendapat pukulan dari Ulfa.
"Mulut lo, sembarangan. Ya belom, lah."
Ulfa menghela napasnya berat. Raut wajahnya pun ikut berubah sendu. Kalo ia menyebut nama Anda, pasti rindunya semakin bertambah.
"Gue kangen banget tau, Bil, sama dia. Katanya dia bakal balik, bakal peluk gue erat-erat sampe gue sesak napas." Ulfa terkekeh mengingat itu. "Tapi sekarang, satu kabar pun tentang dia nggak nyampe ke telinga gue. Gue pengen nyerah untuk nunggu dia, tapi hati gue nolak dan nyuruh gue tetap nunggu dia. Dan mata yang Bayu punya, ngingatin gue sama Anda. Gue berpikir, apa Bayu adalah Anda dan Anda adalah Bayu?" lanjutnya lagi, Bila masih setia mendengarkan.
"Terus lo nggak coba cari atau hubungin dia gitu?" tanya Bila semakin ingin tau.
"Bahkan gue nggak tau dia di mana, nomer orang tuanya juga nggak ada yang aktif."
Bila seperti berpikir hebat tapi yang aslinya ia tak mengerti. "Lo bilang dia di London. Kenapa lo nggak nyari aja. Ribet banget, sih."
Ulfa memutar bola matanya malas. "Bil, London itu luas, punya kota-kota kecil di dalamnya. Kalo London sebesar kamar mandi lo, ya, gue bisa nyari, lah."
"Iya juga, ya, tapi lo mau nunggu terus? Kalo nggak balik?"
Beberapa menit Ulfa terdiam, seakan pertanyaan Bila seperti musuh untuk dirinya. Ulfa larut dalam pikirannya, dalam ingatannya, dalam perkataan Anda yang katanya ingin kembali, walau kapan pun itu.
Bila yang aneh dengan Ulfa merasa tak enak juga. Apa pertanyaannya salah?
"Fa---" Belum sempat berbicara, Ulfa sudah berbica dulu membuat Bila mengurungkan niatnya.
"Dia balik, kok. Dia janjinya gitu. Dan semoga, dan gue harap dia nepatin janji itu."
"ULFA AWAS!!"
Pekikan dan seseorangyang menarik tangan kedua mereka, membuat Ulfa dan Bila sama-sama membulatkan matanya. Setelah berhasil menjauh dari kursi tadi, satu keranjang sampah yang terbuat dari besi, jatuh dari lantai atas yang mengenai kursi di mana persis Ulfa duduk tadi. Untung Thalita cepat menolongnya, kalau tidak mungkin nyawanya hanya sampai di situ.
Ulfa masih kaget, begitu juga dengan Bila.
"Kalian nggak papa kan?" tanya Thalita khawatir.
"Ng ... enggak. Makasih, ya," ucap Bila yang tersenggal. Sedangkan Ulfa mengangguk lemah.
Tiba-tiba ponsel Thalita berbunyi menandakan ada satu pesan yang masuk. Yang tadinya menatap Ulfa dan Bila, kini beralih menatap ponselnya.
Persiapan sih udah aman, gimana lo-nya aja udah siap atau enggak bekerja.
***
[15/07/20]
To be continued.
Hmm... perasaan Tata dapet pesan misterius mulu. Kira-kira dari siapa dan mau ngapain ya?
Tinggalkan sesuatu untuk kami. See yaaa! 🖤
Aww! Tertaggg! mari-ngopi <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top