19 - Anter Pesanan

"Mau pulang bareng kita, nggak?"

Pertanyaan Bayu tersebut malah mengundang puncak amarah dari Ulfa. Sejak ada gadis di depannya ini emosi Ulfa seperti roller coaster. Apalagi Bayu yang bertindak seakan sangat perhatian pada Thalita. Ulfa sangat tidak suka.

"Gue---"

"Gue duluan," kata Ulfa cepat sebelum akhirnya berlalu dari sana dengan langkah cepat.

Jika tidak segera pergi dari sana, ia takut kejadian saat di kantin tadi akan terulang. Tidak! Ia sama sekali tak ingin ada kecanggungan apapun lagi. Sudah cukup. Thalita memang pilihan yang buruk untuk dijadikan teman.

"Ulfa! Woi, Judis!"

Pekikan dari Bayu sama sekali tak digubrisnya. Langkah gadis itu semakin menjauh saja kala Bayu malah sibuk menggaruk tengkuknya.

"Emm ... gue duluan, deh, Ta. Ada cinta yang harus dikejar, eaaa." Setelah memberikan cengiran lebar, pemuda itu berlari, hendak mengejar Ulfa yang sudah keluar dari gerbang sekolah.

Langkah Bayu yang lebih besar mempermudah pengejaran itu karena sebenarnya Ulfa tak berlari. Gadis itu hanya berjalan cepat sambil menghentakkan kakinya ke tanah. Jujur, ia malah kesal jika Bayu perhatian pada selain dirinya. Argh ... sekarang ia malah khawatir jika dirinya cemburu. Astaga ....

"Lo kenapa, sih? Aneh banget."

Bersamaan dengan interupsi tersebut, Ulfa merasa tubuhnya ditahan paksa lalu diputar menghadap ke belakang. Jika saja gadis itu tak pandai menjaga keseimbangan, maka mungkin ia akan menubruk tubuh jangkung itu. Namun sebelum itu, ia malah terjebak di iris hazel milik Bayu. Iris yang membuatnya deg-degan parah sekaligus menimbulkan pertanyaan yang lantas tak pernah terjawab.

Ulfa cepat-cepat tersadar. Berlama-lama menatap mata itu malah akan membuat jantungnya akan jatuh ke selokan. Masalahnya Ulfa masih butuh jantung.

"Apaan, sih, lo? Gue kenapa emang?" tanya Ulfa balik dengan aksen biasa yang ia pakai. Jutek.

"Gue pikir lo hari ini aneh. Bukan kayak Ulfa," jawab Bayu dengan wajah serius. "Siapapun yang merasuki Ulfa, tolong keluar. Jangan pengaruhin sama hal buruk. Akhlaknya yang udah jelek nanti tambah jelek."

Tangan pemuda itu bergerak untuk memegang kepala Ulfa. Namun, sebelum itu terjadi, sang gadis lebih dulu menepisnya. Euh ... Bayu terlihat seperti tukang santet.

"Gue nggak kesurupan, bego. Nggak usah lebay!" Ulfa memutar bola matanya lalu bersedekap.

Bayu bergidik sebentar. "Ya ... mana tau aja ada yang ngerasukin lo, tapi lo-nya nggak sadar. Kan kita nggak tau juga, sih."

"Ngaco!"

Ulfa berlalu kembali dari sana. Kali ini langkahnya berlari agar Bayu tak dapat kembali mengejar. Jujur, ia masih tak ingin ada Bayu di dekatnya. Walaupun tadi sebelum ada Thalita ia begitu ingin.

Pemuda yang tadinya hendak menggapai tapi tak sampai itu akhirnya hanya berteriak. "Woi, masa gue pulang sendiri, sih? Entar dikira jomblo gimana? Gue, kan maunya pulang sama lo."

"Bodo amat! Pulang aja sama si tali tambang itu," sahut Ulfa sebelum akhirnya masuk ke dalam bus yang baru saja berhenti di depan halte. Meninggalkan Bayu yang mematung di tempat dengan penuh tanda tanya.

Dia kenapa, sih? Pas ada Thalita malah aneh.

Bersamaan dengan hal itu. Bayu berbalik dan mencoba mengabaikan pikiran tentang Ulfa yang menjadi agak aneh. Ia berjalan kembali menuju pekarangan sekolah. Jika ada motor, untuk apa dia pulang jalan kaki?

***

Ting ting ting ting ting ting!

Gadis yang baru saja berganti pakaian itu mendengkus sebal. Ponselnya sedari tadi tak berhenti berbunyi dan malah membuat kepalanya seakan ingin pecah. Dengan sekali gerakan, ia mengambil ponselnya lalu mengecek siapa yang telah memberinya spam chat.

Anggi
Woi, Ulfa! Lo ngebo apa gimana sih? (15)

Bila
ULFAAAAAAA! (37)

Ulfa mendengkus panjang lagi. Spam chat mereka benar-benar tidak berguna. Gadis itu juga sebenarnya malas untuk membalas. Jadi, ia membiarkannya saja. Baru akan meletakkan ponselnya lagi, ia dikejutkan dengan room chat WhatsApp yang mengatakan bahwa ia dimasukkan ke dalam sebuah pesan grup.

Cewek-Cewek Tydack Punya Akhlak 🦄

Hari ini

Bila telah membuat grup "Cewek-Cewek Tydack Punya Akhlak 🦄"

Bila telah menambahkan Anda

Bila
Grup ini khusus kita bertiga. Biar enakan ngomongnya

Anggi
Tekejoed awak tiba-tiba dimasukkan dalam grup

Bila
Gue harap lo nggak kena serangan jantung kalo misalnya gue masukin cogan

Anggi
Parah lo Bil. Kalo cowok lo tau, bisa kena tebas lo

Bila
Orang gue mau masukin cowok gue kok
(*ketawa setan)

Anggi
Kalo gitu gue mau masukin juga

Bila
Admin yang berkuasa
Anda tydack bisa sembarangan

Anggi
Serah dah serah :)

Bila
Ulfa jangan read doang
Gue nggak laik

Ulfa
Bodo!

Anggi
Jangan gitu dong Fa
Ya deh, gue minta maaf soal tadi di sekolah
Dede hilap

Bila
Hooh, gue juga
Qaqa hilap sama kamu dede

Ulfa
Kalian gaje banget tau nggak buat grup kayak beginian

Anggi
Salahin bucinnya Asa

Bila
Tenang dulu gesss
Gue buat grup ini bukan cuma buat ngebucin pacar masing-masing
Walaupun sebenarnya di sini masih ada yang jomblo, ekhem

Ulfa
To the point atau gue out.

Bila
Sabaran, gue lagi ngetik munaroh!
Oke, balik lagi
Jadi, besok kan minggu tuh. Gimana kalo kita refreshing? Jalan-jalan ke taman, ke mall, ke ... GRAMEDIAAA!
Gimana gimana, mau nggak?
Mau dong! Wajib elah
Hayuk dong
Kita jarang banget jalan-jalan bertiga
Jadi besok girls time buat kita

Anggi
Anjir, gue pengen ke gramedddd
Hayuklah. Mumpung besok gue free

Bila
Ulfa gimana? Ayok dong
Ya ya ya ya ya

Ulfa
G

Bila
Ya allah, jawabannya pendek amat
Ayok dong. Jangan ngambek lagi

Anggi
Ulfa plisss
Ya ya ya
Kita beli buku yang lo pengen waktu itu
Ayok dong. Kita udah lama nggak makan es krim bareng

Ulfa
Kalo gue bisa, besok gue kabarin

Anggi
Hiyaaa! Akhirnya
Oke deh. Jangan lama-lama ya
Saran gue sih, bagusnya pergi itu pagi biar jalan-jalannya lamaan dikit

Bila
Setujuhhh
Pokoknya harus jadi perginya
Kalo Ulfa nggak mau ikut, gue jemput pake Bayu

Ulfa
Anj---

Anggi
Dengan begini, dia pasti ikut
Soalnya kan sekarang dimana ada Ulfa di situ ada Bayu

Ulfa
Gue nggak bakal pergi kalo misalnya dia ikut

Bila
Iya iya, jangan ngambek munaroh
Kita nggak bakal bawa Bayu kok
(*kecuali rencana berubah

"Aya, bantuin Mama bentar, dong!" Suara seorang perempuan menyentak Ulfa hingga gadis itu hampir saja menerbangkan ponselnya.

"Iya, Ma. Bentar!" pekik Ulfa balik. Gadis itu mengetik kalimat terakhir di pesan grup tersebut, sebelum akhirnya meletakkan benda pipih itu di meja belajarnya. Setelah itu dia bangkit untuk memenuhi panggilan sang ibu.

***

Gadis dengan sepeda berwarna hitamnya sambil menenteng bungkusan kue pesanan itu menyusuri jalanan komplek perumahan. Saat ibunya memanggil tadi, ternyata Ulfa diberi tugas untuk mengantar pesanan kue pelanggan. Tiga kotak brownis kukus dengan taburan keju akan datang dengan gadis bersepeda.

"Jalan Kenanga nomor sebelas. Jalan Kenanga ... ah, itu."

Matanya berbinar saat melihat sebuah jalan yang di depannya tertulis kalimat yang ia sebutkan. Sembari menyusuri jalan mengayuh sepeda, ia menatap jejeran rumah yang bentuknya macam-macam. Dari yang sangat sederhana sampai yang paling mewah seperti gedung kepresidenan pun ada.

Ulfa menghentikan kayuhannya kala tak juga mendapati rumah dengan nomor sebelas. Gadis memarkirkan sepedanya tepat di depan rumah minimalis berwarna hijau terang. Di depannya ada abang-abang tukang cilok yang sedang bikin pesanan. Mungkin bertanya padanya adalah ide yang bagus.

"Kang, boleh nanya, nggak?" tanya gadis itu setelah berjalan beberapa langkah untuk menghampiri.

Abang tukang cilok mendongak. "Iya, Neng, mau nanya apa?" Ia lantas kembali menunduk, memasukkan beberapa bulatan cilok ke dalam plastik. Ada anak kecil yang sedang menunggunya.

"Emm ... rumah yang nomor sebelas mana, ya, Kang? Kok tadi liatnya dari sepuluh langsung duabelas aja?"

Ulfa sesekali melirik cilok yang sedang diracik oleh abang-abang itu itu. Jika saja ia membawa uangnya, mungkin lidah dan perutnya tidak akan merana seperti ini.

"Oh, itu, tuh." Si abang tukang cilok menunjuk rumah yang ada di seberang jalan. Rumah putih bergaya eropa yang Ulfa pikir mungkin memiliki tiga lantai. "Itu rumah yang nomor sebelas. Angka rumahnya kemaren dicopot karena mau renovasi pagar, katanya."

Ulfa mengangguk. Setelah berucap terima kasih, ia hendak beranjak dari sana dengan menenteng bungkusan kue pesanannya. Sepertinya pemilik rumahnya sedang ingin berpesta hingga memesan kue sampai tiga kotak.

Tanpa pikir panjang, gadis itu hendak menyebrang. Lebih cepat diantarkan, maka lebih cepat dia beristirahat di rumah. Ia sama sekali tidak melihat kanan atau kiri walaupun tahu jika jalanan manapun tidak akan pernah aman.

Hingga akhirnya, sebuah teriakan dan tarikan ke arah ia datang, mengejutkan Ulfa. Gadis itu terkejut sekaligus bingung karena sesaat setelahnya ada tiga pengguna motor yang melajukan kendaraannya dengan kecepatan penuh. Sama sekali tidak berpikir jernih jika jalanan itu adalah jalanan komplek yang bisa saja dilewati anak-anak kecil.

Dengan jantung yang masih berdetak tak karuan, Ulfa menatap gadis yang baru saja menyelamatkannya.

"Lo nggak papa, kan? Ada keserempet, nggak tadi?" tanyanya sambil memerhatikan Ulfa dari atas ke bawah. Kerutan khawatir di wajahnya benar-benar tersirat jelas.

Ulfa membeku untuk sesaat setelah menatap wajah yang sangat tak asing itu. Ia menggigit bibir dalamnya kemudian mengangguk kecil. "Iya, gue nggak papa, kok. Lo nggak papa juga, kan?"

Thalita, yap gadis yang menyelamatkannya adalah Thalita. Ia tersenyum hangat pada Ulfa sebelum akhirnya membalas, "Gue baik-baik aja. Syukurnya tadi gue ada di sini tadi. Lagi pula, kenapa nyebrang nggak liat-liat? Daerah ini memang sering dibuat untuk ugal-ugalan. Soalnya karena nggak ada polisi tidur."

"Makasih udah nolongin gue."

Ulfa tersenyum kaku. Meremas bungkusan kuenya karena seakan dihantam batu besar mengingat kejadian yang ia lakukan untuk Thalita tadi di sekolah. Anggi, Bayu, dan Bila benar. Dia terlalu berlebihan.

Senyum Thalita bertambah lebar. "Nggak masalah. Oh, iya, lo ngapain di kawasan ini? Rumah lo deket sini?"

"Ah, enggak. Ini gue mau nganterin pesanan kue." Ulfa menaikkan bungkusan yang sedari tadi ia pegang. "Rumahnya di depan situ. Makanya gue mau nyebrang."

"Bilang, dong. Astagaaa ...." Thalita tertawa hambar. "Itu, tuh, rumah gue. Dan gue dari tadi nungguin lo karena mama bilang dia pesen kue dan bentar lagi dateng. Gue beneran nggak nyangka kalo kita yang bakal ketemu."

Setelah asik berceloteh ria, Thalita menarik tangan Ulfa untuk menyebrang jalan. Sebelum itu, ia melihat kanan kiri untuk memastikan semuanya aman.

"Masuk dulu, yuk." Thalita hendak menarik Ulfa masuk ke dalam rumahnya. Namun, gadis yang diajak hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Nggak usah, deh, Ta. Lain kali aja. Soalnya masih ada pesanan lain yang mau diantar."

Bohong, Ulfa berbohong. Sejujurnya ia hanya takut menjadi canggung karena telah berbuat hal yang sangat salah. Ia belum siap menghadapi Thalita untuk lebih lama. Rasa bersalahnya akan menjadi-jadi jika ia melangkah masuk ke sana.

Ulfa lantas memberikan bungkusan berisi tiga kotak kue kepada Thalita. Gadis itu menyambutnya dengan senyum kemudian melihat sebentar isi bungkusan itu.

"Kata mama, kuenya udah dibayar. Gue ke sini cuma buat nganterin aja," ucap Ulfa yang seperti mengetahui pikiran Thalita.

Gadis di depannya tersenyum kembali. "Oke, deh. Kalo gitu, makasih, ya. Lain kali jangan lupa mampir, loh."

Ulfa mengangguk. "Gue pamit dulu. Sebelumnya, gue minta maaf untuk kejadian di sekolah tadi. Gue bener-bener---"

"Nggak papa, kok." Ulfa merasakan pundaknya disentuh lembut. Seiring dengan itu, tatapan lembut menerpanya. "Lupain aja. Gue juga udah lupa kalo itu terjadi."

Ada sedikit ketenangan setelah Ulfa mendengarnya. Sebelum pergi, ia memberikan senyum manis kepada Thalita yang tentu saja dibalas balik. Hingga punggung gadis itu tersamar, ponsel Thalita berdenting menandakan ada pesan baru.

Gue baru sampai di Jakarta. Nggak mau nyapa temen lama, nih, ceritanya?

***

[04/07/20]

To be continued.

Hueee... kepanjangan nggak sih? Aku takut yang baca bakal bosen :(
But, sekali lagi aku harap kalian bakalan suka.

Hiyaaa! Tinggalkan sesuatu untuk kami. See yaaa! 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top