17 - Kepingan Puzzle Rasa
"Masalahnya, gue udah ngerasa nyaman sama lo," lirihnya sambil menatap pepohonan yang ada di belakang kedai es krim.
Ulfa yang mendengar ucapan samar dari Bayu itu hanya bisa mengernyit bingung. Ada sesuatu yang aneh kala angin meniup surainya yang bebas. Seiring dengan hal itu, ucapan Bayu membuatnya merajut sebuah harapan lain. Harapan yang mungkin ... membuatnya melupakan rajutan janji yang lain.
"Gue rasa ... kita harus pulang. Harinya udah mulai gelap."
Kalimat itu dengan cepat mengintrupsi Bayu. Membawa pemuda itu kembali dari lautan lamunan yang berisi harapan terpendam. Seiring dengan itu, dilihatnya Ulfa telah bangkit. Meninggalkan meja yang kini hanya tersisa dua mangkuk es krim kosong.
Tiba-tiba ada sebuah dinding kecanggungan di antara mereka. Entah mungkin juga karena perkataan Bayu yang terlalu spontan. Namun semuanya sekarang, keadaan berubah hanya dalam sekejap.
"Mau langsung pulang atau ke tempat lain dulu, nih?" tanya Bayu sesaat setelah sampai di dekat motornya.
"Mau kemana lagi emang?"
Di mata Ulfa, senyum miring dari Bayu kembali terbit. Pasti ada hal aneh yang dia pikirkan.
"Ke hati abang, hayuk, neng!"
Setelahnya, Bayu tertawa kencang. Seperti orang yang kesurupan arwah mbak kukun. Padahal, Ulfa rasa perkataan itu tidak ada lucu-lucunya sama sekali.
"Gue rasa muka lo belum pernah digaplok pake garpu taman. Mau gue praktekin langsung?" tantang Ulfa.
Wajah gadis itu kian berubah memerah. Bayu seakan benar-benar seperti moodbooster-nya. Cepat sekali membuat mood-nya berubah hanya dalam sepersekian detik.
"Mau, dong, dicoba. Tapi ke muka lo dulu, ya?" Dan lagi, Bayu kembali tertawa hingga beberapa pasang mata yang duduk di kedai es krim itu memandang bingung. Mungkin mereka kira Bayu baru saja keluar dari rumah sakit jiwa.
Ulfa mengeram sebentar. Jika saja tidak banyak orang di sana, mungkin gadis itu akan jadi pegulat dadakan. "Tau, ah. Gue mau pulang. Kalo nggak mau nganterin terserah."
"Lah, eneng, gitu aja ngambek. Gimana kalo misalnya abang nembak, ya? Bakal marah nggak?" Bayu menaikkan kedua alisnya, kembali menggoda. Melewatkan wajah Ulfa yang tampak seperti akan mengeluarkan letupan-letupan amarah yang hendak membuncah.
"Jadi ceritanya ngerdus mulu atau nganterin pulang, nih? Gue keburu dimarahin emak!" pekik Ulfa tertahan.
Entah sampai kapan dia harus bersabar. Lelah hidup, lelah batin. Ingin rasanya membanting anak orang. Tapi nanti kalau disuruh ganti, urusannya susah. Nggak mungkin Ulfa buat dulu pakai adonan kue ibunya.
"Oke oke, kita pulang."
Dengan cepat Bayu memakai helmnya. Setelah dirasa Ulfa telah duduk yang pas di jok belakang, pemuda itu lantas melajukan motornya. Membelah jalanan yang tak begitu ramai akibat senja yang kian menggurat gelap.
Tak ada pembicaraan apapun di antara mereka. Hanya terpaan angin senja yang terus saja menggelitik. Suasana jalan raya yang hampir gelap menimbulkan suasana yang dinamakan sejuk.
Ulfa kedinginan. Tanpa sadar, gadis itu memeluk pinggang Bayu dari belakang. Suatu hal yang sangat langka bagi Ulfa jika tidak dipaksa lebih dulu oleh Bayu. Pemuda itu sempat terkejut untuk sesaat. Hingga akhirnya ia tersenyum di balik helm kala menyadari kepala Ulfa telah bersandar di punggungnya.
Perjalanan itu rasanya berjalan sangat cepat. Padahal Bayu baru saja merasakan hal langka yang mungkin entah kapan akan ia dapatkan kembali. Sekarang, motor milik Bayu saja berhenti tepat di halaman depan rumah Ulfa.
Bayu rasakan pelukan yang menghangatkannya sepanjang perjalanan itu terlepas. Jika saja ia bisa menahan, maka akan dilakukan. Pasalnya, ia hanya tak ingin dicap cabul oleh ibu mertua karena memaksa anaknya untuk memeluk lebih lama. Bisa gawat pedekatenya.
"Ada yang kelupaan, nggak?" tanya Bayu begitu melihat Ulfa telah turun dari motor lalu berdiri di sebelahnya.
"Kayaknya nggak ada," jawab Ulfa sekenanya. "Makasih, btw."
"Tapi ... gue rasa lo lupa letakin hati lo di sini."
Bayu mulai lagi. Menunjuk dadanya kemudian tertawa aneh. Ulfa hanya bisa menghela napas. Lelah rasanya dikerdusin mulu tapi nggak dapat kepastian, eh.
"Oke, deh. Gue pulang, ya. See yaaa!"
Sebelum menarik gas motornya, Bayu masih sempat untuk mengacak rambut Ulfa sebentar. Gadis itu sempat terpaku sesaat. Desiran itu muncul dari kepalanya hingga berlabuh kini di jantung. Benar-benar aneh. Alhasil, ia hanya terpaku di sana hingga deru motor Bayu mengalun kembali di telinganya.
Seiring motor Bayu yang kian melaju, seiring dengan jingga yang semakin tergurat gelap, juga seiring angin menggelitik wajahnya, Ulfa merasa seperti membuka sesuatu yang belum pernah ia buka.
Rasa itu.
Adakah harapan?
Ulfa masih mencarinya. Kepingan puzzle yang hilang selama bertahun lamanya. Dan sekarang, Bayu seakan memberi kepingan itu dan menyuruh Ulfa menyusunnya.
Ada bagian dari dalam dirinya yang memaksa untuk menyusun. Sedangkan bagian lainnya malah meminta untuk menunggu kepingan puzzle lainnya kembali. Bimbang itu kembali datang.
Gadis itu hanya butuh menyusun bagian rumpangnya saja. Namun, sekarang ia malah dihadapkan pada pilihan yang benar-benar akan membuatnya gila.
Menunggu sebuah ketidakpastian dari Anda-nya atau berusaha membuka hati untuk Bayu?
***
"Ulfa! Gue capek bilangin anak kecil, ya. Kalo makan itu jangan diacak-acak. Nanti jadinya kayak tai kambing," omel seseorang yang langsung mengintrupsi gadis berambut panjang itu.
Ia yang baru tersadar dari lautan pikirannya langsung mengarahkan pandangan ke piring siomaynya. Euh... Anggi benar. Sekarang benar-benar terlihat seperti kotoran. Pada akhirnya, Ulfa menjauhkan piring itu sedikit darinya. Ia akan muntah.
"Lo galau terus, Maemunaroh. Kenapa lagi? Bayu nolak cinta lo? Atau karena takut rasa lo nggak terbalaskan?" cerocos Bila begitu saja.
Puk!
Leluasa sekali rasanya. Kali ini Ulfa duduk berdampingan dengan Bila yang membuat gadis itu mudah memukul kepalanya. Seperti keadaan ini contohnya. Entah sarapan apa tadi pagi si gadis yang rambutnya dicepol tinggi itu.
"Aduhhh ...," ringis Bila sambil mengusap kepalanya sendiri. "Kalo gue kena anemia, memang lo mau tanggung jawab, Fa?"
"Kayak gue peduli aja," balas lupa tak acuh. Ia lantas menyeruput jus sirsaknya kesal. Seketika rasa masam itu menyengat lidahnya yang membuat ia bertambah kesal.
Anggi yang duduk di depan mereka hanya bisa menghela napas lelah. Dua temannya memang sangat-sangat aneh. Yang satu mulutnya kayak habis makan sendal sekilo, sedangkan yang satu lagi nggak paham sama rasa. Memang dia sendiri yang lebih waras di antara mereka.
Hingga mereka bertiga sadari, ada seseorang yang menarik kursi yang berada di sisi meja di antara Ulfa dan Anggi. Bayu duduk di sana dengan tenang. Menyantap siomay yang dari tadi diangguri Ulfa lantas menyeruput jus sirsak milik gadis itu juga.
Ketiganya masih melotot tak percaya hingga salah satu di antara mereka memekik kencang.
"Eh, tai! Main nyosor aja lo, kambing. Kalo mau ginian beli sendiri, dong."
Ulfa menarik dengan paksa gelas jus yang masih ada di genggaman Bayu. Membuang sedotannya, lantas menegak habis hingga hanya tersisa ampasnya saja.
"Kayak yang lo bilang, siomaynya rasa tai kambing. Kalo jusnya kayak tai yang diawetkan," ucap Bayu santai. Ia hendak mengambil jus jeruk yang ada di depan Anggi. Namun sebelum tergapai, tangannya telah ditepis duluan.
"Beli sendiri, ogeb!" tukas Anggi kemudian menyeruput jusnya. Bila yang masih setia dengan mie gorengnya hanya tertawa saja. Asik sekali menonton pertunjukan gratis.
"Gue mager banget, njir. Maunya diapelin neng Ulfa, bukan dianggurin kayak gini."
"Uhuk uhuk! Demi mamaknya anak ayam, gue keselek sama kerdusannya Bayu. Receh banget, tai," celoteh Bila tanpa sadar. Dengan cepat, ia meneguk segelas air putih di depannya. Setelahnya, ia lantas bernapas lega.
"Keliatan banget lo nggak pernah dibucinin," cibir pemuda itu lantas bersandar di kursi. "Pacar macam apa itu si asap asap itu."
"Asa, woi, ASA!" sungut Bila tak terima. "Dia itu bucinin gue berkelas banget, tau. Apaan, sih? Daripada gini nggak jelas, lebih baik kalian berdua jadian."
Bila menunjuk Bayu dan Ulfa bergantian. Bersama Anggi, gadis itu lantas tertawa ria lalu bertos. Hiyaaa! Kode keras, bro.
"Ogah!
"Boleh juga, tuh."
Ulfa yang mendengar jawaban Bayu mengeram kesal. "Mulut lo minta---"
"Hai, maaf ganggu lagi, hehe."
Sebuah kalimat diiringi bayangan yang menimpa meja membuat keempat pasang mata menatap ke sana. Seperti kemarin, Thalita kembali menghampiri meja mereka. Yang membedakan adalah sesuatu yang dipegangnya. Sebuah kotak bekal yang cukup besar menarik perhatian mereka.
Tanpa ini itunya, gadis berambut coklat sepunggung itu langsung saja duduk di samping Anggi. Membuat mereka yang telah duduk di sana tentu saja merasa kebingungan.
"Gue hari ini ulang tahun," ucapnya dengan wajah semringah. Lebih merekah saat tadi pertama kali dia menyapa. "Cuma mau berbagi sedikit kebahagian aja sama kalian. Soalnya kalo di rumah, mereka sama sekali nggak ada yang peduli sama gue."
Anggi, Bila, bahkan Bayu lantas merubah rautnya menjadi iba, berbeda dengan Ulfa. Gadis itu malah merasa jengah. Mungkin saja Thalita hanya membual agar bisa kembali duduk di sini.
"HBD, ya, sayang. Moga semua keinginannya terwujud," kata Anggi yang ada di sebelahnya. Memberi senyum terbaik lantas menjabat tangan Thalita.
Setelahnya diikuti oleh Bila lalu Bayu yang juga menjabat tangan gadis berambut kecoklatan itu. Anehnya, jabatan tangan itu bahkan lebih lama dari yang lainnya. Jabat tangan sekalian ngerumpi, mah, itu. Ulfa hanya memutar bola mata malas. Huh.
"HBD, Ta. Wish you all the best," ucap Ulfa singkat yang juga menjabat tangan Thalita singkat.
Gadis berambut kecoklatan itu merasa bahwa dari Ulfa semuanya terasa tak ikhlas. Namun, ia dengan cepat membuang perasaan lalu bercengkrama dengan yang lainnya. Mungkin Ulfa memang agak sedikit sensitif. Apalagi dia adalah orang baru di antara mereka.
"Oh, ya. Gue juga bawa kue buatan gue sendiri, loh. Cobain, nih."
Seiring dengan berakhirnya kalimat itu, Thalita membuka kotak bekal yang sedari tadi ia pegang. Semerbak bau manis yang bercampur dengan godaan ingin memakan lantas menggoda mereka semua. Ulfa tertarik, tapi tak niat.
Semua mengambil potongan kue bolu coklat itu. Bahkan Bila yang sedari tadi menatap dengan lapar malah mengambil dua sekaligus. Untung yang punya tidak marah. Hanya tertawa sebentar lalu ikut memakan.
"Ulfa diambil juga, dong. Gue buatnya khusus, loh," ucap Thalita karena menyadari gadis itu tak juga kunjung berniat mengambil.
Alhasil, Thalita sendiri yang mengambilkan lalu meletakkannya di tangan Ulfa. Dengan agak terpaksa, Ulfa menerimanya. Berucap terima kasih lalu memakan tanpa selera.
Ulfa jengah. Semua orang di sekitarnya sepertinya hanya terfokus pada gadis yang kini duduk di samping Anggi. Bahkan Bayu sendiri malah terasa seperti asing kembali. Lebih memerhatikan gadis berambut coklat itu dan bercanda ria dengannya.
Ada berbagai tawa yang terasa kian menyakitkan telinganya. Ulfa merasa ada sesuatu yang harus dia overprotective-kan. Namun seakan, sesuatu itu bahkan tak mau diperlakukan seperti itu.
Ulfa tidak suka Thalita.
Hingga perbuatan gegabah Ulfa membuat segalanya benar-benar berantakan. Teriakan histeris menggema di telinganya hingga kini mereka menjadi pusat perhatian.
Bahkan ... Ulfa sendiri mendapati tatapan Bayu yang tampak kesal. Yang anehnya, gadis itu tak tampak menyesal sama sekali. Hingga teriakan berikutnya membuat Ulfa ingin menangis saja.
***
[27/06/20]
To be continued.
Hueee... semoga kalian ngerti sama akhir part ini. Kalo nggak ngerti, tunggu next part aja kalo gitu. 🤣
Leave something to us. Thanks and see yaaa! 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top