14 - Gulali Rasa yang Pernah Ada

"Lo sebenarnya manis, cuma kalo judes tambah manis aja. Makanya gue suka bikin lo bete."

Ulfa melebarkan matanya lantas melayangkan tatapan tajam.

"Apa lo bilang? Coba ulang, gue nggak denger!"

"Lo itu ... sebenarnya manis, cuma kalo judes tambah manis aja. Makanya gue suka bikin lo bete," ulang Bayu tenang seraya mengambil alih cilok yang berada di tangan Ulfa.

Plak!

Pluk!

Secara bersamaan, cilok yang sudah masuk ke dalam mulut Bayu, keluar begitu saja ketika Ulfa menabok belakang lehernya.

"Sayang!!!" pekik Bayu menatap Ulfa.

"Gue colok ya mata lo, bilang sayang-sayang tapi bercanda, eh ...."

Dengan cepat, gadis itu menutup mulutnya kala menyadari bahwa dirinya telah bicara ngawur. Astagaaa... kenapa mulutnya malah ngikutin kata hati? Sedangkan Bayu, jangan tanya. Di wajahnya telah tersungging senyuman miring.

"Ooohhh, jadi lo mau diseriusin? Ah yang bener? Ya udah, jadi pacar gue aja," ucap Bayu sambil memainkan kedua alisnya.

Malu sekali rasanya. Ia merasa seperti baru saja ditelanjangi karena kebodohan mulut sendiri. Setelah menggeleng keras, Ulfa lantas keluar dari kamar itu sambil memegangi pipinya. Ia merona, parah. Seperti pakai blush on. Upss, dia baper?

"Lah ... aneh banget, tuh, anak."

Setelahnya, Bayu tertawa kencang. Menggema hingga seisi kamarnya kala melihat punggung Ulfa yang hilang di balik pintu kamar.

Bayu meletakkan bungkusan sisa cilok itu di atas nakas. Dengan cepat, pemuda itu mengganti pakaiannya. Dia ada rencana dan mungkin itu bagus. Apalagi jika Ulfa mau.

Sedangkan di bawah, tepat di ruang tamu, Ulfa memegangi dadanya sendiri. Jantungnya terasa hampir mencelos. Jika tidak dipegangi, ia takut nanti bakal lari entah kemana. Akhir-akhir ini, hal itu terus saja terjadi jika Bayu sudah mulai ngerdus.

"Masa gue baper, sih? Sama Bayu?" monolognya.

"Jalan, yuk!"

Suara yang cukup mengejutkan itu membuat Ulfa menoleh. Mendapati Bayu yang sudah rapi dengan hoodie hitam dan celana jeans senada. Uh... tampan?

"Iye tau, kalo gue hensem. Tapi, plisss b aja, dong, ngeliatnya."

Seketika, Ulfa memperagakan orang yang hendak muntah. Baru saja mau dipuji, eh, sekarang minta dihujat.

"Sok iye, lu!"

"Udah, ayok!"

"Kaki lo sakit bego! Jalan pincang gitu," ketus Ulfa kala melihat Bayu jalan tertatih.

"Ciee perhatian. Cihuyyy!" Senyum pemuda itu kembali mengembang. "Tenang beb, nggak sakit, kok. Pincang bukan berarti gue nggak bisa jalan sama lo. Udah, ayok!"

Tanpa instruksi lebih lanjut, Bayu langsung saja menarik Ulfa. Membawa tangan gadis itu tertaut di antara jari-jarinya. Hangat, itulah yang sama-sama mereka rasakan.

Yang membuat senyum Bayu makin mengembang adalah, Ulfa sama sekali tak menolak. Mungkin ia berada pada dilema besar. Di antara terkejut dan juga nyaman.

Keduanya keluar dari rumah beriringan. Menghampiri motor Bayu lantas menaikinya setelah sama-sama memastikan memakai pengaman. Setelahnya, motor itu melaju menjauhi pekarangan rumah bergaya Eropa milik Bayu.

Suasana malam kota Jakarta mulai terasa. Macet juga masih mengiringi. Lampu merah membuat Bayu menghentikan motornya. Bibirnya terangkat membentuk bulan sabit. Wajah teduh Ulfa terlihat jelas dari kaca spion. Ulfa yang merasa di perhatikan kini langsung melihat ke arah depan. Sudah ada Bayu yang melihat dia duluan.

"Iya tau. Gue cantik, kan?" Memutar bola matanya.

Bayu terkekeh. "PD banget lo, Munaroh!"

Setelah mengatakan itu, lampu merah sudah berganti dengan hijau. Sebelum menancapkan gas, kedua tangan Ulfa ia tarik untuk melingkar di perutnya. Sontak membuat Ulfa melotot.

"Biasa aja!" pekik Bayu yang langsung menjalankan motornya.

Mana bisa gitu. Ini jantung gue mau disko, Anggi!

📌📌📌

Bayu menghentikan motornya di depan keramaian. Tepat di barisan motor berjejer rapi. Yap, Bayu mengajak Ulfa ke pasar malam. Tempat di mana banyaknya wahana dan berbagai jajanan pasar yang dijual. Percayalah, kini wajah girang Ulfa terpancar jelas di sana.

Tanpa babibubebo dan tanpa menunggu Bayu, Ulfa langsung saja masuk ke dalam. Bayu menganga tak percaya.

"Gila! Muka gans gini aja ditinggal. Gimana kalo buriq?" ujar pemuda itu pada dirinya sendiri sambil terkekeh geli. Ia lantas berjalan, menyusul Ulfa yang mulai menjauh.

Sebelum berjalan lebih jauh, Bayu menoleh menatap tukang parkir. "Pak, jagain moge saya, ya."

"Siap, atuh! Sok mangga mainin wahananya. Jangan lupa pacarnya di jagain," balas bapak itu dengan ramah.

Bayu menghentikan langkahnya,  memutar balik. Kini ia berhadapan dengan pak tukang parkir. Menggaruk tengkuknya. "Emm... dia bukan pacar saya, Pak, tapi calon." ucapnya sangat percaya diri ditambah bumbu songong.

"Iya, sok atuh. Pokoknya kalo balik ke sini lagi, sudah jadian!"

"Siap! Saya nyusul calon, ya, pak!" Bayu langsung masuk lebih dalam ke area pasar malam.

Di sisi lain, seorang gadis cantik menatap dengan mata berbinar aneka jajanan yang terdapat di tempat itu. Matanya juga asik ke kanan dan kiri melihat wahana-wahana yang tengah beroperasi. Ulfa. Ia kemudian berjalan semakin dalam, memasuki area pasar malam, sampai ia tersadar bahwa ia jalan sendirian.

"Eh, si anak sapi ke mana?" Ulfa kembali melihat ke arah luar. Sama sekali tak melihat batang hidung Bayu.

"Lah, mana? Bukannya tadi ke sini bareng?"

"Ah, bo---" Ketika badannya sudah berputar, ucapannya pun berhenti.

"Nyariin gue?"

Hanya beberapa senti saja jarak di antara kedua orang tua itu. Hal tersebut sukses membuat jantung Ulfa hampir jatuh.

Dia belom nyium gue, kan? batin Ulfa panik.

"Gue nggak akan nyium lo sebelum dapat izin." Bayu menjauhkan wajahnya dari hadapan Ulfa.

Dia, kok, tau pikiran gue, sih?

"Si ... siapa juga yang mikir gitu. Sok kecakepan lo!" tandas Ulfa.

"Oh berarti lo mau gue cium sekarang?" Bayu memainkan kedua alisnya. Ulfa gugup seketika.

"GILAK!"

Ulfa langsung berjalan diikuti Bayu yang terkekeh di belakangnya. 

"Cup cup, jangan ngambek dong, RATU JUDES! HAHAAH!" Bayu langsung merangkul Ulfa.

Mereka terus saja berjalan, mengelilingi pasar malam. Sampai mereka berhenti tepat di depan odong-odong.

"Berani naik itu, nggak?" tantang Bayu seraya menyenggol tubuh Ulfa.

"Dih, sok nantangin lu. Berani, lah!" ucap Ulfa yakin.

"Yakin? Itu untuk anak-anak, loh."

"Yakin lah!" jawab Ulfa setengah yakin sebenarnya.

"Ya udah, ayok. Tunggu sini, gue beli karcis dulu sama abang-abangnya." Ulfa mengangguk dan Bayu langsung pergi membeli karcis.

Kini Bayu sudah membawa dua karcis. Tanpa lama lagi, mereka langsung menaiki odong-odong. Dan benar saja firasat Ulfa tadi, pasti banyak orang yang melihat mereka. Seperti sekarang, banyak yang melihat mereka.

"Malu lo? Sok-sokan sih, HAHAH!" ucap Bayu tertawa yang kini sudah duduk di samping Ulfa.

Ulfa menatap tajam. "Nggak lah! Enak aja. Gue, mah, saking cintanya anak-anak sampe mainannya pun gue naikin." Ngomong apa dia ini? Ngawur macam apa?

"Kalo anak kita? Lo cintai nggak?"  Bayu menoel pipi Ulfa membuat sang empunya merasa panas dingin.

"Sarap!" Bayu hanya tertawa melihat wajah Ulfa yang kian memerah.

Odong-odong mulai berjalan. Seketika Ulfa benar-benar merasakan menjadi anak kecil. Tertawa lepas melihat odong-odong terus berjalan.

"Woy lo dah gede! Seneng banget, elah," pekik Bayu. Ulfa hanya memeletkan lidah dan terus saja tertawa.

Odong-odong yang tadi berjalan, kini berhenti karena sudah waktunya. Ulfa turun dengan wajah yang ditekuk.

"Woy, judes! Masa lo gitu aja cemberut sih," ucap Bayu seraya merangkul Ulfa.

"Perasaan gue baru naik deh, nape udah berhenti aja sih? Ha? Heran!"

"Bangke, lo uda lama naik itu odong-odong, Ulfa! Dalah yok beli gulali aja, mau kagak? Nggak terima penolak!" Bayu tertawa dengan tangan yang mencubit hidung Ulfa.

"Aya! Jangan cemberut ih,"  ucap Anda merangkul Aya.

"Gimana nggak cemberut, masa odong-odongnya cepet banget sih berentinya. Padahal kita uda lama mainkan, Ndaa." Anda tertawa lepas melihat tingkah sahabatnya ini.

"Aya, tadi tu udah lama tau kita muter pake odong-odongnya. Kamunya aja yang tadi asik sendiri. Uda ih jangan cemberut kita beli gulali aja. Yok!" Sebelum berjalan, Anda menyempatkan mencubit hidung Aya sampai gadis itu meringis dan tertawa.

"Woy! Bengong aja!" Ulfa terlonjak kaget. Bayu mirip Anda, pikirnya.

"Ah, nggak."

"Ya udahlah, yuk!"

Mereka berdua berjalan bersama masih dengan posisi tangan Bayu yang merangkul Ulfa. Sampai di depan penjual gulali, Bayu langsung membeli gulali, dan menyuruh Ulfa menunggu saja. Duduk duduk di salah satu bangku yang ada di sana.

"Kok beli satu, sih?" Bayu datang dengan membawa satu gulali berukuran besar.

"Rakus banget lo mau lebih dari satu," sarkas Bayu.

Ulfa memutar bola matanya malas. "Nggak gitu juga. Awas aja kalo gue makan lo minta!" Ulfa langsung merebut gulali dari Bayu.

"Gue beli satu biar kita tambah romantis, dong," ucap Bayu membuat Ulfa ingin memuntah semua isi perutnya.

"NAJIS!" 

"Duduk sana, lo mau makan terus ditabrak?" Ulfa menggeleng seraya menggigit ujung gulalinya.

Bayu hanya tersenyum, dan menarik  sebelah tangan Ulfa, lebih tepatnya digenggam. Ulfa tak menghiraukan, fokusnya hanya ke gulali saja.

"Duduk!" Ulfa duduk, disusul oleh Bayu di sebelahnya.

"Mau, dong," ketus Bayu.

Ulfa memberhentikan acara makannya. "BIG NO!" tegas Ulfa.

"Isss, lo jahat banget, sih."

"Siapa suruh beli satu!" judes Ulfa.

"Gue beli satu karena nggak ada duit lagi," bohong Bayu. Sebenarnya masih banyak duitnya untuk membeli gulali saja, tapi entah mengapa rasanya ingin makan berdua biar uwu.

Ada rasa tak enak di hati Ulfa. Memakan sendiri gulali itu. "Ya udah, gue kasih, asal lo mintanya yang manis ke gue."

"Ulfa cantik, manis, sayang ... eh, minta dong." Bayu mendrama hanya ingin gulali itu. Aneh dirinya ini.

"Nah, aaa ...."

Ulfa memberikan sejumput gulali ke depan mulut Bayu. Seakan memberi instruksi agar pemuda itu membuka mulutnya lebar-lebar.

Eh anjir, gue disuapin, nih? batin Bayu terkekeh.

Tanpa babibu, Bayu langsung melahap gulali dari tangan Ulfa. Percayalah, gulali itu memiliki rasa yang berbeda kalo dari tangan Ulfa.

"Kayaknya ini kemanisan, deh," ucap Bayu seraya mengunyah-ngunyah.

"Apaan? Orang biasa aja."

"Ini manis, karena gue makanya sambil liat lo!" Bayu terkekeh setelah mengatakan itu.

"Bay, gue jijik asli!" Ulfa bergidik ngeri. Tapi tidak dengan hatinya, ia tersenyum di sana pasti.

"Katanya, nggak suka sama Bayu, tapi suap-suapan. Si Ulfa bacot banget."

***

[17/06/20]

To be continued.

Kayaknya Bayu pangen dipanggang deh. Tapi nanti takutnya singa Ulfa ngamuk, wkwkw.
Kayak kalimat terakhir itu. Kira-kira pemikiran siapa yang mewakili kita semua itu, ya? 🤣

Leave something to us. Thanks and see yaaa! 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top