13 - Sisipkan Cilok untuk Dimakan
Riuhnya kantin akan langsung menyambut siapa saja yang baru menjejakkan kaki di sana. Jika sanggup, kalian harus mengempiskan sedikit badan dan menutup telinga rapat-rapat.
Berbeda dengan seorang gadis berambut panjang yang tengah duduk bersama dua sahabatnya. Wajah murungnya membantu tangan membunyikan sendok ke piring hingga menimbulkan suara yang cukup menganggu.
"Bising, ah, Fa. Kalo nggak mau makanannya, buat gue aja. Sayang banget gitu diaduk-aduk nggak jelas."
Perkataan Anggi memang langsung membuat Ulfa berhenti. Namun, rautnya masih sama dan dia seperti tak berniat memakan nasi gorengnya lagi.
"Woi, kang galau. Nggak usah murung gitu. Entar pulang sekolah, kan ketemu sama tuh bule. Nah, peluk dia biar rindu lo pudar," cetus Bila sesaat setelah menatap Ulfa. Ia kembali melahap mie ayam di depannya.
"Apaan, sih?" tanya Ulfa setengah bingung setengah tak terima. Mata yang tadinya tak berniat menatap siapapun sekarang menajam pada Bila.
Bila menaruh sendoknya di mangkuk. Mengangkat tangannya ke udara. "Sans atuh, Maemunah. Mukanya jangan kayak singa lapar gitu. Gue, kan, cuma ngasih solusi supaya lo nggak galau lagi."
"Tumben lo bisa ngasih solusi?" Anggi memukul kepala Bila. "Biasanya lo nyari masalah mulu."
Bila memberenggut sambil mengusap kepalanya baru saja dipukul. "Yeee... gue nggak suka cari masalah, ya. Cuma suka bikin orang naik darah aja."
Ulfa terdiam, menunduk. Apa benar dia terlihat galau? Tidak! Sebenarnya ia hanya sedikit merasa bersalah. Doa bodohnya kemarin membuat ia sekarang menjadi seperti ini.
Rasanya ada yang aneh saja jika Bayu tidak menganggunya. Ada yang hambar. Seketika sepi menyelimutinya padahal beberapa waktu lalu ia berharap pengganggu itu segera pergi.
Padahal, rasa ini hampir sama ketika ia kehilangan sahabatnya.
Anggi menatap Ulfa yang termenung di depannya. "Lo kenapa lagi, sih? Udah, ah. Bayu pasti juga nggak kenapa-napa, kok."
"Gue ... cuma ngerasa bersalah aja," gumamnya yang hanya bisa didengar kedua sabahatnya.
"Ya, minta maaf, dong," sahut Bila santai. Sehabis melahap mie ayamnya, sekarang gadis itu beralih pada sebungkus coklat yang tadi ia beli sebelum duduk.
Ulfa menghela napas gusar. Terlihat mudah, tetapi terasa tidak. "Susah."
"Jangan dibawa susah makanya. Egonya turunin dikit," kata Anggi dengan senyum tipis.
"Ho'oh." Bila menyahut dengan mulut penuh dengan roti coklat. "Kalo ego kalian sama-sama tinggi, nanti nggak imbang, dong. Pasangan itu saling melengkapi, kan, ya. Gue pengen liat Ulfa pacaran. Nyesek sendiri gue liatin dia jones."
Puk!
Bukan sekali, tetapi Bila mendapat dua pukulan sekaligus di kepalanya. Gadis berkuncir dua itu menatap kesal Ulfa dan Anggi yang beraut lebih masam.
"Mentang-mentang lo udah punya pacar, Maisaroh," ketus Anggi.
"Huhu... kalian suka banget mukulin kepala gue. Ntar gue jadi jenius, kapok, loh."
Bukannya membalas pernyataan Anggi, Bila malah sibuk membelai kepalanya. Semoga saja ia tidak geger otak akibat terus menerus mendapat bogem mentah di kepala.
***
Berkali-kali Ulfa menghela napas panjang. Kakinya sudah menapaki teras rumah bergaya Eropa itu. Rumah siapa lagi jika bukan rumah Bayu.
Seperti pesan pemuda menyebalkan itu, Ulfa telah menenteng sebungkus bubur dan ... tentu saja cilok. Padahal sebenarnya orang sakit tidak boleh makan cilok. Tapi, ya sudahlah.
Setelah menekan bel beberapa kali, seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Tampaknya ia adalah ART di rumah tersebut. Ulfa lantas dibawa ke lantai atas tempat di mana kamar Bayu berada.
"Den, ini pacarnya udah dateng," ucap wanita paruh baya itu saat memasuki kamar.
Ulfa mendelik dengan dahi berkerut. Sedangkan Bayu berusaha sekeras mungkin menahan tawanya.
"Enggak, Bi. Saya bukan pacarnya. Saya cuma temen doang," ralat Ulfa cepat.
Wanita berbadan agak gempal itu tertawa. "Semua juga selalu berawal dari temen, Neng. Bibi pamit dulu, ya, Den, Non."
Ulfa menatap kepergiannya dengan renungan. Hari ini, entah berapa kali ia terus merenung. Berbagai persepsi muncul di kepalanya.
Tanpa sadar, ia seperti mengiyakan perkataan Bibi tadi. Semua memang berawal dari pertemanan. Bahkan rasa yang sekarang tumbuh pada Ulfa untuk Andanya juga berawal dari pertemanan.
Namun, akankah berakhir sama seperti dia dan Bayu?
"Woi, Judis! Lo mau jengukin orang sakit atau cuma mau matung di situ doang?" ucap Bayu yang saat itu telah bersandar di kepala ranjangnya. Menatap Ulfa yang kemudian berjalan sedikit gugup ke arahnya.
Gadis itu duduk di bibir ranjang. Jujur, dia merasa sangat canggung saat ini. Ia sama sekali tak pernah kehabisan kata. Hanya kadang malas bicara.
Namun kali ini, situasi seperti mengambil alih cara bicaranya.
"Keadaan lo gimana? Kok bisa sampai nggak sekolah gini?" tanya Ulfa dengan tatapan lurus.
Ia sama sekali tak memandang Bayu. Dari nada bicaranya, tertangkap ada nada kepedulian di sana.
Bayu tersenyum tipis. "Cuma kecelakaan kecil, kok. Kata dokter gue cuma agak demam jadi nggak fokus gitu."
Tanggapannya hanya anggukan kecil. Pemuda itu sedikit bingung sebenarnya mengapa Ulfa cukup berbeda. Biasanya ia selalu melontarkan kata-kata pedas yang membuat orang naik darah. Sekarang, ia seakan berubah menjadi sosok kalem.
"Gue ... minta maaf," lirihnya yang terdengar samar. Bayu sampai memerlukan waktu beberapa detik untuk menelaah dengan jelas kalimat itu.
"Gue nggak salah dengar, kan?" Bayu memastikan.
Ulfa menatap langsung ke mata berwarna hazel itu. "Gue bener-bener minta maaf. Gara-gara doa gue semalem, lo jadi celaka gini."
"Jadi ceritanya ... lo khawatir, gitu?" Bayu tersenyum kecil. Uhhh... mengapa rasanya senang sekali saat ada orang asing yang memerdulikanmu. Namun, apakah pantas Ulfa disebut asing?
Baru saja benar-benar ingin bersimpati, gadis itu malah ditodong dengan pertanyaan yang membuatnya ... kesal.
"Gue cuma dihantui rasa bersalah doang."
"Tapi nggak menampik kalo khawatir juga, kan?" todong Bayu dengan netra mereka yang masih saling beradu. Memastikan di dalam sana bahwa pernyataannya memang benar.
Ulfa hanya diam, memutus kontak mata itu dengan menunduk. Bayu tidak salah. Dia memang khawatir dan sama sekali tak tahu mengapa.
"Intinya lo mau maafin gue nggak, sih?" ucap Ulfa yang sekarang malah kesal.
Bayu sempat mengernyit. Suasana hati gadis di depannya memang selalu berubah dengan cepat. Sebentar kalem, sebentar jutek lagi. Padahal sebenarnya, Bayu ingin Ulfa dalam mode bucin. Untuk dirinya tentu saja.
"Minta maaf tapi maksa. Bisa emang?" Bayu menaikkan kedua alisnya.
Gadis berambut panjang itu menghela napas berat. Ia mengusap dahinya yang mulai berkeringat padahal AC di ruangan itu hidup.
Bayu pikir, Ulfa akan membalas argumennya. Nyatanya, gadis itu berdiri seperti hendak pergi.
"Gue mau pulang. Cepet sembuh. Itu gue udah bawain ciloknya." Ulfa menunjuk dua bungkusan di atas nakas yang tadi ia bawa.
"Loh, kok pulang, sih?" ucap pemuda iu bingung. Ia hendak bangkit, tetapi kakinya masih cukup nyeri.
"Gue lagi males berdebat."
"Kalo lo pulang, gue doain nilai lo turun semua." Perkataan Bayu sontak membuat Ulfa berbalik, menatap bingung.
Gadis itu hanya memutar bola mata malas. "Nggak akan ngaruh doa begituan."
"Lo meragukan doa orang yang ternistakan, ya?"
Saat Ulfa akan berbalik pergi lagi, Bayu tersenyum sambil menaikkan kedua alisnya. Sangat berharap jika Ulfa akan berbalik dan tetap tinggal untuk beberapa saat lagi.
Helaan napas berat terdengar. Ulfa dengan terpaksa kembali duduk di ranjang. Menatap datar Bayu yang tersenyum secerah mentari sore.
"Jadi mau lo apaan?" cetus Ulfa begitu saja. Tiba-tiba rasa ibanya menguap dan digantikan kembali dengan rasa kesal.
"Lo mau maaf dari gue, kan?" Bayu menaik-turunkan kedua alisnya. "Kalo gitu, suapin gue ciloknya."
Gadis itu mendelik. "Punya tangan dua nggak digunakan, buat apa? Bagus potong aja, masukin kulkas, dijadiin sop."
Bayu mengulurkan tangannya. Tak lupa ditambah dengan senyum semringah. "Nih, potong. Jadiin sop, tapi harus lo yang makan."
Lagi, lagi, dan akan terus begitu, Ulfa menghela napas panjang. Menangani orang dengan ampere sedikit rusak memang butuh tenaga yang lebih ekstra. Jadi, ia hanya harus menyiapkan obat darah tinggi saja nanti.
Pemuda itu menarik kembali tangannya. Memberi kode dengan jari yang menunjuk ke mulutnya yang menganga. Sesekali juga menunjuk bungkusan yang ada di atas nakas.
"Suapin gue. Laper, nih. Pengen cilok."
"Kayak orang hamil aja lo. Ngidam!" balas Ulfa ketus.
Membuka bungkusan itu, dia kemudian menyuapkan sebuah cilok ke dalam mulut Bayu dengan kesal. Jika saja membunuh tidak dosa, maka ia akan lakukan sekarang.
Tetapi, melihat Bayu celaka karena doanya saja telah membuat Ulfa ditelan rasa bersalah. Bagaimana dengan membunuh?
"Mending ngidamnya pengen makan cilok. Kalo gue pengen meluk lo gimana? Yakin bisa ngabulin."
Masih sama, Bayu terus saja memberikan ia senyum miring dan alis yang naik turun. Lama-lama, ia ingin balikkan tempat tidurnya dan membuat Bayu terjebak di sana. Memuakkan!
"Dah habis." Bayu menunjukkan mulutnya yang sudah kosong. "Suapin lagi," katanya dengan suara seperti anak kecil.
Ulfa memberikan suapan lagi. Selama itu pula, ocehan-ocehan tak jelas dari Bayu membuat kepalanya sakit. Ia bertahan hanya untuk sebuah maaf. Jadi, harus menulikan telinga lebih lama.
Gadis itu menunjukkan bungkusan bekas cilok yang hampir tak terlihat lagu isinya. Bayu tahu bungkusan itu masih berisi beberapa cilok lagi. "Udah habis, kan? Lo maafin gue, kan? Udah, ya, gue mau pulang. Tapi kalo nggak maafin juga gapapa."
Ia hendak bangkit. Namun, Bayu menahan tangannya dengan cepat. Ulfa menoleh dengan malas. Mendapati Bayu dengan tatapan tak terbaca.
Ulfa mengernyit sesaat. Hingga saat Bayu melontarkan kalimatnya, sesuatu yang ada di dalan sana seperti hendak meloncat keluar dari sarangnya.
"Lo sebenarnya manis, cuma kalo judes tambah manis aja. Makanya gue suka bikin lo bete."
***
[14/06/20]
Hai, hai, hai!
We hope that you all always in the good health :)
Bagian ini kepanjangan nggak sih?
Cuma nanya aja :'v
Leave your love for us, please ☆
See yaaa! 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top