12 - Ketika Doa Terkabul

"Say the word, on my way. Yeah babe, yeah babe, yeah babe. Any night, any day. Say the word, on my way. Yeah babe, yeah babe, yeah babe. In the morning or late. Say the word, on my way. Emm ... yeah babe."

Langkahnya sangat-sangat santai sambil bersenandung ria. Walaupun telah mengetahui dirinya telat, Ulfa seakan tak peduli.

Bukan tanpa alasan Ulfa datang terlambat. Semalam ia maraton membaca novel tanpa memikirkan waktu yang akan ia pakai istirahat. Berakhirlah ia tidur jam dua malam demi menghabiskan ratusan halaman dalam satu malam.

Apapun demi novel tercinta, akan Ulfa lakukan.

Gadis itu bernyanyi dengan suara merdunya, melewati kelas-kelas yang membuat beberapa penghuninya melirik ketika Ulfa lewat.

Bel sudah berbunyi 10 menit yang lalu, tetapi mengapa dia bisa masuk? Dengan keahliannya memanjat, dengan lihai ia gunakan untuk masuk ke dalam sekolah dari tembok belakang.

"Lho, kenapa kamu baru datang? Terlambat?" pekik Bu Tari yang tak sengaja melihat Ulfa berjalan santai. Kebetulan juga ia berkeliling karena hari ini guru killer itu piket.

"Mampus," batin Ulfa yang langsung memberhentikan langkahnya.

Ulfa membalikkan badannya. "Eh, ibu," jawab Ulfa dengan menyengir.

"Terlambat?"

"Oh enggak bu, itu anu ...."

"Anu apa?" Bu Tari menaikan satu alisnya menyelidik.

"Ah ... iya, itu, nggak terlambat, Bu. Tadi itu lagi sakit perut, jadi ke kamar mandi dulu. Eh, pas mau ke kamar mandi, udah bel. Jadi, saya ke kamar mandi aja dulu, daripada saya kecepirit di kelas bu, hehe," terang Ulfa yang sudah jelas mengada-ngada. Bu Tari yang mendengar itu lantas berekspresi jijik.

"Ya udah, masuk!"

Ulfa mengangguk, langsung berlari kecil menuju kelasnya. Sedangkan guru killer itu mulai keliling lagi menjalankan tugasnya.

Sampai di depan kelas, Ulfa langsung saja mengetuk pintu untuk permisi masuk ke dalam.

"Pagi, Pak," sapa Ulfa kepada Pak Talas yang sedang mengajar pelajaran Bahasa Indonesia.

Pak Talas menoleh, begitupun dengan yang lain. "Kenapa baru datang? Sini masuk!" Ulfa melangkahkan kakinya memasuki kelas dan langsung berdiri di samping Pak Talas.

"Apa alasan kamu terlambat di kelas saya?" tanya Pak Talas langsung.

"Itu, Pak, emmm ... tadi itu lagi sakit perut, jadi ke kamar mandi dulu. Eh, pas mau ke kamar mandi, udah bel. Jadi, ya udah, saya ke kamar mandi aja dulu, daripada saya kecepirit di kelas, hehe," jawab Ulfa yang masih sama dengan alasan ketika bertemu Bu Tari.

"Ya udah, tapi sebelum duduk, kamu harus bacaain puisi spontan kamu."

Ulfa membelalak. Dirinya tak pintar sangat tak mahir dalam puisi. Apalagi dulu pernah ia membacakan puisi dan berakhir ditertawakan teman sekelasnya. Seperti sekarang, padahal Ulfa belum membacanya, tetapi sudah ada aja yang menahan tawa, bagaimana jika sudah dibaca? Membludak kali, ya?

"Tapi saya nggak bisa, Pak."

"Ya sudah sih, kalo mau ya, kerjain, kalo nggak, kepaksa nilai ulangan harian besok kamu nggak ada walaupun kamu ikut serta dalam melaksanakannya." Ulfa menelan ludahnya banyak-banyak. Ah, guru ini suka sekali bermain nilai.

Dan finalnya, Ulfa mengangguk mengiyakan. Ulfa menarik napasnya dalam-dalam. Memejam erat hendak mengusir gugup yang tiba-tiba melanda.

Berharap saja semoga teman sekelasnya tidak tertawa. Jika itu terjadi, mungkin Ulfa harus bermental lebih baja.

"Kamu tau? Banyak yang ingin kusampaikan hari ini
Banyak kata-perkata yang ingin kuucapkan detik ini

Membangun kita yang dulu
Menyemikan rasa yang sempat tumbuh

Dulu, saat aku dan kamu bersama
Juga dulu saat tawa kita masih ceria
Kala sendu bukan alasan berpisah
Saat musim semi yang ada masih terasa indah

Tapi rasa ku sulit, bahkan sangat
Kau tak ada di sini,
Lantas... bagaimana caraku membangun kita yang dulu?

Kata rindu, hari ini terucap lagi
Rindu berbincang hingga larut,
Tertawa di sela huruf,
Berdebat di sela tawa,
Bahkan perhatian pun ada di sela gurau.

Kamu ... aku rindu, kemarin, hari ini dan selamanya."

Ulfa menyelesaikan puisinya. Perlahan, matanya membuka. Harap-harap cemas jika saja tawa akan menggema di telinganya.

Sayangnya, yang ia dapati hanya keheningan. Tak ada yang melontarkan suara barang sekecil apapun.

Hingga deritan meja terdengar, di saat itulah Ulfa juga mendengar tepuk tangan. Mulai dari seorang dua orang, hingga seisi kelas memberikannya untuk Ulfa.

Ia sempat tercengang. Tidak ada yang tertawa dan semua memberi tepuk tangan? Wah ... ternyata Ulfa ini hebat juga berpuisi.

"Woi, Fa! Dalem banget ini woi!" terian Bono yang diangguki semua.

"Ulfaaa, bagus banget! Gue terharu, lho, ini. Biasanya lo bikin puisi humor. Ini tumben lo bisa ngebucin. Huhu ...." Bila yang menyahut di belakang. Tangannya di arahkan ke pelupuk matanya seperti hendak menghapus air mata.

"Iya, Fa. Baru kali ini kamu bisa berpuisi dengan spontan seperti ini. Bapak suka puisinya." Ulfa hanya tersenyum kikuk. Kemudian pak Talas langsung mempersilakan Ulfa untuk duduk.

Ulfa melangkah menuju kursinya. Satu yang ia sadari, teman barunya tak ada.

Pemuda yang ia sebut songong itu tidak ada di tempatnya. Ia sengaja tak hadir atau sakit sesuai dengan yang ia harapkan kemarin?

Ulfa menjatuhkan bokongnya ke kursi tempat ia duduk, kemudian menoleh ke kanan melihat Bila dan Anggi.

"Bayu nggak datang?" tanya Ulfa yang membuat Anggi dan Bila menoleh yang tadinya sedang melihat sesuatu di ponsel Anggi.

"Enggak. Sakit." Dua kata yang terucap dari bibir Anggi membuat dirinya merasa bersalah. Apa benar, perkataanya itu bisa menjadi kenyataan?

"Sakit?" ulang Ulfa.

"Iya, nape? Kesepian? Khawatir?" Bila terkekeh setelah mengucap itu.

Ulfa memutar bola matanya. "Hishh! Ya kali. Eh, tapi btw, kemarin gue doain dia sakit sih, kok jadi beneran ya?"

"Wah parah lo, Fa! Tanggung jawab lo, ish ... ishh tak patut!" Anggi menggeleng.

"Tengokin sana!" timpal Bila.

Ulfa hanya diam. Kemudian ia kembali duduk dengan sempurna.

"Masa iya, gue jenguk, sih? Kan nggak tau rumahnya," batin Ulfa.

Ting!

Ponselnya berbunyi. Untungnya tak ada yang menyadari karena semua sibuk memerhatikan penjelasan Pak Talas. Buru-buru gadis itu mengambil ponselnya dari tas dan melihat isi pesan masuknya.

+6287880333xxxx

Mau jenguk tapi nggak tau rumah? Gengsi, mbak mau nanya? Wkwkwk
Yauda kerumah, jalan Kangguru blok L

Bawain cilok ya, gue pengen!

- Bayu yang ganteng 😎

Ulfa yang mendapat pesan itu mengernyit. Kenapa pemuda itu bisa tahu nomor WhatsApp-nya? Juga mengapa Bayu seperti cenayang bisa membaca pikiran orang?

Mengerti sesuatu, Ulfa kembali menoleh pada Bila dan Anggi.

"Kalian?"

"Hehe." Anggi menyengir, membuat Ulfa mendengkus.

📌📌📌

Di tempat yang berbeda, seorang pemuda tengah tiduran di atas kasur miliknya. Karena ucapan seorang gadis, alhasil dia terbaring lemah sekarang.

Setelah dari rumah Ulfa kemarin, Bayu yang tengah menggendarai motor, tidak fokus dan hampir menabrak seorang nenek. Akhirnya ia mengelak dengan menabrakan motornya ke trotoar dan membuat dirinya terjatuh dari sana. Itu sebabnya ia tak bersekolah sekarang.

Ting!

Satu notifikasi membuatnya mengambil ponsel yang berada di atas nakas.

+6283123545xxxx

Weh? Sakit? Karena kataan Ulfa kan wkwkw

Gue Anggi. Itu Ulfa mau jenguk tapi gengsi sih, mending lo chat kasi alamat lo.

*send a number phone.

Btw, sayang banget lo nggak datang. Ulfa tadi keren parah si bisa buat puisi.

*send a video.

Bayu tersenyum sendiri melihat gadis judes itu menutup matanya dan mencengkram kuat roknya. Membaca bait perbait tanpa ragu. Apa yang dia alami sampai bisa selancar itu?

Ia beralih ke room chat Ulfa yang masih kosong. Hendak menyapa kalau-kalau memang gadis itu tak tahu rumahnya.

Ia mengetikkan pesan sambil tersenyum sendiri. Beruntung tak ada seorang pun di kamarnya sehingga bisa melihat kegilaan pemuda itu.

"Hehe ... nggak tau kenapa, kayaknya gue udah rindu lo aja, Judis."

***
[10/06/20]

Hola aloha! Masih tetap baik kan kabarnya?

Masih tetap stay nungguin cerita ini juga, nggak? :'v

Drop your vote for the apreciation. Thanks ^^

Love,
See yaaa! 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top