11 - Sepiring Brownis dengan Topping Bucin

"Eh, itu siapa, Ya? Pacar kamu?"

Kedua muda-mudi itu segera mendongak. Menatap bingung ke arah pintu yang saat ini telah berdiri seorang wanita setengah baya.

"Mama?" Ulfa mengernyit. Darimana ibunya tadi? Pantas saja sadari tadi ia tak melihat wanita itu di sekitaran rumah.

"Mama darimana? Kok baru keliatan?" tanya Ulfa yang malah mengabaikan pertanyaan awal ibunya. Sebenarnya dia hanya tidak fokus saja.

Rere berjalan mendekat. Memerhatikan bangkai sisa yang masih tergeletak begitu saja di rumput taman belakangnya. Euh. "Oh, itu. Tadi Mama ke rumah Bu Ita nganterin pesanan kue. Kan nanti malam ada acara hajatan di rumah dia."

Ulfa ber-oh ria lantas kembali menonton video rekaman di kamera digitalnya.

Merangkap ibu rumah tangga, ibu Ulfa juga membuat kue pesanan. Tidak banyak. Ia hanya membuat jika ada yang memesan. Dan yang paling menakjubkan adalah, ibunya sendiri yang mengantarkan. Sesekali jika Ulfa di rumah, dia yang akan mengantarkannya.

Bayu yang masih memikirkan pertanyaan awal Rere, jadi punya sebuah ide. Ide jahil lagi, tentu saja! Ia tahu bahwa sedari tadi Ulfa mengerjainya. Jadi, ia akan membalas lagi.

"Oh, iya. Ini siapa, Ya? Kok kamu nggak ngenalin sama Mama?" Rere menunjuk Bayu. Pas sekali bahwa pemuda itu baru saja ingin bicara.

Ulfa terdiam. Menatap Bayu dari sudut matanya. Jujur dia agak malas memerkenalkan pemuda itu pada ibunya. Tapi ... ya sudahlah.

"Ini Bayu, Ma. Temen---"

"Saya calon pacarnya Ulfa, Tante," potong Bayu cepat kemudian memberikan cengiran lebar. Pemuda itu bangkit dari duduknya lalu menyalami tangan Rere seperti anak yang sangat sopan. Padahal, dia sendiri kadang juga kayak nggak ada akhlak.

Wanita setengah baya itu sedikit bingung. Ia menanggapi dengan senyum kikuk atas perlakuan Bayu kepadanya. Sedangkan gadis berambut panjang dengan kamera di tangannya, saat ini sudah beraut seperti singa lapar.

"Jangan percaya, Ma. Dia kalo ngomong memang suka ngawur. Dia ini baru pindah ke kelas Aya," tutur Ulfa meralat.

Sesekali matanya menatap Bayu yang masih nyengir tak bersalah. Kesalahpahaman ini harus diluruskan. Jika tidak dia bisa kena jodohkan dengan ibunya.

Rere malah bertambah bingung. Mana satu yang benar?

Yang malah membuat wanita itu bertambah bingung adalah, kedua remaja di depannya kini sudah saling adu tatap. Mengerikan. Jika ini adalah film, dari kedua mata mereka akan sama-sama memancarkan aliran listrik warna-warni. Duh!

"Udah, ah," ucap Rere berusaha melerai. Matanya kemudian beralih pada Bayu. "Nak Bayu udah makan, belum? Yuk, cicip kue Tante bentar. Baru keluar dari oven, tuh."

Rere menuntun Bayu memasuki rumah kemudian duduk di meja makan. Ulfa mengikuti di belakang. Tak lupa dengan membawa kamera yang masih setia di tangannya.

"Nih, dicicip dulu brownisnya." Wanita setengah baya itu menyajikan sepotong kue coklat di atas piring kepada Bayu. Tak lupa ia juga memberikannya kepada sang putri.

"Alhamdulillah, rejeki anak soleh akhirnya dateng juga." Bayu menengadah kemudian dengan cepat melirik Ulfa di sebelahnya. "Makasih, Tante. Kalo tadi nggak ditawarin, mungkin saya bakal dikasih makan kodok sama calon pacar ini."

Raut Ulfa langsung berubah tak suka. "Dih! Ogah gue jadi pacar lo!"

Gadis itu tak habis pikir, bagaimana Bayu bisa seberani itu. Ibunya juga, wanita paruh baya itu malah ikut menertawakan putrinya. Anaknya itu Bayu atau Ulfa, sih?

"Halah, sok nolak. Entar lo juga ngebucinin gue." Bayu menaik-turunkan kedua alisnya. Ada juga nada godaan di sana.

Ulfa tak membalas. Rasanya akan sia-sia tenaganya terbuang hanya untuk mengomel tak jelas. Lebih baik ia memakan kue lezat buatan ibunya.

Suapan pertama memasuki mulut pemuda itu. Baunya yang semerbak membuat ia tak tahan lagi. Segera, potongan kue di dalam mulutnya lumer begitu gigitan pertama lolos. Manis dari coklat sungguh terasa, tetapi sangat pas di lidahnya.

"Eum, Tante, ini enak banget," puji pemuda itu dengan mulut penuh. "Coklatnya lumer di mulut, berasa kayak makan di restoran ternama."

Berlebihan banget. Ulfa memutar bola matanya jengah. Keliatan banget mau ngambil hatinya mama.

Rere tertawa kecil. "Kamu bisa aja. Padahal Tante bikin itu masih liat resep, loh."

"Beneran, Tante. Ini enak banget, loh," ucap Bayu bersemangat. "Lembut banget, nggak kayak anak Tante itu. Mulutnya pedes banget. Waktu kecil dia pasti salah makan, ya? Kemakan sendal jepit kayaknya."

Tanpa menunggu lama, tatapan nyalang langsung didapatkan Bayu secara gratis. Rere memakluminya. Sebab, Ulfa menjadi agak sensitif pada para pemuda sejak kepergian sahabatnya.

"Lo minta dicincang kayaknya. Dimasukin ke kulkas, terus dikasih ke kucing tetangga." Wajah Ulfa berubah memerah. Ternyata mengerjai Bayu balik tak menghasilkan apa-apa baginya.

"Sisain hatinya untuk lo simpen. Siapa tau, suatu saat nanti lo bakal jadi sayang sama gue," sahut Bayu asal. Ia kembali menyendokkan brownis lumer itu ke dalam mulutnya. "Abis itu kita bisa pacaran."

Jika saja Rere bisa menengahi perdebatan muda-mudi di depannya, maka akan ia lakukan. Masalahnya adalah ia sedikit suka perdebatan mereka. Sudah sekian lama sejak terakhir kali ia melihat Ulfa cerewet. Ia benar-benar tak ingin melewatkan hal ini.

"Dih, ogah gue jadi pacar lo," sengit Ulfa sembari menunjukkan ekspresi ingin muntah.

Bayu menggidikkan bahunya tak acuh. "Ya, terserah, sih. Awas kemakan omongan sendiri aja. Untuk sekarang, gue mau menikmati kue buatan calon mertua dulu."

Rere membelalak tak percaya. Jika saja tangannya tidak berada di mulut, mungkin saat itu juga tawanya akan menyembur lepas. Mengapa pemuda itu percaya diri sekali? Haduh ....

"Percaya diri sekali anda akan menikahi putri di sini." Ulfa memutar bola matanya.

"Emang gue ada bilang kalo gue bakal nikahin lo?"

"Emang gue ada bilang kalo lo bakal nikahin gue?"

Keduanya sama-sama terdiam. Mereka larut dalam pandangan masing-masing selama beberapa detik. Lantas, menyadarkan diri sendiri dan mulai fokus lagi pada piring mereka.

Bayu menghabiskan makanannya dengan cepat. Entah kenapa, berlama-lama di dekat Ulfa membuat perasaannya aneh. Padahal tadi, ia ingin sekali berada terus di dekat si gadis.

"Saya pulang dulu, ya, Tante. Udah lama banget soalnya di sini," ucap pemuda itu sembari bangkit dari duduknya. Menorehkan sebuah senyum manis. Tak hanya untuk Rere, tetapi tentu saja juga untuk Ulfa.

Namun tampaknya, gadis itu sudah terlanjur kesal. Ia tak menggubris senyum itu dan malah membuang muka.

"Saya pamit, ya, Tante." Bayu tersenyum pada Rere yang juga telah bangkit. "Gue pulang, ya, Judis. Bye!"

Setelahnya, pemuda itu melangkah menuju pintu utama. Memberikan punggungnya sebagai ucapan perpisahan.

Ulfa menoleh. Menatap punggung yang semakin menjauh itu.

"Moga besok lo sakit, ya. Biar nggak ganggu gue mulu!" pekik Ulfa sesaat sebelum pemuda itu melewati pintu.

"Semoga dikabulkan, ya!" balas Bayu dengan memekik pula. Tanpa berbalik, ia menaikkan tangannya ke udara membentuk 'OK'.

Gadis itu menoleh dengan cepat ke arah piringnya lagi. Memakan dengan kesal kuenya. Memang awal yang baik untuk mengerjainya. Tetapi akhir yang buruk karena pemuda itu ... ah, sudahlah.

"Hush! Nggak boleh gitu, Ya? Kamu gimana, sih?" protes Rere sembari mengambil piring sisa milik Bayu tadi.

"Biarin aja, Ma. Abisnya dia ngeselin."

Rautnya sedari tadi tak berubah. Walaupun Bayu telah pulang, rasa kesal itu ternyata masih tertinggal di dekat Ulfa.

"Kalo gini, Mama jadi ingat kamu sama Anda dulu." Ulfa mengernyit tak mengerti atas ucapan ibunya. "Kamu dulu suka banget berantem sama Anda. Akhirnya malah kalian jadi sahabat baik. Jangan-jangan nanti kamu sama Bayu bakal---"

"Ma," potong Ulfa jengah. "Jangan samain Anda sama Bayu, deh. Mereka beda."

Entah mengapa, ia bertambah kesal saat ada yang menyamakan Anda-nya dengan Bayu. Ia tak terima. Walaupun dalam kenyataannya, Ulfa juga melakukan hal yang sama.

Sampai detik itu juga, bahkan ia masih menganggap bahwa Bayu memiliki banyak kesamaan dengan Anda. Ada berbagai hal yang selalu mengingatkannya mengenai masa lalu itu.

Namun, sampai sekarang, gadis itu bahkan tak bisa memastikan pemikirannya.

Setelahnya, Ulfa beranjak dari sana menuju kamarnya. Meninggalkan sang ibu yang geleng-geleng kepala tak habis pikir.

***

[06/06/20]

To be continued.

Ada yang suka brownies? Kalo aku sih lebih suka senyum kamu, eakkk

Leave something to us. Thanks and see yaa! 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top