09 - Perburuan Rusuh

"Jadi ... kita kemana?"

Ulfa membuka percakapan. Pasalnya, sedari tadi mereka tak juga kunjung sampai. Bokongnya sampai kebas karena terlalu lama duduk.

"Nyari kodok, kan?" balas Bayu sembari menatap gadis itu dari kaca spionnya. Pemuda itu kembali fokus pada jalanan, tetapi cukup pada kecepatan yang pelan.

"Ya, kemana?"

"Mana gue tau. Kan gue baru di sini. Seharusnya, kan, lo yang nunjukin jalan. Secara, kan, lo yang menua di sini."

Apa ada yang punya kapak? Atau pisau juga boleh. Ulfa ingin sekali mencincang pemuda di depannya ini. Jawaban itu ... benar-benar menyebalkan!

Raut Ulfa seketika berubah. Ia mengeram kesal. "Kok lo nggak bilang kalo nggak tau, sih, Sisong? Kan jadinya muter-muter terus."

Gadis itu benar. Dari tadi mereka hanya mengitari situ-situ saja. Untung saja Ulfa bertanya. Jika tidak, mungkin akan tetap begitu hingga pagi menjelang.

"Lo nggak nanya, sih. Jadi mana gue tau," balas Bayu tanpa beban yang semakin membuat Ulfa naik darah.

Mungkin setelah ini, Ulfa harus sering memakan obat supaya bisa menahan emosinya. Bersabarlah sedikit, ini pasti tidak akan lama.

"Tau, ah." Ulfa menghela napasnya. "Lurus aja dulu, entar kalo ketemu tikungan, belok kiri."

"Kalo entar ketemu tikungan abis itu kita jadian aja gimana?"

Di balik helm itu, Bayu tersenyum jahil. Setelah beberapa waktu, akhirnya bisa ngebaperin anak orang. Sepertinya Ulfa memang mangsa yang pas, tetapi salah waktu.

"Hah?"

Gadis itu cukup mendengar segalanya. Namun, ia hanya ingin memastikan pendengaran saja. Masa iya bule gadungan di depannya ini bisa ngebaperin?

Tawa kencang terdengar jelas di telinga Ulfa. Mood-nya semakin jelek saja. Sudah jelas, pemuda di depannya itu tidak akan pernah serius.

"Lo baper, ya? Kalo lo baper, gue nggak mau tanggung jawab, loh. Mana mau gue punya pacar judes banget gini." Bayu melanjutkan tawanya, tetapi tidak semengesalkan yang pertama.

Jika ingin memukul sekarang, bisa saja Ulfa melakukannya. Namun, ia rasa hal itu percuma. Pukulan di manapun tidak akan mempan untuk pemuda itu. Tubuhnya seperti mati rasa.

"Kayak gue mau sama lo aja. Nggak sudi gue jadi pacar lo," sahut Ulfa yang semakin kesal.

Bayu membalas dengan tawa nyaring. Jika Mas Pocong bisa tertawa, mungkin pemuda itu adalah saingannya.

Beberapa menit perjalanan, Ulfa meminta Bayu menghentikan motornya di pinggir sebuah kolam. Tidak, eum ... mungkin lebih terlihat seperti kubangan bagi pemuda itu. Ia sempat mengernyit karena bingung.

"Di sini? Lo nggak bercanda, kan?" tanya Bayu yang hanya membuka kaca helm-nya.

Ulfa yang baru saja turun dari motor lantas melepas helmnya. Memberikan pada Bayu lantas menguncir rambutnya tinggi.

"Ye, si ogeb. Ya, kali nyari kodok di mall. Lo nyari sampek bangkotan juga kagak bakal dapet."

Wajah pemuda itu tampak ragu. Tetapi ia juga ikut turun kemudian melepas helm-nya. "Yakin di sini banyak kodoknya?

"Yakinlah. Seribu persen!" sahut Ulfa bersemangat.

"Oh, jelas lo yakin. Kan lo emaknya kodok." Bayu terkekeh, songong seperti biasa.

"Sembarangan lo, Sisong." Ulfa menelik tak terima. "Daripada lo, bapaknya kutu."

"Kok?" Pemuda bermata hazel itu mengernyit.

"Nggak ngotak, wekaweka."

"Ingin kuberkata anjing, tapi dosa." Bayu membuat rautnya seakan baru saja tersakiti. Tangannya sengaja diletakkan di dadanya.

Gadis yang tengah berkacak pinggang itu memutar bola matanya. "Dah, ah. Bantuin cari kodoknya."

Dengan cepat ekspresi pemuda itu berubah jijik. Matanya menangkap Ulfa yang tengah melepas sepatu dan kaus kaki. Tak lupa ia juga melepas roknya hingga menyisakan legging hitam. Semuanya itu tergeletak di rerumputan dekat dengan tas si gadis.

Ulfa sungguh terniat.

"Dih, lo aja! Gue kagak mau." Bayu menolak cepat. Kubangan itu pasti penuh kuman dan ... ia tidak suka dengan katak.

Ulfa yang hendak menginjakkan kaki di atas kubangan itu mengernyit. "Apaan, sih, lo? Ini kerja kelompok. Masa gue kerja sendiri? Nggak, nggak. Lo ikut gue masuk ke sana."

"Enggak, ih. Lo aja. Jijik gue!" kata Bayu lagi berusaha menolak.

Si gadis mengangguk sambil tersenyum. Perlahan, kakinya menginjak dasar kubangan yang licin. "Oh, ternyata Sisong takut sama kodok. Gud, lah. Ada bahan buat nge-bully."

Ia berjalan mengitari kubangan dengan tangan di dalam air. Mencari sesuatu seakan tak jijik sama sekali. Sedangkan pemuda yang masih membeku di darat itu malah terus menatap dengan ekspresi jijik.

Ulfa menoleh karena tak juga mendapati pemuda itu yang turun ke kubangan bersamanya.

"Woi, sok bersih lo! Entar pulang juga bisa dibersihin. Sini, bantuin gue."

Bayu menggeleng cepat. "Kalo disuruh masuk kubangan gue nggak mau. Tapi kalo disuruh masuk ke hati lo, dengan senang hati."

Ekspresi datar pemuda itu dapatkan sebagai jawaban. Dengan secepat kilat, Ulfa melempar segenggam lumpur ke arahnya. Beruntung, ia hanya terkena cipratannya saja.

"Gue nggak butuh bucinan lo. Gue butuh lo turun ke sini sekarang untuk cari kodoknya," kata Ulfa dengan raut bertambah serius. Ia sama sekali tak terpengaruh dengan bucinan pemuda setengah bule itu.

Pemuda itu tak juga bergeming. Ulfa berdecak sembari memutar bola mata.

"Kalo nggak mau diajak kerja sama, gue bakal laporin lo ke ibu itu. Setelah dia dapet laporan, jangan harap nilai lo bakal lebih dari angka 5."

Helaan napas menyerah akhirnya terkeluarkan. Baiklah, demi nilai tinggi setidaknya Bayu rela bermain air kubangan, sambil mencari kodok berbadan lendir itu. Ia janji, ini yang pertama dan terakhir kalinya.

"Jangan lupa, ambilin plastik di dalam tas gue untuk tempat kodoknya nanti."

Setelah melepas sepatu dan mengambil plastik yang disuruh oleh Ulfa, pemuda itu memasuki kubangan dengan jijik. Gadis itu hendak tertawa kencang. Namun, jika ia lakukan itu, mungkin ia takkan mendapat kesempatan bagus untuk mengerjai balik Bayu.

"Kuy, langsung cari."

Ulfa melakukan hal yang sama seperti tadi. Meraba bawah air untuk mencari buruan. Bayu mengikuti saja. Demi nilai, setidaknya ia bisa berpura-pura mencari.

Lama kelamaan, ia merasakan kesenangan sendiri kala menyentuh lumpur di dasar kubangan itu. Perlahan, beban di kepalanya seakan hilang. Padahal Bayu sendiri tak pernah berpikir berat.

"Eh, ini letakin di dalam plastik." Ulfa menarik salah satu tangan pemuda itu dari dalam air. Ia lantas meletakkan sesuatu yang berlendir di permukaan tangan tersebut.

Bayu terkejut. "Anjir! Geli, bego." Katak yang sudah ada digenggamannya diterbangkan entah kemana. Lendir itu bahkan masih lengket di tangannya.

Ulfa awalnya ingin tertawa kencang. Tetapi ia mengurungkan dan berpura-pura membuat ekspresi kesal.

"Mau lo apa, sih? Disuruh nyari nggak mau. Giliran udah dapet malah lo terbangin. Kodoknya, kan, nggak punya sayap," omel gadis itu.

Tatapan tajam dari mata hazel itu menghantamnya. Ulfa seakan kembali terbawa ke masa lalu. Masa dimana di selalu senang bermain lumpur dan Anda-nya selalu melarang dengan memberikan tatapan tajam yang sama.

"Bodo amat! Kodok itu makhluk paling menjijikkan, tau." Masih dengan tatapan tajam yang sama. "Udah, ah. Gue mau pulang."

Gadis itu mendelik. Mana bisa gitu? Masa ia pulang jalan kaki?

"Eh, kalo lo pulang duluan, gue lempar, nih, kodok ke lo," ancam Ulfa dengan menunjukkan dua katak cukup besar di tangannya.

Bayu berbalik. Ia menghela napas panjang. Sekarang gantian siapa yang dibuat emosi.

"Iya, iya, gue bakal anterin lo pulang. Tapi sekarang kasih tau gue gimana cara ngebersihin ini semua." Bayu menunjuk celana abu-abunya yang terendam lumpur. "Ya setidaknya nggak penuh lumpur gini, lah."

Ulfa lebih dulu mengambil plastik di tangan pemuda itu. Menaruh kedua katak di dalamnya kemudian mengikat kuat. Ia lantas menarik Bayu keluar dari kubangan.

"Deket sini ada air hujan yang ditampung. Kita bersihin di sana."

Pemuda itu mengikuti kemana Ulfa pergi. Gadis yang berjalan lebih dulu itu terkikik tanpa disadari siapapun.

Senangnya bisa ngerjain orang balik.

***

[30/05/20]

To be continued.

Hola again? 😂

Moga nggak muntah abis baca part yang absurd ini, ya :'v
Soalnya aku kesel sama mereka berdua, sumpah!

But we hope you really like this story.

See yaaa! 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top