8. Garlic Bread

-

Suara pintu apartemen dibuka terdengar. Dari luar, wajah Ninna terlihat kusut dengan sekotak kardus milik Kais, yang entah berisi apa, dia angkut sepanjang lantai bawah hingga ke dalam unit apartemen. Sementara itu, Kais yang juga tidak kalah kerepotan membawa barang-barang miliknya berjalan ke dalam dan meletakan benda itu ke dalam kamarnya.

"Thanks," ucap Kais menyambut kardus di tangan Ninna.

"Kamu bawa apalagi sih, Ka? Bukan barang-barang aneh lagi, kan?" gerutu Ninna berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.

"Tugas mahasiswa, tadi enggak sempat aku cek di kampus," jawab Kais dari dalam kamar. "Karena besok nilainya harus udah masuk terpaksa aku bawa balik."

Ninna mendesis. Namun, guyuran air dingin yang melewati kerongkongannya seketika menghilang tanpa bekas ketika menemukan sisa piring kotor di meja makan. Belum lagi handuk bekas pakai yang Ninna jelas tahu itu milik Kais menyapanya dari sandaran kursi.

"Ka!" panggil Ninna dongkol.

"Kenapa, Na?"

Ninna melipat kedua tangannya ke dada. "Bisa keluar sebentar?"

"Ada apa?" tanya Kais sembari mengganti kemejanya dengan kaus polos.

"Ka, udah berapa kali aku bilang, kalau handuk basah itu digantung di luar," gerutu Ninna melemparkan handuk ke arah Kais. "Dan piring. Bisa enggak sih kalau selesai makan kamu taruh di tempat cucian piring? Kamu pikir ini restoran. Aku capek Ka kalau setiap hari harus beresin ginian."

Kais menarik handuk dari kepalanya. Raut wajahnya terlihat masam. "Iya."

"Kamu kan tahu ini bukan apartemen gede dan kita enggak mungkin punya ART. Lagian kamu sendiri yang sepakat kalau semua hal kita lakuin bareng-bareng. Tapi sekarang? Buktinya mana?" Sambil mencuci piring dari atas meja tadi, Ninna menggerutu tidak habis-habis.

Belum selesai sampai di sana, darah Ninna kembali naik menemukan tumpukan benda aneh setinggi satu meter masih duduk manis di pojokan dapur. Ninna menarik napas dalam-dalam, kemudian berbalik mendekati Kais yang malah duduk di sofa sambil menyalakan televisi.

"Ka!"

"Apa lagi sih, Na?!" tanya Kais mulai kesal.

"Mau sampai kapan tumpukan itu nongkrong di sana? Kamu mau bikin museum? Atau mau bikin ternak penyakit?!" tanya Ninna dengan penuh emosi menunjuk sudut dapur.

"Besok pulang dari kampus aku beresin," jawab Kais tanpa sedikitpun melirik Ninna.

Ninna menggeram marah. Dengan langkah lebar dia berdiri di depan televisi, sengaja menutupi arah pandang Kais. Sontak saja, Kais mendongak dan melirik Ninna tidak suka.

"Apa lagi?" tanya Kais ketus.

Sambil berkacak pinggang, Ninna memelotot sebal kepada Kais. "Kamu bisa enggak dengerin aku dulu. Kamu pikir, kamu doang yang capek hari ini? Aku juga, Ka."

Kais menarik napas panjang selagi Ninna terus mengomel di depannya. "Kamu kenapa sih? Kesal gara-gara aku telat jemput kamu hampir sejam? Atau karena aku minta bantuan kamu buat angkut barang?"

"Bukan cuma soal itu. Tapi bisa enggak sih kamu dengerin aku ngomong. Aku udah ingetin kamu ribuan kali soal barang-barang itu?! Tapi apa?! Udah seminggu masih di situ," gerutu Ninna kesal. Kulit wajahnya sampai-sampai memerah.

"Kamu! Ugh! Ngeselin!" seru Ninna menarik tasnya kasar dan masuk ke dalam kamar.

Kais termangu. Wajahnya terlihat syok saat pintu kamar Ninna dibanting keras sampai berdebam nyaring.

Sementara itu, di dalam kamar Ninna melemparkan tasnya ke atas kasur. Beberapa kali dia menarik napas dalam-dalam sembari merapal berbagai macam kalimat penenang dan membuka jendela kamar.

Udara dingin dari luar menyapa kulit wajah Ninna dan mengelusnya lembut. Kelopak mata Ninna menutup dan membuka lambat. Rapalan di bibirnya berhenti. Rasa bersalah pelan-pelan mampir di dalam benak Ninna. Ini pertama kalinya dia dan Kais berselisih paham. Perselisihan untuk sesuatu yang tidak penting.

Ninna akui Kais mungkin benar, bukan hanya soal kondisi apartemen yang membuat mood nya berantakan malam ini. Namun, karena obrolannya dengan Felix di coffee shop. Sebenarnya, Ninna sadar betul Felix menganggapnya lebih dari teman. Bahkan lima tahun yang lalu Felix sempat mengungkapkan perasaannya kepada Ninna.

Akan tetapi, perasaan enggan itu lebih mendominasi lima tahun yang lalu. Belum lagi, selama ini Felix hanya menganggap semua pandangan Ninna sebagai angin lalu. Sehingga akhirnya Ninna memilih jarak aman. Apalagi ibunya memang kurang menyukai pemuda itu sejak mereka masih duduk di bangku SMA.

Semua kembali normal setelah itu, Felix kembali usil dan mulai mendekati perempuan-perempuan lain. Ninna pikir, Felix baik-baik saja dan hubungan mereka berakhir tidak lebih dari sekadar teman. Akan tetapi, melihat tatapan terluka milik lelaki itu coffee shop, Ninna sadar perasaan Felix tidak pernah berubah. Detik itu, Ninna dihantam perasaan bersalah.

Ninna menutup kembali matanya, memasukan oksigen ke dalam paru-parunya, dan membiarkan masa lalu merelakan dia untuk pergi kali ini. Setelah hati dan isi kepalanya lebih mau diajak berdiskusi. Ninna memutuskan berbalik dan hendak menemui Kais. Sudah seharusnya masalah tadi mereka selesaikan baik-baik.

Akan tetapi, tubuh Ninna berjengit ketika pintu kamarnya dia buka. Kais berdiri tepat di depannya. Ekspresi mereka sama-sama terkejut.

"Kamu ngapain?" tanya Ninna kebingungan.

Kais menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Soal—tadi. Aku mau minta maaf. Mungkin karena tadi siang aku ada masalah sama Kepala Jurusan, makanya aku masih kebawa emosi."

"Aku juga minta maaf harusnya aku bisa omongin masalah tadi baik-baik," gumam Ninna menutup pintu kamar di belakangnya.

"Tapi aku juga harusnya dengerin mau kamu. Mungkin karena pertama kalinya tinggal berdua sama orang lain, aku jadi enggak peka. Aku yang salah," terang Kais lagi saat mereka berhadapan.

Ninna menggeleng. "Enggak Ka, aku juga salah. Aku harusnya enggak ...." Ninna merengut tidak melanjutkan ucapannya, ketika Kais tertawa pelan di depannya.

"Na, mau sampai kapan kita main salah-salahan kayak gini?"

Ninna tersenyum sambil mengulurkan tangannya. "Jadi, kita baikan?"

"Emang sejak kapan kita musuhan?" tanya Kais mengerling iseng. "Mau makan bareng? Tadi aku udah pesan makanan lewat ojek online, sebagai permintaan maaf."

"Jelas mau dong. Kalau gitu aku ganti baju dulu ya," kata Ninna kembali ke dalam kamar. "Tapi Ka, yang di dapur jangan lupa diberesin."

"Iya, sayang," teriak Kais dari ruang tengah.

Di dalam kamar, Ninna terkekeh geli sambil mengganti pakaiannya. Kadang kala, Kais memang seaneh itu.

"Jadi, udah mau cerita?" tanya Kais dengan mulut penuh spageti duduk di lantai apartemen, menghadap televisi. Sementara meja kecil di depan sofa sudah penuh dengan botol saus, garlic bread, sampai minuman ringan.

Ninna yang duduk di sebelah Kais menoleh. "Cerita tentang?"

"Entah. Kamu kayaknya lagi kebanyakan pikiran. Makanan kamu aja baru dimakan sedikit, lama-lama aku yang makan loh entar," jawab Kais melirik pasta milik Ninna. "Ada masalah di kantor? Atau ribut lagi sama klien?"

Ninna buru-buru menjauhkan piringnya dari Kais. "Aku enggak apa-apa."

"Yakin enggak apa-apa? Enggak baik loh pendam masalah sendirian. Nanti kalau kamu kurusan aku yang kena omel Bunda," kata Kais dengan mimik serupa menasehati balita umur lima tahun.

Ninna mencebik. Setengah hati dia menyantap pasta di piringnya. "Ka, boleh aku tanya? Sebelumnya kamu pernah enggak sih dekat sama cewek lain? Maksud aku, enggak mungkin kan cowok kayak kamu enggak punya cewek."

"Cowok kayak aku?" gumam Kais bingung.

Ninna mengangguk lalu memandangi Kais. "Kamu kan pintar, baik, dan tampang juga enggak jelek-jelek amat. Atau ... Kamu masih suka cewek, kan? Aku enggak apa-apa kok kalau kamu jujur lebih suka cowok. Cuma aku penasaran aja kenapa aku enggak pernah dengar kamu cerita soal cewek. Waktu nikahan aja, teman cewek kamu bisa dihitung pakai jari."

Kais tergelak sambil mencomot garlic bread di atas piring. "Aku cupu, Na, dari dulu. Dan, sampai kuliah pun bisa dibilang aku sulit buat dekat sama cewek."

"Masa sih? Bohong banget," cibir Ninna menggoda Kais. "Tapi kamu pernah punya cewek, kan?"

Kais mengangguk. "Terakhir kali waktu SMA. Setelah itu karena sibuk kuliah jadi lupa sama yang namanya pacaran. Kalau kamu?"

"Jangan ketawa ya," ancam Ninna sambil meminggirkan piringnya yang tersisa setengah dan ganti menyantap garlic bread. "Aku—belum pernah pacaran."

Kedua bola mata Kais membulat. Tawa kencang terdengar dari bibir Kais. Segera, Ninna memukuli bahu Kais untuk diam.

"Sori. Aku cuma kaget aja karena zaman sekarang masih ada cewek yang belum pernah pacaran. Apalagi itu kamu," terang Kais mengusap-usap bahunya yang nyeri.

"Emang aku kenapa?" tanya Ninna tatapan sebal.

Kais lanjut menyantap makanannya selagi mengamati Ninna. "Berpendidikan, cantik, modis, dan hidup di Jakarta."

"Enggak semua cewek yang kamu sebutin ciri-cirinya tadi harus disamaratakan dong," gumam Ninna.

"Terus cowok yang waktu itu ketemu di GI? Dari tatapannya kayaknya dia enggak suka banget aku dekat kamu," cerita Kais mengenang kejadian beberapa bulan yang lalu.

"Felix? Cuma teman," jawab Ninna sambil menyantap pastanya dan menonton drama netflix di depan mereka. "Lagian Bunda sedari dulu enggak pernah bolehin aku pacaran. Itu alasannya."

"Oh iya?" tanya Kais bingung.

Ninna mengangguk. "Dari dulu posesifnya Bunda beda antara ke aku sama Mbak Genna. Mbak Genna bahkan udah pacaran dari awal kuliah sama Mas Desta."

"Mungkin Bunda emang takut kamu kenapa-kenapa," ujar Kais.

"Awalnya aku pikir gitu," gumam Ninna melanjutkan makannya. "Tapi semenjak Bunda pernah usir Felix waktu dia antar aku pulang ekskul saat aku SMA, aku sadar Bunda kadang kala terlalu paranoid."

Bibir Kais tertutup rapat, sedangkan kedua bola matanya memandangi Ninna lekat. Seakan-akan ada sesuatu yang menarik perhatiannya di wajah Ninna.

"Lucunya, aku sendiri malah jadi ketakutan buat berhubungan sama cowok. Bisa jadi kejadian itu penyebabnya."

Kais terdiam. Matanya bergerak melirik Ninna. Cairan bening tampak menumpuk di mata lentik perempuan itu. Sementara Ninna yang hanya mengenakan kaus kebesaran dan celana pendek di atas lutut itu lalu mengambil sebungkus rokok dari atas meja dan membakarnya di sebelah Kais.

"Gara-gara itu, seringkali aku ngerasa enggak seharusnya ada kalau keberadaan aku selalu salah di mata Bunda," kenang Ninna mengingat masa-masa sekolahnya dulu. "Beruntung, lulus kuliah aku diterima kerja di sini, jadi aku bisa ngekost dan keluar dari rumah. Karena semakin dekat dengan Bunda, aku justru semakin merasa tertekan."

"Gara-gara itu kamu enggak mau punya anak?" tanya Kais melihat tangan Ninna bergetar saat mengapit rokok.

Perlahan Ninna mengangguk. "Aku enggak mau anak aku nantinya bernasib sama kayak aku. Seperti aku bilang, dunia enggak sebaik itu Ka. Aku takut sifat posesifnya Bunda nurun ke aku dan buat anak aku nantinya menyerah sama kehidupan. Jujur Ka, kadang kala aku bingung ngadepin Bunda. Di satu sisi Bunda bisa jadi orang paling kuat yang pernah aku lihat. Tapi di sisi lain, justru karena hal itu aku ngerasa dikekang."

Kais mengangguk pelan. Kini Kais paham alasan dibalik sosok Ninna yang dia lihat sekarang ini.

"Tapi lucunya, aku ngerasa aneh waktu Bunda kenalin aku ke kamu," kata Ninna kembali menatap Kais lekat-lekat. "Padahal hampir semua temen cowok aku disinisin loh sama Bunda. Kamu enggak pakai guna-guna kan ke Bunda?"

Kais tergelak. Lelaki itu memindahkan tubuhnya jadi berhadapan dengan Ninna. "Mungkin karena pesona aku udah bikin Bunda kamu yang posesif jadi luluh dan kasih anak bungsunya ke aku."

Bibir Ninna mencibir geli. "Geer banget sih."

"Lho, bukannya tadi kamu yang bilang kalau aku pintar, baik, dan ganteng. Mungkin bisa jadi gara-gara itu Bunda tertarik sama aku. Ya, kan?" kata Kais menyombongkan diri.

"Iya deh, Bapak Dosen terhormat," jawab Ninna menyerah. "Tapi aku rasa, gara-gara orang dalam deh."

"Orang dalam?"

"Mama. Tante Ria," jawab Ninna menggoda Kais.

"Bisa jadi." Kais menggaruk pelipisnya. Wajah lelaki itu langsung masam. Sontak, Ninna yang melihat itu terbahak puas. Apalagi Kais langsung melanjutkan makannya tanpa suara.

Ninna menghela napas lega. Beban yang menumpuk di pundaknya berangsur menghilang. Memilih bersama dengan Kais ternyata bukan pilihan yang salah.

Namun, sedetik kemudian pikiran itu menguap begitu saja kala Kais dengan enteng mencomot garlic bread terakhir di atas piring. Sebagai pecinta garlic bread, Ninna langsung naik darah apalagi Kais sudah memakan dua potong roti itu sebelumnya.

"Ka!" semprot Ninna.

"Kenapa?" tanya Kais yang baru akan memasukan potongan terakhir itu ke mulutnya.

"Itu kan jatah aku. Kenapa jadi kamu yang makan?" protes Ninna.

"Pasta kamu masih ada Ninna. Lagian kamu bukannya enggak suka makan banyak? Jadi, biar ini buat aku," kata Kais mengangkat roti itu tinggi-tinggi, jauh dari jangkauan Ninna.

"Ngeselin banget sih! Sama istri sendiri enggak mau ngalah," gerutu Ninna kesal.

"Dalam hal makanan enggak ada yang namanya status, Na," jawab Kais dengan mimik sengaja dibuat serius.

Ninna berdecak. Keduanya lalu berdebat saling memperebutkan sepotong garlic bread. Sampai Ninna menyerah dan melipat kedua tangannya. Ekspresi jengkel sengaja dia pasang di depan Kais.

"Kamu marah?" tanya Kais mengamati wajah Ninna.

"Enggak."

Kais tersenyum geli lalu menggigit garlic bread itu di mulutnya. "Ya udah gini aja. Kamu mau ini, kan? Kalau berani, ambil sendiri dong."

Tatapan Ninna perlahan berpindah ke arah Kais. Matanya menyipit saat melihat tingkah absurd Kais kembali muncul.

"Berani enggak?" tanya Kais yang memajukan mulutnya yang di penuhi garlic bread dengan sengaja.

Tanpa buang waktu, Ninna menggigit garlic bread di mulut Kais. Beberapa detik, Kais mematung. Sentuhan tanpa sengaja antara bibirnya dan Ninna membuat otaknya terasa kosong.

"Kamu pikir aku enggak berani," kata Ninna tersenyum pongah sambil menyantap potongan garlic bread terakhir itu di depan Kais.

"Tapi—kamu bisa—tarik itu pakai tangan kan, Na," ujar Kais salah tingkah.

Ninna terdiam. Ucapan Kais ada benarnya. Sambil merutuki otaknya yang mendadak gila, Ninna melirik ke arah Kais. Lelaki itu masih mematung di duduknya dengan tatapan tidak lepas dari wajah Ninna.

Pelan-pelan udara di sekitar Ninna terasa panas. Panasnya sampai membuat pipi Ninna menghangat, apalagi saat melihat bibir Kais. Benar kata Mutia, dilihat dari dekat bibir itu tampak seksi.

Dunia Ninna terasa berputar cepat saat Kais mendadak memajukan tubuhnya dan menekan lembut bibir Ninna. Mata Ninna menutup rapat. Pertemuan antara bibirnya dan bibir Kais membuat kewarasannya menghilang. Kais bahkan menyentuh tengkuk Ninna, membuat jarak keduanya semakin bias.

Sampai, sebuah memori asing membuka mata Ninna. Matanya kemudian membelalak. Segera, dia mendorong bahu Kais.

"Ka," gumam Ninna coba melepaskan tubuh Kais yang sudah menghimpitnya di lantai. Namun, gagal.

"Ka!" teriak Ninna sambil menarik kencang-kencang hidung Kais.

Sejenak, gerakan Kais terhenti. Kedua mata mereka bertemu di tengah, saling menatap tanpa petunjuk. Buru-buru Kais bangkit dan menjaga jarak dengan Ninna. "Maaf."

Ninna membenahi kausnya yang berantakan sembari kembali ke posisi duduk. Wajah keduanya merah padam. Samar-samar Ninna mendengar napas Kais terputus-putus di sebelahnya.

"Udah jam satu. Aku tidur duluan ya," pamit Ninna terburu-buru kabur menuju kamar.

"Oke. Aku juga masih ada kerjaan. Malam, Na," kata Kais masih salah tingkah di belakang Ninna.

"Malam." Ninna segera menutup pintu kamarnya tanpa melirik Kais.

Di balik pintu, Ninna termangu. Kepalanya kini dipenuhi oleh potongan kenangan tadi. Ingatan aneh yang tiba-tiba muncul tentang sebuah tempat. Terasa dekat, tetapi juga sulit untuk Ninna mengingat itu.

Ninna menggeleng dan menutup matanya rapat-rapat ketika sensasi bibir Kais malah mengalihkan rasa penasaran di benaknya. Tubuh Ninna sampai meremang hanya dengan mengingat kejadian itu.

"Oke, mungkin udah waktunya tidur, Ninna," gumam Ninna pada dirinya sendiri, lalu beranjak naik ke atas kasur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top