7. Temen Jadi Demen
-
Kantin di lantai bawah Blue Building tampak padat. Beberapa karyawan bahkan harus rela mengular di depan counter-counter makanan. Tempat duduk yang berjumlah hampir lima puluhan itu pun penuh, tidak cukup menampung jumlah karyawan. Apalagi hujan deras tengah mengguyur Jakarta sejak pagi tadi, kontan saja makin banyak karyawan yang enggan keluar gedung.
Beruntung, Ninna, Mutia, dan Osa, art director Tiger, berhasil menempati satu meja di kantin, sehingga mereka tidak perlu menahan sabar dan lapar hanya untuk mendapatkan tempat duduk.
"Jadi, gini Sa. Permintaan Pak Boni itu sebenarnya simpel dan enggak perlu debat macam di grup WhatsApp tadi. Dia cuma minta poster yang ini jangan kebanyakan grafik. Soalnya dia mau keterangan yang ada di file pdf masuk semua ke poster," jelas Ninna meletakkan tabletnya ke tengah meja mereka.
Ninna menarik napas dalam sebelum melanjutkan diskusi. Seharusnya, tugas account executive atau bawahannya yang menerangkan ini langsung. Namun, karena kondisinya sudah rawan gesekan, sebagai jembatan antara klien dan timnya maka harus Ninna yang turun tangan.
"Nah, menurut dia poster kemarin kurang ngejelasin itu. Too fancy to get people's attention, which is meaningless. Menurut dia."
"Buset! Pak Boni mau buat skripsi atau poster?" seru Osa tetap keras kepala. Lelaki berambut cepak itu menyeruput es kopinya dengan mata mengawasi layar tablet. "Gimana orang bisa aware sama programnya kalau wording semua? Kacau nih orang."
"Iya, tapi kan lo bisa main aman. Misalkan dengan tambahin keterangan program di area bawah? Daripada gambar batik kayak gini. Atau lo akalin jadi dua page?" usul Ninna menyantap nasi gorengnya dan menatap Mutia seperti meminta saran. "Kayaknya dia enggak masalah buat nambah page."
Mutia mengedik. "Gue ngikut aja."
"Jadi, gue bikin dua versi nih?" tanya Osa menyerah. Ninna mengangguk cepat. "Deadline?"
"Jam empat, gimana?" cetus Ninna enteng sambil tersenyum lebar. "Bisa, kan? Bisa dong."
Osa mencibir. "Lo kira tim design Sangkuriang bisa bikin desain sekali kedip? Pagi deh."
"Klien is a king, guys," gumam Mutia menahan tawa dengan mulut penuh nasi uduk.
Kepala Ninna mengangguk. Dia paham betul di dunia ahensi atau digital advertising, benda yang bernama revisi kadang kala turun setelah makan siang. Bahkan, lebih parahnya lagi sebelum jam pulang kantor. Makanya, begadang dan lembur seringkali menjadi makanan sehari-hari bagi timnya. Bila tidak punya imunitas setingkat Thanos, infus dan ranjang rumah sakit menanti.
"Pagi sebelum jam 9, gimana? Nanti gue bantu nego nih ke Pak Boni. Kalau lebih dari itu gue enggak bisa," terang Ninna mengangkat kedua tangannya.
Osa mengangguk akhirnya. Sementara Mutia yang bertugas sebagai digital strategist menahan tawa melihat ekspresi Osa. Sampai pandangannya terpaku ke arah counter penjual ayam crispy. Seorang lelaki berkemeja rapi termangu seorang diri dengan tangan membawa piring dan tatapan memutari kantin seperti mencari tempat kosong.
"Felix!"
Felix menoleh ketika namanya dipanggil. Senyum menggantung dari bibirnya ketika menemukan kursi kosong di sebelah Mutia. Namun, senyum itu berubah ganjil saat tatapannya beradu dengan kedua bola mata milik Ninna.
"Mau makan, kan? Duduk di sini aja," ajak Mutia menunjuk kursi kosong di sebelahnya.
"Enggak deh kayaknya. Lagi pada diskusi, kan? Entar gue ganggu lagi," kata Felix tersenyum menyapa Ninna.
"Di sini aja, Mas. Kita udah kelar kok," kata Osa bangkit dari duduknya. "Gue balik ke atas duluan ya."
"Lo enggak makan siang dulu?" tanya Ninna kepada Osa.
Osa menggeleng. "Bini gue bawain bekal. Penghematan Cuy."
"Mentang-mentang udah punya bini," cibir Mutia menggoda Osa.
"Makanya kawin, Mut. Ya enggak, Nin?" celetuk Osa balik menyindir Mutia. "Bercanda gue. Ya udah gue duluan ya. Dah."
Dengan canggung, Felix menduduki kursi Osa di sebelah Ninna. Sementara Ninna menepikan tablet dan menekuri makan siangnya tanpa kata. Mutia yang sadar bila ada yang ganjil antara Felix dan Ninna, terkekeh menggoda.
"Nah loh ... yang enggak dateng kemarin, Bu Bos ngambek loh," sindir Mutia lalu menenggak es teh manisnya.
Mata Felix melirik Ninna. Tatapannya menjelajahi wajah Ninna dan berhenti pada cincin di jari manis perempuan itu. Senyum masam pun muncul tidak lama setelahnya. "Namanya juga ada tugas dari kantor Nin. Masa gue enggak ikut."
"Bukannya lo paling mager kalau disuruh dinas ke luar kota? Malah biasanya suruh bawahan lo yang pergi. Tumben amat sekarang berangkat sendiri. Udah gitu pesan gue enggak pernah dibalas lagi," gumam Ninna dengan kedua matanya enggan menatap Felix.
"Ada atau enggak adanya gue acara lo tetap lancar, kan?" jawab Felix menyantap makanannya.
"Tetap aja ada yang kurang," ujar Ninna pelan.
Felix menarik napasnya dalam-dalam, kemudian mengulurkan tangannya ke depan Ninna. "Gue minta maaf deh."
Sesaat, Ninna melirik Felix tanpa minat sebelum dia akhirnya menerima uluran tangan Felix.
"Selamat ya, Nin. Semoga lo bahagia sama pilihan lo. Buat hadiahnya nyusul enggak masalah, kan?" lanjut Felix dibarengi anggukan dan senyum dari Ninna.
"Nah, gitu dong baikan, kan enak lihatnya," komentar Mutia.
Felix berdecak lalu mengalungkan tangannya ke leher Ninna. "Emang siapa yang berantem? Kita aman-aman aja kok. Ya kan, Nin?"
"Iya sih. Tapi enggak pake rangkul-rangkul juga. Risi," gumam Ninna tanpa ekspresi sambil melepaskan lengan Felix.
Felix terkekeh kemudian melanjutkan makannya yang tertunda. Sementara itu, Mutia yang telah menghabiskan makanannya menatap Ninna.
"Nin, gue dengar dari Mas Del katanya lo lagi deketin Bu Yunita? Terus hasilnya gimana minggu kemarin?" tanya Mutia membuka obrolan.
Ninna menggeleng. "Gatot. Gue datang telat. Bu Yunita udah cabut. Akhirnya, daripada gue enggak dapat info sama sekali, gue ajak makan aja bawahannya. Lumayan ... Ada beberapa insight yang bisa gue kasih ke Mas Del. Walaupun dikit."
"Pantesan Mas Del mukanya ditekuk melulu. Dia kan ambis banget buat nambah klien baru tahun ini," cerita Mutia.
"Tumben. Lo biasanya paling anti buat telat," imbuh Felix sambil menerima es jeruk dari pelayan pria di sebelahnya.
"Gue kesiangan bangun gara-gara Kais," gerutu Ninna sambil menyantap nasi gorengnya nikmat.
Mutia yang sedang meminum es teh manisnya sampai tersedak. "Hm ... mentang-mentang penganten baru sampai kesiangan," godanya kepada Ninna.
"Apaan sih, Mut? Gue habis kerja bakti sampai jam dua di apartemen makanya telat."
Mutia menyipitkan matanya. "Tapi lo udah pakai kado dari gue, kan?"
"Ngapain juga gue tidur pakai gituan? Bikin masuk angin," jawab Ninna.
Mata belo Mutia makin besar ketika memandangi Ninna. Kecurigaannya semakin menjadi-jadi saat dia tidak menemukan kesan bersemu malu-malu sama sekali di wajah Ninna.
"Lo kenapa? Natapnya gitu banget," tanya Ninna kebingungan.
"Muka lo kok biasa aja sih?" celetuk Mutia membuat Felix ikut memandangi Ninna.
"Maksudnya? Emang gue harus gimana?" tanya Ninna menyerobot minuman Felix karena teh manisnya sudah abis.
Mimik Mutia berubah serius. "Lo sama Mas dosen belum lakuin itu?"
Gerakan Ninna langsung berhenti. "Itu apa?"
"Wah, beneran aneh lo berdua. Lo udah hampir sebulan loh kawin. Masa sih, Nin, lo belum mantap-mantap?" komentar Mutia makin penasaran.
"Lo ngomong apaan sih? Ganti topik ah," gerutu Ninna sebal.
Sementara itu, Felix di sebelah Ninna sudah melupakan makanannya. Kedua matanya bahkan mengamati Mutia dan Ninna bergantian.
"Tapi dia enggak nyuekin lo, kan?" tanya Mutia lagi. "Dia beneran sayang dan tanggung jawab ke elo kan, Nin? Enggak aneh-aneh."
Ninna mengembalikan es jeruk milik Felix ke pemiliknya. Nafsu Ninna untuk minum sudah menguap gara-gara ucapan Mutia.
"Dia? Kais? Enggak lah. Lagian emang kenapa sih kalau kita emang belum mau ... apa istilah lo? Mantap?" gerutu Ninna mulai emosi. "Lo kebanyakan nonton sinetron."
"Nin, lo kan udah bukan bocah SD lagi. Masa setelah nikah kudu dijelasin juga step-step-nya ngapain," ujar Mutia gemas.
"Mut," geram Ninna.
"Tapi, Nin," balas Mutia.
"Mut, udahlah. Enggak perlu kepo urusan rumah tangga orang! Kalau Ninna bilang dia baik-baik aja. Ya udah," hardik Felix membungkam mulut Mutia. "Lagian bukan urusan lo juga mereka mau ngapain!"
"Kenapa jadi lo yang sewot?" gumam Mutia heran.
Bibir Felix mengatup, sedangkan Ninna termangu bingung menatapnya. "Gue duluan. Ada proyek yang mesti gue urus," pamit Felix tiba-tiba bangkit.
"Lix! Felix!" panggil Ninna, tetapi tidak digubris oleh lelaki itu. Ninna hanya dapat memandangi punggung Felix dengan tatapan sedih.
"Nin," panggil Mutia takut takut.
"Kenapa?" tanya Ninna melirik perempuan berpipi tembam di depannya.
Ragu nampak di wajah Mutia. "Gue udah boleh ngomong, kan?"
"Mau ngomong apa?!"
"Gue rasa Felix nyimpan rasa deh ke elo," ujar Mutia pelan-pelan.
"Ngaco!" semprot Ninna. "Gue sama dia itu udah sahabatan lama, mana mungkin bisa lebih dari itu."
"Nin, yang namanya cewek sama cowok itu jarang yang cuma jadi temen. Yang ada temen jadi demen," kata Mutia lagi.
Alih-alih menyangkal ucapan Mutia, Ninna membisu tanpa kata.
"Lo juga ada rasa sama dia?"
Ninna mendengkus dan menepikan makanannya. "Ganti topik Mut! Atau gue lakban mulut lo sampai kantor."
"Oke. Sorry," ucap Mutia.
Hujan siang tadi masih menyisakan gerimis di luar gedung. Malam Jakarta yang pekat semakin kelam terasa. Langkah Ninna yang baru saja melewati lobi terhenti di tempat ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya. Ninna tersenyum tipis membaca pesan di layar ponsel.
Kais Suteja :
Na, kamu belum balik kan?
Aku lagi di daerah Kemang. Mau sekalian aku jemput?
Lima belas menit lagi aku nyampe.
Ninna :
Oke
Tatapan Ninna lalu berpindah dari layar ponsel kepada satu sosok di pintu keluar yang sepertinya asyik mengamati gerimis. Dia pun mendekat.
"Enggak bawa mobil?" tanya Ninna.
Felix menoleh. "Mau nebeng? Mobil gue lagi dipinjam. Ini juga gue nunggu kendaraan online, cuma enggak dapat-dapat. Suami lo enggak jemput?"
"Masih di jalan," jawab Ninna berdiri di sisi Felix.
"Oh ... Masih lama? Mau nunggu di situ sambil ngopi?" tanya Felix menunjuk coffee shop di dekat lobi. "Nungguin di sini lumayan rame loh. Berisik."
Setelah menimbang beberapa menit, Ninna mengangguk. Felix pun berjalan mendahului dan memilih satu meja yang tepat menghadap jendela besar kafe.
"Latte?" tanya Felix menawari Ninna
"Boleh," jawab Ninna. Sementara Felix pergi memesan ke arah kasir, Ninna mengamati lelaki itu dari jauh. Senyum mengembang di bibir Ninna, tetapi segera dia tarik dan alihkan tatapannya ke jendela.
Selang sepuluh menit, Felix kembali dengan dua gelas kopi di tangannya. Keduanya lalu duduk berdampingan dengan tatapan tidak lepas dari keadaan di luar gedung.
Tetesan air hujan pelan-pelan turun membasahi jendela. Sementara lagu I Love You But I'm Letting Go milik Pamungkas mengalun lembut, memainkan momen di dalam coffee shop semakin terasa sendu. Dari arah meja, Felix dan Ninna memilih tetap diam sampai lagu di dalam coffee shop berganti dan kopi di gelas habis.
"Kok diam?" tanya Ninna melirik Felix. "Biasanya lo selalu berisik."
Felix mengedik. "Entah. Gue cuma ngerasa canggung aja."
"Kenapa? Kita kenal bukan baru kemarin loh," kekeh Ninna.
"Beda lah, Nin," gumam Felix menyesap kopinya. Sementara bibirnya tersenyum tipis.
Ekor mata Ninna bergerak ke arah Felix. "Gue masih Ninna, Lix."
Bibir Felix memilih terkatup rapat. Kedua tangannya melingkupi gelas. Berharap hangatnya merambat ke seluruh tangannya. "Lo bahagia?"
Ninna menarik napasnya dalam-dalam. "Lo? Apa lo bahagia?"
"Gue bahagia kalau lo bahagia."
Ninna terkekeh. "Karena gue bahagia, berarti lo bahagia dong."
Kekehan miris milik Felix terdengar timbul tenggelam di dalam coffee shop. "I wish."
"You will," potong Ninna.
Kedua sudut bibir Felix terangkat naik. Kepalanya bergerak ke kanan dan menatap Ninna lekat. Pelan, dia mengangguk. Tak lama, tatapannya kemudian beralih keluar coffee shop.
"Gue duluan ya."
"Lho, emang udah pesan? Dapat?" gerutu Ninna dengan wajah bingung.
Felix menggeleng. "Nebeng," jawabnya menunjuk seseorang di dekat pintu.
Tawa pelan timbul dari bibir Ninna melihat seorang perempuan berambut panjang tersenyum malu-malu kepada Felix.
"Bukannya kemarin cewek yang lo maksud bukan itu?" tanya Ninna teringat Adelia, anak magang yang hampir tiga bulan didekati Felix.
"Adel udah kelar magang, dia udah cabut dari kantor," jawab Felix bangkit dari duduk dan membenahi kemejanya. "Yang itu Ilona, karyawan baru. Fresh graduate."
"Target baru juga?" Ninna mencibir sembari memutar kursinya untuk melihat perempuan itu lebih jelas. "Kapan sih Lix lo tobat?"
"Entah," jawab Felix mengulas senyum kecut. "Bye, Nin."
"Hati-hati," ucap Ninna. "Thanks traktirannya."
"Jangan seneng dulu. Itu kado pernikahan buat lo dari gue," teriak Felix dari pintu coffee shop.
"Lix! Masa cuma kopi?!" seru Ninna protes.
Di luar, Felix tergelak lalu melambaikan tangannya. "Bercanda."
Ninna mendesis sebal. Matanya mengamati Felix dan perempuan itu berjalan memasuki lift untuk turun ke tempat parkir di basement. Setelah sosok mereka menghilang, Ninna memindahkan tatapannya ke depan.
Gerimis masih menjadi primadona di balik jendela. Jejaknya yang menempel di kaca terlihat berwarna-warni saat terkena pantulan lampu kendaraan. Ninna mengembuskan napas kemudian mengamati cincin bermata satu yang berpendar cantik di jari manisnya. Pandangan Ninna lalu berpindah ke arah gelas kopi di sampingnya.
Setetes bening diam-diam muncul di sudut matanya, segera dia hapus. Sebab seperti yang Ninna ucapkan kepada Felix tadi. Sudah seharusnya dia bahagia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top