5. Malam Pertama?
-
Setelah hampir 10 jam berpura-pura tersenyum dan berbahagia di depan ratusan orang hari ini, Ninna akhirnya dapat menyendiri di dalam kamar hotel. Beban di pundaknya seolah lepas usai membersihkan diri di dalam kamar mandi.
Ninna lalu termenung sembari meletakan bokongnya ke tepian kasur. Tatapannya kemudian memutari kamar hotel yang dipenuhi hadiah dari para undangan dan barang-barang pribadinya serta Kais.
Keluarga Kais dan Bunda yang berinisiatif memesankan beberapa kamar hotel di dekat acara resepsi untuk keluarga dekat mereka beristirahat. Sebelum besok, semua harus kembali ke tempat masing-masing dan beraktifitas seperti biasa di hari Senin. Termasuk Ninna, yang membuat orang tua mereka sempat protes karena Ninna dan Kais jadi tidak mempunyai waktu untuk berbulan madu.
Namun, sebagai budak korporat yang hanya memiliki jatah untuk cuti yang dapat dihitung jari, dan sudah diambil sebelum hari-H untuk melakukan beragam prosesi pernikahan, keluarga mereka terpaksa bungkam lalu merelakan Ninna masuk Senin depan. Walaupun dibalik itu semua, Ninna memang melakukan ini dengan sengaja agar dia terbebas dari momen-momen kikuk berdua dengan Kais.
Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, Ninna teringat ekspresi Farah yang terlihat bahagia sepanjang hari ini. Air mata bahkan sempat membanjir di wajah keriputnya saat memberikan nasehat di sesi sungkeman tadi. Farah bilang, Kais pria yang baik dan bertanggung jawab. Dia percaya Ninna akan bahagia dengan Kais. Ninna tersenyum masam mengenang kata-kata itu.
Lamunan Ninna tiba-tiba buyar mendengar notifikasi pesan masuk di ponselnya. Nama Mutia muncul di layar. Segera, Ninna membaca pesan itu.
Mutia_Macan :
Nin, gw udah taruh kado spesial pake cinta buat lo sama Mas Dosen di meja dekat pintu.
Jangan lupa dicek ya. (Emote kedip)
Kepala Ninna menoleh dan mencari benda yang dimaksud. Melihat ada kotak berwarna merah yang menyendiri pada meja di dekat pintu masuk kamar, Ninna mendekat lalu tanpa curiga membuka kotak itu.
Kedua bola mata Ninna membulat sempurna, apalagi saat tangan kanannya mengeluarkan lingerie tipis berwarna merah bata dengan renda hitam sebagai pemanis.
"Kelakuan nih anak emang ya," geram Ninna dengan mimik geli.
Sialnya, belum sempat Ninna menyimpan kembali lingerie itu ke dalam kotak, suara pintu terbuka terdengar nyaring membuat Ninna tersentak dan menjatuhkan benda itu ke lantai.
"Na, Bunda tadi—"
Pandangan Kais, yang muncul dari balik pintu, fokus menatap benda di bawah kaki Ninna. Mereka bahkan mematung di posisi masing-masing, sampai Ninna buru-buru menyembunyikan benda itu ke belakang tubuhnya.
"Bunda kenapa?" tanya Ninna sambil melemparkan lingerie ke arah kopernya.
"Oh. Bunda tanya apa kamu masih mau makan malam? Kalau masih beliau tunggu di bawah," jawab Kais sambil berjalan ke arah kopernya, memunggungi Ninna.
"Saya masih kenyang, nanti biar saya kasih tahu Bunda," jawab Ninna yang susah payah menyelipkan lingerie tadi ke tumpukan bajunya dalam koper di belakang tubuh Kais.
"Oke," ucap Kais melepaskan pakaian resepsi yang masih melekat di badannya, menyisakan kaus putih polos dan celana pendek. "Na, kamu udah mandi, kan?"
"Udah. Kamu mau mandi? Kalau mau mandi, mandi aja."
Kais mengangguk seraya berjalan menuju kamar mandi. Sepeninggal Kais, Ninna merutuk tak habis-habis. Apalagi sesaat tadi wajah Kais terlihat sama syoknya melihat benda itu. Kelakuan Mutia kali ini benar-benar membuat Ninna hampir gila.
Gugup tiba-tiba menyergap Ninna, ketika dia sadar malam ini dia tidak lagi tidur sendirian. Ada Kais yang bakal menemaninya. Tubuh Ninna meremang, pelan-pelan keringat bermunculan di pelipisnya.
Segera, Ninna mengobrak-abrik tasnya di atas kasur dan mengeluarkan sekotak rokok dari sana. Setelah menemukan benda yang dimaksud, dia pun berjalan menuju beranda kamar dan membakar benda itu. Berharap gugup yang menjebak tubuhnya malam ini membiarkan dia seorang diri.
"Ngelamunin apaan? Serius bener."
Ninna berjengit. Kepalanya menoleh ke kanan saat Kais yang sudah lebih segar tiba-tiba muncul di sebelahnya.
"Kamu kelihatannya stres banget. Mikirin apa sih?" tanya Kais lagi saat Ninna enggan melirik ke arahnya. "Bukan karena hari ini kan?"
"Sotoy," kekeh Ninna sembari mengalihkan tatapannya ke depan.
Diam-diam pandangan Kais mengamati Ninna dari samping, memandanginya tanpa kata, seperti tengah mencari sesuatu dari sana. Sementara Ninna asyik dengan dunianya sambil mengamati pemandangan Jakarta di bawah mereka.
"Aku ngantuk. Kamu enggak ngantuk?" tanya Kais merenggangkan tubuhnya dan kembali masuk ke dalam kamar.
"Aku?" gumam Ninna geli.
"Kenapa? Kita kan udah suami-istri terlalu kaku kalau masih pakai kata saya," terang Kais merapikan selimut di atas kasur. "Oh iya, malam ini kalau kamu enggak nyaman, aku bisa tidur di sofa."
Ninna buru-buru mematikan rokok di tangannya dan mengekori Kais. "Enggak perlu. Sa—aku masih belum ngantuk. Tidur duluan aja, nanti aku nyusul."
Segera, Ninna mengambil jaket dari dalam koper untuk melapisi piyamanya dan berencana keluar kamar.
"Kamu mau ke mana?"
"Cari angin," jawab Ninna asal.
"Aku temenin," kata Kais berdiri di samping Ninna. "Enggak baik penganten baru keluar malem-malem sendirian."
"Kata siapa? Ngarang," gerutu Ninna berdiri di depan pintu.
"Aku," jawab Kais cepat. "Lagian kalau kamu nanti ketemu Bunda di bawah aku bisa kena omel loh biarin kamu keluar malem-malem. Masa baru beberapa jam jadi mantu udah kena omel."
"Ya udah, kalau kamu mau ikut. Ayo!" jawab Ninna menyerah.
Tepat dugaan Kais, baru saja dia dan Ninna keluar dari dalam lift di lantai bawah, kedua orang tua Kais, Bunda, dan Desta berjalan mendekat. Sudah kadung tertangkap basah, keduanya terpaksa menyapa dan tersenyum ke arah mereka.
"Bener kan kataku," bisik Kais di telinga Ninna.
"Loh, mau pada ke mana? Kok malam-malam bukannya istirahat di kamar, malah keluar?" tanya Ria menggoda mereka.
"Ninna suntuk di dalam kamar, Ma. Makanya mau jalan-jalan dulu sekitaran sini. Hitung-hitung olahraga," jawab Kais merangkul pundak Ninna dan memeluknya erat.
"Masa sih penganten baru di dalam kamar melulu suntuk," celoteh Desta yang bahunya langsung ditepuk Farah.
"Kalau gitu aku sama Kais duluan ya," pamit Ninna mulai tidak nyaman.
"Nin, kok manggilnya masih Kais sih. Mas dong. Dia kan sekarang suami kamu," kata Farah.
"Enggak apa-apa, Bun. Mungkin Ninna masih malu, belum biasa. Ya kan, Na?" tanya Kais melirik Ninna.
Ninna mengangguk. "I—Iya, Mas."
"Ya udah, kita ke atas aja yuk! Biarin mereka jalan-jalan dulu," kata Wira, ayah Kais, saat lift kembali terbuka di depan mereka. "Tapi ingat jangan kemaleman ya, Ka. Kasihan Ninna nanti kecapekan."
"Siap, Pa."
Rombongan keluarga mereka pun masuk ke dalam lift meninggalkan Ninna dan Kais sendiri. Segera, Ninna melepaskan tangan Kais di bahunya dan berjalan keluar lobi dengan mulut terkatup rapat. Sedangkan Kais mengikuti perempuan itu dari belakang juga tanpa kata.
"Ka, kamu yakin mau lanjutin ini?" tanya Ninna saat keduanya berada di luar hotel.
Kais menyejajari langkah Ninna dengan senyum simpul di bibirnya. "Jadi, karena ini kamu aneh seharian ini?"
"Maaf," ucap Ninna memandangi kendaraan bermotor yang lewat di sebelahnya. "Awalnya, aku pikir dengan setuju sama rencana Bunda, semua aman. Tapi beberapa hari kemarin kayaknya kepala aku mau meledak. Aku sadar enggak cuma ada aku dan Bunda di sini, tapi juga kamu, Om Wira, dan Tante Ria."
"Na, kita enggak bakal tahu kalau kita enggak coba," kata Kais menghadapkan tubuh Ninna kepadanya. "Aku kan udah bilang, aku cuma butuh teman, dan kita jalanin ini pelan-pelan, oke?"
"Soal anak kamu yakin Tante Ria enggak apa-apa?" tanya Ninna kedua matanya kini menuntut kepada Kais.
"Mama, Na," koreksi Kais. "Selama Mama enggak tahu, aku rasa aman. Lagian setelah aku dengar alasan kamu kemarin, buat punya satu sekarang kayaknya enggak mungkin. Ribet."
Ninna mengangguk dan kembali melangkah. Dia membiarkan kaki-kakinya yang hanya dilapisi sandal hotel bergerak sesuka hati. Rasanya nyaman setelah seharian ini mengenakan heels yang membuat kakinya kram.
"Kalau kamu, Na. Sebenarnya apa alasan kamu setuju sama lamaran aku kemarin?" tanya Kais tiba-tiba.
"Karena cuma kamu yang enggak anggap remeh sama pandangan aku," jawab Ninna melirik Kais di sebelahnya. "Dan Bunda juga kayaknya udah terlanjur jatuh cinta sama kamu. Aku takutnya beliau malah makin marah kalau aku kabur."
Senyum di bibir Ninna tidak lagi dapat dia tahan menemukan wajah Kais semringah. Lelaki itu bahkan kini terkekeh pelan di sebelahnya.
"Na, aku udah diskusi sama Mama dan Bunda tadi, buat selanjutnya nanti kita tinggal di apartemen aku di Pejaten kamu enggak keberatan, kan?" tanya Kais. "Aku tahu kamu kurang nyaman tinggal serumah sama Mama, lagian jarak kantor kita juga lebih dekat dari apartemen aku."
"Serius? Tapi untuk tinggal berdua enggak terlalu sempit?" tanya Ninna memastikan.
Kais mengangguk. "Tipe dua bedroom cukup, kan? Dulu juga aku beli awalnya cuma buat studio dan jaraknya lumayan dekat kampus."
"Oke," kata Ninna langsung setuju. "Thanks ya, Ka. Padahal tadi aku sempet pening loh mikirin ginian. Tahu sendiri debatnya Bunda sama Tante Ria gimana kemarin. Untung aja buat acara kita mereka satu selera, kalau enggak. Bisa pecah kepala aku."
Kais terkekeh. "Mama, Na. Sekarang kan beliau Mama kamu juga."
"Sorry," ucap Ninna. "Kayaknya kamu bener aku cuma belum biasa. Tapi sekarang aku bakal coba adaptasi."
"Termasuk yang ini juga," kata Kais menggenggam erat tangan Ninna. "Kamu juga harus mulai adaptasi loh."
"Apaan sih, Ka," kekeh Ninna geli sambil mendorong bahu Kais.
Alih-alih menyerah, Kais malah memindahkan tangan Ninna ke lengannya dan menggenggamnya erat. Ninna pasrah lalu membiarkan tangannya di genggaman Kais.
Kemudian sambil terus mengobrol panjang lebar, mereka melangkah pelan sepanjang trotoar. Sementara tatapan mereka bergerak mengamati jalanan ramai di arah kanan. Sampai tanpa sadar, mereka menghabiskan malam pertama mereka dengan hanya saling bertukar rasa, lelah, dan sudut pandang di jalanan malam itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top