4. Yes or No?

-

Pagi itu, Ninna yang tengah menyeduh kopi di pantry kantor tersentak ketika Delius, atasannya, menepuk pundaknya dari belakang.

"Kenapa, Mas?"

Delius yang bertubuh gempal dengan rambut berombak itu merogoh kantung kemejanya dan mengeluarkan sebuah kartu nama dari sana. Lelaki berumur hampir 40 tahun itu menyerahkannya kepada Ninna.

"Ini. Akun baru buat kamu. Saya mau kamu coba kenalan sama dia dan deketin dia," terang Delius sembari mengambil segelas air putih dari dispenser. "Soal existing client biar AE aja yang urus."

Ninna mengangguk sambil membaca kartu nama di tangannya.

"Namanya Yunita. Dia pemilik brand lokal Yu n I Wear. Setahu saya suaminya pemilik perusahaan kontraktor."

"Terus?" tanya Ninna menyeruput kopinya.

"Ya pokoknya saya enggak mau tahu kamu harus bikin dia setuju buat pakai jasa kita. Karena setahu saya channel digital dia udah mau habis kontrak dengan Fabulous Agency tahun depan. Bisa kan, Nin?"

"Waduh, berat dong Pak. Kesannya kita kayak nyerobot klien orang," gerutu Ninna menyandarkan tubuhnya ke bar pantry.

"Enggak dong. Kan kita cuma nawarin yang enggak agency lain kasih. Tunjukin dong hebatnya Tiger Agency gimana," cerocos Delius dengan wajah berapi-api. "Ya, kan? Iya, dong ... Rawr."

Bibir Ninna meringis geli saat mendengar kalimat terakhir Delius. Kalimat bernada panjang ditambah mimik tengil yang selalu menjadi identitasnya. Kalimat yang bakal membuat bawahan Delius terpaksa mengucapkan kata "iya".

"Oke," jawab Ninna akhirnya. "Ngomong-ngomong Mas dapet kartu namanya dari mana?"

"Acara JFW kemarin."

"Mas ngapain ke JFW? Tumben amat. Biasanya juga kalau dapet undangan dari client suka kasih ke kita-kita," goda Ninna iseng.

Delius terlihat kikuk lantas membenahi kemejanya dengan salah tingkah. "Saya ke sana sendiri. Emang salah cowok dateng ke JFW."

"Saya enggak bilang Mas nemenin cewek ke sana. Lagian enggak salah juga kok cowok ke sana," kata Ninna menahan tawa, lalu mengerling iseng kepada Delius. "Hm ... udah move on nih."

Sementara itu, Delius sudah semakin gelisah di depan Ninna. Atasan Ninna yang satu ini memang sudah lama menduda setelah istrinya menggugat cerai dua tahun yang lalu. Makanya, penampilan Delius selalu terlihat berantakan. Anak kantor bilang gara-gara kurang perhatian di rumah.

"Udah ah. Saya mau makan siang," potong Delius cepat. "Ingat! Kamu harus bisa dapetin kontrak dari Yunita. Oke! Awas kalau enggak."

Ninna tersenyum kecil. "Iya Mas. Tenang aja, saya bisa jaga rahasia kok kalau Mas udah punya cewek baru."

Delius mendesis dan melangkah pergi meninggalkan Ninna yang terkekeh di meja bar pantry. Ponsel Ninna tiba-tiba bergetar. Dia lalu memeriksa layar ponselnya.

Bunda :

Nin, Sabtu ini kamu harus balik. Ada hal penting yang mau Bunda omongin.

Ninna mengernyit, sebab ini pertama kali Farah menghubunginya lebih dulu. Setelah debat mereka hampir dua bulan yang lalu, Farah memang terkesan cuek dengan Ninna. Bahkan, saat acara ke Puncak saat itu pun Farah hanya sesekali menegurnya. Farah malah sibuk mengobrol dengan Kais.

Kareninna :

Emang ada apa, Bun?

Bunda :

Jangan banyak tanya. Kalau kamu masih sayang Bunda, balik.

Ninna meletakan gelas kopinya ke meja. Sementara tatapannya menerawang dan mengamati beberapa kubikel kosong yang ditinggal penghuninya untuk makan siang.

Warna-warni dinding terlihat mencolok di sekeliling kubikel dengan tulisan "When a man wants to murder a tiger he calls it sport; when a tiger wants to murder him he calls it ferocity." - George Bernard Shaw.

Sebuah kalimat yang menjadi kata-kata motivasi kantor agency Ninna. Delius bilang agar mereka selalu berani dan tahan banting seperti macan, mentang-mentang nama kantor agency mereka bernama Tiger. Namun, se-nyeleneh apapun atasannya itu, bekerja di sini merupakan suatu mimpi Ninna yang terwujud dan dia bangga dengan itu. Namun, sepertinya bagi Farah selalu ada yang kurang dengan dirinya. Konsentrasi Ninna kembali kepada pesan Farah.

Kareninna :

Iya, aku pasti balik.

Namun, belum sempat Ninna membawa gelas kopi ke mejanya, ponsel Ninna lagi-lagi meraung. Kali ini, Kais yang menelepon.

Ninna tercenung. Selama dia mengenal Kais, lelaki itu tidak pernah menelepon dia di jam kerja. Rasanya ada yang janggal.

"Halo. Kenapa, Ka?" tanya Ninna sembari melangkah menuju meja kerjanya.

"Na, kamu udah makan siang, kan?" Suara Kais terdengar ngos-ngosan dari seberang telepon.

"Kamu kenapa? Kok suaranya kayak lagi lari-lari?" tanya Ninna bingung.

"Saya emang lagi lari-lari. Kamu enggak usah tanya kenapa," kata Kais terdengar gelisah. "Di dekat kamu ada kursi?"

Alis Ninna menyatu. "Ada. Kenapa?"

"Mendingan sekarang kamu duduk nyaman di sana dan dengerin saya ngomong," terang Kais yang suaranya terdengar lebih tenang.

"Apaan sih?! Kamu enggak jelas banget."

"Enggak perlu banyak tanya, duduk sekarang. Saya mau ngomong sesuatu. Penting!"

Setengah hati, Ninna menurut lantas duduk di kursi meja kerjanya. "Udah."

"Na," Kais menjeda kalimatnya untuk mengambil napas. "Mama mau datang ke rumah kamu minggu ini."

"Terus? Apa urusan saya? Tante Ria cuma mau ketemu Bunda kan? Minggu-minggu kemarin juga gitu."

Di seberang telepon, Ninna mendengar Kais mengumpat. "Bukan cuma Mama tapi juga Papa dan saya. Mama minta saya buat ngelamar kamu."

"Hah?! Kamu gila?" teriak Ninna spontan.

"Saya tahu kamu bakal ngerespons kayak gini. Saya juga kaget. Mama yang mutusin sendiri, Mama bilang dua bulan udah cukup buat kita saling kenal. Dia ngira dekatnya kita selama ini udah lebih dari sekadar teman.

Makanya sekarang saya mau make sure ke kamu. Karena jam dua saya bakal cari seserahan dengan orang tua saya, saya tunggu jawaban kamu sampai jam satu soal rencana keluarga kita. Saya serahin keputusannya semua ke kamu. Kalau kamu mau nolak, saya enggak keberatan. Tapi kasih saya kepastian biar orang tua saya enggak berharap lagi."

Mulut Ninna terkatup rapat. Peluh mendadak bermunculan di keningnya.

"Na, kamu mau kan nikah sama saya?"

Ninna merasakan tubuhnya kaku. Hanya bola matanya yang bergerak ke arah jam di dinding. Ninna menelan ludah gusar saat melihat jam sudah berada di angka 12.30.

"Kasih saya waktu sampai jam 12.59. Enggak-enggak-enggak 12.50 aja. Nanti kamu telepon lagi, oke," perintah Ninna dengan suara lirih.

"Oke. Saya tutup. Sekarang saya mau samperin orang tua saya ke Pasar Majestik sebelum mereka udah belanja yang macam-macam. Dah."

"Dah."

Usai menutup teleponnya, Ninna bangkit dengan pandangan menyapu ruangan kantor.

"Mutia mana?!" teriak Ninna kepada dua orang rekannya yang mengobrol dari balik kubikel.

"Kantin bawah. Makan siang kayaknya."

"Kampret! Dia ninggalin gue lagi. Thanks ya," kata Ninna lalu dengan cepat berlari keluar kantor. Suara hak tingginya sampai-sampai menggema sepanjang jalan menuju lift.

Di dalam lift, dada Ninna berdetak tidak pernah bisa tenang. Tangannya berkali-kali menyentuh ponsel dan menghubungi Felix, tetapi tidak juga diangkat.

Di lantai bawah, Ninna semakin senewen melihat jam sudah menunjukan angka 12.40. Segera, dia berbelok ke kantin dan mencari sosok Mutia di antara puluhan manusia yang berisik bak kumpulan tawon.

"Mut! Mutia!"

Beruntung, Ninna menemukan sosok sahabatnya itu di meja dekat pintu masuk. Akan tetapi, tidak ada tanggapan dari Mutia. Perempuan itu malah asyik bergosip sambil mengunyah makan siangnya.

"Mutia! Lo ikut gue sekarang!" Ninna yang sudah tidak sabar, menarik lengan Mutia keluar dari area kantin. Ninna membawa sahabatnya itu menuju sudut di dekat kamar mandi wanita, tidak peduli akan potongan rendang di garpu yang Mutia bawa.

"Lo habis maraton di mana, Nin?" tanya Mutia menyantap potongan rendang di garpunya dengan enteng.

Ninna mengelap peluh yang bermunculan di pelipisnya. "Jangan banyak tanya! Sekarang gue mau minta pendapat lo."

Mutia menelan makanannya cepat. "Oke."

"Minggu depan ... Kais ... mau ke rumah gue. Dia ... mau ngelamar gue," terang Ninna susah payah.

Kedua bola mata Mutia terbelalak, sementara wajahnya semringah. "Serius?! Lo mau kawin?! Selamat ya Nin! Ah, gue happy."

"Belum," seru Ninna jengkel. "Dengerin gue dulu bisa enggak sih. Gue harus jawab apa?"

"Jawab apanya?" tanya Mutia bingung.

"Yes or No?"

"Apaan sih, Nin?" gerutu Mutia gemas. "Lo lari-lari cuma mau nanyain ini ke gue? Kenapa lo malah tanya ke gue? Kan yang mau kawin elo."

Ninna menunduk. "Gue bingung Mut. Gue takut. Udah gitu, gue telepon Felix buat ditanyain pendapat pun enggak diangkat sama dia."

"Apa lagi yang mesti dibingungin?" ujar Mutia gregetan. "Yang seharusnya bingung itu gue kali. Cowok aja enggak punya, gimana mau dilamar."

"Mut ... jangan bercanda," gumam Ninna melirik Mutia sebal.

"Simpel Nin ... Sekarang gue tanya, perasaan lo sama Kais gimana? Lo ngerasa risi dekat dia atau malah nyaman? Kalo risi, ya, tinggal tolak. Tapi kalau lo emang mau coba, kenapa enggak?"

Ninna mengembuskan napas berat sementara tangannya yang menggenggam ponsel kembali bergetar. "Tapi kalau lo jadi gue?"

"Yes."

Ninna terdiam. Dia melirik jam di ponselnya.

12.55

Seolah bersekongkol, detik pun berlalu dengan lambat membuat jantung Ninna semakin berdentum kencang.

Diam-diam, pertemuan pertama dengan Kais, obrolan Ninna dengan lelaki itu dan bagaimana cara Kais memperlakukannya bermunculan di otak Ninna. Selain itu, kebaikan Tante Ria, nasehat Genna, dan pesan Bunda tadi membuat Ninna termenung. Tubuhnya bahkan sudah panas-dingin sekarang, ditambah lagi belum ada asupan makanan yang masuk ke lambungnya sedari pagi.

"Nin?" panggil Mutia menyadarkan Ninna. "Lo ... sehat kan?"

Ninna menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. Dia lalu mengangkat ponselnya ke udara dan menghubungi salah satu kontak di sana. Suara nada tunggu terdengar, jantung Ninna seperti berhenti berdetak ketika panggilan itu diangkat tanpa menunggu lama.

"Jadi?" tanya Kais dari seberang telepon.

"Ya," jawab Ninna amat pelan. "Saya mau nikah sama kamu."

Suara kekehan Kais terdengar jelas dari seberang telepon, sementara Mutia berteriak kegirangan. Sampai-sampai beberapa karyawan yang hendak menggunakan toilet mengurungkan niatnya.

"Akhirnya! Temen gue kawin!" seru Mutia spontan.

Ninna merasa tubuhnya melemas. Kepalanya terasa kosong. Rasanya aneh saat dia mengatakan iya.

Sementara Mutia masih sibuk dengan dunianya sendiri, Ninna menyandarkan punggungnya ke tembok toilet. Tubuhnya terasa lemas memikirkan kata pernikahan.

"Nikah?" gumam Ninna terdengar lirih, sebelum kemudian tak sadarkan diri.

"Nin! Lo kenapa?!

Enam bulan kemudian, bunga-bunga hidup berwarna putih memenuhi sebuah aula pernikahan semi outdoor di daerah Jakarta Pusat. Puluhan ornamen dengan warna senada juga semakin mempermanis area taman dan selasar di sebelah kanan aula. Sementara beberapa orang terlihat hilir-mudik di area koridor serta ruangan yang disulap sebagai ruang ganti.

Ninna yang berada di salah satu ruangan, duduk menghadap cermin besar. Wajahnya terlihat anggun saat mematutkan diri di depan cermin. Namun, berbanding terbalik dengan riasan di wajahnya, tidak ada senyum bahagia apalagi semu malu-malu di sana. Padahal ini hari pernikahannya.

Hari pernikahan yang 80% nya direncakan oleh Farah dan kedua orang tua Kais. Sebab lelaki itu pun sama seperti Ninna, terkesan tak acuh dan membiarkan kedua ibu mereka yang memikirkan semuanya. Ninna bahkan yakin di acara resepsi nanti hanya sebagian kecil tamu yang dia kenal. Padahal ini hari pernikahannya.

Ninna mengambil ponsel di atas meja rias. Senyum miris tampak ketika pesannya kepada Felix tidak digubris oleh lelaki itu. Mutia bilang, Felix tengah mendapat dinas luar ke Surabaya sampai minggu depan. Lelaki itu memang mendadak aneh saat Ninna memberi kabar bila dia akan menikah beberapa bulan yang lalu. Ninna merasa kehilangan Felix, sebab selama belasan tahun lelaki itu yang selalu bersamanya di tiap momen penting dalam hidupnya. Terasa ada yang mengganjal tidak ada Felix di sini, padahal ini hari pernikahannya.

"Nin, udah siap?" Kepala Mutia muncul dari balik pintu. "Kakak lo bilang keluarganya Kais udah dateng."

Seorang perias dengan segera membenahi sanggulan dan payes di kening Ninna. Sementara yang lain, merapikan kebaya putih di tubuh Ninna.

"Mut, Felix hubungin lo?" tanya Ninna.

Mutia mengangguk. "Dia bilang minta maaf karena enggak bisa dateng. Dia masih di luar kota."

Ninna mengembuskan napas panjang. Sementara Mutia dengan gaun berwarna coral lembut, mendekat. Mutia membantu Ninna untuk bangkit dan berjalan.

"Yuk, keluar! Kais pasti kaget lihat lo cantik kayak gini."

Ninna menatap Mutia dan tersenyum kecil tanpa kata.

Pintu di depan mereka pun terbuka lebar. Pemandangan outdoor dengan rerumputan hijau membentang menyambut Ninna. Langkah Ninna bergetar dan sempat hampir tersandung ketika melihat ada Kais tersenyum lebar didampingi keluarganya di depan sana.

"Ninna ayo!" Farah menyambut tangan Ninna dengan senyum yang juga lebih lebar dari biasanya.

Ninna terenyuh. Sudah lama dia tidak melihat senyum itu di wajah keriput Bunda. Ninna harap, setelah ini semuanya akan baik-baik saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top