1. Nikah?

-

Pagi itu, suasana sebuah rumah di daerah Tangerang terlihat ramai. Beberapa orang hilir-mudik di sekitar ruangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa semuanya bercampur menjadi satu. Dekorasi manis berwarna merah muda juga tampak hampir di semua sisi ruangan dengan hiasan foto-foto lucu seorang bayi perempuan mungil yang tersenyum menggemaskan.

Sementara itu, suara tangisan bayi terdengar meramaikan suasana dari salah satu kamar kemudian mereda setelah hampir lima belas menit berlalu. Tangisannya yang semula kencang berubah menjadi isakan lantas berhenti sama sekali.

"Kamu udah cocok kali, Nin, buat punya yang kayak Mia satu," goda Genna mengamati anak perempuannya yang terlihat tenang di atas tempat tidur bersama Ninna, selagi dia membenahi rambutnya di depan cermin.

Ninna tersenyum kecil sambil memasangkan popok pada Mia, keponakannya yang baru berumur tiga bulan. "Maksud Mbak, bayi?"

Genna menghentikan sapuan blush on di pipinya, lalu mengangguk cepat. "Kamu bukannya dari dulu suka main sama anak-anak? Lagian buat gantiin popok juga udah telaten banget kok itu."

Ninna bangkit sambil membawa Mia ke gendongannya. Batita itu terlihat tenang berada di pelukan sang tante. Kemudian sambil terkekeh, Ninna menyerahkan Mia ke tangan ibunya.

"Main sama anak itu beda kali Mbak sama besarin anak. Ribet. Sekarang mungkin masih seneng-seneng aja main, peluk, dan cium. Tapi kalau lagi nangis seharian? Beuh, bisa pecah kepala aku," gerutu Ninna seraya memoleskan lipstik merah marun ke bibirnya.

Genna perlahan mengangguk lalu bangkit dari duduk. "Iya juga sih. Apalagi kalau si Abang udah jealous sama Mia. Terus Bapaknya anak-anak malah cuek dan anggap hal ini biasa aja. Pening kepalaku, Nin."

Ninna mengulum senyum di belakang kakaknya. Sementara Genna berjalan keluar kamar sebab acara akikah hari itu akan segera dimulai.

"Padahal ya Nin, berdasarkan artikel yang aku baca, jealous-nya si Abang bisa ngaruh loh ke psikologis dia. Enggak tahu deh, Mas kok jadi makin cuek sejak aku hamil Mia. Beda banget waktu aku hamil si Abang. Kesel aku."

"Namanya juga masih anak pertama Mbak. Tapi yang penting, kan, dia masih mau bantu begadang tiap malam jagain Mia," ujar Ninna menemani Genna berjalan ke ruang tengah yang sudah disesaki orang-orang yang duduk bersila mengelilingi ruangan.

"Lagi ngomongin aku, nih, pasti," seloroh Desta suami Genna dari arah belakang mereka. Sontak membuat kakak-beradik itu tertawa geli.

"Mau tahu aja urusan cewek," cibir Genna. "Acara udah siap, kan?"

"Udah, tuh. Si Bunda sama Sam udah duduk di sana," tunjuk Desta ke arah wanita paruh baya dan bocah berumur lima tahun yang duduk di barisan tengah.

"Ya udah langsung dimulai aja. Enggak enak kalau kelamaan nunggu," ajak Genna kepada Ninna dan Desta. "Yuk!"

Ninna mengangguk. Sementara Genna dan Desta melangkah ke tengah, Ninna tetap berdiri di tempat. Senyum pelan-pelan hadir saat mengamati Genna dan keluarga kecilnya di sana. Apalagi Farah, ibunya, pun terlihat bahagia menggoda cucu-cucunya. Ninna merasa ada kehangatan yang diam-diam hadir di dadanya.

Acara akikah baru selesai setengah jam yang lalu. Setengah tamu bahkan sudah menghilang dari dalam rumah, tersisa beberapa anggota keluarga serta kerabat dekat yang masih mengobrol di ruang tamu.

Ninna yang bertugas mengantarkan kudapan agak menyingkir ke sudut saat ponselnya berteriak dari dalam pouch di tangannya. Dahi Ninna berkerut menemukan nama atasannya di layar ponsel.

"Kenapa Mas?" tanya Ninna di halaman belakang.

"Saya lagi di Tangerang. Iya, masih besok, kan? Pagi-pagi saya pasti udah sampai kantor Pak Hendra. Saya coba nego lagi soal brief buat pitching nanti."

Ninna menarik napas berat ketika suara atasannya itu semakin panjang dan bertele-tele, selagi pandangannya tertumbuk pada barisan ikan-ikan koi peliharaan Desta di halaman belakang.

"Siap Mas. Nanti saya pasti kabari lagi kalau ada lampu hijau. Baik."

Ninna menutup panggilan teleponnya. Tarikan napas panjang milik Ninna terdengar. Kemudian masih di halaman belakang, dia pun mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam pouch dengan sembunyi-sembunyi. Namun, baru saja dia akan menyalakan sebatang rokok tepukan pelan menyentuh bahunya.

"Nin, kamu ngapain di sini? Dicari Bunda tuh di depan."

Sempat kaget, Ninna memasukkan kembali benda itu ke dalam tas tangannya ketika suara Desta menyadarkan dia dari belakang.

"Emang Bunda ngapain cari aku?" tanya Ninna mencubit gemas pipi Sam di gendongan Desta.

"Jangan banyak tanya. Nanti juga tahu," kata Desta sambil tersenyum penuh misteri lalu berjalan terlebih dahulu ke ruang depan.

Baru saja Ninna sampai di ruang tamu, tawa heboh ibu-ibu di tambah obrolan seru seorang lelaki membuat langkahnya terhenti. Bukan soal suara berisiknya, tetapi sosok lelaki berkacamata dengan baju batik dilicin rapi yang menjadi perhatian Ninna.

"Nin, sini! Kamu masih ingat Teja?" tanya Farah sambil menepuk bahu seorang lelaki yang duduk di sebelahnya.

"Kais, Jeng. Bukan Teja," koreksi wanita paruh baya yang samar-samar Ninna ingat adalah tetangga mereka dulu, Tante Ria.

"Iya sih, tapi nama kamu Kais Suteja, kan?" tanya Farah yang dijawab anggukan seadanya dari Kais, sebab tatapan lelaki itu juga terlihat kaget ke arah Ninna.

"Enggak apa-apa, Tan. Panggil apa aja," jawab Kais tersenyum menyapa Ninna.

Sementara itu, Ninna tetap bergeming. Bayangan kejadian kemarin justru membuat senyum di bibir Kais terkesan menyebalkan.

"Terus sekarang kamu kerja di mana? Mama kamu bilang, kamu baru balik dari Inggris?"

"Setahun udah enggak baru, Tan. Sekarang saya ngajar di Universitas Seni Nusantara," terang Kais dengan mata tidak pernah lepas dari Ninna, yang ditarik paksa oleh Genna untuk ikut duduk bersama mereka.

"Oh, jadi kamu dosen? Dosen apa?" tanya Genna antusias.

"Seni rupa. Tapi selain itu saya juga bantu-bantu proyek teman atau sekadar bikin penelitian."

"Itu lah, Mbak. Kais itu selalu sibuk. Saking sibuknya dia enggak punya waktu buat cari jodoh. Bikin gemes," imbuh Ria sambil menepuk pelan pipi anaknya.

"Sama dong kayak si Ninna. Dia ini repot banget. Buat ketemu sama keluarganya aja sulit, gimana mau dapet cowok," imbuh Farah dengan mata melirik Ninna.

Ninna memasang ekspresi sebal dan menoleh kepada Genna. "Bunda enggak punya rencana yang aneh-aneh, kan?" bisiknya.

Genna mengedik sambil tersenyum lebar. Sementara obrolan ibu-ibu di sana menjelma semakin aneh dan kacau.

Ninna memijat pelipisnya yang terasa pening ketika ucapan Farah dan Ria kembali terngiang-ngiang. Soal masa kecilnya dan Kais yang selalu bersama bak kakak-beradik. Bahkan, saking dekatnya, mereka seringkali tidur. Padahal, demi apapun Ninna tidak ingat sama sekali mengenai lelaki itu.

"Hai, serius banget."

Ninna mendongak, menatap Kais sekilas, dan kembali sibuk menata jajanan pasar ke dalam piring. "Kenapa?"

"Pantas saya ngerasa pernah lihat kamu sebelumnya," kata Kais masih mengamati sosok Ninna.

"Terus kalau kita pernah ketemu sebelumnya, kenapa? Saya lupa pernah kenal sama kamu."

Sudut-sudut bibir Kais terangkat naik. Sambil mengambil satu buah lemper dari dalam piring Ninna, dia mengikuti perempuan itu berjalan kembali ke ruang tamu.

"Berarti kamu kudu minta maaf, dong, ke saya."

Langkah Ninna berhenti mendadak. "Buat?"

Kais melipat kedua tangannya ke dada. "Karena kamu udah nuduh saya macam-macam kemarin."

Bibir Ninna terkatup. "Oke, sorry."

Senyum di bibir Kais makin lebar, sementara tangannya kembali mencomot satu buah kue dari dalam piring.

"Lagian kalau pun saya punya pikiran negatif ke kamu, bukan salah saya, dong. Kelakuan kamu yang tengkurap di lantai museum siang-siang, justru bikin malu diri kamu sendiri," imbuh Ninna.

Kais menelan makanannya bulat-bulat dan mengangguk membenarkan. "Sedikit koreksi," katanya kali ini mengambil dua risol sekaligus dari piring di tangan Ninna. "Saya enggak sedang tiduran seperti yang kamu bilang tadi, saya enggak segila itu. Oh iya, kamu tahu soal suku Asmat? Nah, perahu kemarin itu berasal dari sana yang seni ukirnya terkenal di dunia. Jadi, bisa dibilang kemarin itu saya enggak sembarang tengkurap."

Ninna bergeming. Mata perempuan itu mengamati sosok lelaki di depannya tanpa antusias. Walaupun dia sadar raut wajah Kais cukup nyaman dipandang terutama di bagian bibir. Namun, cara Kais berbicara sambil terus mencomoti jajanan di atas piringnya praktis membuat dia darah tinggi.

"Oke bapak dosen yang terhormat," potong Ninna sambil memindahkan piring kue ke belakang tubuhnya. "Sebelum kue di sini habis, boleh saya pergi? Dan sayang banget saya enggak tertarik dengan obrolan Anda. Permisi."

"Sorry," ucap Kais menarik kembali tangannya yang baru akan mengambil sebuah camilan lagi dari piring Ninna.

"Sok akrab," gerutu Ninna melenggang pergi.

"Oh iya, nama saya Kais," seru Kais di belakang Ninna. "Orang bilang tak kenal maka tak sayang, kan?"

"Ninna. Tapi sayangnya saya sedang enggak tertarik buat kenal sama kamu," jawab Ninna jelas dan padat tanpa membalikan badan.

Bibir Kais terkatup rapat sedangkan kedua matanya asyik mengamati Ninna dari jauh. Sampai tanpa sadar bibirnya melengkung dan tersenyum ke arah Ninna.

Setelah semua tamu di rumah pulang, Ninna dan keluarganya duduk dan beristirahat sambil menikmati sisa kudapan serta mengobrol panjang lebar. Ninna kemudian bangkit dan berinisiatif membantu Genna dan Imah, asisten rumah tangga Genna, untuk membereskan area meja makan.

"Nin, kamu nginep, kan?" tanya Genna sambil membenahi meja makan.

"Enggak. Aku besok mesti berangkat pagi."

"Berangkat dari sini juga bisa kan, Nin," celetuk Farah yang tiba-tiba sudah berdiri di antara mereka. "Lagian kamu di kostan ada siapa, sih? Enggak ada yang diurus juga."

"Bun, kerjaan aku kan banyak. Besok juga aku mesti ke kantor klien pagi-pagi," terang Ninna.

"Kerja itu jangan diforsir sampai lupa cari jodoh," gerutu Farah sambil membantu Genna menyusun piring bersih.

"Bun," sergah Ninna tidak suka.

"Terus lelaki yang tadi gimana, Nin? Oke, kan?" tanya Genna mengalihkan pembicaraan.

Ninna mendengkus sebal. "Cowok yang mana?"

"Anaknya Ria," kata Farah menimpali.

"Kais?" tebak Ninna.

Farah mengangguk.

"Bunda enggak lagi punya rencana buat jodohin aku, kan?" tanya Ninna mulai kesal.

"Enggak dijodohin Ninna, cuma dikenalin," koreksi ibunya.

Ninna meletakkan asal lap di tangannya ke atas meja. "Tapi ujungnya? Bun, aku kan udah bilang kalau aku enggak suka dijodohin."

"Ya udah, kalau enggak suka dijodohin. Sekarang Bunda tanya, memang maunya kamu apa?" seru Farah dengan intonasi mulai naik. "Kakak kamu aja udah punya anak dua. Sedangkan kamu? Kamu itu perempuan, Ninna. Kamu itu harus ingat umur."

"Bunda kenapa sih? Emang salah kalau aku belum nikah? Atau salah juga kalau aku enggak mau nikah? Apa semua cewek harus nikah?" kata Ninna terpancing emosi.

"Ninna! Kalau kamu enggak mau nikah kamu mau ngapain? Kerja?! Sampai kapan? Emang kamu enggak capek?!"

"Bun, udah." Genna mengusap punggung Farah.

Ninna terdiam. Raut wajahnya mengeras seperti menahan amarah. Selalu, dia tidak pernah bisa sependapat dengan sang ibu.

"Ninna mending kamu ke depan aja temenin Mas Desta jagain anak-anak," perintah Genna menengahi.

"Hidup itu bukan sekadar buat nikah, Bun. Kerja dan punya manfaat buat orang lain pun bisa jadi tujuan hidup," gumam Ninna dengan tatapan turun ke lantai.

Farah menjatuhkan bokongnya ke kursi meja makan dengan tatapan sedih kepada Ninna. "Tapi Ninna, Ibu cuma mau kamu bahagia."

Ninna menggeleng. "Bahagia itu punya banyak ukuran, Bun. Dan bahagia enggak bisa diukur cuma dengan menikah."

Farah mematung. Air mata mulai menggenang di pelupuknya.

"Mbak, aku balik duluan. Biar sampai kostan enggak kemaleman," pamit Ninna berbalik pergi.

"Kamu serius mau balik sekarang?" tanya Genna menahan tubuh Ninna. Adiknya itu mengangguk.

"Terus aja kamu kayak gitu. Kamu itu selalu kabur kalau ngomongin soal ini. Kalau gitu Bunda mau diem aja. Terserah kamu mau ngapain, Bunda enggak peduli," cerocos Farah kesal.

"Udah. Bunda cuma lagi kecapekan. Yuk, Mbak antar ke depan," ajak Genna saat tatapan Ninna kembali jengkel kepada ibunya. Ninna mengangguk sambil membawa barang-barangnya ke depan.

Di halaman depan udara terasa lebih cair dibandingkan ruang makan. Dinginnya hawa malam itu pun meredakan panas yang sempat berkecamuk di dada Ninna.

"Nin, kalau Mbak boleh kasih saran. Enggak ada salahnya kamu kenalan dulu sama anaknya Tante Ria. Mbak lihat dia baik kok," kata Genna membantu Ninna membawakan tas bajunya. "Nanti kalau kamu enggak cocok kamu bisa mundur."

Ninna menjemput tas di tangan Genna dan mengeluarkan kunci mobil dari sana. "Yakin aku bisa mundur? Yakin aku punya pilihan lain? Kakak kan tahu Bunda kayak gimana."

"Mendingan kita omongin ini lain waktu. Biar Bunda istirahat dulu. Beliau pasti kebawa emosi gara-gara kecapekan hari ini."

Ninna mengangguk dan mencium punggung tangan kakaknya. "Aku balik, ya, Mbak. Salam buat Sam dan Mia."

"Iya. Kamu hati-hati. Kabarin Mbak kalau kamu udah sampai kostan."

Kurang dari lima belas menit, mobil yang Ninna kendarai sudah keluar dari pekarangan rumah Genna. Jalanan yang sepi membuat hati Ninna tidak tenang. Sebab heningnya malam ini justru semakin membuat luka yang tertidur sejak lama akibat ibunya, perlahan muncul dan membuat dadanya kembali sesak.

Buru-buru Ninna menepikan kendaraannya ketika sesak itu membuatnya kesulitan bernapas. Ninna lantas keluar dari dalam mobil sambil meraup udara sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paru begitu dia berhasil menepi.

Sebuah benda kecil panjang berwarna putih Ninna keluarkan dari dalam pouch. Tangannya tampak bergetar saat dia berusaha menyalakan pemantik di sana. Sambil menghisap benda itu dalam-dalam, air mata pun bergulir membasahi pipi Ninna.

Ninna menunduk, sementara tangannya yang bebas menopang kepala yang terasa berat. Air mata semakin deras turun, isakan Ninna pun terdengar samar di jalanan yang senyap seolah memberikan waktu kepadanya untuk sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top