9. Charlie, Charlie

Ingatan Shelby Emily (10); 2014, 7 November

Suara detik jarum jam terdengar, seolah menelusuri setiap sudut kamar. Bocah perempuan itu tidak bisa tertidur, memang sudah kebiasaannya sejak beberapa bulan yang lalu.

Dia tahu, kebiasaannya itu akan mempengaruhi kesehatan fisiknya. Namun, dia benar-benar tidak bisa tidur lebih awal. Seolah kantuknya bahkan enggan untuk mengetuk pintu kamar. Padahal, si bocah baru menduduki bangku kelas lima sekolah dasar.

Apa yang dia lakukan sampai bisa terlelap? Dia membuat percakapan dengan dirinya sendiri dalam benak. Dia bertanya, apakah esok hari akan turun hujan? Apakah dia akan tertidur?

Tatapannya kosong, menyorot atap kamar yang hampa. Tidak ada yang bisa dilihatnya. Dia juga tidak bisa bermain dengan mainan-mainan miliknya. Kalau dilakukan, nanti kedua orang tuanya bisa terjaga.

Ponsel? Anak sekolah dasar tidak punya ponsel, dia diajarkan seperti itu. Belum saatnya si bocah menyentuh benda persegi panjang tipis yang bisa melakukan apa pun itu. Lagipula, si bocah tidak tertarik dengan benda tersebut.

Kalau ditanya kenapa, karena kedua orang tuanya juga memainkan ponsel. Dampaknya, si bocah bahkan tidak bisa mengajak kedua orang tuanya bermain seperti dulu. Entah apa yang mereka lihat pada benda persegi panjang itu, tetapi mereka sangat fokus.

Sangat fokus sampai mereka tidak menyadari keberadaan si bocah.

Sangat fokus sampai semua cerita si bocah hanya ditanggapi dengan anggukan singkat.

Sangat fokus sampai mereka tak punya waktu untuk anak sulungnya.

Bosan. Enaknya main apa, ya? Hm, padahal sudah larut malam, aku tidak bisa bermain. Si bocah menggulingkan badannya di atas ranjang, masih bosan.

Kegelapan ini biasanya membuat dia takut, tetapi dia mulai terbiasa setelah beberapa lama. Tidak ada yang keluar di balik kegelapan, tidak ada yang menyapanya di balik kegelapan.

Besok sekolah, batin si bocah. Aku tidak mau sekolah.

Dia terduduk, menyapu kamarnya dengan pandang. Tidak ada yang berubah, tidak ada yang bersembunyi, tidak ada makhluk kegelapan. Ternyata, ketakutannya yang pernah hadir itu sia-sia. Dia menghela napas, merasa bodoh telah takut kepada sesuatu yang tak nyata.

Si bocah turun dari ranjangnya, dia merasa haus. Dia berjingkat supaya tak menghasilkan suara apa pun. Sebetulnya tidak perlu melakukan itu, tetapi dia merasa dia harus melakukannya.

Si bocah menuruni tangga, hendak pergi ke dapur untuk mendapatkan segelas air. Tidak ada yang bangun selarut ini, hanya dia seorang. Rasanya seolah tinggal sendirian tetapi tidak bisa menghasilkan suara.

Dia melewati pintu kamar orang tuanya. Dahulu, saat dia merasa takut dengan kegelapan, dia bisa datang ke kamar orang tuanya dan minta untuk tidur bersama mereka. Namun, dia tidak bisa melakukannya sekarang.

Bukan hanya karena dia tak takut lagi dengan apa pun itu yang bersembunyi di balik tempat yang gelap, dia juga tak mau mengganggu kedua orang tuanya yang selalu sibuk. Tidak, dia tidak marah dengan kesibukan itu. Mereka mencari uang juga 'kan untuknya sendiri.

Si bocah menghela napas, tubuhnya yang pendek bergerak lunglai. Dia tidak mau berjalan jauh ke dapur, tetapi dia haus. Maniknya mengerjap, kemudian dia mengernyit ketika jaraknya ada beberapa meter dari dapur.

Ada seseorang di sana, di depan kulkas. Si bocah mengerjap, orang itu tinggi sekali. Apalagi karena dia kurus kering, tingginya sampai kelihatan jelas. Kulitnya sedikit berwarna gelap, rambut kepalanya hanya tumbuh beberapa helai.

Tangannya yang seumpama tulang dibalut kulit panjang sekali, sampai betisnya sendiri. Si bocah mengernyit, siapa orang asing dengan gangguan kurang gizi ini?

Dia mendekat, berhenti tak terlalu jauh dari orang itu.

"Permisi, Tuan ... um, Nyonya? Anda siapa?" tanya si bocah tanpa ragu. Orang di hadapannya terdiam, kemudian dia berbalik hanya untuk menampakkan wajahnya yang bahkan kurus juga.

Pipinya sangat tirus, dagunya agak bengkok. Tempat di mana seharusnya hidung berada berlubang, dia tidak punya alat untuk mencium. Kedua matanya begitu besar, bersinar terang tanpa pupil.

"Kamu siapa?"

Orang itu tidak menjawab pertanyaan si bocah. Dia hanya mentapanya dalam diam, seolah dia kagum dengan apa yang ada di hadapannya. Padahal, si bocah hanya seorang anak-anak.

"Kamu lapar, ya? Aku bisa mengambilkanmu makanan. Makanan apa yang kamu suka?"

Sekali lagi, dia tidak menjawab.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Kau bisa melihatku." Orang di hadapannya berbicara bahkan tanpa menggerakan mulutnya yang sudah menganga lebar sejak dia berbalik.

Si bocah mengerjap. "Eh, kamu bicara tanpa menggerakan rahangmu. Bagaimana caranya?"

Dia tidak menjawab. Si bocah menilik ekspresi monster di hadapannya, berpikir bahwa dia kelihatan kesepian dari fakta bahwa monster itu terkejut dia bisa melihatnya.

"Kamu tidak punya teman?" Si bocah bertanya. Monster tidak menjawab, si bocah dengan seenak jidat menyimpulkan bahwa dia tidak punya teman.

"Aku akan menjadi temanmu," ucap si bocah. "Aku juga tidak punya teman untuk bermain. Di mana rumahmu?"

Si monster menatapnya tanpa menoleh, kemudian menunjuk ke sebuah arah dengan jarinya yang panjang dan kurus. Si bocah tersenyum, dia mengangguk mengerti.

"Namaku Shelby, siapa kamu?" Shelby mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan monster. Sayangnya, monster tidak mengerti pertanyaan Shelby.

Shelby mengerjap. "Kamu tidak punya nama, ya?"

Monster itu masih diam, sepertinya dia belum pernah berinteraksi dengan siapa pun. Shelby memaklumi karena dia juga belum pernah melihat monster tersebut.

"Jasper," Shelby tersenyum lebar, "mulai hari ini, namamu Jasper dan kau adalah teman baruku!"

***

Ingatan Nyonya Ophary Emily (35); 2014, 29 November

Tawa anak semata wayangnya terdengar begitu ceria, datangnya dari ruang main anak di lantai satu. Wanita itu sedang menyiapkan makan siang anaknya, mengetahui ini saatnya Shelby makan.

Ophary Emily, adalah wanita pengasih. Sayang, akhir-akhir ini pekerjaan membuatnya terlena. Dia hanya memiliki waktu untuk anaknya saat makan siang dan makan malam tiba. Sarapan disiapkan suaminya, setelah itu mereka tenggelam dalam tumpukan pekerjaan.

Ophary tahu dia salah, Shelby baru berusia sepuluh tahun. Seharusnya, dia menemani anak tunggalnya untuk tumbuh dan bermain. Setidaknya, dia ingin mengajarkan banyak hal kepada Shelby.

Wanita dengan surai sependek bahu berwarna cokelat itu punya niat untuk menyewa seorang pengasuh, tetapi Shelby selalu menolak. Dia sadar anaknya kurang bisa bersosialisasi, terlalu pendiam, hanya terbuka kepada orang-orang terdekatnya.

Seharusnya dia ada di sisi Shelby. Namun, Shelby yang tak pernah mengeluh soal kedua orang tuanya yang tak pernah memiliki waktu luang untuk anak membuat mereka bahkan semakin terlena dengan tugas yang diberikan atasan.

Ophary merasa berdosa, merasa gagal membesarkan anaknya sendiri. Mungkin, sejak awal seharusnya dia lebih perhatian kepada Shelby. Sejak awal seharusnya dia banyak membawa Shelby ke tempat bermain, maka sekarang Shelby tidak akan punya gangguan bersosialisasi.

Walau anaknya tak mengatakan apa pun, instingnya sebagai seorang ibu terangsang. Shelby tidak punya banyak teman, mungkin dia memang tak punya teman sama sekali. Pikirannya membuat dia tersudut, dia kalah telak.

Ophary berjalan lunglai, memaksakan senyum ketika berdiri di hadapan pintu ruang bermain di mana Shelby berada. Dia tidak mengetuk, kedengarannya Shelby sangat senang hingga tertawa terus menerus di balik pintu ini.

Tangan kanannya memutar kenop pintu. "Shelby, ini makan siang ... ah?"

Ruangan itu kosong. Ophary mengernyit, dia yakin mendengar suara tawa Shelby dari ruangan bermain. Di mana dia?

"Ibu." Panggilan itu membuat Ophary sedikit terkejut. Dia menghela napas, berbalik untuk mendapati Shelby sedang menatapnya kebingungan.

"Makanan untukku?" tanya Shelby.

Ophary hanya mengangguk seraya memberikan nampan pada Shelby. Tangan kanannya sempat bersentuhan dengan tangan Shelby, tetapi dia langsung menariknya.

Shelby mengerjap. "Kenapa, Bu?"

Ophary bisa merasakan jantungnya berdegup sangat kencang. "Ah, tidak. Tidak apa-apa. Kamu makan dulu ya, setelah selesai boleh panggil Ibu. Nanti Ibu yang cuci bekasnya."

Dia berlalu dengan alasan pekerjaan memanggil. Tangan kirinya mengusap tangan kanan yang sempat bersentuhan dengan milik Shelby. Dia tahu dia merasakannya, dia tahu betul.

Apa itu tadi?

***

Ingatan Karma Emily (41); 2014, 20 Desember

Istrinya terlihat begitu yakin, horor melingkupi wajahnya. Was-was disampaikan tatapannya, setiap kalimat yang lolos dari mulutnya terdengar begitu tegas.

Sebagai ayah dari anak mereka, Shelby, dia juga menyadari beberapa hal yang janggal 22 hari terakhir ini. Shelby selalu berbicara sendirian, dia tidak mau ditemani, dia jadi jauh lebih ceria ketimbang biasanya.

Mungkin seharusnya mereka senang dengan Shelby yang berubah jadi periang. Namun, rasanya ada yang tidak beres. Karma, suami dan seorang ayah itu mengakui bahwa dia dan istrinya tidak memperhatikan anak mereka dengan benar.

Akan tetapi, Karma tahu ada yang berubah pada Shelby. Sesuatu yang belum bisa dia pastikan telah terjadi, membuat Shelby nenjadi seperti sekarang. Biasanya, anak mereka tidak pernah bermain seorang diri. Dia selalu mengunci diri di kamar dan membaca buku atau komik.

Sekarang, Karma menyewa seorang pengasuh tanpa bertanya kepada Shelby. Seharusnya, Shelby tidak bermain sendirian. Bukankah kehadiran pengasuhnya bisa dijadikan teman bermain?

"Apakah menurutmu mungkin bila Shelby ... punya teman imajinatif? Biasanya hal itu lumrah bagi anak-anak, 'kan? Apalagi, pengetahuan bersosialisasinya kurang."

Ophary mengerjap, kelihatan linglung. "Aku ... mungkin saja, iya. Mungkin apa yang kurasakan selama ini bukan apa-apa, ya?"

Karma tahu istrinya sedang mencoba untuk menenangkan diri. Ophary mengaku dia melihat Shelby yang sedang berbicara sendiri seolah ada orang lain di ruangan itu. Shelby yang rasanya berbeda, sentuhannya juga terasa sangat berbeda.

"Shelby ... tangan seorang anak berusia sepuluh tahun tidak seharusnya terasa dingin dan begitu kasar, 'kan?"

Kedengarannya bukan hal yang besar, tetapi bagi seorang ibu yang berempati tinggi seperti Ophary, itu benar-benar tidak beres.

"Sayang, jangan panik dulu, ya? Kupikir ada baiknya untuk membawa Shelby ke psikolog? Kita bisa memeriksa apakah ada sesuatu yang ... salah dengannya."

Ophary tidak suka itu, tidak suka usul yang membuat Shelby kedengaran sakit. Namun, bisa jadi semua yang mereka lihat dari perubahan Shelby yang janggal ada kaitannya dengan mental Shelby.

Seorang gadis membungkukan badan ketika dia melewati Karma dan Ophary yang sedang terduduk di ruang tamu. Ophary memanggil gadis tersebut. "Charlie!"

Charlie, pengasuh Shelby, segera berhenti lalu berbalik untuk bertatap muka dengan Nyonya dan Tuannya. Dia tersenyum tipis, menyadari atmosfer di antara keduanya kelihatan begitu suram.

"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?" tanya Shelby.

"Apa ... kamu bagian dari keluarga ini juga, walau selalu mengaku hanya seorang pengasuh yang dibayar. Namun, aku ingin meminta pendapatmu. Apakah menurutmu ... membawa Shelby ke psikolog adalah keputusan yang bijak?"

Charlie terdiam. Dia memejamkan matanya. "Saya paham kebimbangan Tuan dan Nyonya selaku orang tua. Saya juga menyadari ada perubahan-perubahan pada Nona Shelby. Jalan keluar yang baru saja diusulkan Nyonya boleh dicoba."

"Bagaimana dia, saat bersama denganmu?" tanya Karma.

"Dia anak yang baik."

Mereka membiarkan Charlie untuk kembali melanjutkan apa pun yang akan dia lakukan sebelum Ophary memanggil dan meminta pendapatnya. Karma memutuskan untuk membawa Shelby ke ahli psikolog sore nanti, mengingat hari masih pagi.

Sorenya, mereka benar-benar pergi. Tidak banyak yang Ophary dan Karma saksikan. Mereka hanya bisa melihat Shelby di sebuah ruangan bersama seorang dokter spesialis dari balik kaca, harap-harap cemas dengan hasilnya.

Kelihatannya, Shelby hanya diajak berbicara dan diberikan beberapa tes. Setelah itu, Shelby boleh kembali bersama orang tuanya.

Mereka berkata, mereka belum bisa memberikan hasil tesnya hari itu juga. Mereka meminta keluarga Emily untuk menunggu setidaknya dua hari setelah tes ini.

Karma menyetujui, dia mengusap puncak kepala Shelby. Rasa khawatirnya malah membuncah ketika Shelby mendongak kepadanya dan tersenyum polos.

Senyuman itu ... aku tidak mengenalnya. Apakah aku mengenal senyumanmu yang ini, Nak?

***

Ingatan Charlie Benedict (19); 2014, 22 Desember

Keluarga Emily sedang berkumpul di ruang tamu, sedang Charlie Si Pengasuh hanya bisa diam di balik pintu dapur dan mendengarkan hasil dari tes Shelby dua hari yang lalu.

Dia penasaran, apa yang akan dokter katakan pada mereka. Setelah beberapa lama, terdengar pasangan Emily yang meminta Shelby untuk pergi dan makan malam duluan bersama Charlie.

Dengan cepat, Charlie menyingkir dari pintu yang lalu dibuka dari luar oleh Shelby. Si bocah kembali menutupnya, menatap Charile yang juga sedang menyelidiki ekspresi Shelby yang sedang tersenyum.

"Kelihatannya kamu tidak mau makan sekarang, Charlie. Kalau begitu, aku akan menunggu di meja makan," ujar Shelby seraya pergi dan duduk di salah satu kursi meja makan yang jaraknya tidak jauh dari pintu.

Charlie hanya menatap anak asuhnya, dia menghela napas. Dia tahu sesuatu sedang terjadj kepada Shelby, seharusnya dia memberitahu pasangan Emily tempo hari.

Di balik pintu sana, terdengar Karma dan Ophary yang dilema dengan hasil tes yang menunjukan bahwa Shelby memiliki teman khayalan karena tekanan dari kesepian yang membuatnya takut.

Mereka menyalahkan diri sendiri. Charlie tidak akan menghalang mereka untuk merasa demikian, karena memang itu salah mereka.

Kalau dari awal mereka lebih perhatian, Shelby tidak akan sendiri.

Kalau mereka lebih perhatian, Shelby tidak akan kesepian.

Kalau mereka perhatian, Shelby tidak akan mendapatkan teman baru.

Teman baru yang tinggal di balik dinding. Makhluk kesepian yang mencari lubang hampa dari manusia tak berteman, agar dapat hidup dengan topeng manusia yang mereka singgahi.

Charlie bisa melihat hal-hal macam itu. Chatlie tahu hal-hal macam itu, tetapi dia tidak bisa mengatakan apa pun. Maniknya melirik, menatap Shelby yang terduduk di kursi meja makan.

Wujud Shelby yang polos bukanlah apa yang dilihatnya. Melainkan makhluk hitam dengan rambut dan baju Shelby di sana. Tinggi semampai, kurus kering, berkulit kasar, dingin, dengan tangan dan jari-jari yang panjang.

Senyumannya mengerikan, menampakkan deretan gigi-gigi pada rongga mulutnya. Matanya lebar, putih tetapi seakan mampu menyerap jiwa kesepian para manusia yang malang.

Shelby tidak ada lagi di sini. Shelby berada di balik dinding, tak bisa dilihat siapa pun. Makhluk itu telah merenggut kehidupan bocah polos yang semasa hidupnya tenggelam dalam kesepian tanpa teman.

Charlie memejamkan matanya. Jika wujud makhluk di balik dinding penyerap kesepian itu bisa mengelabui bukan hanya orang tuanya, bahkan orang luar seperti dokter yang mereka temui dua hari lalu, artinya ini sudah berlangsung lama.

Shelby mungkin telah berubah menjadi salah satu dari makhluk penyerap kesepian yang tinggal di balik dinding.

Senyuman Shelby memudar, membuat Charlie memejamkan matanya, tak kuasa menerima takdir bocah itu.

"Charlie, kamu bisa melihatku?"

***

If a true friend is what you lack, beware of the creature who lives among those walls.

***

2.219 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top