50. Enggak tau bingung this is a distraction

Jika aku memang mengenal diriku, maka kenapa aku harus bertanya seperti apa sikapku kepada orang lain?

***

Kelopak mata itu terbuka. Sinar matahari yang menyelip tirai menyorot matanya langsung, membuatnya terbangun bahkan sebelum alarm berbunyi memecahkan keheningan.

Dia terduduk di atas ranjang, mengucek mata yang sebetulnya tidak dianjurkan, kemudian mengedip untuk memperjelas penglihatan. Seperti hari-hari biasa lainnya, pandangan ujung kasur dan lemari yang terletak di sudut kamar menyapanya.

Embusan napasnya memberat, kali ini ia merasa berat turun dari ranjang. Seolah lantainya tiba-tiba berubah menjadi ombak, menenggelamkannya bila ia memijak lantai.

Kepalanya digelengkan, menepis semua halusinasi dan pikiran buruknya. Dia menelan salivanya, menatap lantai nanar, lalu menapak pada lantai kayu tersebut.

Kakinya menuntun tubuh gadis itu ke sebuah ruangan untuk melakukan ritual pagi seperti biasanya. Kamar mandi adalah ruangan pertama yang ia kunjungi ketika baru bangun di pagi hari.

Tangan kanannya menggapai jepitan ramput yang disimpan di atas wastafel kamar mandi, lalu ia jepit rambutnya serapi mungkin. Setelah rambutnya tak menghalangi wajah, ia membilasnya.

Wajah itu.

Wajah yang sama yang selalu dilihatnya selama yang dia ingat. Wajah yang menjadi teman abadinya sampai akhir hayat, sampai jiwa adalam tumbuhnya dikembalikan ke Yang Mahakuasa.

Manik matanya berwarna biru, tetapi tidak terlihat jernih. Biru itu, yang ada pada irisnya, terlihat kusam. Binar yang seharusnya ada di sana malah sama sekali tidak terlihat.

Ke mana binar itu pergi? Dia sendiri tidak tahu.

Ia menyikat gigi, merasakan pasta gigi yang kian lama berubah menjadi busa. Dia kumur-kumur, membersihkan sisa-sisa pasta gigi yang telah membantu membersihkan giginya.

Mimpi.

Napasnya tiba-tiba saja memburu. Pelipisnya dibanjiri bulir-bulir keringat dingin, mengalir menelusuri pipi, kemudian menetes ketika sudah berada di ujung dagu.

Ah, benar. Dia tidak terbangun karena cahaya matahari yang berhasil menyelinap dan menyapa kelopan matanya agar dia merasa silau. Cahaya itu adalah sesuatu yang menyelamatkannya dari bunga tidur.

Bunga tidur yang membuatnya tidak pernah tenang. Entah sejak kapan ia memilikinya, seingatnya, tidurnya memang tidak pernah tenang karena itu.

Mimpinya tidak terlalu panjang, tetapi cukup untuk membuatnya bertanya-tanya.

Dalam mimpi, skema gelap terbentuk. Gadis itu melihat sebuah bencana, entah kecelakaan maupun kematian, tepat di depan matanya sendiri.

Orang-orang itu, anehnya, tidak ia kenali. Mereka hanya orang asing, terbentuk begitu saja dalam alam mimpinya hanya untuk menjerit dan kesakitan.

Di antara peristiwa-peristiwa buruk yang kemudian terus berputar itu, ia menyadari kehadiran seseorang tak jauh dari tempat terjadinya bencana. Dalam mimpi, orang itu hanya memperhatikan.

Dengan senyumnya yang tipis. Si gadis mengenal betul siapa orang tersebut, tetapi dia tidak berpikir dia akan tersenyum atas bencana yang menimpa orang lain.

Yang dilihatnya dalam mimpi adalah, dirinya sendiri yang berdiri tak jauh dari tempat bencananya terjadi, tersenyum seolah apa yang disaksikannya bukan sesuatu yang berat.

Karena itulah, si gadis kesulitan untuk mempercayai dirinya sendiri. Semakin sering dia bermimpi, maka semakin jauh ia dari kepercayaan dirinya sendiri.

Siapa aku?

Si gadis melepas jepitan rambutnya, keluar kamar mandi untuk mengambil handuk kemudian bersiap bilas.

Sesekali, maniknya melirik cermin yang ada di samping kanan. Dia menghela napas, memperhatikan wajah tak asingnya yang perlahan mengukir sebuah senyuman.

Padahal, dia tidak tersenyum.

Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan. Dia menatap cermin lagi, memperhatikan bayangannya yang terpantul di sana. Senyuman tipis yang mengerikan itu menghilang.

Halusinasi.

Untuk saat ini, dia tidak bisa melakukan apa pun. Tentu, ia pernah mencari tahu arti di balik bunga tidurnya yang aneh. Namun, dia tidak menemukan apa pun.

Mimpi.

Dikatakan, mimpi adalah bunga tidur yang berasal dari ingatan. Makanya, terlihat acak setiap kali muncul karena adegan dalam mimpi tercipta dari memori-memori terpisah yang disatukan.

Ada juga yang bilang, mimpi itu berasal dari kegelisahan atau keinginan alam bawah sadar. Semua yang ada dalam mimpi, terlihat baru karena berasal dari niat paling tersembunyi.

Akan tetapi, penjelasan itu tidak bisa menjawab pertanyaan si gadis.

Dia tidak pernah gelisah atas siapa pun kecuali dirinya sendiri. Kenapa dia bisa bermimpi banyak orang yang tak dikenalinya tertimpa peristiwa buruk?

Dia tidak mengenali mereka yang ada dalam mimpi, artinya, dia tidak pernah bertemu dengan mereka. Si gadis adalah orang yang sekali lihat langsung ingat wajah. Tidak mungkin dia melupakan wajah orang-orang itu biasa saja.

Keinginan. Selama hidupnya, dia tidak punya keinginan yang muluk-muluk. Apalagi, sampai mencelakai orang lain. Satu-satunya keinginan yang dia simpan adalah pertemanan.

Sekali lagi, maniknya melirik cermin yang kini berada di sisi kiri. Sosoknya pada cermin terlihat begitu lesu, pucat, pandangannya sangat nanar.

Tangan kanannya terkepal, tetapi jari telunjuknya mencuat.

"Kamu siapa?" tanyanya.

Gadis itu menarik tangannya dari cermin, menunduk. Sesekali melirik cermin yang ada di depannya, kemudian menghela napas karena lega.

"Namamu Aora Miyuki."

Dengan kalimat itu, yang digunakannya setiap hari di depam cermin, ia pergi dari kamar mandi. Tatapannya menelusuri kamar, menghela napas sekali lagi.

"Aora ... Miyuki."

***

Sekolah.

Bangunannya luas, gurunya banyak, muridnya pun melimpah. Dari murid sebanyak yang dimiliki sekolah, Aora adalah satu dari sekian murid yang sulit untuk beradaptasi dengan sekitar.

Dia tidak punya teman dekat.

Sejak masuk sekolah, sejak pertama kali dia bersekolah, dia tidak pernah memiliki teman yang dekat. Satu di antara sekian alasan mengapa ia tak memilikinya adalah karena dia tak sengaja menjaga jarak dari pergaulan.

Aora berpikir, ia hanya seorang penghambat. Maka, pola pikir itu membuatnya tumbuh sebagai manusia yang jarang disadari keberadaannya. Atau dengan kata lain, aura keberadaannya minim.

Dia mudah gugup.

Kegugupannya itu bisa membuatnya gagap, atau mengulangi setiap katanya hingga perlu waktu lama bagi Aora untuk berbicara. Orang-orang yang mendekatinya mudah jenuh duluan hanya dengan cara berkomunikasi Aora.

Dia duduk di kursi paling belakang, pojok sebelah kanan.

Tidak ada pilihan. Saat hari penentuan posisi duduk, tidak ada yang mau menjadi teman sebangkunya. Aora tidak masalah, dia terbiass sendirian sejak kecil.

Maka, bangku yang paling tak diincar kedua adalah bangku deretan paling belakang posisi sudut. Dia duduk di sana sendirian, tanpa bisa berbicara dengan teman-temannya.

Jangankan teman-temannya, guru saja terkadang melewati namanya saat absen.

Dia sendirian. Tidak ada teman.

Beberapa orang saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama berkata, bahwa dia aneh. Mengapa hanya berbincang saja dapat membuatnya gugup?

"Kamu aneh."

"Tidak masuk akal."

"Bicara yang jelas, dong."

"Apa? Suaramu kecil."

"Tidak perlu, repot kalau harus sekelompok denganmu."

Itu semua memang benar. Jika Aora ditanya, dia tidak akan menyangkal.

Lamunannya buyar ketika seseorang tak sengaja menyenggol pundaknya. Dia tidak melirik, berpikir mungkin siapa pun dia yang menyenggol tidak sadar ia sedang lewat menuju kelas.

X IPS 2.

Kelasnya hampir berada di ujung lantai pertama, melewati beberapa kelas nurusan MIPA dan ruang guru serta ruang komputer.

Lantai satu juga terhubung dengan taman sekolah dan kantin yang ada di ujung lainnya, berkebalikan dari letak kelas Aora. Kelasnya pula lumayan luas untuk 25 siswa. Ganjil? Benar. Karena itulah Aora bisa duduk sendirian.

Aora menunduk, menatap sepatunya yang bergantian muncul. Tangannya gemetar, banyaknya orang di lorong sekolah membuat jantungnya berdetak kencang.

Ia mulai berpikir, kegugupan itu hanya berasal dari pikiran buruknya, bukan dari orang-orang di sekitarnya.

Duk.

Sekali lagi, seseorang tak sengaja menyenggol lengannya. Aora tidak mempermasalahkan, mungkin siapa pun itu tidak menyad---

Lengan Aora ditarik, langkahnya terhenti. Maniknya terbuka lebar, alisnya terangkat. Aora menoleh, mendapati seorang siswa dengan kantong mata yang kentara sedang melihatnya dengan kerutan pada dahi.

Aora kebingungan.

"Hei, ah. Maaf," siswa itu melepaskan genggamannya pada lengan Aora, "tadi kupanggil kamu tidak menyahut. Maaf ya, sudah menabrakmu."

Aora kebingungan.

"Hei?" Siswi itu menelengkan kepalanya.

Aora mundur satu langkah. Makhluk apa itu ... di pundaknya?


Siswi di hadapan Aora semakin terheran ketika melihat ekspresi gadis di hadapannya begitu menggambarkan kebingungan dan sedikit kengerian. Dia maju, Aora mundur. Gemetar pada tangan Aora dapat dilihatnya dengan jelas.

Mula-mula, siswi tersebut merasa heran tetapi pada akhirnya menganggap Aora hanya angin lalu saja dan beranjak dari tempat. Sedangkan Aora, dia masih terpaku di tempat yang sama dengan kedua manik biru gelap menatap sang siswi tidak percaya.

Pada punggung siswi itu, ada sekelebat bayang-bayang hitam---atau sejenisnya---yang menempel dan bergerak.

Berpikir bahwa dia salah lihat, akhirnya Aora lanjut pergi ke kelasnya tanpa berusaha untuk memikirkan apa yang menempel pada makhluk sang siswi. Mengingat wujudnya saja membuat Aora sedikit merinding.

Sedikit.

Karena Aora berpikir ia salah lihat atau kurang tidur sehingga menyebabkan halusinasi, akhirnya dia mengabaikan penampakan tadi. Jalannya kini agak dipercepat mengingat tadi tertunda sejenak.

Semakin dekat ia dengan kelasnya, semakin terdengar suara teman sekelas berbincang. Tidak terlalu bising, tetapi cukup untuk Aora mengetahui mereka sudah sampai di sekolah.

Ditariknya napas panjang, mengembuskan perlahan kemudian tersenyum tipis. Alisnya berkedut-kedut, ia berniat untuk tidak melakukan kontak mata dengan siapa pun secara tidak sengaja.

Langkah kakinya terasa berat. Ketika ia masuk ke kelas, kepalanya tertunduk dalam. Perasaan bahwa dja dilihat beberapa orang mulai menusuk, tetapi hilang bersamaan dengan suara-suara yang kembali terdengar.

Nampaknya, Aora lupa bahwa eksistensi tubuh bungkuk itu transparan. Entah mengapa ia sempat merasa akan menarik atensi para teman sekelas, padahal selama ini, mereka belum pernah berbicara dengan Aora.

Dia berjalan menuju meja paling belakang di sudut kanan, dekat dengan jendela. Hanya menunggu waktu agar seorang guru masuk dan memulai pelajaran.

Kedua manik Aora bermain-main. Ia melirik ke depan, mendapati bayangan tinggi sedang mengulurkan tangannya ke kepala seorang teman sekelas. Terkejut, ia kembali menunduk.

Apa bergadangku seburuk itu, ya?

***

"Hey, tunggu! Aku mau beli nasi goreng juga!"

Kelasnya kosong. Aora menghela napas, mengeluarkan kotak makan dari tas ranselnya. Setiap istirahat, dia adalah satu-satunya orang yang tertinggal di belakang. Namun, menurutnya itu bukan masalah.

Mengingat Aora jarang berinteraksi, membuatnya menyadari bahwa berbincang dengan seseorang akan sulit. Entah berakhir canggung atau tidak sesuai dengan konteks yang dimilikinya.

Akan tetapi, bukan berarti Aora tidak mau memiliki seorang teman. Dia hanya tidak ingin menyapa duluan lalu membuat suasana di antara keduanya menjadi canggung.

Sosis-sosis bakar yang telah dipotong kecil dalam kotak makannya hanya ia tepuk menggunakan garpu. Selera makan seolah tidak pernah mengetuk perut Aora, jarang sekali bekalnya habis. Mungkin, perlahan ia mulai merasa kesepian juga.

Mungkin, eksistensinya yang transparan itu mulai ia benci. Tidak ada mata yang melirik ke arah Aora membuatnya muak juga. Dia ingin terlihat, tetapi tidak menonjol.

Muak, Aora beranjak dari duduknya. Ia menutup kotak bekal kemudian menyimpannya di kolong meja. Berjalanlah Aora, melewati sebuah bayangan tinggi dengan tangan terjulur panjang.

Bayangan tinggi?

Dia berhenti, jantungnya berhenti berdetak untuk sepersekian detik. Aora menggelengkan kepalanya perlahan, melanjutkan jalannya keluar kelas yang entah menuju ke mana.

Pikirnya, dia akan lebih tenang bila berada di perpustakaan. Jadi, ke sanalah Aora pergi. Beberapa kali pikirannya mengawang, mencoba untuk mengingat seperti apa bentuk bayangan hitam dengan tangan panjang yang ada di depan kelasnya beberapa saat lalu.

Bila diingat-ingat, Aora yakin bentuknya lebih dari hanya sekadar bayangan. Makhluk itu memiliki kepala, tubuh, tangan, dan kaki manusia. Hanya saja, sesuatu mengenai makhluk tersebut terasa tidak benar.

Semakin lama, tanpa Aora sadari, ia semakin tidak fokus dengan sekitarnya. Tak menyadari ada seseorang berjalan berlawanan arah, akhirnya gadis penyendiri tersebut menyenggol seseorang.

Senggolan tak disengaja itu membuat kesadarannya kembali ke bumi. Panik, Aora berbalik. Mendapati seorang siswa dengan rambut terpotong rapi bercorak putih, seputih salju.

"M-maaf ...," cicitnya. "Aku ... aku tidak sengaja. Maaf ...."

Siswa itu menoleh, menampakkan sorot mata yang tajam. "Nanti-nanti, kalau jalan itu jangan menunduk." Dengan satu kalimat itu, sang siswa pergi dari hadapan Aora.

Ucapan itu terdengar seperti teguran yang jengkel. Nada suaranya datar, tetapi mencekam untuk si gadis bersurai kelam. Dia bergidik, hampir menangis di tempat.

Dia anak kelas berapa, ya? Kelas mana? Siapa namanya? Aku ingim bertemu dengannya, ingin minta maaf. Apakah besok bisa? Akan kubuatkan dia kue yang besar. Apa dia suka kue? Sialan, Aora. Sialan.

Di tengah-tengah aktivitasnya merutuki diri, bel tanda masuk berbunyi. Padahal, ia belum sampai di perpustakaan. Belum sempat menjamah buku yang ada di sana, tetapi ia harus kembali ke kelas.

Dengan perasaan gelisah dalam hati, Aora berbalik. Siswa bersurai seputih salju itu tidak nampak di mana pun, malah membuatnya penasaran.

Dia ... pasti marah karena aku menyenggolnya, 'kan? Pergi ke mana ya?

***

Kosong.

Lagi, kelasnya kosong.

Lagi, hanya dia yang tertinggal di belakang.

Salahku.

Aora tidak pernah menyalahkan orang lain atas eksistensinya yang transparan. Ia tahu betul tidak memiliki satu orang teman pun merupakan kesalahannya sendiri.

Salah satu rutinitas hariannya selama sekolah adalah membersihkan ruang kelas kemudian pulang. Banyak yang mengatakan bahwa ini adalah misteri sekolah, bahwa ada penunggu yang tidak menyukai kotor.

Pernah sekali, teman-teman sekelas Aora menunggui penampakan penunggu tersebut. Namun, tentu saja tidak ada yang terjadi karena Aora tidak beraksi saat ada saksi mata di tempat.

Maka, hingga hari ini, kebersihan kelasnya hanya sebuah misteri yang tidak akan pernah terpecahkan.

Si gadis penyendiri menghela napas pelan, menatap tas ranselnya yang siap digendong ketika seseorang menepuk bahu Aora dari belakang. Terkejut, dia loncat ke belakang.

Kedua manik kelamnya bersirobok dengan manik-manik cerah yang menyiratkan keceriaan. Senyuman tipis itu membuatnya tidak berkutik, surainya yang panjang terurai menambah estetika sosok tersebut.

Siapa ...?

"Kenapa kamu sendirian di sini?" Sosok itu bertanya.

Kenapa ...?

"Bukankah seharusnya semua siswa sudah meninggalkan area sekolah kecuali mereka yang memiliki kegiatan klub?"

Kenapa orang secerah dirimu mau berbicara kepadaku?

Agaknya, berkomunikasi dengan seorang manusia untuk kali pertama selama bertahun-tahun juga bukan hal yang baik bagi Aora. Kesepian memang sudah seharusnya menemani hidup gadis tersebut.

Pertanyaan mengapa adalah hal pertama yang tidak ragu dipikirkan oleh Aora. Gadis di hadapannya---dengan surai rapi yang indah---melambaikan tangan.

"Kamu masih di sini, 'kan? Kita pulang bersama, yuk!"

Kedua mata Aora mengerjap. "Kita?"

Si gadis mengangguk, menarik pergelangan tangan Aora sebelum dia sempat memberikan jawaban. Mereka menyusuri lorong, menikmati sesepi apa lorong sekolah ketika sebagian besar siswa-siswinya telah pulang.

Akan tetapi, bukan itu yang ada dalam benak Aora.

Keberadaan gadis tak dikenal dengan rambut terurai indah di sampingnya menjadi pertanyaan besar. Aora tidak mengenali siapa pun di sekolah, bahkan teman-teman sekelasnya. Sejak masuk sekolah, dia memang penyendiri.

Bahkan guru-guru pun selalu lupa siapa yang namanya Aora Miyuki.

Maka dari itu, sulit dimengerti bila seseorang mau menyapa kemudian mengajaknya pulang bersama.

"Kamu selalu sendiri, ya?" tanya si gadis. Aora mengangguk pelan tanpa melirik kepadanya.

Si gadis terkekeh. "Kamu tidak bicara banyak, ya?"

Sekali lagi, Aora mengangguk.

"... Kamu tidak punya teman, 'kan?"

Ah?

Perasaan yang sama setiap kali ia bangun pagi. Rasa dalam dada yang tidak bisa diungkapkan dengan sepatah kata. Namun, Aora tahu ia sedang merasakan sesuatu yang sama ketika nada bivara si gadis berubah.

Topik.

"Ah ... kamu, siapa? Namamu."

Si gadis terkekeh. "Erana."

Perasaan itu tidak hengkang dari hatinya. Aora memiliki firasat buruk, entah tentang Erana maupun dirinya sendiri.

"Bukankah kamu akhir-akhir ini sering melihat makhluk-makhluk aneh?"

... Ah?

Spontan, Aora menoleh. Pertanyaan Erana berhasil menarik atensinya. Senyum si gadis dengan rambut terurai masih nampak, menenangkan kegugupan Aora yang tadi sempat menemani.

"Pernah dengar soal Curses?" tanya Erana. "Tebakanku, belum. Mau kujelaskan? Bersangkutan dengan penglihatanmu, lo."

Aora mengangguk.

"Mereka adalah jiwa-jiwa yang tidak tenang. Meninggalkan wadah kosong dengan alasan tak jelas, bahkan meninggalkan wadah-wadah kosong tanpa alasan sama sekali. Mungkin kamu lebih mengenalnya dengan istilah mati tak wajar.

"Terdengar dramatis, ya? Orang-orang yang mati tak wajar akan bergentayangan, tumbuh dendam, kemudian berubah menjadi makhluk bernama Curse. Seperti namanya, mereka hadir untuk memberikan kutukan yang sama dengan alasan mengapa mereka mati.

"Tapi, setahuku, tidak semua Curse sama. Mereka memiliki dendam yang berbeda-beda. Aku tebak, kamu pernah melihat satu di kelas, dengan lengan panjang yang hendak meraih salah satu kepala temanmu?"

Aora terperanjat. Matanya membelalak, tetapi Erana masih tersenyum. "Dari mana kamu tahu?"

Si gadis bersurai indah terkekeh. "Kamu mudah dibaca."

"Apakah kamu bisa melihat mereka juga?"

"Iya," Erana menoleh, "hanya beberapa manusia yang bisa melihat mereka. Contohnya, kamu. Bakatmu itu luar biasa, Aora!"

"Ah, apa benar? Bukankah kamu juga bisa melihat Curses?"

Erana mengangguk. "Iya, tentu saja aku bisa."

"Berarti, aku tidak sehebat dirimu. Aku bahkan tidak tahu makhluk macam mereka ada sampai kau datang."

Suara cekikikan menusuk gendang telinganya. Dia berhenti melangkah, mencoba untuk menenangkan bulu-bulu tubuh yang berdiri akibat merasa ngeri.

"Tentu saja aku bisa." Aora yakin bahwa itu adalah suara Erana dengan intonasi yang berbeda. "Aku adalah mereka."

Apa ...?

Sungguh, si penyendiri sebetulnya panik. Takut membanjiri relung hatinya yang telah lama kosong, membuat kedua tungkai itu tak dapat diajak kerjasama. Erana kini berdiri di hadapan Aora, memaksanya untuk mendongak dengan kasar.

Kulit Erana yang tadinya seputih susu itu berubah menjadi hitam, gelap. Kedua maniknya merah menyala, dengan seringaian lebar yang mencekam.

"Akulah Curse yang baru-baru ini lahir, seorang Darkside yang menunggu di balik dimensi duniamu."

Tangan Erana menggenggam liontin merah yang ada pada lehernya. Dia tersenyum, mendekatkan wajah kepada Aora.

"Kamu wadah yang bagus, Aora."

Kian lama mereka bersitatap, Aora semakin merasa kesadaran dirinya hilang secara perlahan. Hatinya masih meraung, panik, ingin segera kabur dari situasi itu. Dia tidak mengerti dengan apa yang terjadi, segala sesuatunya begitu terburu-buru.

Pandangannya mengabur. Hal terakhir yang dilihatnya adalah seringaian licik Erana.

"Ayo kita hidup bersama sebagai Aora Miyuki, Aora."

***

Putih.

Dia mengerjap beberapa kali, mendapati cahaya di hadapannya putih. Kepala bagian kanan si gadis terasa sakit, pun sekujur tubuh yang entah berbaring di mana.

Aneh.

Seharusnya, sekarang ia merasa gelisah. Seperti waktu-waktu lalu ketika ia terbangun dari tidur, merasakan kegelisahan dan ketakutan aneh yang tidak mendasar. Apakah perasaan itu hilang karena rasa sakit pada fisiknya?

Harum.

Biasanya, aroma kamar tidak seperti ini. Aora mengernyit, ingin membuka kedua kelopaknya. Alih-alih terbuka, yang bergerak malah kepala.

"Oh, bangun."

Ah?

Suaranya terdengar familiar di telinga Aora. Namun, sayangnya dia tidak bisa menggerakan tubuh terlalu sering. Susah payah ia mencoba, akhirnya bola-bola mata itu bergulir juga.

Nampak wajah seorang remaja yang tak lagi asing baginya. Aora ingat betul siapa dia, karena pada jam istirahat tadi, ia sempat memikirkan remaja tersebut. Matanya kemudian turun, mencari papan nama pada seragam siswa tersebut.

Razka L.

Tertulis tegas di atas papan nama hitam berhuruf putih. Si gadis dapat melihat korelasinya. Razka---orang yang sekarang ada di samping ranjang---memiliki tatapan mata yang tegas.

... Di samping ranjang?

Terkejut, Aora spontan bangun, terduduk sambil menyender pada dinding di belakangnya. Razka juga ikut terkejut dengan gerakan tiba-tiba Aora.

"Kamu tidak apa-apa? Belum makan, ya? Sampai pingsan di tengah-tengah lorong dengan posisi telungkup."

Aora mengerjap. "Aku ... apa?"

"Pingsan dengan posisi telungkup."

"... Sudah berapa lama sejak aku pingsan?" tanya Aora. Razka mengedik, menunjukkan jari tangan kanan yang berjumlah tiga.

Si gadis menebak-nebak, maksud tiga dari Razka mungkin 30 menit. Namun, saat ia tanya, Razka menggeleng. Ragu, Aora menjawab tiga jam. Kali ini, Razka mengangguk.

"Terima kasih sudah mengantarku ke ... sini. Di mana ini?"

"Kamarku."

Eh?

"Ya UKS, lah. Begitu saja bertanya, heran. Tuh, minum air. Karena kamu sudah bangun, aku duluan, ya. Ini sudah jam lima sore," ujar Razka seraya beranjak dari kursi tunggu. Punggungnya menghilang di balik pintu, meninggalkan Aora seorang diri.

Takut.

Aora kembali merasakan takut, ia baru saja mengingat apa yang telah terjadi di koridor tadi. Seseorang---atau Curse---bernama Erana telah menyerangnya.

Ia pikir, ketika Erana berkata bahwa dia adalah wadah yang sempurna, eksistensi Aora akan benar-benar menghilang. Entitad Curse "Darkside" itulah yang menggantikan posisinya sebagai penyendiri.

... Seperti namanya, mereka hadir untuk memberikan kutukan yang sama dengan alasan mengapa mereka mati ....

Penjelasan Erana mengenai apa itu Curse ternyiang-nyiang. Otak di balik tempurung Aora menyerap banyak informasi asing, membuatnya sulit untuk memilah-milah. Lagipula, apa yang terjadi kepadanya benar-benar nyata?

Siapa yang tahu, kalau itu hanya bunga tidur?

Akan tetapi, Aora tidak bisa menjelaskan mengapa ia tertidur di tengah-tengah koridor seperti penuturan Razka tadi.

... Apa sebaiknya aku pulang saja, ya? Kuharap, Erana muncul lagi di waktu yang akan datang. Aku memiliki banyak pertanyaan.

Dia bergerak perlahan, turun dari ranjang UKS dengan seprai berwarna putih. Diliriknya air minum yang ada di atas meja kecil, tetapi tak disentuh sedikit pun. Aora tidak merasa haus, apalagi lapar.

Akan tetapi, dia teringat bahwa Razka telah menungguinya selama tiga jam di UKS. Bukankah itu sangat baik?

Padahal, dia tidak mengenal Aora.

Padahal, dia tidak mengenalku.

***

"Apa dia baik-baik saja, ya?" gumamnya. Kehendak hati ingin pulang tanpa mempedulikan orang asing, Razka malah penasaran dengan keadaan gadis tadi.

Awalnya, ia hanya ingin mengembalikan buku yang telah dipinjam. Razka selesai membacanya pada jam pelajaran sejarah, tetapi lupa untuk langsung pergi ke perpustakaan.

Mau tidak mau, dia harus kembali ke sekolah walau telah jalan jauh menuju rumah.

Kemudian, penampakan aneh itu menyapa pandangnya.

Dia menemukan si gadis tak sadarkan diri dengan posisi telungkup. Razka tahu betul bahwa posisi tersebut bukan sesuatu yang lazim terjadi kepada korban pingsan macam Aora.

Kali kedua bertemu dengan gadis itu, dan dia tidak meninggalkan impresi yang baik dengan kesehatan tubuh Aora. Dia berasumsi bahwa Aora sudah sering bergadang atau barangkali terlalu sering mengonsumsi kafein.

Ekspresi Aora ketika berjuang untuk kembali ke bumi terbayang olehnya. Terlihat begitu kesulitan, seolah bangun saja membutuhkan tenaga dalam.

"Apa aku balik lagi saja, ya?" Sekali lagi, dia bergumam kepada diri sendiri. "Kasihan, sepertinya dia benar-benar lelah."

Atau mungkin sebaiknya aku harus berhenti berbicara kepada diri sendiri terlebih dahulu.

Pada akhirnya, Razka berbalik walau tidak lagi memikirkan keadaan Aora. Namun, dia berhenti setelah beberapa langkah, mendapati seseorang dengan penampilan tak asing berdiri tak jauh darinya.

Rambutnya acak-acakan walau dikucir satu. Seragamnya kusut, wajahnya terlihat linglung. "Ah!" seru gadis itu.

"Sedang apa?"

"... Ak-aku mencarimu ...," cicitnya. Satu hal yang disadari oleh Razka ketika kali pertama mereka bertemu adalah Aora yang sulit untuk berkomunikasi.

Padahal, dia hanya menyenggol Razka tanpa sengaja. Namun, minta maafnya seolah telah mendorong orang sampai terjatuh. Razka tebak, Aora jarang sekali berinteraksi dengan orang, membuatnya berperilaku canggung seperti itu.

"Hm," si remaja menelengkan kepalanya, "untuk mengucapkan terima kasih?"

Aora mengangguk pelan sembari menunduk.

"Tidak perlu," ucap Razka. "Aku hanya membantu karena sudah seharusnya seperti itu. Masa iya ketika aku melihatmu tidak sadarkan diri di koridor, kubiarkan begitu saja."

Si gadis tidak mengatakan apa pun. Kepalanya yang tertunduk membuat Razka sulit untuk melihat ekspresi yang dipasang. Dia mengerjap, mendekat beberapa langkah.

"Kenapa kamu bisa pingsan?"

Aora melirik beberapa kali. Kalau aku mengatakan keberadaan Erana, apakah kamu akan percaya? Ditambah lagi, aku tidak melihat batang hidungnya di mana pun setelah itu.

"Hm, tidak tahu, ya. Bagaimana kamu tahu kalau aku pergi ke arah ini?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Aora mendongak. Dia menggaruk tengkuk yang tidak gatal, memasang senyum canggung pada wajahnya yang pucat. "Ta ... tadi pergi ke arah kiri tidak ada, jadi aku berbalik. Dengan waktu selama itu, aku yakin kamu belum ... belum pergi ...."

"Iya, tidak usah ragu. Memang begitu, kok. Jalanku cukup santai."

Aora mengangguk. "Terima ... kasih."

"Sebetulnya tidak perlu, tapi sama-sama. Ya sudah, itu saja, 'kan? Kamu sepertinya tidak apa-apa, sudah bisa jalan lama juga."

Aora kembali mengangguk, dengan begitu, hening menengahi mereka. Razka tidak mengerti apa masalah si gadis dan kecanggungan yang sepertinya selalu membuntuti, tetapi dia dapat merasakannya.

Canggung yang diseret oleh Aora ke mana pun ia pergi; salah satu masalah gadis lesu tersebut.

"Mau kuantar?"

"Eh?"

Razka mengerjap, menunjuk Aora perlahan. "Kamu, mau kuantar pulang?"

Aora tidak menerima tawaran Razka. Sebetulnya, keadaannya lebih ke Aora yang bingung untuk menjawab apa, kemudian Razka menyimpulkan bahwa dia tidak mau diantar karena tidak mengenalnya dengan baik.

Kalau saja Aora mengatakan sesuatu sebelum Razka menyimpulkan, dia sudah berjalan dengan seseorang saat ini. Namun, mungkin sendiri masih sesuatu yang baik. Dia tidak tahu masalah apa yang dapat terjadi bila Razka mengantarnya pulang.

Mengingat Erana menghilang setelah mengajaknya hidup bersama sebagai Aora Miyuki, Aora menebak bahwa Erana ada di suatu tempat di dalam tubuhnya.

Seketika, Aora berhenti berjalan. Dia mengerutkan dahi, meremas dada ketika menyadari liontin berwarna merah menjuntai. Semakin berkerut lah dahinya, menyadari bahwa liontin itu adalah liontin yang sama yang dipakai Erana.

Apa dia benar-benar bagian dariku sekarang?

Saat tangannya mencoba untuk melepas liontin itu, dia berhenti tanpa kehendaknya.

Eh?

"Sedang apa?"

Aora terdiam ketika suara khas itu terdengar. Dia mengenalinya dalam sekejap; Erana. Namun, Aora tidak melihatnya di mana-mana. Trotoar itu sepi, hanya ada dia, seorang wanita paruh baya, dan dua orang remaja yang tengah bercanda.

"Wah, kau terkejut."

Si gadis menggigit bibir bawahnya.

"Kamu tidak bisa melihatku, tapi kamu bisa mendengarku. Erana. Masih ingat, 'kan? Aku ada dalam dirimu."

Tepat seperti apa yang kukira.

"Benar."

... Kamu ... bisa mendengar benakku?

"Kita adalah satu, Manusia. Tentu saja aku bisa mendengar benakmu."

Keluar.

"Sayangnya, tidak bisa semudah itu. Aku ingin kau menjadi wadah. Relung kosong dalam hatimu menguntungkan Curses sepertiku."

Aora tidak menjawab, kendati dirinya ingin berteriak untuk mengeluarkan monster itu dari hati. Si gadis pendiam belum sepenuhnya mengerti dengan apa itu Curse dan mengapa ia bisa menjadi wadah.

Satu-satunya yang Aora mengerti adalah makhluk-makhluk asing mulai bermunculan pada pandangannya. Di segala sudut, di depan tirai, di samping tiang. Bayangan-bayangan hitam aneg itu kini semakin jelas terlihat.

Semakin jelas, semakin terpaku pula Aora.

Mereka memiliki dua tangan dengan jari-jari yang lengkap, dua kaki, kepala, kulit sehitam malam, dan rambut seputih salju. Walau wujudnya mirip dengan manusia, mereka tidak terlihat seperti manusia.

Tubuh mereka tidak terbentuk, seolah cairan dalam lampu neon yang menyala, mengambang, sembarang, seperti air tanpa wadah.

Dia tidak mau memikirkannya terlalu jauh. Berada dalam kamar akan sangat membuat Aora tenang mengingat di sana tak ada orang lain yang akan melihatnya dengan tatapan aneh.

Berjalanlah dia, menyeberangi zebra cross ketika lampu pejalan kaki menyala hijau. Beruntung baginya di jalan itu sedang jarang orang, kendaraan pun dapat dihitung jari.

Ketika Aora berusaha untuk tidak memikirkan Erana yang mengaku berada dalam dirinya, suara tawa nyaring terdengar. Ia tahu betul dari mana asalnya, maka Aora tidak mencoba untuk melirik sekitar.

Erana ada dalam diriku.

"Hee, apa terlalu bedar untuk otakmu yang kecil? Apa sulit untuk dimengerti?"

Tolong berhenti membaca pikiranku.

"Aku dapat mendengarnya dengan jelas, tidak perlu berusaha untuk mendengarkan."

Kalau begitu tolong tutup telingamu.

"Hm, tidak akan semudah itu. Aku dan kamu itu satu, lupa, ya?"

Aora memutuskan untuk berusaha tidak memikirkan apa pun sebisa mungkin. Perasaan saat ia tahu ada makhluk asing mendengarkan benak jauh di dalam dirinya membuat ia tidak nyaman.

Akan tetapi, jika Erana mengatakan yang sebenarnya, maka makhluk itu juga dapat merasakan ketegangan yang dirasa Aora.

Ia tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aora paling tidak bisa melakukan itu, karena bagaimana pun, dialah yang paling tahu bahwa dirinya ada dalam bahaya.

Bahwa dia tidak akan hidup seperti sebelumnya.

Dan itu bukan sesuatu yang baik.

***

Bulan telah menampakkan diri, tetapi tidak dengan Erana. Sudah Aora tunggu, pun ia panggil berkali-kali. Namun, tidak seperti ketika ia sedang berjalan, Erana bahkan tidak menyahut.

Aora mulai berpikir bahwa dia sudah gila; berhalusinasi ada seorang gadis cantik yang berubah menjadi makhluk mengerikan bernama Curse dan merasuki dirinya; tinggal di alam bawah sadar Aora yang terdalam; tidak dapat didengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.

Dia belum tahu apa yang bisa dilakukan Erana. Bertindak gegabah seperti memaksa entitas itu keluar dari alam bawah sadarnya bukanlah sesuatu yang bijak untuk dilakukan.

Ketika ia hampir menidurkan diri, suara tertawa yang nyaring kembali terdengar. Aora baru mendengar suara itu beberapa kali sore tadi, tetapi ia tahu siapa yang melepaskan gelombang suara tersebut.

Aku hanya ingin istirahat.

"Ah, kamu istirahat? Dari apa? Bukankah kau sudah istirahat selama tiga jam lamanya? Anak laki-laki itu yang membawamu ke ruang kesehatan."

Aku tahu, tapi kali ini saja, aku ingin tidur lelap tanpa kau sebagai alasannya.

"Kenapa?"

Karena akan lebih enak seperti itu.

"Lalu, bagaimana dengan mimpi-mimpi anehmu?"

Aora seketika membelalak. Ia terduduk, mencengkeram selimutnya kuat-kuat. Lagi, Erana tertawa nyaring. Seolah puas telah membuat wadahnya terkejut.

"Aku tahu semua tentangmu. Ketika aku menjadi bagian darimu, memori-memori kehidupan dalam otak kecil itu juga akan menjadi bagian dariku.

"Lima Januari, kau lahir. Menangis untuk kali pertama, berjumpa dengan kedua orang tua yang tidak tahu bahwa anak perempuan mereka akan menjadi kekecawaan terbesar sepanjang sejarah kehidupan kalian.

"Lalu, kau tumbuh tanpa pertemanan. Mereka semua menganggapmu anak aneh karena tidak pernah berbicara di depan umum. Sekalinya berbicara, kau menangis sesudahnya.

"Bukankah menurutmu ... kau itu ... menyedihkan?"

Erana tidak perlu repot-repot menceritakan kembali masa lalu Aora yang tidak menyenangkan. Karena ia selalu tahu bahwa dirinya tidak akan pernah sesuai dengan lingkungan. Ada sesuatu untuknya yang membuat dunia luar terlihat mengerikan.

Kedua orang tuanya hilang harapan, mereka tidak lagi menyuruh Aora keluar rumah. Walau kelihatan menerima dengan rentangan tangan terlebar, Aora tahu bahwa mereka hanya merasa kasihan.

Bahwa mereka kecewa dengan anak gadisnya.

Sementara Erana tertawa tanpa henti, Aora mencoba untuk menenangkan diri. Selama ini, dia memang selalu tahu bahwa ia adalah kekecewaan terbesar dalam keluarga.

Akan tetapi, walau dia tahu, dia tidak bisa mengubah satu hal pun dalam dirinya. Seolah kesalahan itu ada hanya karena Aora bernapas; seolah nyawanya sia-sia.

Jantung di balik dadanya kembali tenang, Aora kemudian merebahkan tubuh dan siap-siap untuk terbangun. Ia memejamkan mata, tidak melihat apa-apa selain hitam.

Tidak perlu kau ceritakan juga aku tahu, kok.

"... Hah?"

Kok, "hah"? Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa otakku juga sudah menjadi bagian darimu? Seharusnya, kau tahu kalau aku juga tahu bahwa kekecewaan terbesar dalam keluarga adalah diriku sendiri.

***

4.783 kata.

Part I. Don't know when I will publish the next part.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top