5. Bride and Seek (b)

Zelda menatap kulit lecetnya karena ia refleks mundur dan bergesekan keras dengan lantai dapur. Bukan rasa sakit, tapi rasa segan yang ia rasakan.

Dengan manik mata yang terlihat serius, Damai membersihkan luka lecet pada lengan Zelda. Setelah dirasa bersih, ia menempelkan plaster dan beralih kepada lecet lain.

Untuk lecet yang disebabkan oleh gesekan dengan lantai, jumlahnya lumayan juga.

"Tuan, saya bisa sendiri, kok." Zelda berucap. Damai hanya meliriknya sebentar lalu tersenyum simpul seraya menggeleng.

"Biar aku membantumu."

Seorang karyawan menghampiri mereka berdua yang tengah duduk di kursi paling pojok di kafe. Pria tersebut membawa segelas air putih lalu bertanya, "Bagaimana lukamu?"

Zelda tersenyum. "Tuan Damai mengobatinya dengan telaten."

Damai terkekeh. "Kubilang berapa kali, 'kan, panggilnya santai saja."

"Terimakasih telah membantu teman saya, Tuan Damai." ucap pria tersebut seraya tersenyum. "Saya mengapresiasi kebaikan Anda."

Kali ini, Damai tergelak tanpa berpaling dari luka-luka Zelda. "Apa-apaan itu? Bicaranya santai saja."

Pria berkulit hitam manis itu ikut terbahak. "Sebagai seorang pelanggan, kau nekat sekali menerobos pintu yang jelas-jelas ada tulisan staff only."

Damai mengedik. "Zelda bisa saja terluka, jadi aku tidak terlalu memikirkannya."

Jeda.

"Kalian pacaran?" tanya pria tersebut polos. Untuk sesaat Damai menoleh, lalu kembali kepada luka Zelda yang sedang diobatinya dengan terkekeh ringan.

Zelda membulatkan manik matanya. "Ricky!"

Ricky terbahak. "Maaf, habis kedengarannya Damai ini peduli dengan keselamatanmu."

"Tentu saja aku peduli." Damai tidak mengelak. "Kami 'kan teman."

Mendengar itu, Zelda mengerjap. Ia menatap pria tampan di depannya yang sedang sibuk membersihkan luka lecet di lengan kirinya.

Teman ...

Zelda mengukir senyuman dalam diam. Tidak sadar bahwa ia tersenyum, lengkungan itu nampak begitu jelas sampai Ricky dan Damai mengerjap--bingung.

"Zelda," Ricky membuyarkan lamunan Zelda. "Kenapa?" sambungnya. Zelda yang menyadari bahwa ia tidak sengaja tersenyum kemudian menggeleng. Wanita itu bisa merasakan wajahnya memanas.

Duh, kau bodoh lagi! Zelda payah, payah!

Zelda menggeleng cepat, membiarkan rambut sebahunya mengikuti gerakan kepalanya. "Ti-tidak apa-apa! Tidak apa-apa!"

"Kau yakin? Senyumanmu cukup lebar barusan." goda Ricky seraya mengangkat sebelah alisnya. Wajah Zelda semakin panas.

"Ricky!!!" Zelda membentak.

Ricky terbahak.

Damai ikut terkekeh. "Berasa kembali ke masa-masa remaja, ya." ia menarik lengan yang sudah selesai mengobati lecet pada lengan Zelda. Wanita di depannya itu menatap setiap plaster yang ada di lengannya, lalu tersenyum kepada Damai.

Seolah mengatakan terima kasih tanpa berucap.

"Kau lucu."

Tanpa sadar, pujian itu melesat begitu saja dari mulut Damai. Keheningan mulai menyergap lagi, memeluk mereka dalam. Damai menutup mulutnya, tanpa sadar mengatakan isi pikirannya terang-terangan.

Sementara Zelda hanya tersenyum bingung. Wajahnya semakin memanas, lengkungannya tidak bisa diluruskan.

Deg.
Deg.
Deg.

Eh, lho? Kok deg-deg-deg?

Zelda kemudian berdiri. Dengan gestur kaku, ia pamit lalu berlenggang pergi. Ricky memerhatikan jalan rekan kerjanya yang mirip seperti robot, lalu terbahak.

"Wah, sepertinya kau membuatnya malu."

Damai berdeham. "Aku tidak bermaksud seperti itu." ia beranjak dari duduknya seraya membenahi jas hitam yang ia kenakan. "Kususul dulu, aku belum memeriksa kakinya."

Ricky mengerjap. "Kau ... mau memeriksa apanya?"

"Kakinya."

"Oh." Ricky tersenyum lebar. "Oke."

"B-bukan seperti itu. Maksudku, aku ingin memeriksa lututnya. Mungkin terbentur atau semacamnya."

"Hm. Zelda kalau sudah malu akan pergi ke toilet." kalimat itu membuat Damai berhenti lalu berbalik ke tempat duduknya semula. "Sebaiknya kau menunggu di sini, aku akan meminta Risa untuk memanggilkan Zelda."

Damai kembali terduduk. Kembali terpikirkan oleh kalimat yang asal melesat begitu saja. Kenapa juga bibirnya tidak bisa terkunci rapat? Mungkin menjadi seorang pendiam adalah sesuatu yang sangat ia butuhkan saat ini.

Di sela-sela pikirannya yang entah malu atau merasa bersalah karena membuat suasana canggung sampai Zelda pergi, bayangan itu kembali lagi; bekas tangan di permukaan lemari.

Mau dipikirkan bagaimanapun juga, bekas tangan itu ... benar-benar membekas. Membuat lengkungan yang mencekung, seperti didorong dengan keras.

Namun, lemari itu terjatuh ke depan. Artinya, bekas tangan yang dilihat Damai berada di belakang lemari. Kalau Damai tidak salah dengar, lemari itu menempel ke dinding.

Apa bekas tangan itu selalu ada di situ?

Mungkin iya. Mungkin saja 'kan itu bekas lama?

Tapi, kalau bukan? Kalau bukan, tidak masuk akal. Jelas-jelas kudengar lemari itu menempel pada dinding. Memangnya dinding punya tangan?

Lagipula, manusia macam apa yang bisa membuat bekas di permukaan lemari besi seperti itu?

"Jadi," Ricky membuyarkan lamunan Damai, "Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Ricky." lanjut Ricky seraya merentangkan tangan untuk berjabat.

Damai menyambut jabatan tangan Ricky. "Aku Damai."

Pelayan kafe yang sekarang duduk di seberangnya itu mengangguk-anggukan kepalanya. Entah mengerti atau sedang memuji, yang mana pun itu, Damai terima-terima saja.

"Aku punya pertanyaan." Damai bersedekap. "Apa kau melihat bekas telapak tangan pada lemari itu?"

Ricky mengerjap. "Aku tidak sempat memerhatikan lemarinya." jawabnya seraya menelengkan kepala. Membiarkan rambut cepak berwarna hitamnya bergerak ke kanan.

"Memangnya, bekas tangan di sebelah mana?"

"Di belakang lemari."

Ricky kembali mengerjap. "Tidak mungkin. Lemari itu menempel pada dinding, selain itu keras sekali. Manusia mana yang bisa meninggalkan jejak tangan di sana?"

Benar juga.

Damai menyentuh dagunya. Tapi bekasnya kelihatan masih baru.

Ah, atau mungkin mataku hanya bermain-main?

***

Zelda menghembuskan napasnya pelan. Ia menaruh tas selempang kecilnya di sofa berwarna kelabu yang sudah pudar dimakan waktu.

Kakinya menuntun tubuh yang lelah itu, mendekat ke pintu berwarna putih dekat meja penyimpanan barang. Tangannya memutar kenop, lalu mendorong daun pintu sehingga ruangan di dalamnya terlihat.

Sebuah wastafel dengan cermin menyapa matanya terlebih dahulu. Pantulan wajah yang sudah tidak asing baginya menatap dengan sangat tidak bergairah---dia lelah.

Zelda melangkah masuk ke kamar mandi, lalu menutup pintu putih di belakangnya. Ia termenung di depan cermin sesaat, lalu mengambil kapas dan micellar water untuk menghapus polesan wajah tipisnya.

Pikirannya berkelana.

Membayangkan bagaimana jadinya bila refleksnya tidak bagus, pasti dia tidak akan berada di sini. Walaupun lengannya lecet karena harus bergesekan dengan lantai dapur, selebihnya, dia baik-baik saja.

Lemari besi yang bahkan tidak pernah goyang itu terjatuh begitu saja. Tidak ada orang lain yang berdiri di dekat sana, hanya Zelda yang berjalan melewatinya.

Kalau saja pendengarannya tidak sebaik itu sampai ia bisa mendengar deritan besi dengan permukaan lantai, dia tidak akan mengetahui lemari itu condong ke arahnya.

Kenapa lemari yang tidak diusik bisa bergerak?

Pertanyaannya setelah kejadian itu. Tidak mungkin ditarik dengan benang tidak terlihat. Bagaimana mungkin benang tipis bisa menarik besi seberat itu?

Menakutkan.

Seumur hidupnya, Zelda selalu hidup dalam kenormalan. Tidak ada yang spesial, tidak ada yang sedih. Semuanya normal, seperti karakter sampingan dalam novel.

Zelda merupakan wanita yang tidak memiliki kehidupan istimewa. Kesehariannya adalah bangun pagi, mandi, sarapan, berangkat kerja, menutup kafe, pulang, santai, lalu tertidur. Begitu terus setiap hari.

Hidupnya tidak sepenting orang-orang di luar sana, yang memiliki alasan untuk bersedih. Memiliki alasan untuk cemas. Memiliki alasan untuk awas.

Zelda hanya memiliki alasan untuk tetap bahagia. Setiap hari, dia terbangun dengan keadaan sehat dan masih bernapas. Satu alasan untuk bahagia.

Dia memiliki banyak teman di tempat kerjanya. Dua alasan untuk bahagia.

Dia menikmati pekerjaannya yang menurutnya menyenangkan. Tiga alasan untuk bahagia.

Lalu, dia bertemu dengan Damai. Empat alasan untuk ...

Eh? Kenapa aku memikirkan Tuan Damai?

Mungkin ... karena aku menemukan teman baru! Iya, teman baru sebaik Tuan Damai itu alasan lain untuk bahagia setiap hari.

Tuan Damai orang yang bijak dan dermawan. Duh, jadi sedikit iri. Kapan ya aku bisa sepertinya? Sempurna sekali, wajahnya juga tampan.

Ketika Zelda menyadari ia mengatakan bahwa Damai memiliki wajah yang tampan, wajahnya memanas. Ia menepuk-nepuk pipinya, manik matanya menyaksikan pantulan dalam cermin memiliki wajah yang merah.

Seperti tomat baru matang.

Zelda, kamu tidak boleh berkata seperti itu! Tuan Damai itu sudah punya istri---

Diam.

Hening.

Zelda mengerjap, mengingat kemarin Damai membicarakannya; istrinya yang hilang. Mengingat bahwa Damai begitu mencintai istrinya sampai ia terpuruk seperti itu, membuat hati Zelda terasa hangat.

"Istriku menghilang."

Wajahnya yang pertama kali datang ke kafe terbayang. Matanya yang sembab menatap tanpa gairah, langkahnya lemas bagai raga tanpa jiwa.

"Istriku melarikan diri."

Wajah itu. Wajah yang kemarin dilihat oleh Zelda bukanlah wajah seseorang yang bersedih. Kemarin, suasana hati Damai benar-benar tidak baik.

Dia patah hati.

Semua cinta yang ia berikan untuk istrinya, seperti tidak berarti. Istri yang tidak pernah Zelda temui langsung itu melarikan diri, enggan melanjutkan hidup bersama Damai.

"Mungkin tuan akan menemukan seseorang yang lebih baik."

Kalimat penghibur Zelda yang tidak ada apa-apanya itu ikur hadir dalam lamunan. Sekarang, Zelda sedikit menyesal telah mengatakan hal seperti itu. Mereka sudah dewasa.

Menikah adalah perkara janji sehidup semati.

Bila seseorang sudah menikah karena keinginan mereka sendiri, bukankah artinya mereka sangat mencintai satu sama lain?

Setidaknya, begitulah pola pikir Zelda sampai ia bertemu dengan Damai. Di luar sana, mungkin ada yang menikah dengan perasaan sebelah pihak. Ada pengkhianatan di balik kebahagiaan seseorang.

Kasihan Tuan Damai. Padahal, dia orang baik. Kenapa meninggalkan orang sebaik itu begitu saja?

Buktinya, dia berlari kepadaku ketika lemari itu hampir mengenaiku. Ekspresi khawatir dan garis cemas tergambar jelas di wajahnya. Tuan Damai bahkan rela untuk mengobati lecetku.

Zelda mengerjap.

Deg.
Deg.
Deg.

Zelda tersenyum dalam diam. Mengingat Damai yang mengobati lukanya dengan telaten, begitu perhatian sehingga perihnya tidak terasa.

Eh, kok deg-deg-deg?

Kenapa ... aku tersenyum?

Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, kembali menepuk-nepuk pipinya. Kali ini, tepukan itu lebih keras dari sebelumnya.

Zelda!

Kau tidak boleh seperti itu.

Ah, tidak. Aku seperti ini karena Tuan Damai mengatakan kami teman, 'kan? Iya.

Tidak mungkin aku begitu. Kami baru mengenal satu sama lain selama sebelas hari.

Duh, Zelda bodoh!

***

Hardi menyirami tanaman di halaman rumahnya dengan wajah datar tak berminat. Seharusnya sekarang giliran Harka, hanya saja kembarannya itu terlalu malas untuk turun dari ranjangnya.

Dia heran bagaimana orang-orang bisa menghabiskan seluruh waktunya sepanjang hari hanya dengan tiduran. Memangnya, punggung mereka tidak pegal?

Daripada tiduran sepanjang hari melakukan pekerjaan rumah merupakan yang terbaik. Mengapa Hardi bisa berkata seperti itu? Karena hobinya berbenah.

Bukan berarti ia tidak menghormati mereka yang lebih suka meluangkan waktunya dengan mengistirahatkan tubuh sepanjang hari. Hanya saja, bila mereka tidak melakukan apapun, bukankah lebih tidak sehat?

Ah sudahlah. Biarkan mereka melakukan apapun yang mereka lakukan.

Di saat seperti itu, sebuah mobil parkir di depan halaman rumah tetangga barunya. Seorang pria dengan jas hitam keluar dari jok kemudi, lalu mengunci mobil setelah menutup pintunya.

Pria itu menyibakkan surainya, membiarkan Hardi melihat wajahnya lebih jelas. Pria tersebut tidak berekspresi, namun karismanya terasa sekali.

Seperti melihat selebriti.

Walaupun Hardi seorang laki-laki, ia mengakui bahwa ketampanan tetangga barunya memang tidak manusiawi. Kalau saja dia tidak melarang Harka untuk melihat wajahnya, Harka pasti sudah fangirling menginginkan pria itu menjadi ayahnya.

Ayah mereka yang malang, diabaikan hanya karena seorang pria yang tampan.

Lama menatap tetangganya, pria itu menatap Hardi balik. Sudah terlambat untuk berpura-pura tidak melihatnya dari jauh sekarang. Hardi hanya berdeham, terpaksa mendekat dan menyapanya.

"Lama tak bertegur sapa, Hardi." ucap pria itu. Hardi hanya mengangguk seraya menyambut jabatan tangannya.

"Pak ... Damai, ya?" tanya Hardi.

Damai terkekeh. "Padahal waktu itu saya bilang, panggil saja Mas Damai. Rasanya sudah tua sekali kalau dipanggil bapak."

Hardi ikut terkekeh. Ia menatap Damai yang pamit untuk masuk rumah--lebih tepatnya, menatap aura Damai. Sekilas, kelihatannya tidak berbentuk.

Namun jika mata dibiarkan fokus ...

Aura macam apa itu ...?

***

Dea mengerjap, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Damai. Baru saja kemarin adiknya mengatakan bahwa ia butuh waktu, namun sekarang sudah berbicara hal yang tidak-tidak.

Bukannya tidak boleh. Dea senang untuk Damai, sungguh. Hanya saja, apa yang akan dikatakan mertua Damai kalau---

"Kamu merelakan Yunita?" tanya Dea tidak yakin. "Kau benar-benar alan merelakannya?"

Damai mengangguk seraya menyalakan televisi. Siaran berita langsung menyambut mata, berisi tentang kasus lain tentang korupsi. Dengan wajah santainya ia melirik Dea yang masih bingung.

Kenapa tiba-tiba?

Bukankah Damai baru saja merasakan patah hati? Bagaimanapun, mereka menikah. Walau Yunita menghilang, seharusnya tetap dicari agak setidaknya cerai terlebih dahulu.

"Kak." Damai memanggil. "Jangan berpikir terlalu keras. Aku baik-baik saja. Jika dia bisa meneruskan hidupnya, seperti kata kakak, maka aku juga akan meneruskan hidupku."

Dea menegak salivanya. "Kau ... sudah menemukan penggantinya?" secepat ini?

Damai menggeleng. Bukan itu yang dia maksudkan, namun sepertinya Dea mencernanya seperti itu. Tidak heran kalau wajahnya syok, ternyata salah paham.

"Bukan itu maksudku." Damai mematikan televisi karena tidak lagi berminat. "Aku akan melupakannya."

"Kau yakin?"

"Hm."

"Bagaimana dengan mertuamu?"

"Aku akan bicara."

"Sungguh?"

"Kakak." Damai beranjak. Ia mendekati kakaknya yang masih ragu. "Yunita wanita yang baik. Dia memilih untuk meninggalkanku karena jelas dia tidak mencintaiku seperti itu."

Dea menghela napas berat.

"Aku hanya menghormati pilihannya. Lagipula, aku memiliki kehidupan untuk dijalani." lanjut Damai seraya berlenggang pergi.

Dea hanya menatap punggung sang Adik yang lebar pergi menaiki tangga. Napasnya yang sempat ditahan kemudian keluar dengan kasar, ia menggelengkan kepalanya, lalu pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh.

Semua masalah yang menimpa adiknya selama mereka hidup akhir-akhir ini semakin tidak masuk akal. Masalahnya bermula ketika Damai dipromosikan menjadi manajer.

Masalah pertama yang muncul adalah masalah tenggat waktu tugas yang lewat. Padahal, rekan kerjanya mengatakan bahwa HRD sendiri yang meminta Damai untuk mengumpulkan paling lambat dua minggu, bukan empat hari.

Secara logika, tentu saja rekan kerja Damai yang berdusta. Untuk apa HRD mengerjai Damai seperti itu? Lagipula seingat Dea, HRD perasaan Damai adalah orang yang bijak serta berkuasa.

Masalah kedua, sekretarisnya sendiri mulai menggoda Damai. Suatu hari saat wanita itu menyatakan perasannya pada Damai namun langsung ditolak, wanita itu memfitnah Damai telah melecehkannya.

Untungnya, HRD tidak langsung percaya pada sekretaris. Sayangnya, beliau juga tidak percaya kepada Damai. Setelah beberapa minggu Damai dibebas tugaskan, akhirnya dia dipanggil lagi berkat bukti CCTV.

Masalah ketiga datang ketika akhirnya Damai jatuh hati pada salah satu rekan kerja wanita. Mereka menyembunyikan hubungan karena tentu saja akan dianggap tidak profesional.

Dengan bodohnya, setelah beberapa bulan memiliki seorang kekasih, wanita itu mengumumkan bahwa Damai adalah kekasihnya secara terang-terangan karena mengaku cemburu.

Mereka berdua tentu saja dimarahi. Namun, semua tuduhan dijatuhkan kepada Damai. Wanita itu mengatakan bahwa Damai mengancamnya bila dia tidak menjadi kekasihnya.

Damai kebingungan, jadi dia tidak membela dirinya. Dengan bungkamnya Damai, HRD percaya pada wanita tersebut.

Damai kembali dibebas tugaskan, namun tentu saja pada akhirnya dipanggil kembali karena HRD memperhitungkan kinerjanya yang baik.

Sejak saat itu, Damai tidak pernah lagi dekat dengan rekan kerja wanita. Ia sempat merasa bahwa wanita yang bukan keluarga hanya membawa malapetaka bagi dirinya.

Seolah mereka semua kutukan bagi seorang Damai Heraldi.

Sampai akhirnya Damai bertemu lagi dengan Yunita, adik kelasnya saat masa SMA dahulu.

Yunita tidak menyerah walau Damai terang-terangan menutupnya dari hidup Damai. Dia tetap berusaha bersikap ramah dan ceria, bahkan ketika Damai mengatakan sesuatu yang tajam.

Sampai akhirnya, Damai jatuh hati lagi.

Damai melamarnya, tepat di dalam kantornya. Yunita, dengan tangisan bahagianya setuju. Namun, dengan permainan bride and seek di hari pernikahan mereka, ternyata menjadi jalan keluar bagi Yunita.

Tanpa alasan, Yunita meninggalkan Damai yang sudah memperlakukannya bagai seorang putri.

Dea memijat pangkal hidungnya. Memikirkan kehidupan Damai yang akhir-akhir ini tidak baik, membuat kepalanya terasa hampir meledak.

Adiknya yang dermawan harus melewati berbagai macam masalah yang kelihatannya ringan untuk Dea. Namun untuk Damai, bisa jadi masalah-malsah itu mengubah pribadinya sedikit demi sedikit.

Bagaimana jika dia kehilangan adiknya yang murah hati?

Bagaimana jika dia kehilangan adiknya yang pemaaf?

Bagainana jika Damai enggan mencintai siapapun seumur hidupnya?

Dea menyesap teh buatannya yang lupa diberi gula. Walaupun rasanya pahit, dia mengabaikan. Untuk disuruh jujur, Dea juga sebetulnya marah saat Yunita kabur seperti pengecut.

Untuk apa memainkan hati pria seperti itu? Dia hanya membuat dirinya semakin buruk di mata orang lain.

Tidak ada lagi Yunita yang baik hati dan cerah.

Yang ada hanya Yunita tak memiliki hati nurani yang tega meninggalkan mempelai prianya tanpa alasan pasti.

Tidak ada lagi Yunita.

Damai memilih untuk melupakan segala perasaan yang pernah hadir di hatinya.

***

"Sebuah kecelakaan terjadi di jalan xx, menyebabkan pembatas jalan rusak dan akhirnya membuat dua mobil keluar dari jalur. Ada dua korban jiwa, seorang balita berusia tiga tahun dan opsir setempat, Wildan Yudistira.

"Diduga korban bernama Wildan menyetir saat sedang mengantuk, lalu menabrak sebuah mobil berisikan tiga orang; korban lain dan kedua orangtuanya.

"Mayat korban pertama berhasil ditemukan di bawah pohon. Sedangan mayat korban bernama Wildan menghilang begitu saja. Ada jejak-jejak darah dari mobil menuju sungai terdekat, namun sepanjang sungai itu tidak ditemukan mayat yang dimaksud.

"Pihak berwajib masih melakukan penyelidikan terhadap kasus hilangnya mayat korban. Dihimbau untuk warga yang menemukan mayat segera melapor ke pihak berwajib."

Pembawa berita bercerita. Hardi mengernyit, dengan mangkuk sereal di tangan kirinya, ia mematikan televisi dari remote di tangannya yang lain.

Harka mengerjap, ia menatap televisi dan Hardi bergantian. Saudaranya itu pura-pura tidak menyadari kalau manik matanya menelisik wajah Hardi yang tegang.

Ibunda mereka, Aini, menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Kalian dengan apa kata reporter tadi? Ada balita yang menjadi korban. Anak yang malang."

Hardi mengernyit. "Iya."

Harka hanya mengangguk tanpa melepaskan tatapan curiganya dari Hardi. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh saudaranya, dan Harka tahu itu. Insting kembarnya masih melekat, maka ia tidak bisa dikelabui semudah itu.

"Tapi, Bunda yakin Opsir Wildan masih hidup. Kalau tidak, tidak mungkin dia bisa kabur dari sana." celetuk Aini. Di saat yang bersamaan, suaminya, Jaka---yang juga ayah angkat dari Harka dan Hardi---memasuki ruangan.

Jaka menghampiri Aini kemudian mengecup keningnya sesaat. "Setahuku, Opsir Wildan itu orang yang bertanggung jawab. Walaupun beliau bersalah, aku yakin beliau tidak akan melarikan diri, Sayang."

Aini mengangguk. "Mungkin ada seseorang yang mengambilnya ...?"

"Untuk apa mengambil mayat?"

"Entahlah." Aini bergedik ngeri. "Siapa tahu ada seseorang yang memiliki kelainan atau tidak terima beliau pergi begitu saja."

"Itu tidak masuk akal." ucap Jaka.

Hardi menyimpan mangkuk sereal di meja kaca tepat di depannya. Dia berdeham lalu berkata, "Pikiran manusia siapa yang tahu?"

"Kau mengetahui sesuatu, Hardi." Harka tiba-tiba berucap. Manik matanya menatap tajam, bersirobok dengan manik Hardi yang membola---tidak memperhitungkan Harka yang akan mengatakannya begitu saja.

Aini dan Jaka bertukar pandang, lalu kembali menatap si Kembar. Jaka memutuskan untuk memecahkan keheningan canggung itu, "Apa maksudmu, Harka?"

"Hardi menyembunyikan sesuatu tentang hilangnya mayat Pak Wildan, Papa." Harka bersandar seraya menyilangkan tangan di depan dada.

Hardi menegak salivanya lamat-lamat. "Tidak."

Mereka semua menatap Hardi. Tidak ada yang bersuara, membuat Hardi tidak nyaman dengan situasinya.

"Oke, baik. Mungkin aku menyembunyikan sedikit yang kutahu." Hardi mengaku.

Jaka menghela napas. "Hardi, kami sebagai orangtua tidak masalah jika kau terang-terangan. Itu kemampuanmu, asal kau menggunakannya dengan benar, kami tidak masalah."

Aini mengangguk tanda ia juga sependapat. Hardi menatap ayah angkatnya sejenak, lalu mengulas senyum lega. Sungguh, ia merasa sangat beruntung Aini bertemu dengan Jaka.

Bukan hanya figur ayah yang baik, Jaka adalah sahabat yang setia. Dia tidak pernah kasar walaupun Hardi dan Harka bukanlah anak kandungnya. Jaka tetap menyayangi mereka sepenuh hati.

Walaupun Aini berkata ia tidak bisa memiliki anak lain dari Jaka, Jaka tidak pernah mengeluh. Baginya, si Kembar sudah merupakan anak-anak kandungnya sendiri.

Saat Jaka mengetahui kemampuan tidak biasa milik mereka, dia tidak mencaci seperti orang kebanyakan. Dia tidak mengatai mereka orang aneh atau delusi, Jaka menerimanya.

Karena Jaka sendiri mengalami hal yang sama beberapa tahun lalu. Kemampuannya hilang begitu saja, seiring dengan makhluk-makhluk yang tak bisa dilihat orang lain.

Hardi menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. "Mayatnya hilang."

"Kami tahu!" seru Harka tidak sabar.

"Ih, iya! Maksudnya hilang itu, mayatnya benar-benar hilang! Tidak ada lagi di bumi!" Hardi ikut berseru.

Aini mengernyit. "Maksudmu, Sayang?"

Hardi menelan salivanya lamat-lamat. Sulit untuknya menjelaskan, karena hanya dia yang mengetahuinya. Saat berita itu menunjukkan foto Wildan dan balita itu, Hardi hanya melihat aura dari balita yang sudah berubah menjadi kelabu.

Artinya, arwah anak itu ada di luar sana; kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. Dia masih terikat dengan dunia selama tubuhnya masih ada, karena secara teknis balita itu tidak mengerti.

Sementara untuk Wildan, Hardi tidak melihat warna apapun. Biasanya, bila orang sudah meregang nyawa, Hardi akan melihat warna hitam pekat---korban nyawa sudah pergi dengan tenang, atau kelabu---korban nyawa masih terikat dengan dunia.

Namun dengan Wildan, Hardi tidak merasakan apapun.

Bukan hanya hilang, tapi mayatnya lenyap. Seolah Pak Wildan tidak pernah ada di muka bumi.

"Ada seseorang, atau sesuatu, yang melenyapkan mayat Pak Wildan." Hardi menerangkan. "Mayatnya sudah ... hilang dari eksistensi bumi."

Bola mata Harka membola. "Kau yakin?"

Hardi mengangguk. "Foto Pak Wildan yang ditampilkan di televisi tadi tidak menghasilkan warna sama sekali."

"Apa yang membuat mayatnya hilang?" Aini bertanya prihatin. Memikirkan keluarga mendiang Opsir Wildan yang pasti sedih atas kehilangan, tidak bisa menguburkannya dengan layak.

Hardi menggeleng. "Tidak."

"Kau tidak tahu?" Jaka bertanya.

Hardi kembali menggeleng. Ia memeluk kedua kakinya lalu membenamkan wajah di sana. Harka beranjang dari sofanya, kemudian terduduk di samping Hardi.

Ia memeluk saudaranya erat, mengerti bahwa remaja laki-laki yang berstatus sebagai kembarannya itu merasa tidak enak kepada mereka para keluarga.

Namun, tidak.

Hardi tidak merasa seperti Itu. Daripada memikirkan Opsir Wildan, dia lebih memikirkan keselamatan Harka yang jauh lebih berkuasa dibandingkan dengannya.

Nyawamu akan aman bila kita pura-pura tidak tahu. Ada baiknya tidak terlibat daripada aku harus kehilanganmu, Harka.

Terkadang, mengetahui apa yang tidak orang lain ketahui merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan.

***

"Apa?"

Damai menaikkan kedua alisnya tidak percaya. Baru saja ia bertemu dengannya kemarin, sekarang dia tidak ada? Apakah dampaknya sebesar itu?

"Maaf, Damai. Zelda berkata bahwa ia tidak enak badan, jadi tidak akan masuk kerja untuk beberapa hari."

"Hm, begitu ya."

Dia berbalik, tidak jadi memesan kopi yang biasa dipesan olehnya. Padahal, lecet yang dialami Zelda tidak mungkin berdampak separah itu. Apa mungkin sesuatu terjadi padanya?

Kenapa aku sekhawatir ini?

Ah, persetan. Kalau dia kenapa-kenapa bagaimana?

Damai berbalik, memutuskan untuk menanyakan alamat rumah Zelda. Ricky yang terkejut dengan pilihan Damai tentu saja linglung sejenak, lalu kemudian tersenyum lebar.

"Kau khawatir padanya?"

"Tentu saja. Apa dia tinggal dengan orangtuanya?"

Ricky menggeleng. "Dia tinggal sendiri di apartemen dekat sini. Jalan xxx, apartemen nomor dua ratus sepuluh di lantai tiga."

"Kenapa dia tinggal sendirian? Apa tidak ada teman yang bisa tinggal bersamanya?"

Ricky melirik sudut mata kiri-atas, lalu menggeleng. "Setahuku, walaupun Zelda itu orangnua terbuka, dia tidak pernah mau bergantung kepada orang lain. Tidak mau merepotkan katanya."

Damai mengangguk lalu berterimakasih sebelum akhirnya pergi. Dia keluar kafe, membuka mobil yang tadinya terkunci kemudian masuk ke jok mengemudi.

Eh. Kalau aku datang tanpa buah tangan, sopan tidak ya?

Sial, kenapa aku yang tidak pernah mengunjungi seorang wanita ini mau menjenguk Zelda, sih?

Ah, masa bodoh. Yang penting sekarang Zelda ada yang menemani. Kalau dia terluka di rumahnya dan tidak ada yang bisa menolong bagaimana?

Lho, memang apa urusannya denganku?

Ah! Tahu, ah!

***

Hatsyi!!!

Zelda bersin. Dia meringkuk dalam selimut di atas sofanya yang usang, merasa meriang sejak kemarin malam. Seharusnya, lecet saja tidak membuatnya seperti ini.

Mungkin memang benar, kondisi fisik Zelda tidak sebaik itu. Namun, ia tidak menyangka lecetnya bisa menimbulkan rasa tidak enak badan---walau Zelda tidak yakin ia sakit hanya karena lecet.

Selepas bersantai kemarin malam, Zelda terlalu banyak berpikir. Otaknya yang tidak biasa dipaksa berpikir keras itu mungkin memberikan sinyal bahwa tubuhnya kelelahan, padahal hanya menggunakan nalar.

Duh, kenapa harus begini hanya karena berpikir keras, sih? Zelda payah.

Di sela-sela sesi mengumpati dirinya sendiri itu, daun telinga Zelda menangkap gelombang suara yang berasal dari pintu, lalu menyalurkannya ke gendang telinga.

Otak memberikan sinyal bahwa ada seseorang yang bertamu. Jam menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga belas menit, kalau itu teman-teman dari tempat kerjanya, rasanya mustahil.

Lagipula, Zelda sudah meminta teman-temannya untuk tidak menjenguk. Kalau menjenguk, mereka pasti akan membawa buah tangan karena merasa tidak enak.

Zelda tidak mau teman-temannya mengeluarkan uang hanya karena dia yang sedang sakit.

Tubuhnya terduduk. Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu memberikan jeda sejenak guna menghilangkan pening dikarenakan duduk tiba-tiba. Setelah dirasa nyaman, Zelda akhirnya berdiri.

Siapa, ya?

Tangan kanan Zelda hang sepucat susu itu memutar kunci, setelah terdengar bunyi pintu terbuka, ia beralih kepada kenop dan membukanya.

Daun pintu berwarna cokelat polos itu terbuka lebar, menampakkan lorong kosong di depan mata.

Tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali udara yang tak dapat berucap. Pada akhirnya, Zelda kembali menutup pintu tersebut. Benaknya kebingungan, kenapa pintu itu bisa diketuk bila tidak ada orang lain di sana? Mungkin angin.

Namun jika kembali dipikir, mana mungkin angin yang hanya bisa membelai itu dapat menghasilkan suara ketukan yang jelas? Zelda tidak mau memikirkannya terlalu jauh, maka ia kembali ke sofanya tercinta. Saat bokongnya hendak bertemu dengan permukaan sofa yang empuk, pintu cokelatnya kembali diketuk.

Berpikir bahwa mungkin saja orang yang barusan mengetuk pintu pergi dahuku ke kamar mandi kemudian sekarang kembali lagi, Zelda akhirnya berjalan menuju pintu. Ia memutar kunci, kenop, kemudian menarik pintu cokelat tersebut ke dalam.

Sekali lagi, tidak ada siapa-siapa di sana. Sekarang, benaknya mulai berpikir yang tidak-tidak, seolah dia terlalu banyak menonton film seram. Zelda memposisikan dirinya sebagai tokoh wanita utama yang sedang sendirian di rumah dan mendengar ketukan pintu. Saat tokoh tersebut membuka pintu, tidak ada siapa pun.

Di luar dugaan, hantu yang tak kasat mata hanya ingin masuk dengan bebas saat tokoh wanita utama tersebut membuka pintu rumahnya lebar-lebar.

Tidak mungkin itu terjadi di dunia nyata, 'kan? Lagipula, hantu butuh energi yang banyak agar bisa berinteraksi dengan benda sekitar.

Tanpa menunggu lebih lama, Zelda menutup pintu apartemennya. Dia memutar kunci ke kanan, kemudian berbalik untuk kembali ke sofa. Tidak perlu menunggu Zelda melangkahkan langkah ketiganya menuju sofa, ketukan yang sekarang terdengar lebih pelan kembali terdengar.

Di titik ini, detak jantung Zelda berpacu dengan cepat. Napasnya memburu, rasa takut singgah dalam hatinya. Dia berbalik perlahan, sebetulnya enggan untuk membuka pintu. Saat tangan kanan Zelda hendak memutar kunci, dia berhenti. Hatinya berkata untuk mengintip lewat peep hole pintu kali ini.

Di sana, di seberanh pintu, berdiri seorang wanita dengan rambut pendek sebahu--sama seperti miliknya. Wanita itu mengenakan setelan yang kelihatannya seperti gaun pernikahan, tetapi gaun tersebut terlihat kusam. Zelda tidak bisa melihat wajah wanita tersebut, tetapi dia tetap enggan membukakan pintu untuknya.

Manusia macam apa yang tiba di depan pintu apartemen seseorang dalam kurun waktu dua detik setelah tuan rumah membuka pintu untuk udara kosong?

***

5265 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top