4. Keep Your Fear

Katakan kepadaku, apakah kau menikmati segala kebohongan yang lolos dari mulutmu itu? Apakah kau pernah memikirkanku barang sekali saja? Apakah kau pernah berpikir, apa yang sudah kaulakukan kepadaku?

***

Malam itu yang paling sepi dari setiap waktu. Coba kau bayangkan, suasana malam hari yang jarang orang lalu-lalang. Suasana malam yang sejuk, terkadang membuatmu merinding karena sesuatu yang merangkak di balik kegelapan.

Kesampingkan makhluk yang bersembunyi dalam gelap, malam itu suasana yang paling disukai beberapa orang. Ada yang suka karena di malam hari, mereka melakukan sedikit interaksi dari biasanya dengan manusia di luar kamar. Ada yang suka karena malam hari itu dingin. Ada yang suka karena malam hari itu sepi.

Sementara untuk remaja yang sedang menatap bulan yang diselimuti awan di atas sana, dia menyukai malam hari karena hanya saat itu dia bisa berpikir jernih. Hanya saat itu orang-orang di rumah pergi entah ke mana. Hanya saat itu, dia bisa berdiam sendirian di kamarnya. Ditemani Tuan Bulan di atas sana, menyorotinya dengan sinar temaram yang indah.

Apa yang terjadi pada hidupnya? Selama Ini, yag dilakukannya hanya keluar saat malam tiba. Menatap Tuan Bulan yang sepertinya tidak pernah menatapnya kembali. Membuatnya rambutnya tersibak angin malam yang sejuk, menghirup udara segar setiap kali dia membuka jendela.

Apa yang sudah ia lakukan dengan hidupnya? Selama ini, hanya bertanya-tanya tanpa mencari jawaban dengan jelas. Selama ini, hanya mendekam dalam kamar dan tidak pernah mau keluar. Selama ini, apa yang bisa dilihatnya dari dunia luar hanya sebatas trotoar dan jalanan di luar jendela kamarnya.

Dia mendesah pelan, meraih daun jendela kemudian menutupnya rapat. Setelah mengunci jendela tersebut agar tidak bisa dibuka lagi, remaja itu berbalik, berjalan menuju ranjangnya yang kelihatan berantakan dan tua. Dia tertidur di sana, menatap langit-langit kamarnya yang hampa.

Apa yang telah ia lakukan kepada hidupnya? Tidak ada. Seolah ia menyia-nyiakannya hanya untuk bernapas di dunia, kemudian membuangnya pada hari ajal menjemput jiwa dari raganya. Meninggalkan remaja itu sepenuhnya di dunia, dengan tubuh yang terkubur di balik tanah.

Sudah sekian lama akhirnya keluarga itu pergi. Dia ditinggalkan sendirian lagi tanpa tahu harus berbuat apa, tanpa ada yang melihat, tanpa ada yang peduli. Menyebalkan, keluarga saja tidak melihatnya bagaimana orang lain? Remaja yang sekarang sedang tertidur di atas ranjang usang itu memejamkan mata walau tahu dia tidak akan bisa tertidur.

Kesepian selalu ada bersamanya, tidak memiliki teman adalah hal yang biasa. Terkadang, dia mengutuk nasib hidupnya yang begitu-begitu saja. Walau keinginan untuk mengubah nasibnya tinggi, dia tidak bisa melakukan apapun.

Di saat-saat seperti itu, renungannya seakan mempercepat waktu. Matahari tiba-tiba menyinari kamarnya dari jendela, membuat kamar yang tadinya suram ini berubah sedikit lebih cerah.

Remaja di atas ranjang tidak tertidur, dia bahkan tidak memejamkan matanya barang sebentar saja. Memang, hari itu semakin ke sini semakin cepat terlewatnya. Sampai dia bahkan tidak menyangka ada orang di kamarnya, tidak sadar ini sudah siang.

Dia turun dari ranjang, menatap orang itu lekat. Maniknya terpukau, orang di hadapannya tampan. Ketika orang itu menoleh dan membiarkan netra mereka saling bersirobok, apa yang ada di sekitar remaja itu berubah menjadi cerah. Semuanya berwarna, tidak lagi kelam seperti dulu.

Orang di hadapannya mengerjap. "Eh, kau siapa?" mereka terdiam di tengah-tengah ruangan, menelisik satu sama lain. Mereka sama-sama mundur berapa langkah, masih menyorot satu sama lain dengan netranya.

Jika remaja yang tadinya sendirian itu menatap orang tersebut dengan tatapan yang terheran-heran, orang itu malah menatap si remaja dengan sorot ketakutan. Tubuhnya bahkan tremor ringan, seolah dia baru saja melihat--

"H-hantu." ucap orang itu.

Si remaja menggeleng. "Eh, jangan teriak." pintanya seraya menempelkan jari telunjuk kanan di depan mulutnya. Dengan lugu, orang itu mengangguk lemah. Kelihatan sekali sekujur tubuhnya bergetar, membuat si remaja bisa melihatnya lebih jelas.

Manusia ini ...

"Jangan takut," si remaja--atau sebut saja hantu--itu mendekat perlahan ke arah orang itu, "aku tidak akan menyakitimu. Aku bukan hantu yang jahat, tenang saja."

"Berarti ... k-kau benar-benar hantu?" tanya orang tersebut. Walau ragu harus menjawab seperti apa, Si Hantu akhirnya memutuskan untuk merespon dengan anggukan kepala sebagai jawaban.

Sayang, jawaban itu malah membuat manusia di hadapannya tambah ketakutan. Seolah dia tidak percaya saat Si Hantu berkata dia tidak akan menyakitinya. Karena itu, Si Hantu berjalan lebih dekat lagi ke arah manusia tersebut, membuktikan bahwa dia tidak akan melakukan apapun.

Setelah yakin, manusia itu akhirnya berhenti mundur. Walau demikian, tak menutup fakta bahwa hantu di hadapannya memiliki wujud yang lumayan menakutkan. Sebetulnya, lebih ke kategori agak menjijikan daripada menakutkan.

Dahinya dilumuri begitu banyak darah, seolah hantu itu meninggal karena benturan keras di kepala bagian depan. Tangannya kelihatan baik-baik saja, berbeda jauh dari jari-jari dan kakinya yang kelihatan benar-benar patah. Darah segar terus menetes dari kepalanya, beruntung dia hanya seorang hantu.

"Jangan takut, oke? Walau wujudku sekarang begini keadaannya, aku baik-baik saja. Lihat, aku juga bisa menyerupai orang-orangmu." Si Hantu merubah bentuk jari-jari dan kakinya, seolah mereka tidak pernah patah sama sekali. Namun tidak dengan darah yang mengalir dari kepala bagian depan, menuju dahi, akhirnya sampai di dagu dan menetes ke lantai walau tidak benar-benar memberikan bekas.

Manusia di hadapannya masih terdiam, enggan mengatakan sepatah katapun. Maka dari itu, Si Hantu kembali membuka mulutnya. "Bagaimana kalau berkenalan dengan baik? Siapa namamu?"

"... namaku?" akhirnya manusia membuka suaranya juga. "N-namaku ... Nate. Bagaimana dengan namamu?" tanya Nate balik.

Sejujurnya, Si Hantu dengan rambut panjang yang terurai berwarna hitam itu ingin sekali menjawab apa yang menjadi pertanyaan Nate. Sayang sekali, dia tidak mengingat siapa namanya atau apa yang terjadi padanya di masa lalu sehingga dia bisa terikat dengan bangunan bernama rumah ini.

Untuk memenuhi pertanyaan Nate, Si Hantu hanya menggeleng karena dia ingin mengatakan yang sejujur-jujurnya kepada Nate. Walau masih sedikit gemetar, Nate tetap diam di hadapan Si Hantu--kelihatannya sedang berpikir.

Tak perlu waktu lama, sebuah senyum terbit di wajahnya yang pucat. Maniknya berbkmar, menatap Si Hantu sedikit lebih antusias daripada sebelumnya. "Bagaimana kalau aku memanggilmu dengan nama Lucy?"

Si Hantu mengerjap, kemudian senyum dengan tulus. "Tentu, kau bisa memanggilku Lucy mulai sekarang."

Mereka berdua saling bertukar senyum, seolah mereka adalah dua teman yang sudah lama tidak bertegur sapa dan akhirnya dipertemukan dalam kamar tua di rumah yang sama tuanya. Nate sedikit demi sedikit berhenti gemetar, sementara Lucy tidak berhenti tersenyum sama sekali.

"Tebakanku, kau akan pindah ke rumah ini, 'kan?" tanya Lucy dengan segenap rasa berharap dalam intonasinya. Akhirnya, dia tidak akan sendirian lagi setelah keluarga yang terakhir meninggalkannya.

Mengapa keluarga yang terakhir kali tinggal di rumah itu pergi, kau tanya? Yang dilakukan Lucy hanya berusaha untuk menghindari mereka. Siapa yang tahu, ternyata salah satu dari anggota keluarga itu bisa melihatnya? Jadi, mereka pindah karena ketakutan.

Padahal, Lucy tidak berniat jelek. Dia tidak pernah mau menyakiti manusia. Yang ingin dilakukannya hanya memiliki teman, dan sekarang akhirnya dia punya.

Sebuah suara memanggil nama Nate, kedengarannya berasal dari lantai bawah. Mereka kembali melempar pandang, mengetahui Nate harus pamit dulu untuk sementara. Lucy mengangguk, membiarkan Nate pergi ke luar kamar.

Sebetulnya, dia ingin mengikuti Nate. Hanya saja, Lucy tidak mau hal yang sama terulang lagi. Dia tidak mau keluarga Nate batal membeli rumah ini karena melihatnya berkeliaran dalam rumah, dengan darah mengalir dari kepalanya.

Ah, apa yang terjadi kepadanya sampai dia terikat dengan rumah ini? Lucy pernah mencoba untuk pergi keluar, sayang ada semacam dinding tak terlihat yang menghentikan aksinya. Dia ingin bebas, pergi ke dunia lepas. Mengapa rumah ini membelenggunya?

Apakah ini ada kaitannya dengan alasan kematian Lucy? Apakah dia meregang nyawa di rumah ini, di tempat yang sama? Kapan?

Entah mengapa, Lucy tak bisa mengingat apa yang terjadi kepadanya. Memorinya samar-samar, memperlihatkan beberapa orang dengan wajah yang tak asing baginya. Namun Lucy tidak mau gegabah, menganggap mereka adalah penyebab kematiannya.

Siapa tahu, mereka orang-orang yang datang untuk menyelamatkannya atau membawa tubuhnya pergi ke rumah sakit. Sekarang, keingintahuannya mengenai alasan kematian tambah menjadi-jadi, padahal baru saja dia sempat lupa beberapa menit yang lalu.

Jantungnya sudah tidak berdetak, dia tak bernapas. Namun Lucy bisa merasakan, kalau saja dia masih memiliki jantung yang berdetak, detaknya pasti cepat seolah adrenalin menguasai dirinya sepenuhnya.

Aku ingin tahu, aku ingin mencari tahu. Namun, bagaimana caranya jika tempat ini mengurungku bagai sangkar burung?

***

Ini hari kedelapan Nate resmi menjadi tuan rumah penjara yang selama ini menahan Lucy. Siapa sangka, Nate akan tidur di kamar tempat mereka bertemu pertama kali? Lucy senang, akhirnya ada juga manusia yang betah di kamar ini.

Nate adalah manusia pertama yang tidak takut dengan kehadiran Lucy. Nate juga manusia pertama yang bisa dilihat jelas olehnya, Nate adalah manusia pertama yang bersikap baik kepadanya walau wujud Lucy tetap tidak enak untuk dipandang.

Mereka sering berbincang, dengan topik utama mengenai Nate yang menjadi teman Lucy si Hantu. Mereka mudah akrab, Nate sendiri tidak mengira ia akan memiliki seorang teman hantu, apalagi yang baik macam Lucy.

"Aku sudah sering bercerita tentang diriku kepadamu. Bagaimana kalau sekarang gantian, kau yang menceritakan tentangmu kepadaku?" Nate bertanya.

Sebetulnya, Lucy tidak mau menolak. Namun dia tidak punya pilihan, karena Lucy sendiri tidak tahu siapa dia sebenarnya. Apa yang dilakukannya sebelum dia mati, apa yang terjadi saat ia mati, bahkan alasannya saja masih dicari-cari.

Untuk itu, Lucy tersenyum tipis. "Maaf, Nate. Aku tidak mengingat apapun yang berkaitan dengan diriku di masa lalu."

"Oh, begitu, ya? Apakah setiap hantu yang ada di dunia ini sana sepertimu, tidak mengingat siapa jati dirinya sebelum dia mati?" Nate bertanya.

Yang aneh bagi Lucy adalah, dia tidak tahu apapun tentang dirinya sendiri. Namun Lucy tahu apa-apa saja yang bisa dan tidak bisa dilakukan seorang hantu. Mungkin, sudah bawaan status sosialnya.

"Entahlah." Lucy mengedikan bahu, "Setahuku tidak semua hantu berakhir amnesia sepertiku. Ada lho, hantu yang ingat betul alasan kematiannya sampai dia memiliki dendam. Itupun kalau ternyata ada seorang manusia yang terlibat di hari kematiannya."

"Begitukah? Bagaimana denganmu?" tanya Nate.

Lucy menggeleng. "Aku tidak ingat apapun tentang kematianku. Mungkin ... sekilas, tapi aku tidak tahu apa yang terjadi hari itu. Kalau diberikan satu kesempatan saja, aku ingin mencari tahu apa yang sebetulnya terjadi."

Nate terdiam, menatap binar Lucy yang memudar. Dari air wajahnya saja, Nate tahu Lucy benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi hari itu--hari di mana ia meregang nyawa di rumah ini. Apakah dahulu ini adalah rumah Lucy? Apa dahulu terjadi kecelakaan di sini?

Pemuda itu mendekat kepada Lucy yang terduduk di sampingnya, berjanji bahwa dia akan membantu Lucy mencari alasan kematiannya. Mendengar itu, binar Lucy kembali pada tempatnya. Dia tak henti mengucapkan terimakasih, seolah mencari alasan kematiannya adalah sesuatu yang sangat besar.

Tentu saja, itu memang sesuatu yang sangat besar untuk seorang hantu. Kalau saja Lucy bisa mencari apa yang terjadi di masa lalunya, mungkin dia tidak akan terikat dengan dunia. Namun kondisi seorang hantu tidak semudah yang manusia pikir.

Walau mereka tidak memiliki ikatan dengan dunia, mereka masih bisa terjebak di tempat di mana terakhir kali mereka menghembuskan napas. Jujur, Lucy tidak menyukai hal itu. Dia tidak mau menunggu sampia hari akhir datang dan menyapu alam semesta sehingga mereka bisa pergi ke akhirat selamanya.

Sementara untuk Nate, dia sedang menyusun rencana akan memulai pencarian di mana. Berinteraksi dengan makhluk (yang sudah tidak) hidup adalah kali pertama dalan hidupnya. Nate belum pernah memiliki teman, maka bisa dikatakan, Lucy juga teman pertama untuk Nate.

Pertama-tama, Nate harus tahu sudah berapa lama rumah ini berdiri. Kemudian, dia akan bertanya kepada Lucy berapa lama kira-kira hantu itu terjebak dalam rumah. Setelah mengumpulkan informasi yang cukup, Nate bisa saja mencari sisanya di dalam rumah atau lingkungan sekitar.

Yang paling mudah sekarang adalah, Nate hanya perlu bertanya kepada Lucy sudah berapa lama dia terjebak di sana. Saat Nate bertanya demikian, Lucy sebetulnya kesulitan untuk menjawab karena merasa sudah sangat lama berada dalam rumah tersebut.

"Aku tidak terlalu yakin. Tapi, seingatku, sejak rumah ini kosong aku sudah terjebak. Awalnya, aku tidak menyadari bahwa aku sudah tidak bernyawa. Sempat kucari di mana mayatku, tapi tidak kunjung kutemukan. Bisakah ... kau mencari di mana tubuhku?" Lucy bertanya.

"Setidaknya, aku ingin tahu apalah tubuhku sudah terkubur dalam di bawah tanah di pemakaman atau mungkin ... membusuk di suatu tempat." imbuhnya.

Nate mengangguk. "Serahkan saja padaku. Tapi perlu kau ingat, aku tidak menjanjikan apapun terhadap pencarianku."

"Tidak apa-apa!" Lucy berseru. "Kau bersedia membantu saja aku sudah senang."

Mereka menghabiskan sisa hari dengan berbincang mengenai dunia. Apa yang ada di luar sana? Nate menceritakan sedetail mungkin. Sebetulnya, Nate bukan orang yang pandai bergaul.

Tepat, Nate adalah orang yang penyendiri. Fakta bahwa dia adalah siswa homeschooling membuatnya semakin menutup diri dari dunia luar. Satu-satunya teman yang ia percaya saat ini adalah dirinya sendiri, keluarga pun termasuk.

Kau ingin tahu mengapa Nate memilih untuk sekolah di rumah? Jawabannya cukup sederhana. Nate tidak menyukai orang-orang, dia tidak mau berada di tengah-tengah keramaian; salah satu alasan mengapa keluarganya memilih untuk pindah ke rumah ini.

Pikirannya jauh lebih lancar ketika ia sedang dilingkupi oleh kesunyian. Kesepian adalah temannya, bukan lagi musuh yang harus dihindari ke manapun Nate pergi. Ditambah lagi, Nate punya pengalaman buruk saat dia masih sekolah di sekolah umum.

Salah satu teman sekelasnya mendorong seorang anak yang fisiknya lemah sampai terjatuh. Kalau Nate tidak salah dengar, kejadian ini terjadi saat ia menginjak bangku kelas satu sekolah menengah pertama. Apa yang terjadi kepada orang itu? Dia cedera. Cedera parah, sehingga tangan kanannya tidak bisa digerakan.

Tebak, apa yang terjadi selanjutnya? Benar. Pelaku yang sebenarnya Menuduh Nate, bahwa dialah yang mendorong korban sampai cedera. Sejak saat itu, pikiran bahwa semua manusia tidak sebaik keluarga telah terpatri dalam hatinya. Nate tahu betul semua manusia tidak seperti itu, tetapi dia tidak bisa menganggap semuanya sama lagi.

Terlebih, keluarganya yang harus menerima sanksi sebesar jutaan rupiah. Bisakah kau bayangkan itu? Nate benci dengan dunia luar, Nate tidak suka orang-orang selain keluarga dekatnya.

Pertemuan pertamanya dengan Lucy, Nate tidak berbohong ketika dia berkata bahwa dia ketakutan. Wujud Lucy memang mengerikan, seolah kepalanya ditimpa batu, kaki-tangannya digilas ban mobil. Berbicara tentang kepala dan kaki-tangan Lucy, Nate kemudian tahu di mana dia harus mulai terlebih dahulu.

Rencananya, Nate akan menunggu malam hari tiba. Saat rembulan menyinari bumi, membiarkan seluruh orang di bagian bumi yang diterpa cahaya bulan terlelap. Kesunyian adalah yang menguasai malam, angin sejuk yang selalu hadir di malam hari itu membuat Nate semakin terjaga.

Tenang, ini baru rencana. Dia belum benar-benar melakukannya.

Setelah semua penghuni terlelap, Nate akan pergi keluar dari kamarnya. Kebetulan, Nate belum sempat menelusuri rumah ini lebih dalam ketika mereka baru saja sampai. Ini bisa menjadi kesempatannya untuk mencari tahu seluk beluk rumah.

Untuk membuktikan janjinya kepada Lucy, Nate benar-benar pura-pura terlelap di ranjangnya. Setelah malam berubah benar-benar sunyi, Nate membuka maniknya yang semula terpejam kemudian terduduk di atas ranjangnya.

Apa yang ia lakukan pertama-tama adalah menyapu pandang ke kamarnya. Beberapa titik terlihat berdebu, ada banyak kardus bertumpukan mengingat dia baru saja pindah. Nate belum sempat membuka semua isinya satu-satu.

Maniknya menangkap sosok Lucy yang entah kenapa tidak transparan sama sekali. Tidak seperti hantu-hantu yang ada di film layar lebar, membuatnya terlihat seolah seperti seorang manusia yang kepalanya terluka. Lucy menatap rembulan yang bertengger di langit malam, seolah ia mendambakan benda langit yang indah itu.

Tatapannya yang sayu entah kenapa kelihatan indah di mata Nate. Tentu, Lucy sangat pucat. Namun mengapa dia kelihatan cantik? Nate menggelengkan kepalanya, beranjang dari ranjang dan berjalan mendekati Lucy.

"Lucy," Nate memanggil. "Aku akan pergi menelusuri rumah ini. Apa kau mau ikut bersamaku atau tidak?"

Untuk beberapa saat, Lucy terdiam. Maniknya yang kelam bersirobok dengan milik Nate, sesaat di sana, Nate merasa tidak ada apapun di dunia ini yang hadir selain dirinya dan Lucy. Tanpa ia sadari, Nate telah terikat sepenuhnya oleh Lucy. Pertemanan indah itu menggiurkan untuknya yang sudah lama sendirian.

Setelah lama berdiam di tengah kesunyian yang memeluk mereka dengan erat, akhirnya Lucy berkata, "Aku mau ikut kalau kau tidak keberatan. Lagipula, rasanya aku sudah bosan dengan rada sepi."

"Baiklah. Ayo, kita mulai pencariannya." Nate berbalik, dibuntuti oleh Lucy di belakang. Dengan perlahan, remaja itu membuka pintu kamar lalu berjalan di lorong panjang yang gelap.

Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya beberapa lampu yang menyala, membiarkan Nate melihat beberapa pintu menuju kamar dan kamar kecil. Mereka diam sesaat, saling bertukar pandang kemudian berjalan menuju ujung lorong paling kanan.

Sejujurnya, Nate merasakan sesuatu di balik cahaya-cahaya temaram itu. Kehadiran yang tidak diingikan, kehadiran selain dirinya dan Lucy yang sekarang celingak-celinguk di sampingnya. Mengapa Nate merasa demikian? Sungguh, Nate tidak tahu.

Mereka melewati beberapa pintu tua yang tidak Nate tahu ke mana pintu itu menuntun mereka. Sementara Nate memerhatikan sekitarnya, Lucy nampak diam. Seolah hantu itu juga baru pertama kalinya menyusuri rumah, seolah semuanya asing bagi Lucy.

Padahal, dia sudah terkurung di rumah ini selama bertahun-tahun. Mungkinkah Lucy sedang mencoba untuk mengingat-ingat apa yang terjadi di rumah ini, sampai ia terikat dengannya?

"Kenapa kelihatannya kamu asing dengan bagian rumah yang ini, Lucy?" tanya Nate. Lucy mengerjap, dia melirik tetapi memutuskan untuk tidak menjawab, membiarkan Nate merasa canggung dengan pilihannya sendiri.

Bagi Lucy, menjawab pertanyaan itu tidak ada gunanya. Lucy tidak ingat, mengapa dia tidak pernah keluar dari kamar di lantai atas paling ujung. Lucy tidak ingat, kapan terakhir kali dia keluar dari kamar dan melihat-lihat isi rumah.

Satu hal yang pasti, rumah ini tidak ia kenali. Ada beberapa perabotan yang baru dilihat Lucy, apa nama perabotan-perabotan itu? Ada beberapa vas bunga imitasi di sudut ruangan, siapa yang menempatkannya di sana?

Bahkan, Lucy merasa warna dindingnya berubah. Bukannya lebih gelap, warna dinding rumah sekarang malah jauh lebih terang. Lucy tidak tahu warna apa yang sebelumnya memoles dinding rumah, tetapi warna itu sekarang adalah warna kuning gading.

Mereka kemudian berhenti, mendengar suara engsel pintu yang terbuka. Nate menelan salivanya lamat-lamat, entah mengapa gugup dengan suara tersebut. Arahnya dari belakang, tetapi dia tidak berani melihat ke sana.

Ada rasa takut memeluk hati Nate, seperti yang sudah-sudah.

"Nate?" Seseorang memanggil dari belakang, suaranya tidak asing bagi Nate. Maka dengan itu, Nate berbalik perlahan hanya untuk melihat kakak laki-lakinya berdiri di ambang pintu kamar mandi, menatap ke arahnya dengan sorot tanda tanya.

Nate menghembuskan napas lega. "Kakak, sedang apa tengah malam begini?"

"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Aku dari kamar mandi, tentu saja baru selesai melakukan urusan kamar mandi," jawab kakak lelakinya, Varell. "Kau sendiri sedang apa tengah malam begini? Mau ke mana?"

"Tidak ke mana-mana." Nate menjawab tanpa berpikir.

"Lalu, kenapa malah keluyuran?" tanya Varell.

Mereka terdiam. Varell menunggu Nate untuk menjawab, sedangkan Nate sedang gugup. Lucy yang ada di samping Nate kebingungan, apa yang harus dia lakukan agar bisa membantu Nate lepas dari keadaan itu?

Nate kembali menatap Varell, maniknya menangkap sosok asing yang berdiri tepat di belakang Varell. Sosok itu begitu tinggi, tubuhnya ceking, mulutnya terbuka lebar seolah hendak berteriak. Kedua lengannya panjang, seperti tulang dibalut julit. Warna kulitnya sendiri merah, rambutnya berantakan.

Sosok itu--makhluk itu menatap Nate dengan matanya yang hitam. Tangan kanannya perlahan menunjuk ke arah Nate, seolah makhluk tersebut bisa melihat Nate. Lucy mengerjap, dia juga menyadari keberadaan makhluk lain selain dirinya.

Itu hantu, sama sepertinya. Namun alasan kematiannya jauh berbeda dibanding Lucy. Hantu itu tidak terlihat seperti seorang manusia, tidak seperti Lucy yang wujudnya masih enak untuk dipandang.

Sementara Nate mematung, Varell mengernyit melihat mimik wajah sang adik berubah drastis. Manik Nate menatap ke atas, seolah ada sesuatu di atap. Dengan itu, Varell mendongak guna melihat apa yang sedang dilihat Nate. Sayangnya, dia tidak melihat apa pun.

Penasaran, akhirnya Nate bertanya, "Mengapa kau melihat atap setegang itu?"

Nate tidak menjawab, seolah tidak mendengar satu kata pun yang lolos dari mulut Varell. Sang kakak semakin menautkan alisnya, mendekati Nate yang juga mundur satu langkah walau maniknya masih tertuju kepada atap.

"Kamu kenapa, Nate?" tanya Varell.

Lucy mengerjap, akhirnya berdiri di depan Nate untuk menyembunyikan wujudnya. Berhasil, makhluk itu kelihatan kebingungan walau ekspresi wajahnya tidak berubah. Dia celingukan, seolah mencari sesuatu yang baru saja hilang.

Walau demikian, Nate masih mematung. Makhluk di hadapannya membuatnya ketakutan, lebih dari saat Nate bertemu dengan Lucy. Padahal sebelumnya, Nate belum pernah bertemu atau barangkali melihat makhluk macam itu di rumahnya.

Varell menembus wujud Lucy, telapak tangannya menutup manik Nate. Nate yang barusan tenggelam dalam benaknya, kini terkejut sampai dia hampir terjatuh ke belakang kalau saja Varell tidak menarik lengannya kembali untuk berdiri tegak.

"Nate!" seru Varell. "Kau kenapa?!"

"Ah ... Kakak tidak lihat? Tadi ... di situ ..." Nate menunjuk atap-setidaknya begitu dari sudut pandang Varell. "... Tadi ..."

Varell menghembuskan napas kasar. "Sudahlah, kamu tidak melihat apa pun. Jangan membuatku terkejut seperti itu, Nate."

Nate hanya mengangguk, membiarkan Varell pergi dimakan kegelapan di ujung lorong sana. Kini, dia kembali berdiri berdua bersama Lucy yang sedang menatapnya datar--seolah tidak ada yang terjadi barusan.

Dengan gugup, Nate bertanya, "Apa ... kenapa aku tidak pernah melihag makhluk seperti itu sebelumnya? Makhluk apa itu?"

"Itu hantu," jawab Lucy singkat. "Kelihatannya kau kebingungan karena hantu itu sama sekali tidak terlihat sepertiku."

Nate mengangguk lemah, masih syok dengan apa yang baru saja dilihatnya. Fakta bahwa ada makhluk dengan wujud seperti itu membuat rasa takut Nate tidak bisa beranjak dari hatinya. Rasa takut itu tinggal, memeluknya erat seolah mereka teman sejak lama.

"Ada beberapa jenis hantu. Pertama, untukku. Aku ini hantu yang masih sangat terikat dengan dunia, tetapi tidak tahu mengapa. Hantu-hantu macam aku akan kelihatan seperti seorang manusia, karena sejatinya kami semacam sedang mencari jati diri. Bagaimanapun, walau wujud kami tidak begitu menyeramkan, kami adalah ... hantu yang paling berbahaya," jelas Lucy dengan enggan.

Sungguh, dia baru ingat bahwa dirinya adalah hantu yang sangat berbahaya. Pasalnya, Lucy dan hantu-hantu lain yang sejenis bisa berinteraksi dengan manusia layaknya manusia kepada manusia.

Lucy mengerjap. "Lalu, ada hantu yang memilih untuk menetap di dunia. Mereka biasanya berwujud cahaya bulat yang melayang di malam hari. Terkadang, manusia berpikir mereka adalah kunang-kunang. Kalau kau lihat mereka dari dekat, wujud mereka bisa jauh lebih besar dari kelihatannya. Mereka tidak berbahaya."

"Kemudian yang terakhir, hantu yang memiliki ikatan dengan dunia dan dia tahu mengapa. Dimisalkan aku tahu apa penyebab kematianku, tetapi aku masih memiliki dendam kepada pembunuhku. Maka aku akan berwujud seperti hantu yang baru saja kau lihat tadi."

Nate mengangguk paham. Sejauh yang ia tahu, ia pikir hantu itu hanya berwujud seperti manusia kecuali mereka transparan.

"Lalu," Nate berbalik untuk melanjutkan pencarian mereka, "mengapa hantu tadi bisa melihatku? Mengapa kaubisa melihatku?"

"Itu mudah." Lucy mengedikan bahu. "Kautahu, di dunia ini ada yang namanya rasa takut. Rasa takut itu ... penting bagi kami para hantu. Karena jika manusia tidak sedang dikuasai oleh rasa takut, maka kami tidak akan bisa melihat mereka."

Hening sesaat. Tentu saja, sekarang Nate mengerti mengapa makhluk itu bisa melihatnya. Beberapa saat yang lalu, Nate sedang merasa ketakutan. "Bagaimana kelihatannya kami di mata kalian?" tanya Nate.

"Entahlah. Apa yang kulihat mungkin saja jauh berbeda dengan apa yang kau lihat. Sebagai contoh saja, aku bisa melihat lorong ini sekarang didesaki banyak ... orang." Lucy celingak-celinguk seolah di lorong tersebut memang banyak orang.

Nate bergidik. "Jangan bercanda seperti itu, Lucy. Kautahu aku tidak bisa menerima candaan macam itu."

"Aku serius," ucap Lucy.

Manik remaja laki-laki kemudian bersirobok dengan milik Lucy. Mereka bertatapan beberapa menit, membuat Nate semakin lama semakin jatuh ke dalamnya. Rasa takut seakan tumbuh dalam dirinya, menguasai setiap inci tubuhnya.

"Jangan mengatakannya dengan tampang seserius itu!" seru Nate. Jantungnya berdegup kencang, seolah ia baru saja selesai lari jarak jauh. Sementara Lucy, dia tetap tenang. Namun dalam hatinya--itu juga kalau masih bisa dihitung sebagai hati--dia khawatir dengan Nate.

Apa aku harus mengatakannya? Namun, bukankah jika aku nengatakannya keadaan akan semakin bertambah buruk?

Lucy mengusap puncak kepala Nate, membuat remaja laki-laki itu terdiam sesaat. Wajahnya memanas, entah karena apa. Padahal, lorong yang sedang mereka telusuri rasanya dingin sekali.

"Jangan menatap ke depan. Teruslah menunduk," bisik Lucy. Entah mengapa, bisikan itu kedengarannya menakutkan. Jantung Nate kembali memompa dengan cepat, aliran darahnya memacu hebat. Adrenalin yang ia rasakan bahkan melebihi rasa ketika hantu tingkat tiga itu menyadari keberadaannya.

Nate ingin bertanya, tetapi urung karena bibirnya terasa kelu. Lidahnya tidak mau bergerak, padahal benda itu adalah satu-satunya organ tubuh yang tidak bertulang di mulutnya.

Pada akhirnya, mereka berdiam seolah tidak terjadi apa-apa. Nate terkadang melirik kanan-kiri, tetapi tidak berani untuk menengadahkan kepalanya sama sekali. Peringatan dari Lucy--di kepalanya bisikan itu terdengar seperti peringatan--membuatnya was-was.

Lama berjalan lurus, akhirnya Lucy berhenti. Nate juga ikut berhenti, sayang dia tidak tahu mengapa. Akhirnya dia bertanya, "Ada apa?"

"Aku merasakan sesuatu," jawab Lucy. Kepalanya menoleh ke kanan, kemudian kiri. Dia menunduk, lalu kembali menatap ke depan. "Aku merasakan sesuatu."

"Apa yang kaurasakan?" tanya Nate sekali lagi--masih tidak berani untuk menenadahkan kepalanya.

Lucy terdiam, maniknya terpejam. Dia berusaha untuk merasakan apa yang baru saja membelai hatinya--itu juga kalau masih bisa dikatakan hati. Maniknya kembali ia buka, diliriknya arah kanan dan kiri. Sayang, Lucy tidak tahu apa yang membuatnya merasa seperti ini.

Desahan keluar dari mulutnya. "Aku merasakan sesuatu, tetapi tidak tahu apa," ujarnya.

"Bisakah kau mendeskripsikan apa yang baru saja kau rasakan?"

"Entahlah." Lucy mengedikan bahunya, "Selama bertahun-tahun aku terjebak di rumah ini bagai seekor burung yang terperangkap dalam sangkarnya, ingin bebas ke luar sana, aku tidak pernah merasakan sesuatu seperti ini sebelumnya."

Nate mengernyit. Dia ingin melihat wajah Lucy, siapa tahu ia bisa membaca perasaan apa yang sedang menguasai hati hantu itu--kalau pun bisa disebut hati. Awalnya, Nate ragu. Namun rasa hati tetap memanggil-manggil, mengalahkan rasa takut yang menyelimuti hati.

Secercah cahaya muncul dalam kalbu, menerangi kegelapan yang daritadi memeluk hati Nate erat. Remaja laki-laki itu mendongak, dia menoleh kepada Lucy untuk melihat ekspresi wajahnya. Saat maniknya menangkap mimik wajah Lucy, saat itu pula maniknya membola.

"Lucy, kenapa?" tanya Nate gelagapan. Mimik wajah Lucy kelihatan seperti orang yang sedih, marah, dan kesakitan. Air mata mengalir dari pelupuk matanya, membuat sebuah air terjun tipis mengalir dari mata turun ke dagunya.

Pundaknya naik-turun, sesenggukan tetapi tertahan. Nate menatapnya iba, bingung mengapa Lucy bisa menangis seperti itu. "Kau baik-baik saja, apa ada yang sakit?"

Lucy mengangguk. "Sebetulnya, aku tidak yakin ini sakit atau bukan. Namun aku merasakan sesuatu di sini."

Tangannya yang lembut meraba paha kirinya, kemudian pinggang sebelah kiri, kemudian dada sebelah kiri, setelah itu menutup mata kirinya lalu kembali menempatkannya di samping tubuh. Nate mengernyit, bingung harus bagaimana. Kalau saja dia memiliki banyak teman, pasti dirinya tak perlu merasa secanggung ini bahkan dengan seorang hantu.

"Sakit sekali? Bisakah kaugambarkan bagaimana rasanya?" pinta Nate.

Lucy menggeleng perlahan. "Aku tidak bisa, aku tidak tahu bagaimana rasanya. Tidak ingatkah kau, aku sudah merasakan yang namanya mati rasa selama bertahun-tahun terkurung di rumah ini?"

"Ah, benar. Maafkan aku," ucap Nate.

Mereka terdiam sejenak. Lucy mendongak, menatap sebuah pintu kecil yang ada di atas sana. Dia mengerjap, alisnya bertemu--saling menyapa satu sama lain. Rasa sakit di beberapa titik tubuhnya kian tetasa, maka hatinya--itu pun kalau bisa disebut hati--mengatakan mereka harus pergi ke sana.

Lucy beralih kepada Nate, kemudian memintanya untuk membuka pintu yang ada di atas itu. Mungkin Lucy bisa berinteraksi dengan manusia dalam jangka waktu tak terbatas, tetapi dia tidak bisa berinteraksi dengan benda-benda di sekitarnya.

Tanpa bertanya, Nate menarik sebuah tali. Kemudian, pintu itu terbuka otomatis dengan sebuah tangga meluncur dari atas sana. Mereka saling melempar pandang, lalu Nate naik ke atas terlebih dahulu.

Sebetulnya, Nate enggan menaiki tangganya lebih dahulu. Dia tahu dalam hati, bahwa dirinya hanyalah seorang penakut yang tidak bisa mengontrol perasaannya. Dia tahu dalam hagi, bahwa dia adalah seorang pengecut yang tetap hidup dan membebani banyak orang.

Namun sekarang Nate tidak mau membebani Lucy. Dia sudah berjanji untuk membantu Lucy mencari tubuhnya di sekitar rumah.

Saat Nate tiba di atap, bau menyengat yang tak sedap kemudian menusuk penciumannya, memenuhi paru-parunya. Nate hampir saja memuntahkan kembali makan malam yang baru saja dilahapnya beberapa jam lalu bersama seluruh anggota keluarga kalau saja dia tak cepat-cepat menutup hidungnya.

Lucy menempus permukaan atap, ikut mengernyit ketika bau busuk itu tercium olehnya. Sementara itu, rasa sakit di sekujur tubuh semakin terasa. Air matanya mengalir deras, mata sebelah kirinya bahkan mengeluarkan darah.

Mereka menyapu pandang, untunglah jendela di ujung depan sana tidak ditutupi tirai, maka sinar bulan yang redup bebad masuk menerangi atap. Tidak ada barang di sini, kecuali sebuah tubuh ysng terlukai lemas bersandar tepat di samping Nate.

Tubuh--mayat itu sudah membusuk. Rambutnya bahkan sudah berjatuhan. Pisau masih menancap di mata kirinya, mulutnya terbuka lebar seolah mayat itu berteriak minta pertolongan tanpa ada siapa pun yang mendengarkan. Kuku-kuku mayat itu patah, tepat di sampingnya ada bekas-bekas cakaran seolah dia melampiaskan rasa sakit kepada lantai.

Nate terkejut, maniknya membola. Kedua kaki mayat itu diikat, paha sebelah kirinya ditusuk oleh semacam ranting kayu. Pinggang sebelah kirinya robek, terlihat dari seragamnya yang terbuka lebar.

Sementara Nate menatap mayat itu prihatin, Lucy menangis sejadi-jadinya. Sebetulnya, dia tidak merasa sedih. Namun apa yang dirasakannya ketika terakhir kali berada dalam tubuh itu menguasai hatinya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Nate. Lucy mengangguk perlahan, dia menjauh ke sudut atap. Nate tidak mengikutinya, dia masih terlalu syok dengan keadaan jasad Lucy yang mereka temukan. Apa yang terjadi?

Lucy di sudut sana, wujudnya mulai bergerak-gerak. Nate mengerjap, hatinya gugup. "Lucy?"

"Kau ... aku ... sempat berbohong kepadamu nengenai hantu." Tiba-tiba saja Lucy angkat bicara. Nate mendengarkan dengan saksama, tetapi masih tidak berani mendekat.

"Sebetulnya, makhluk yang kaulihat di depan kamar mandi tadi ... sangat berbahaya." Lucy semakin mendekat ke sudut, "Hantu macam itulah yang benar-benar bisa menyakiti manusia."

"Apa?" Nate mengernyit, "Mengapa kau berbohong tentang itu?"

"Supaya kau tidak takut," jawab Lucy. Semakin lama, Nate bisa melihat perubahan wujud Lucy. Awalnya ia pikir, Lucy akan menghilang. Namun pertumbuhan tubuh Lucy sungguh tidak wajar. Dia menjadi semakin ... tinggi.

"Ingatkah kau, saat aku berkata rasa takut manusia itu penting bagi kami para hantu?" tanya Lucy. "Itu karena ... kami tidak bisa melihat kalian jika kalian tidak ketakutkan."

"Dan ... kau ..." Suaranya terdengar semakin serak. Rasa takut kembali menghampiri Nate, pasalnya Lucy terlihat seperti hantu di depan kamar mandi yang mereka jumpai tadi

Saat itu juga, Nate menyadari apa maksud dari setiap kalimat Lucy. Sekarang, karena Lucy sudah tahu bagaimana keadaan jasadnya, dia marah. Dia ... dendam.

Lucy berbalik, menatap Nate dengan maniknya yang hitam. "Dipenuhi dengan rasa takut yang sangat parah."

"La ... ri."

***

5009 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top